”Situs Ondongan dan Peluang Wisata Terpadu Bukan Sekedar Omongan”
(Bagian 2 –Selesai)
Catatan : Muhammad Munir
Tepat Pukul 16.00 Wita, para peserta Wisata Sejarah Madrasah
Aliayah Nurul Maarif tiba disebuah bukit dipusat kota Majene. Rombongan Kepala
Sekolah dan guru-guru tiba bersamaan dengan pemandu yang terdiri dari
Tammalele, Thamrin, Ifrat dan Penulis. Bukit kecil tersebut berada diantara
area Rujab Bupati Majene dan Taman Kota Majene. Para pengunjung lebih
mengenalnya sebagai Situs Ondongan yang didalamnya ada sekitar 480 buah makan
raja-raja, pejabat dan kerabat raja Banggae.
Kompleks makam ini terletak di Kampung Ondongan, Kelurahan
Pangaliali, Kecamatan Banggae, Kabupaten Majene. Begitu tiba di kompleks, sontak
para siswa-siswi segera berhamburan di areal kompleks, sekedar selfie-selfie
dan mengabadikan momentum tersebut. Siapapun yang datang ke kompleks ini, pasti
merasakan sesuatu yang begitu indah. Panorama birunya laut, jirat dan nisan
yang menggunakan beberapa macam bahan, seperti batu cadas, andesit, dan kayu
melengkapi perjalanan wisata sejarah MA Nurul Maarif sore ini.
Kompleks Raja-Raja Banggae di Ondongan ini berderet dari timur
ke barat. Thamrin dan Tammalele serta Ifrat berusaha menjadi bagian dari peramu
wisata yang profesional. Mereka mengambil bagian memberi informasi kepada
anak-anak yang bertanya dan atau kebetulan memperhatikan bentuk dan jirat makam
yang ada di kompleks ini. Penulis yang juga menjadi bagian dalam perjalanan
wisata ini mencoba memberi penjelasan kepada beberapa siswa dan guru-guru yang
mengikuti penulis. Pada mereka penulis jelaskan bahwa di kompleks ini ada 480
makam yang masuk dalam inventarisasi Situs cagar budaya Ondongan di
BPCB Makassar dengan nomor inventaris 151 yang terdiri dari makam makam besar
dan kecil.
Adapun diantara tokoh-tokoh yang dimakamkan di kompleks ini
antara lain Makkidaeng Manguju tomatindo di Lanriseng (Arajang Balanipa dan Mara’dia
Banggae) cucu Arajang Balanipa ke-15, ada juga makam I Besse Kajuara anak Arung
Pone yang menjadi Raja Bone ke-27 (1857—1859), ia menikah dengan Makkidaeng
Manguju. Makam I Besse Sompung istri pertama Arajang Balanipa, Tomappellei
Pattuyuanna juga dimakamkan disini.. Tentu saja masih banyak makam lain yang tidak
diketahui siapa dan kapan dimakamkan. Menurut Thamrin, makam-makam ini pernah
diberi nama-nama penghuni makam, tapi karena pertimbangan lain nama di makam-makam
tersebut dilucuti satu persatu.
Dari
beberapa sumber catatan sejarah, banyak menyebutkan bahwa kompleks makam
raja-raja hadat Banggae ini mulanya berpusat di Salabose atau perkampungan
Salabose yang berada didataran tinggi di kota Majene ± 120 mdpl. Banggae
sendiri pada mulanya adalah kelompok masyarakat yang dipimpin oleh Ketua suku
yang digelar Tomakaka yang belakangan dikenal sebagai Tomakaka Poralle. Selain
Tomakaka Poralle ada juga Tomakaka Pullajonga, Tomakaka Salogang, Tomakaka
Totoli, Tomakaka Pepattoang yang memimpin komunitas masyarakatnya dan tinggal
di sekitaran Banggae. Keberadaan Tomakaka-tomakaka itulah yang kemudian menata
diri dan membentuk kerajaan Banggae.
Membincang
Banggae, Topole-pole adalah nama yang familiar dikalangan masyarakat Majene. Pemilik
gelar Topole-pole ini adalah salah satu pendatang dari kerajaan Majapahit yang
kemudian kawin dengan Tomerrupa-rupa Bulawang, putri Tomakaka Poralle. Topole-pole
ini memiliki kecakapan dalam hal penataan masyarakat sehingga Tomakaka Poralle sepakat
membentuk suatu sistem pemerintahan baru yang dikenal sebagai pemerintahan Tomakaka
Poralle. Sistem pemerintahan inilah yang menjadi cikal bakal terbentuknya
Kerajaan Banggae.
Awal
pembentukan sistem pemerintahan ini sempat bergejolak dengan pertentangan antara
Tomakaka Poralle dan Tomakaka Totoli terkait batas wilayah. Pertentangan akhirnya
bisa diselesaikan dengan cara perkawinan antara Daenta Melanto putra Tomakaka
Poralle dengan seorang putri Tomakaka Totoli, yang mengakibatkan kedua
pemerintahan Tomakaka berjalan aman dan damai. Dari sejarah perkembangan Kerajaan
Banggae telah tercatat raja raja yang memerintah baik sebagai maradia matoa
ataupun maradia malolo. Mara’dia yang diketahui hanya 25 orang mulai dari mara’dia
Daenta Melanto sampai Rammang Pettalolo (1907-1949).
Sekilas
informasi itulah yang dapat penulis sampaikan kepada para peserta Wisata
sejarah. Demikian juga Tammalele, Tamrin dan Ifrat memberikan informasi kepada
mereka sesuai dengan apa yang membuat para siswa penasaran dan bertanya pada
pemandu. Dari pengamatan penulis, baik guru maupun siswa-siswi sangat
menyenangi dan puas bisa sampai ke Ondongan ini. Mereka selain tertarik dengan
wisata sejarahnya, mereka juga terpesona dengan suasana yang begitu menyenangkan
di bukit ini. Panorama laut yang membentang dihadapan bukit Ondongan ini adalah
daya tari tersendiri bagi mereka. Namun waktu jua yang membuat mereka terpaksa
harus merelakan kenikmatan itu direnggut dan mengharuskan mereka pulang.
Hal yang
menarik perhatian penulis dari keberadaan situ Ondongan ini adalah letaknya
yang strategis. Ondongan juga telah dianggarkan dalam APBN melalu BPCB
Makassar, mulai dari pemeliharaan sampai biaya operasional kompleks ini. Yang
sedikit mengganjal adalah sikap Pemda majene yang terkesan abai pada obyek ini.
Pemerintah Majene seharusnya bisa mengelola secara kereatif profesional
kompleks ini. Kompleks ini sangat berpotensi dikelola oleh Pemda sebagai pusat
wisata sejarah, wisata kuliner dengan memnfaatkan fasilitas BPCB.
Sejatinya
Pemda tak hanya menarik retribusi dari pengunjung, tapi pemerintah bisa
membangun fasilitas wisata kuliner bagi masyarakat sekitar untuk membantu
meningkatkan taraf ekonominya. Pemda bisa menarik retribusi dari para penjual
yang ada dikompleks selain memungut dari pengunjung. Dan ini sangat
memungkinkan mengingat banyaknya pengunjung yang datang dari berbagai daerah dan
setiap hari jumlah kunjungan ini puluhan bahkan ratusan orang yang datang. Ini tentu
menjadi peluang untuk meningkatkan PAD dan pendapatan warga disekitar kompleks.