Sabtu, 25 Februari 2017

APATAR PAMBOANG : Mengurai Senyum dan Berbagi Rasa Merdeka !


Tahun lalu, tepatnya Maret sampai Mei 2016 saya banyak menyusuri jalan-jalan sunyi di pelosok Pamboang dan Adolang. Mulai dari berziarah ke Ku’bur Kaeyyang, bernostalgia sambil membayangkan duduk diskusi diberanda Sapo Kayyang yang beberapa puluh tahun dihanguskan oleh Belanda. Sampai berusaha menaklukkan puncak Buttu Karappuanna Adolang. Menarik memang, pemerintah Majene dengan slogan Majene Mammis-nya, tapi ketika menelusuri jalanan selepas kelurahan Galung, tak ada hal yang terasa mammis. Yang ada bahkan kegetiran, dan amarah yang seketika membuncah: Inikah kondisi yang selalu dibanggakan pemerintah hari ini? Jalanan aspal yang hancur, jalanan cor baru tapi penuh lobang, kerikil tajam diantara jurang dan tebing gunung nyaris tak pernah tersentuh kebijakan. Begitu juga jembatan kayu yang hanya beralaskan belahan bambu untuk bisa tembus dari kampung ke kampung disekitaran gunung Timbogading dan Karappuanna Adolang.

Terlepas dari itu semua, pemerintah sudah saatnya kembali memesrai anak-pedalaman Adolang yang berjalan berkilo-kilo dengan telanjang kaki untuk bisa menyebut mereka sebagai anak sekolahan. Jangan tanya tentang pemukiman dan pola hidup yang mereka lakoni, sebab bagaimana mungkin mereka mampu sejahtera dan hidup bersahaja ditengah miskinnya fasilitas yang bernama pembangunan. Sekolah dari rumahnya harus menempuh perjalanan 1-2 jam untuk sampai kesekolah, jangan tanya dimana mereka menemukan mobil untukmereka tumpangi, sebab motor saja harus dipaksa untuk bisa sampai ke kampung-kampung sekitar . Pun jangan tanya berapa hasil petani dari memanen kebun kacang, bawang, jagung dan sayuran yang mereka hasilkan, sebab biaya transport dari kampungnya ke pasar bisa jadi lebih mahal dari pada barang yang mereka bawa ke pasar.

Ini bukan gugatan, sekedar menggugah pemerintah agar tak hanya asyik maksuk dengan hijau dan bersihnya kota, tapi bagaimana membuat generasi yang masih hijau itu mampu meretas jalan untuk menjadikan mereka sebagai manusia merdeka yang bisa merasakan meratanya konsep pembangunan. Mereka tak harus diajak ke kota untuk karaokean, cukup mereka dibangunkan sekolah, dibuatkan jalan beton, dibukakan akses jaringan baru listrik negara maka disanalah kemerdekaan mereka temukan.


Disepanjang-panjang jalanku, kucoba labuhkan sebuah harapan ketika mendapati sebuah komunitas yang menata dirinya lewat akronim Apatar = Askar Pantai Taraujung, (Rumah Cerdas / Apatar Pustaka). Aku memilih berhenti sejenak sekedar membeberkan pada Apatar yang ternyata telah berdiri sejak 20 Mei 2014. Ada banyak harapan yang coba kupertaruhkan pada semangat anak muda Pamboang. Dan saya tidak harus malu untuk mulai ujur, “ Bantu aku memunguti resah dan gelisah siangku untuk bisa tidur bersama embun dan memcoba menikmati sepoi angin dari bibir-bibir pantai yang rekah.

Melihat dan membaca struktur gemuk APATAR mulai dari Dewan pendiri : Muh Ajyad, S.Hut ; Muh Irhan ; Arfian, S.Or; sampai pada mengenal Direktur : Andi Ahmad Khadafi ; dengan Sekretaris : Wahyu Jalaluddin; Jangan pernah curiga bahwa Bendahara : Andi Dermawan akan memiliki rekening yang juga gendut, sebab Dewan pembina : Camat pamboang ; Lurah lalampanua ; Abdul Watif S.E ; Herni Aswad Dubair ; Nurdin Aco dan Dewan pengawas : Muh Refyal S.pd ; Muh Irdan Mucthtar S.Sos kemungkinan besar juga banyak dipusingkan dengan berbagai urusan pengabdiannya yang tak bisa berkelindan dengan target mereka.

Melalui akun Mursyid Wulandari alias Mursyid Syukri, kucoba merangkul dan melnitipkan sebuah impian pada hijau pegunungan dan birunya lau Pamboang. Status anggota Luar biasanya Apatar ini ternyata mengurai mimpiku dan mengajakku menari bersama ombak di pantai Taraujung. Kucoba meraih tangan Ajyad untuk membagi bara nasib generasi Pamboang. Yah, aku bangga. Ia bahkan tak merasa panas terbakar oleh bara itu. Bara itu justru membakar semangatnya untuk mereview kembali program dan agenda besar yang telah mereka tunaikan. Festival Akustik Taraujung, Gelar buku dipantai Pamboang tiap hari Minggu secara rutin, Pencanangan Kampung Literasi Pemilu kerjasama KPU Kab. Majene cukup memberi spirit betapa indahnya berbagi rasa merdeka.



Lalu tanpa ragu, Ajyad berbisik padaku bahwa masih sederet Rencana Program Kerja yang akan dilaksanakankedepan. Apatar masih harus bertaruh dengan takdirnya untuk bisa mengukir sejarah diajang Kemah wisata, Mengunjungi daerah pedalaman untuk aksi Literasi, Pengembangan Wisata Mangrove, dan Kajian / bedah buku tiap malam sabtu (rutin) yang kerap membuatnya gelisah sebab semua menurutnya harus berjalan bulan depan. Visi untuk pengembangan wisata di Taraujung dan Misi meningkatkan potensi SDA adalah cambuk yang terus melecut jiwanya untuk segera beranjak dari ketertinggalan.

Apatar menurutku mesti terus melangitkan pujian rasa syukur Alhamdulillah, sebab pembelian baju One Person One Book dan kegiatan yang sudah jalan sangat direspon oleh sebagian besar masyarakat yang mendukung gerakan Apatar ini. Meski tentu saja harapan tetap ia bumikan agar kedepannya gerakan literasi ini dapat menyebar kesemua lini, utamanya daerah pedalaman. Pun berharap uluran tangan pihak pemerintah berkonstribusi pada program dan agenda besar Apatar.



Komunitas APATAR kini berpusat di Jl. Ammana Pattolawali, Lingkungan Bulutupang, Kelurahan Lalampanua, Kecamatan Pamboang, Propinsi Sulbar. kode pos 91451. Disinilah mereka membangun asa, mencoba merobohkan dinding lapuk peradaban yang menahun diterlantarkan oleh sistem didaerahnya. Harapan terbesar mereka adalah handphonenya berdering 085342250858 untuk mendengarkan pengakuan yang sama dari penelfon, dan tentunya perhatian dan kerjasama dengan mereka adalah yang terindah.

Saya sekarang merasa lega sebab aku tak lagi sendiri meretas jalan sunyi itu. Aku merasa punya nilai saat mendapati anak-anak dipantai itu riang mengerubuti buku-buku yang sempat kualih tangankan dari Rumpita ke Apatar. Dan sungguh aku begitu sedih ketika mereka menoleh ke kanan dan ke kiri dan mendapati mereka bengong. Ternyata mereka masih ingin lebih banyak lagi pilihan buku bacaan yang mengitari mereka setiap saat. Mereka ingin berteriak... Tapi sayang, teriakannya hanya bisa dilisankan. Dan teriakan mereka kucoba tuliskan, semoga ada yang berkenan memberi mereka rasa bahagia dengan memberi mereka bacaan yang menarik dan berkualitas. Ada yang berminat ?

(Catatan Muhammad Munir)