Tahun lalu, ketika saya disibukkan dengan beberapa agenda dan rancangan Pesona
Cakkuriri I 2016 yang akan digelar di Lapangan Bura’ Sendana Kec. Sendana Majene.
Sekumpulan pemuda yang lebih banyak cewek saya terima di ruang Ketua DPRD Majene.
Mereka yang kemudian saya kenal namanya Indra Ariana,
Enni, Rabinah Yusuf,
Husniar, Reski Adam,
Sulaiman Muhamad,
dan Ibrahim. Mereka langsung memperkenalkan diri dari komunitas KOPI SENDANA, berniat
untuk bergabung dalam gerakan literasi berupa pembentukan RUMAH BACA disetiap
wilayah kecamatan di Majene dan Polman.
KOPI Sendana sendiri ternyata akronim dari Komunitas Pemuda Literasi yang
berasal dari Kecamatan Sendana segera saya setujui untuk memberikan bantuan
berupa buku bacaan untuk koleksi yang akan mereka gunakan dalam gelar buku di
Sendana. Setelah semua buku diturunkan ke lokasi, launching KOPI Sendana
akhirnya dilaksanankan tepat pada pembukaan acara Pesona Cakkuriri I yang
dibuka langsung oleh Gubernur Sulawesi Barat, Anwar Adnan Saleh.
Melihat semangat dan kreatifitas mereka, saya tentu banyak berharap bahwa
kedepan penguatan literasi di Sendana akan semakin memvirus. Dan ternyata
betul. Mereka ternyata adalah komunitas pemuda yang juga concern dalam pengembangan potensi wisata di Sendana. Salah satu
dari anggota komunitas KOPI ini ada yang tercatat sebagai member KOMPADANSA
MANDAR. Ada semangat yang tercipta ketika melihat mereka ikut serta dalam
berbagai kegiatan baik yang dilaksanakan oleh Rumpita maupun yang dirancang
khusus sebagai program prioritas KOPI Sendana.
Kegiatannya semakain melebar dan mulai buka lapak untuk ruang membaca. Disamping itu mereka juga lebih sering mengunjungi
sekolah-sekolah terutama yang ada diwilayah yang kurang tersentuh akses bacaan.
Program buka lapak di bukit Palipi juga digelar setiap sabtu. Bukit Palipi
mempunyai keistimewaan tersendiri, disamping sebagai bukit yang berhadapan
langsung dengan teluk Mandar dan Pulai Tai manu’ juga menjadi pilihan menarik
bagi anak-anak usia dini dan para remaja yang selalu ramai mengunjungi tempat
ini.
Melihat semangat mereka, benarlah bahwa
mereka adalah pejuang sejati. Mereka
memiliki sesuatu yang dapat menolong yang lain dari
reruntuhan semangat. Dia membuat mudah bintang bintang haus akan ilmu
pengetahuan di malam hari bahkan berani keluar berhadap-hadapan dngan
dunia disiang hari. Salah satu yang menjadi tokoh kunci dari semangat mereka adalah St.
Mutmainnah Syamsu yang kerap bolak balik Mandar Jogya demi balance-nya tugas sebagai
mahsiswa dan kewajiban mengabdi pada lita pembolongan. Mahasiswi S1 Psikologi
di Universitas Sarjana Wiyata Taman Siswa Jogya ini kerap saya lihat begitu
agresif jika pulang dari Jogya.
Sampai hari ini, KOPI Sendana masih tetap
eksist dalam aksi literasi disamping sebagai kelompok yang membangun kesadaran
wisata. Pengabdian dalam dunia literasi yang dipadu dengan pengembangan wisata
adalah sebuah kesadaran yang jarang terjadi. Tapi dengan Kopi Sendana, mereka
adalah generasi Mandar yang terus bersorak untuk terus memesrai Mandarnya. Mereka
tentu bukan generasi pengangguran, sebab diantara mereka justru banyak terlibat
sebagai pendidik, tenaga medis dan sebagian masih kuliah. Dan waktu-waktu
lowong merekapun menjadi ruang untuk terus bisa berbagi pada sesama.
KOPI Sendana telah membuat sebuah langkah dan
terobosan baru. Tentu mereka membutuhkan nutrisi dan spirit untuk bisa
menumbuhkan geliat kesadaran itu menjadi lebih kolektif. Kolektifnya disini
tentu yang dimaksud adalah keterlibatan masyarakat dan pemerintah untuk ikut
mengambil bagian atau bersinergi dengan mereka. Merka adalah komunitas yang
senantiasa ingin berbagi, tentu saja pemerintah harus menunjukkan sikap untuk
mencoba mengelaborasi makna dari apa yang mereka lakukan.
Sekedar menjadi renungan bersama. Minat Baca
masyarakat Indonesia berdasarkan riset lima tahunan yang dilakukan oleh Progres in International Reading Literacy study (PIRLS) yang
melibatkan siswa SD. PIRLS merilis bahwa Indonesia
berada pada posisi 36 dari 40 negara yang dijadikan sampel. Indonesia hanya
lebih baik dari Qatar, Kuwait, Maroko dan Afrika Selatan. Tentu saja Majene dan Sulawesi Barat masuk dalam bagian itu.
Dan andaikan pemerintah serius menangani
persoalan perpustakaan dan dunia literasi, tentu hal tersebut tak akan terjadi dan menimpa negara
kita, sebab data
terakhir menyebutkan, terdapat 169.031 SD dan Madrasah di Indonesia. Artinya,
jika tiap sekolah memiliki satu perpustakaan, seperti yang diamanahkan UU No.
43 Tahun 2007 tentang perpustakaan, maka terdapat 169.031 perpustakaan di
seluruh Indonesia. Jika ini terjadi, maka anak-anak akan memperoleh kemudahan
mengakses bahan bacaan. (Agus M. Irkham, 2012: Gempa Literasi, Gol A Gong dan
Agus M. Irkham).
Terpulang kepada kita, wabilkhusus pada
pemerintah, mau tidak kita beranjak dari stigma buruk literasi kita? Jika iya,
maka segeralah berbenah. Jangan dandani penguatan literasi sebagai modus
mengeruk uang negara, pun jangan ada yang menjadikan gerakan literasi sebagai
ajang gagah-gagahan dan banga-banggaan.
Salam Literasi !