Jumat, 24 Februari 2017

KOPI SENDANA : MENGUNGGAH SEMANGAT, MENGGUGAH MASYARAKAT DAN MENGGUGAT PEMERINTAH !


Tahun lalu, ketika saya disibukkan dengan beberapa agenda dan rancangan Pesona Cakkuriri I 2016 yang akan digelar di Lapangan Bura’ Sendana Kec. Sendana Majene. Sekumpulan pemuda yang lebih banyak cewek saya terima di ruang Ketua DPRD Majene. Mereka yang kemudian saya kenal namanya Indra Ariana, Enni, Rabinah Yusuf, Husniar, Reski Adam, Sulaiman Muhamad, dan Ibrahim. Mereka langsung memperkenalkan diri dari komunitas KOPI SENDANA, berniat untuk bergabung dalam gerakan literasi berupa pembentukan RUMAH BACA disetiap wilayah kecamatan di Majene dan Polman.

KOPI Sendana sendiri ternyata akronim dari Komunitas Pemuda Literasi yang berasal dari Kecamatan Sendana segera saya setujui untuk memberikan bantuan berupa buku bacaan untuk koleksi yang akan mereka gunakan dalam gelar buku di Sendana. Setelah semua buku diturunkan ke lokasi, launching KOPI Sendana akhirnya dilaksanankan tepat pada pembukaan acara Pesona Cakkuriri I yang dibuka langsung oleh Gubernur Sulawesi Barat, Anwar Adnan Saleh.



Melihat semangat dan kreatifitas mereka, saya tentu banyak berharap bahwa kedepan penguatan literasi di Sendana akan semakin memvirus. Dan ternyata betul. Mereka ternyata adalah komunitas pemuda yang juga concern dalam pengembangan potensi wisata di Sendana. Salah satu dari anggota komunitas KOPI ini ada yang tercatat sebagai member KOMPADANSA MANDAR. Ada semangat yang tercipta ketika melihat mereka ikut serta dalam berbagai kegiatan baik yang dilaksanakan oleh Rumpita maupun yang dirancang khusus sebagai program prioritas KOPI Sendana.

Kegiatannya semakain melebar dan mulai buka lapak untuk ruang membaca. Disamping itu mereka juga lebih sering mengunjungi sekolah-sekolah terutama yang ada diwilayah yang kurang tersentuh akses bacaan. Program buka lapak di bukit Palipi juga digelar setiap sabtu. Bukit Palipi mempunyai keistimewaan tersendiri, disamping sebagai bukit yang berhadapan langsung dengan teluk Mandar dan Pulai Tai manu’ juga menjadi pilihan menarik bagi anak-anak usia dini dan para remaja yang selalu ramai mengunjungi tempat ini.

Melihat semangat mereka, benarlah bahwa mereka adalah pejuang sejati. Mereka memiliki sesuatu yang dapat menolong yang lain dari reruntuhan semangat. Dia membuat mudah bintang bintang haus akan ilmu pengetahuan di malam hari bahkan berani keluar berhadap-hadapan dngan dunia disiang hari.  Salah satu yang menjadi tokoh kunci dari semangat mereka adalah St. Mutmainnah Syamsu yang kerap bolak balik Mandar Jogya demi balance-nya tugas sebagai mahsiswa dan kewajiban mengabdi pada lita pembolongan. Mahasiswi S1 Psikologi di Universitas Sarjana Wiyata Taman Siswa Jogya ini kerap saya lihat begitu agresif jika pulang dari Jogya.

Sampai hari ini, KOPI Sendana masih tetap eksist dalam aksi literasi disamping sebagai kelompok yang membangun kesadaran wisata. Pengabdian dalam dunia literasi yang dipadu dengan pengembangan wisata adalah sebuah kesadaran yang jarang terjadi. Tapi dengan Kopi Sendana, mereka adalah generasi Mandar yang terus bersorak untuk terus memesrai Mandarnya. Mereka tentu bukan generasi pengangguran, sebab diantara mereka justru banyak terlibat sebagai pendidik, tenaga medis dan sebagian masih kuliah. Dan waktu-waktu lowong merekapun menjadi ruang untuk terus bisa berbagi pada sesama.

KOPI Sendana telah membuat sebuah langkah dan terobosan baru. Tentu mereka membutuhkan nutrisi dan spirit untuk bisa menumbuhkan geliat kesadaran itu menjadi lebih kolektif. Kolektifnya disini tentu yang dimaksud adalah keterlibatan masyarakat dan pemerintah untuk ikut mengambil bagian atau bersinergi dengan mereka. Merka adalah komunitas yang senantiasa ingin berbagi, tentu saja pemerintah harus menunjukkan sikap untuk mencoba mengelaborasi makna dari apa yang mereka lakukan.

Sekedar menjadi renungan bersama. Minat Baca masyarakat Indonesia berdasarkan riset lima tahunan yang dilakukan oleh Progres in International Reading Literacy study (PIRLS) yang melibatkan siswa SD. PIRLS  merilis bahwa Indonesia berada pada posisi 36 dari 40 negara yang dijadikan sampel. Indonesia hanya lebih baik dari Qatar, Kuwait, Maroko dan Afrika Selatan. Tentu saja Majene dan Sulawesi Barat masuk dalam bagian itu.

Dan andaikan pemerintah serius menangani persoalan perpustakaan dan dunia literasi, tentu hal tersebut tak akan terjadi dan menimpa negara kita, sebab data terakhir menyebutkan, terdapat 169.031 SD dan Madrasah di Indonesia. Artinya, jika tiap sekolah memiliki satu perpustakaan, seperti yang diamanahkan UU No. 43 Tahun 2007 tentang perpustakaan, maka terdapat 169.031 perpustakaan di seluruh Indonesia. Jika ini terjadi, maka anak-anak akan memperoleh kemudahan mengakses bahan bacaan. (Agus M. Irkham, 2012: Gempa Literasi, Gol A Gong dan Agus M. Irkham).


Terpulang kepada kita, wabilkhusus pada pemerintah, mau tidak kita beranjak dari stigma buruk literasi kita? Jika iya, maka segeralah berbenah. Jangan dandani penguatan literasi sebagai modus mengeruk uang negara, pun jangan ada yang menjadikan gerakan literasi sebagai ajang gagah-gagahan dan banga-banggaan.

Salam Literasi !

THAMRIN, RUMAH BACA DAN MUSEUM NASKAH I MANGGEWILU BERBAKTI DENGAN BUKTI

Yayasan Rumah Buku dan Manajemen Rumpita Tinambung saat penyerahan bantuan buku dari Penerbit Erlangga ke Rumah Baca dan Museum Naskah I Maggewilu Teppo

Teppo, ia mungkin hanya sebuah nama kampung dalam administrasi pemerintahan Kecamatan Banggae, Kabupaten Majene. Lingkungan Teppo tak ada bedanya dengan perkampungan lain di kota Mandar tua ini. Lalu apa yang melatarinya sehingga harus ditulis? Jawabannya tak lain karena di Teppo Rumah Baca dan Museum Naskah I Maggewilu yang intens dalam mengolah Kampung Literasi dengan Book Night atau Malam buku.

Hal lain yang membuat Teppo terasa berbeda sebab dalam komunitas masyarakat itu ada seorang pemuda literat bernama Thamrin (nama akun Fb Thamrin Uwai Randang) kelahiran 1 Januari 1984. Penganggurankah dia? Tidak. Ia bahkan bisa digolongkan sebagai manusia super sibuk. Ia abdi negara di Unsulbar dan tenaga pengajar di perguruan tinggi lain di Kota Pendidikan Majene. Selain itu, ia kerap menjadi pemandu dan peramu wisata sejarah di Museum Mandar Majene. Itulah dunia pengabdian yang diretas pemuda lajang bernama Thamrin ini.

Personil Rumah Bacanya yang terdiri dari Subhan, M. Rijal, Musa, Asbianto, Mukhlis dan Jamidin adalah kelompok pemuda langka yang mesti kita apresiasi. Betapa tidak, dunia penelusuran sejarah, pendataan cagar budaya dan penelitian adalah dunia yang kerap melingkupi kehidupan mereka sekaligus dalam aksi-aksi literasinya. Komunitasnya ini mendapuk nama besar I Manggewilu. I Maggewilu sendiri adalah sosok Towaine Mandar lampau yang ditakdirkan menjadi Istri Daetta Melanto. Dari rahimnyalah lahir manusia luar biasa I Muru Daetta Di Masighi yang mendirikan Masjid Salabose dan Masjid Pambo'borang.



I Muru Daetta Di Masighi lah yang datang membawa Syekh Abdul Mannan. Syekh Abdul Mannan berada di tanah Mandar atas peran beliau dalam pengembaraannya ke Malaka, Gresik, dan beberapa pulau di Nusantara saat itu. Selain Daetta di Masighi, ada Tuan Daeng yang eksist meyebarkan Islam ke daerah Camba, Teppo, Pambo'borang dan sekitarnya. Sementara Syekh Abdul Mannan, lebih konsentrasi di wilayah Salabose, Tande dan sekitarnya.

Latar sejarah itulah yang membuat Thamrin memaket rumah bacanya dengan museum naskah I Manggewilu. Penulis kerap menjadi bagian dalam berbagai kegiatan literasinya yang sejak satu tahun lalu ia bentuk. Hal menarik dari Rumah Baca I Manggewilu ini adalah kerelaan mereka menyambangi berbagai pelosok di wilayah Majene disamping setiap malam minggu dan rabu rumahnya selalu ramai dengan anak-anak dan warga Teppo.

Lalu dengan cara apa kita mengambil peran dalam ikut berkontribusi terhadap upaya penyelamatan generasi Majene kedepan? Tak perlu transferan jika itu tak memungkinkan dalam kas keluarga kita. Tak perlu merogoh kocek negara untuk ikut meringankan beban mereka, sebab 1 buku bacaan bagi mereka lebih bermanfaat ketimbang uang kertas 50-an ribu. 1 buku untuk mereka adalah modal untuk menentukan kemana arah kota pendidikan mau diarahkan.

Jika masyarakat Majene sedikit punya kepedulian untuk mereka dengan menyumbang satu buah buku per rumah tangga, maka tidak saja di Teppo, bahkan Rumah Baca I Manggewilu pasti akan ada disetiap kecamatan. Olehnya, kepada pembaca sekalian, mari kita ringankan hati, fikiran dan tangan kita untuk memesrai mereka lewat buku. Jadilah bagian dari solusi untuk mewujudkan kota Majene sebagai lumbung ilmu pengetahuan.


Jadikan Rumah Baca dan Museum Naskah I Manggewilu sebagai ladang amal buat siapa saja yang punya kepedulian. Salam Literasi !