Sabtu, 04 Februari 2017

Profil Singkat Drs. H. Tadjuddin Noor, MM., Sang Penerang Yang Menerangi Majene sampai Tappalang (2 Selesai)


Ketika terjadi pergantian Gubernur Sulsel, dari Andi Oddang ke Achmad Amiruddin, terjadi regenerasi pejabat. Saat itu pangkatnya sudah 3 C. Baperjaka Sulsel mengevaluasi, kalau Tadjuddin masuk pengusulan Sekda. Disebutkan Sekda Majene, Sekda Pinrang, Sekda Sidrap, dan Sekda Pangkep.

Keputusan akhir jatuh ke Sekda Majene. Setelah tiga tahun di Majene, dari 1989 hingga 1991, lalu ke Kabupaten Wajo dengan jabatan yang sama. Tahun 1995 kembali ke Majene dengan jabatan baru, Bupati Majene (1995-2001).
Meski kini sebagai bupati, sudah tak asing baginya. Ia sudah tahu apa yang akan ia lakukan, agar daerah ini menampakkan perubahan. Dilirik jalanan untuk dibenahi, sebab jalanan saat itu belum baik. Bisa dibilang, jalan antara Pinrang-Polewali-Majene-Mamuju masih memprihatinkan. Ia harus berjuang agar jalan di Majene aspal hotmix. Penerangan listrik baru sampai di Rangas, ujung kota Majene. Sementara anggaran terbatas.
Baru dua bulan di tahun pertama jadi bupati, Menteri penerangan Harmoko berkunjung ke Mamuju. Dari Mamuju, giliran Bupati Tadjuddin menjemput Harmoko di Malunda’. Ketika rombongan Menteri dan Bupati Majene beriringan, di pojok jalan di desa Tubo terbentang sebuah spanduk yang bertuliskan “Kami Butuh Listrik”.
Jam 8 malam rombongan singgah sejenak di rumah camat. Selanjutkan perjalanan menuju rumah jabatan Bupati Majene. Kurang beberapa menit menunjukkan jam 11 malam, rombongan tiba. Di Rujab Bupati, Menteri Harmoko bertanya kepada Bupati Tadjuddin, Desa mana tadi yang ada spanduk?”. Bupati jelaskan, sembari terkaget sebab dia pikir mungkin Menteri tak sempat melihat karena dalam kegelapan malam. “Kasihan Ya”, sudah 50 tahun merdeka masih banyak warga Indonesia belum menikmati listrik”. Kata Menteri Harmoko. “Tapi kita akan pikirkan bersama.”
Bulan berikutnya, seluruh bupati di Indonesia berkumpul di Jakarta. Pertemuan itu di adakan di gedung pertemuan PT. Pertamina. Menpen Harmoko juga hadir memberi pengarahan. Di penghujung akhir ucapannya, Menteri Harmoko menyilahkan Bupati Majene dan Bupati Luwu berdiri lalu memberitahu bahwa pemasangan listrik di kabupatennya sudah dikoordinasikan di tingkat pusat.
Rupanya menteri tetap ingat bunyi spanduk di Desa Tubo, Kecamatan Sendana, satu bulan silam. Katanya, silahkan dikoordinasikan di tingkat wilayah. “catat ya.” Pesan Menteri Harmoko.
Tiba di Makassar, Bupati Tadjuddin tak langsung ke Majene. Ia menemui Kepala PLN Wilayah Sulsel, Sumantri. Diberitahukan bahwa dari Jakarta di tugasi mengecek pemasangan sambungan listrik dari Majene ke Mamuju, ia tak bilang Tubo’. Sementara bercakap-cakap dengan Kepala PLN, mesin fax Sumantri mengeluarkan selembar surat. Surat itu dari Jakarta, isinya menugaskan mengeluarkan listrik di Majene dan di Luwu.  Persis apa yang di bacakan keduanya.
Sumantri bilang, kita butuh surat yang ditandatangani Gubernur Sulawesi Selatan untuk dukungan dana. Menit itu pula mereka menemui gubernur. Tak panjang lebar, gubernur menyilahkan Bupati Majene bikin surat nanti di tandatangani. Surat dukungan dana pun selesai di tandatangani Gubernur Sulsel. Sore itu juga kepala PLN, Sumantri ke Jakarta.
Keesokan harinya Sumantri sudah kembali. Dana pemasangan listrik pun siap, dengan syarat tak ada ganti rugi penebangan pohon. Tiba di Majene, Bupati menggalang masyarakatnya, dan tak ada yang menuntut ganti rugi. Yang paling diprioritaskan adalah pemasangan untuk sekolah dan masjid, di sepanjang jalan yang dilalui. Luar biasa, sepanjang 70 km pemasangan baru, hingga ke kecamatan Tappalang Kabupaten Mamuju.
Tak ketinggalan peningkatan SDM aparat, di semua lini. Dibuka kesempatan untuk melanjutkan sekolah, baik penjenjangan maupun strata satu (S1), dan starata dua (S2). Sebab bagaimana SDA bisa dikelola kalau sumber daya manusia tak terampil.
Memang sengaja hilangkan kesan bahwa orang pergi sekolah karena mau dipromosikan, mau diangkat jadi pejabat ini dan itu, atau pergi sekolah karena dibuang. Itu pemikiran tempo dulu. Semua yang berkemampuan diberi kesempatan yang sama. Juga pembangunan sekolah, semua kecamatan sudah ada SMA (SMU) Negeri. Pendidikan memang sangat diutamakan, maka waktu itu dibuka kelas khusus bagi siswa SMA yang berprestasi. Membuka isolasi kawasan-kawasan di pegunungan, di Malunda’, di Limboro. Digalakkan peternakan kambing. Dibangun banyak puskesmas.
Begitulah siklus pemimpin pemerintahan. Mustar Lazim usai memimpin, lalu datang Tadjuddin Noor, dan setelah masanya berakhir, dilanjutkan Muhammad Darwis. Pengembangan pelabuhan Palippis, Majene, yang belum selesai, dan akhir periode lima tahun telah lebih dulu tiba. Ketika ia menjabat kepala Dinas Perhubungan Sulsel tentu bersama bupati yang menggantikannya-melanjutkannya hingga bisa di manfaatkan seperti peruntukannya.
Ia ikut Andil memepercepat perbaikan pelabuhan Mamuju. Membuka kembali penerbangan Makassar-Mamuju. Dan ketika peresmian Sulawesi Barat, bersama satu rombongan dari Makassar terbang dengan pesawat udara yang mendarat di bandara Tampa Padang. Hampir dua tahun di Perhubungan, kemudian pindah sebagai Kepala BKD Provinsi Sulawesi Selatan.
Tugas selanjutnya setelah Bupati Majene adalah Kepala Dinas Pariwisata Sulawesi Selatan, tempatnya yang dijabat sejak beberapa tahun silam. Selama di pariwisata, ia banyak melanglang ke kawasan Eropa, Asia, dan Afrika. Sibuk dengan kerja memperkenalkan potensi pariwisata Sulawesi Selatan di pelbagai masyarakat dunia. Ia tahu kalau potensi budaya Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat besar. Ini yang mesti dijual. Inilah cara menjadikan kunjungan pariwisata ke daerah kita dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya.
Pasar potensial untuk pariwisata kita adalah Eropa (Prancis, Jerman, Belanda, Italia, dan Swiss). Jepang, dan Asia pada umumnya. Di kota Paris, Perancis, Tadjuddin sudah tak asing, sebab ketika masih menjabat Bupati Majene, sempat diundang menghadiri konferensi ternak sedunia.
Pada Oktober 2004 lalu, diundang ke Ravena, Italia, menyaksikan pertunjukan film I Laga Ligo, yang dinobatkan menjadi warisan sastra dunia sekaligus satu-satunya karya sastra terpanjang di dunia. Di Italia, singgah di Vatikan, menyaksikan tempat tempat pertunjukan gladiator.
Pada Juli 2004, ia juga turut di undang hadir di New York, Amerika Serikat untuk menyaksikan pertunjukan spektakuler, I Laga Ligo. Perjalanan sudah bisa dibilang teramat panjang. Tapi bersama tiga anaknya, buah perkawinannya, dengan Nurliah pada 1977 silam, memberi kebahagiaan tersendiri dalam hidup Tadjuddin Noor.
Istrinya, seorang darah bangsawan Mandar, membuatnya tak bisa melupakan kedekatan emosional dengan masyarakat Mandar. Terlebih lagi ia pernah mengbbdi di Majene kurang lebih delapan tahun lamanya. Ia sangat bangga ketika kawasan Mandar (besar) telah menjadi satu provinsi tersendiri. Dan Majene yang paling awal mengeluarkan surat dukungan secara resmi berupa “Rekomendasi Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat yang di tandatangani oleh Tadjuddin Noor[1].



[1] Sarman Sahuding, 2006

Profil Singkat Drs. H. Tadjuddin Noor, MM. Sejarawan Yang Jarang di Tulis Sejarah (1)



Tak hanya datang dari dirinya sendiri, dalam tubuhnya mengalir darah kepemimpinan, pemerintahan dan militer. Juga sebagai anak bangsawan Jeneponto, tak salah ketika menjadi Ketua senat Fakultas Ekonomi UNHAS, ia gigih memperjuangkan nasib ribuan mahasiswa akibat sistem pembelajaran yang sangat tak profesional. Karena jiwa besarnya itu, Drs. H. Tadjuddin Noor, MM.[1], sebelumnya lebih memilih “Berjuang Hidup” di Jakarta, tapi rupanya garis tangan berkehendak lain. Ia dibutuhkan di jalur PNS di provinsi Sulawesi Selatan, hingga dengan begitu selama proses pengembangannya di birokrasi dipercaya menjabat Sekda di dua daerah. Termasuk ia tak bisa menolak ketika dipilih menjadi Bupati Majene (1995-2001). Diusianya yang masih relatif muda, ia menduduki posisi penting.
Haji Mallillingang Karaeng Togo-Togo adalah kepala distrik di Jeneponto. Tokoh bangsawan Jeneponto ini menjabat tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-A D). Istrinya, Hj. Hanona Daeng Lele. Kedua keturunan adat besar Makassar inilah yang melahirkan Tadjuddin Noor, tepatnya tanggal 20 Agustus 1947, di Jeneponto. Tak sempat selesai ia sekolah dasar di Jeneponto, sebab ayahnya lebih memilih agar ia melanjutkan sekolahnya di Makassar. Di Kota Daeng, ia dibesarkan oleh pamannya, Brigjen (Purn) H. Alim Bachrie.
Setelah tamat SD Mamajang, melanjutkan pendidikan SMP I Makassar. Tadjuddin Noor harus sering berpindah sekolah. Hanya beberapa semester di SMA Katolik Rajawali. Kemudian pindah ke SMA I Makassar, dan tamat disana. Sejak kecil sangat gemar bermain bola kaki.
Dari segi pelajaran, ia memang tak terlalu menonjol. Tapi ada beberapa bidang studi yang ia suka seperti, aljabar, ilmu bumi. Sejarah. Dari mata pelajaran inilah ia banyak mengenal pahlawan-pahlawan nasional. Bahkan ketika SMA dulu, ia menulis panjang sejarah masuknya penjajah di Indonesia. Ia ingat, tahun 1594 adalah awal masuknya penjajah Belanda di  nusantara. Seorang yang bernama, Cornelius De Houtman dan Rafless. Bahkan, dalam tulisannya itu, pada 1908 Belanda memperkenalkan politik etis. Termasuk ia juga menulis kedatangan Inggris dan Jepang.
Dari pendalaman sejarah, ia lalu memahami banyak hal padahal masih di bangku sekolah menengah. Penjajah dulu memang kejam. Penjajah sangat pintar mengadu domba, lalu muncullah pemberontakan-pemberontakan di daerah. Ini cara untuk merusak kesatuan bangsa kita. Tapi hampir semua daerah di nusantara tetap gigih membela tanah air. Termasuk di Mandar. Sebutlah misalnya Ammana I Wewang dan Andi Depu. Belanda dengan licik menangkap mereka.  
Bakat kepemimpinannya sejak di SMP sudah nampak, mungkin karena dari sekian bersaudara, hanya dia yang kerap mengikuti jejak ayahanya selaku kepala distrik, ia ikut ke mana ayahnya pergi. Sejak SD sudah dipercaya menjadi ketua kelas, hingga SMP.
Dalam perjalanan hidupnya, ada satu kisah yang menarik dan sangat berkesan, ketika masih di SMP. Ada guru yang paling memberinya kesan yang amat berharga. Namun guru itu, pindahan dari Kabupaten Majene. Di SMP 1, guru ini menjabat sebagai Direktur (kepala) SMP Negeri 1 Makassar. Sangat menetapkan kedisiplinan, jam 7 pagi harus ada disekolah. Guru inilah yang paling banyak membangun karakter pemimpin Tadjuddin muda. Ia sangat kagum kepadanya.
Sejak muda Tadjuddin sudah aktif di perkumpulan pemuda pelajar, aktif di KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia). Ketika kuliah ia aktif di KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiwa Indonesia) di UNHAS. Di UNHAS, ia memilih Fakultas Ekonomi. Ia terbilang aktivis handal di Unhas, sampai-sampai pada pemilihan Ketua Senat Fakultas Ekonomi dipilih menjadi Ketua Senat, Ketua senat pertama HM. Yusuf Kalla. Tadjuddin Noor dan kawan-kawan aktifis lainnya banyak terhimpun dalam wadah ekstra, HMI.
Dalam sejarahnya, Perguruan Tinggi Negeri yang terdepan di Indonesia bagian timur ini, tokoh-tokoh besar pernah menjabat sebagai Rektor UNHAS. Berturut-turut, Arnold Manuhutu, Prof. Mr. Muhammad Natzir Said, Prof. Hashib, Prof. Dr. Fahruddin, Hasan Walinono, Prof. Dr. Basri Hasanuddin, Prof. Dr. Radi A. Gani.
Dari sekian banyak perjuangannya, ada satu yang paling tak bisa dilupa, memperjuangkan perubahan kurikulum. Kurikulum sangat membebani mahasiswa waktu itu. Kurikulum mensyaratkan dari tingkat satu ketingkat dua, dari tingkat dua ketingkat tiga, dan seterusnya hingga ujian sarjana-tiap satu tahun, semeter satu dan dua, terdapat 12 mata kuliah.
Untuk bisa dinyatakan lulus dan naik ke tingkat selanjutnya, 12 mata kuliah itu harus lulus semua. Jadi kalau ada satu atau dua lagi, mata kuliah tak lulus itu harus diulangi selama dalam satu tahun akademik. Jadi bayangkan selama satu tahun hanya datang dikampus mengikuti mata kuliah yang tak lulus tahun sebelumnya. Itupun belum ada jaminan ketika ujian bakal lulus, itu berarti bisa jadi hanya satu atau dua mata kuliah saja. Mahasiswa akan mondar mandir ke kampus hingga tiga tahun.
Hitung-hitung dari segi waktu lamanya kuliah, bisa mencapai 10 tahun atau lebih. Meski pun tak pernah lalai kuliah dalam satu hari. Bisa-bisa rambut putih mahasiswa bermunculan di kampus, artinya betapa lamanya di kampus hanya karena penerapan sisitim kurikulum ini. Dari segi biaya, apa lagi. Hanya mengurusi mata kuliah yang tak lulus, bisa-bisa kerbau, sapi, sawah, kebun, ludes dilego orang tua di kampung demi untuk bayar kuliah tiap tahun hasilnya juga tak beranjak dari satu tingkat. Konsekwensinya, jangan berharap cepat selesai seperti yang direncanakan ketika masih di kampung dulu.
Maka jangan heran kalau dahulu itu persentase kelulusan mahasiwa sangat rendah. Misalnya, dalam satu tingkat ada 200 mahasiswa, persentase kelulusan paling sekitar lima sampai tujuh persen, ini sangat rendah. Akibatnya, jumlah drop out (DO) sangat tinggi. Banyak mahasiswa yang prustasi.
Tadjuddin selaku Ketua Fakultas Ekonomi bersama kawan-kawannya berjuang merubah sistim kurikulum itu. Ketika Prof. Dr. Achmad Amiruddin diangkat sebagai Rekor Unhas, sewaktu- waktu melakukan kunjungan ke setiap fakultas dari sembilan Fakultas. Materi yang banyak didialogkan adalah sistim kurikulum tadi. Rekor pun kaget. “Kasihan dong kalau begitu. Dan yang tak lulus, waktunya digunakan untuk apa, jadi selama satu tahun hanya mengurus satu mata kuliah yang tak lulus “. Tanya rektor, kaget.
Dan semua sepakat untuk merubah kurikulum tersebut, suatu waktu di adakan seminar tingkat universitas untuk membicarakan sekaligus merubah sistim kurikulum, dan sejak saat itu berlakulah sistim kredit. Perjuangan inilah yang sangat terkesan selama menjadi Ketua Senat Fakultas Ekonomi UNHAS. Tentu masih banyak agenda perjuangannya di luar kampus.
Selama di kampus, Baraya kampus tua UNHAS, ia banyak menimba ilmu dari Prof. Dr. Basri Hasanuddin, MA. Tadjuddin Noor sangat mengidolakan putera asal Mandar itu. Belum begitu lama pulang dari Filipina, saat Tadjuddin ujian sarjana Prof. Basri turut menguji sekaligus ujian pertama setibanya di UNHAS. Penguji lainnya termasuk Prof. Burhamsah, Prof. Halide, Prof. Wimpoly, dan Prof. Latandro. 
Tahun 1976 berakhir semua mata kuliah. Karena itu harus ikut Kuliah Kerja Nyata (KKN), tahun berikutnya lengkap sudah Tadjuddin sarjana. Sudah seperti tradisi mantan-mantan aktivis kampus UNHAS, lepas kuliah angkat koper ke Jakarja. Mereka-mereka, mantan aktivis hidup di Jakarta. Bertemu teman-teman di Jakarta, Karaeng Tadjuk, sapaan kecilnya kerap dipanggil. Pak Ketua, panggilannya ketika di UNHAS. Alumni Fakultas Ekonomi UNHAS, Ikatan Alumni Fakultas Ekonomi mereka bertebaran dimana-mana. Ada yang sudah bekerja. Ada juga yang masih sibuk melamar pekerjaan, ada yang melamar di bank-bank swasta, perusahaan asing, dan kantor-kantor di departemen.
Saat itu Prof. Dr. Ing. B. J. Habibie sebagai Menristek RI. Dan tak lama lagi akan diresmikan Badan Pengkajian Dan Penerapan Tekhnologi (BPPT), meski kantornya dan kapasitas lembaga itu sudah siap. Begitulah keramaian ibukota. Seorang kawan mengenal kita, tapi kita tak mengenalnya. Begitu pula sebaliknya. Saihuddin, Alumni Fakultas Ekonomi UNHAS, teman seangkatan Prof. Basri  ini rupanya satu daerah dengan Karaeng Tadjuk, dari Jeneponto. Saihuddin dengar kalau Tadjuddin Noor ada di Jakarta, Alumni FE Unhas. Cari cari dan cari.
Seorang kawannya yang baik memberitahukan kalau Saihuddin itu sangat membutuhkan Tadjuddin. Tapi dasar tak suka cari-cari muka sama orang, ia ingin mendengar kabar itu. Tadjuddin cuek saja. Singkat cerita, pertemuan pun terjadi. Saihuddin rupanya sudah lama akrab sama Habibie. Dan hasrat ketemu Tadjuddin, itu pula karena tugas yang diberikan Habibie. Katanya ada beberapa buku ekonomi yang dicari Menteri Habibie, delapan judul buku. Tapi demi panggilan Korp. FE UNHAS dan itu pula atas didikan yang diperolehnya ketika masih kuliah dulu, ia pun luluh.
Saihuddin minta tolong kepada Tadjuddin untuk dicarikan buku yang dibutuhkan Menteri Habibie. Maklum, Tadjuddin mantan Ketua Senat FE, dan baru lepas kuliah, pasti masih luas jaringannya dalam hal referensi ilmiah. Tadjuddin minta waktu dua hari.
Pertemuan pada malam hari itu pun disudahi, dan Tadjuddin pamit. Cari di perpustakaan UI di Salemba. Temui aktivis di Universitas Indonesia. Keliling ke toko buku di Jakarta. Ia juga mendapatkan dari bekas dosen-dosennya termasuk dari Prof. Halide. Persis buku yang dicari Prof Halide, sebab ia juga telah ujian Doktor, promotornya waktu itu Prof. Tatari-Rektor ITB Bogor. Termasuk ia dapatkan buku pemenang hadiah nobel bidang ekonomi. Didalamnya itu dikupas mengenai Gorhan Michdeer, peraih hadiah nobel bidang ekonomi tahun 70-an, berkebangsaan Jerman, buku yang amat populer masa-masa itu.
Genap delapan  buku didapatkan Tadjuddin dalam dua hari tepat dead line yang dijanjikan kepada Saihuddin. Saihuddin mengajaknya menghadap ke Habibie di kantornya. Menuju ke lantai tiga, ruang kerja Kepala BPPT, Prof. Dr. Ing B. J. Habibie. Tadjuddin duduk di ruang tamu, sementara Saihuddin menuju ke ruang kerja Habibie memperlihatkan buku yang dibutuhkannya. Dari dalam kamar kerja yang hanya berbatas kaca, Habibie sudah tahu orang yang menemukan buku itu, ditambah penjelasan Saihuddin tentang Tadjuddin.
Sembari menunggu di ruang tamu, Tadjuddin berdiri mendekat memperhatikan sebuah prototipe pesawat yang panjang diatas meja ukir. Prototipe pesawat Air Bus A-300 yang akan segera diluncurkan tahun ini. Ia tertarik sebab disebelahnya juga terdapat Pesawat Boing 747. Di saat asyiknya itu, tiba-tiba Habibie sudah berdiri di belakangnya Tadjuddin Noor.
Dari balik kaca pembatas itu Habibie sudah tahu kalau “tamunya” ini asyik memperhatikan contoh pesawatnya. Habibie menyapa,
Senang ya ama pesawat ?. Kata Habibie singkat.
“Senang dengan prototipe Air Bus A-300, sebab baru saja kemaren dibaca di Kompas dan Tempo, ini akan memperkuat dirgantara dunia. Dan pesawat ini akan menyaingi Boing 747”. Jawabnya Tajuddin dihadapan Habibie yang perencana pesawat Air Bus A-300.
Di dunia dirgantara, Habibie memang terkenal dengan “Teori Habibie keseimbangan dan kerekatan”. Dia ahli keseimbangan sayap pesawat atau biasa disebut reunetika. Waktu silam, ketika masih di Jerman, ada satu pesawat yang akan di terbangkan dari Franfurk ke Berlin. Tapi pada sayap pesawat itu ada kerekatan.
Semua ahli penerbangan mengatakan pesawat ini tak layak terbang. Tapi Habibie yakin, kemudian memberi rekomendasi bahwa pesawat ini bisa diterbangkan, tanpa ada gangguan dengan perhitungan sesuai dengan teorinya. Pesawat diterbangkan, dan selamat hingga di Berlin. Di ruang tunggu Habibie, selama 15 menit mereka berdialog tentang pesawat.
Saatnya masuk pembicaraan inti,
Udah biasa ke sini ?. Tanya Habibie kepada Tadjuddin.
Baru 2 minggu di Jakarta setelah tamat di FE Unhas langsung ke Jakarta, “ Jawabnya.
“Kok bisa dapat buku yang saya butuhkan”. Tanya lagi.
Tadjuddin menjelaskan proses pencariannya, dari teman-teman, tokoh buku, dan dari guru besanya. Habibie tanya lagi,
Uda kerja,”
“Belum.”
“Tapi saya dengar sudah diusulkan oleh Pemprov. Sulsel untuk menjadi pegawai negeri.”
Sembari menulis sebuah catatan kecil, Habibie menawarkan kepada Tadjuddin Noor agar bekerja saja di BPPT. Usai perkenalan itu, catatan kecil itu tadi di suruh antar ke wakil kepada BPPT, Dr. Parlindungan Napitupulu, di lantai delapan. Parlindungan Napitupulu adalah orang kedua di BPPT ini, teman dekat Habibie di Jerman dulu. Di depan pintu kamar kerjanya tertulis Devisi Advans Teknologi Pertamina.
Nota itu pun diserahkan ke Parlin. Baru saat itu Tadjuddin tahu kalau isi catatan tadi adalah “perintah” agar Tadjuddin Noor di terima di BPPT, Jakarta. Perlin sempat bertanya, apa Tadjuddin ada hubungan keluarga dengan bosnya, Habibie. Segera dijawab tidak. Kenal juga baru tadi. Tapi karena dia sebut alumni FE UNHAS, Parlin pun mungkin mengait-ngaitkan, kalau sesamanya dari Sulawesi Selatan.
Siang itu menunjuk tanggal 27 Juli 1997.
“Kapan mau masuk kerja”, tanya Parlin.
“Bagaimana kalau saya masuk tanggal 1 Agustus saja”. Minta Tadjuddin Noor,
Ok”.
Di pagi-pagi buta, hari pertama kerja di kantor BPPT. Tadjuddin melongo. Luar biasa perhatian. Meja, kursi, lemari, kursi tamu sudah siap di ruang tempat kerjanya. Kurang percaya diri kalau dirinya harus disejajarkan dengan Saihuddin dan Staf lainnya yang sudah lama bekerja di kantor ini. Tapi begitulah kenyataan yang dihadapi Tadjuddin Noor. Parlin Napitupulu memberi tugas pada Tadjuddin. Inilah tugas pertamanya mungkin pula ini uji coba, begitu yang muncul di benaknya. Ia diminta ke Kantor Sekretaris Negara (Setneg) menanyakan Kepres Pembentukan BPPT. Esok hari menuju ke Kantor Setneg.
Tapi sebelumnya, ia meminta sepucuk surat di Bagian Tata Usaha BPPT, dalam isi surat itu menyatakan benar kalau ia ditugaskan ke kantor Setneg. Ini antisipasinya jangan sampai tiba di Setneg ia ditanya mana buktinya kalau ia ditugasi BPPT. Jeli juga Tadjuddin.
Di Setneg, seorang marinir menunjuk ke lantai 2, tempat kerja Kepala Biro Personalia, seorang Mayor Jenderal Angkatan Darat. Ia perlihatkan surat tugas dari BPPT.
“Ini sudah dimasukkan ke meja presiden (Presiden Soeharto), tapi biasanya kalau beliau masuk kantor paling 7 kepres ditandatangani,”. Jelas Kepala Biro.
Lagi-lagi indra keenamnya berfungsi. Ia meminta arsipnya Kepala Biro memberitahu stafnya untuk diberikan foto copy arsip Kepres mengenai BPPT, ia bersyukur begitu mudahnya diberikan copy-an. Kepala biro, Setneg bilang, tunggu saja beritanya atau tanyakan dua atau tiga hari kemudian.
Tiba di ruang kerja Parlin, di jelaskan hasil perjanannya di Setneg, termasuk copy-an arsip kepres itu. Ini yang di tunggu. Parlin Napitupulu segera menghadap ke Habibie, dan sebentar lagi Kepres segera turun. Hanya berselang sehari-mendahului waktu yang dijanjikan Kabiro Personalia Setneg-Keppres sudah ditandatangani Presiden RI. Tadjuddin kembali ke Setneg mengambil Kepres itu. Semua gembira. Tujuh hari kemudian dibentuklah secara resmi BPPT.
Berjalan tiga bulan bekerja di BPPT, H. Alim Bachrie ke Jakarta menemui Habibie. Tapi pamannya ini pun tahu kalau anak keponakannya itu bekerja di kantor Habibie. Dengan serta merta pun paman Alim mengajaknya kembali ke Makassar. Kata pamannya, SK PNS (Pegawai Negeri Sipil) sudah ada di kantor Gubernur Sulsel.  
Tadjuddin begitu berat memilih. Meniggalkan kantor BPPT, sementara yang mengajaknya bekerja disitu adalah Menristek dan Kepala BPPT langsung, Habibie. Sungguh berat. Sementara yang mengajaknya pulang adalah pamannya sendiri, orang yang membesarkannya. Ditambah ayahnya sangat risau di Makassar.
Tadjuddin memilih pulang, tapi satu kesan yang tak akan dilupa sepanjang hidupnya. Ia pernah “dekat” dengan Habibie yang pernah menjadi Presiden RI keempat.
Di Makassar, ia ditempatkan di kantor Bappeda Sulsel, waktu itu Malaka sebagai Kepala Bappeda, dan Manawi AS sebagai sekretaris. Tak lama ia di pindah menjadi Kepala Bagian Pengadaan dan Distribusi di Biro Perlengkapan Kantor Bupati Sulsel. Disitu menjabat beberapa tahun.


[1] Bupati Majene Periode 1996-2001