Koa-koayang berasal dari nama koa', sejenis burung yang sudah jarang ditemukan dan hampir punah.
Burung koa ini mempunyai ciri
berbadan besar, terbang tinggi sekuat tenaga. Menurut Nurdin Hamma (budayawan
Balanipa), selain 'koa' burung ini
dahulu dijuluki 'kali arung' (kali
artinya kadhi atau hakim dan arung adalah yang dituakan atau pemimpin). Burung
kali arung ini diberi kesempatan oleh tuhan meluruhkan seluruh bulunya dan
mentakdirkannya jatuh sebelum menggapai arasy.
Dahulu kala, koa-koayang dikenal dengan nama 'pammanu-manu',
ini menjadi ritual pada acara pernikahan di Mandar. Pammanu-manu ini dilaksanakan pada malam setelah proses akad nikah
disiang harinya. Mempelai wanita dipakaikan kostum dari sarung yang tak dikenal
oleh mempelai laki-laki. Sehingga lelaki harus mencari dan mengejar wanitanya
sampai ia dapatkan. Ini menjadi sebuah ritual pernikahan yang mengandung
hiburan.
Perjalanan selanjutnya kemudian
dieksflorasi menjadi seni pertunjukan seni tradisi parrawana tommuane yang kemudian dinamai pakkoa-koayang. Pada fase ini pakkoa-koayang
menjadi sebuah seni pertunjukan yang berlangsung puluhan tahun dan tampil
kadang dibuatkan panggung. Untuk saat ini, kelompok parrawana tommuane yang masih melestarikan tradisi ini adalah kelompok
rebana yang ada di Lamase Kec. Tinambung.
Pakkoa-Koayang pertama kali diangkat dalam seni teater
oleh kelompok Teater Flamboyant (TF) yang diberi judul Koa-Koayang. Sutradara Teater Koa-Koayang awalnya Amru Sa'dong sekaligus penulis naskahnya tahun 1997, lalu adaptasi
naskah Koa-koayang yang ditulis Rahman Baas pada pentas
teater di TMII Jakarta tahun 2010 yang
di sutradarai oleh Ramli Rusli beberapa kali. Kemudian pentas trater koa-koayang 2014 kembali di Jakarta
disutradarai oleh Candrawali, kemudian teater
koa-koayang 2015 di Mamuju kembali sutradarai oleh Ramli Rusli.
Tahun 1997 itu menjadi momentum paling
bersejarah karena lewat penampilan dipentas seni teater di IAIN Sunan Kalijaga
Jogyakarta ini, melahirkan sebuah konsep cerdas mengenai pembacaan kondisi
bangsa Indonesia dibawah pemerintahan Soeharto selama 32 tahun. Lewat bangsa koa-koayang dari Mandar ini sampai pada
simpulan bahwa Indonesia selama ini berada di selangkangan elit yang tak serius
dan kesalahan paling besar terletak pada ketidak seriusannya dalam pengertian
tidak boleh berfikir normal dalam situasi tidak normal.