Oleh Adi Arwan Alimin
Maut mengapung dari Selatan
pada mula, ketika sena memanggul bedil, bertandang mengusung dendam jenggala, di mana para bangsawan linglung sendiri, inikah senjakala. Itu rasa tamak kuasa yang memendar dari ubun-ubun. Selaksa joaq jannangan menanam betis.
pada mula, ketika sena memanggul bedil, bertandang mengusung dendam jenggala, di mana para bangsawan linglung sendiri, inikah senjakala. Itu rasa tamak kuasa yang memendar dari ubun-ubun. Selaksa joaq jannangan menanam betis.
Siapa berani menantang dadanya, pada hunus segala serdadu,
yang membakar Soreang, hingga Arajang melayang titah, siapa berani, akan
menuai, siapa sanggup majulah, siapa pantas maka, datanglah lelaki itu di bawah
cemooh, para pemangku tertawa meski tangan mereka diketiak, lelaki itu terus
saja, tak peduli sebab cintanya.
Ia membakar rasa malu, tak sanggup berkalang kekalahan,
inikah kecamuk paling akbar di tanah ini, apakah akan menyudahi garis nasab,
inikah akhir masa lalu, lelaki itu tak pernah mundur setapak, ia terus saja
menjejak lututnya. Sebab mair, akan menghapus seluruh jejak moyang. Dari jauh
senja menganvaskan titimangsa.
Tarrauwe kerap kuyup berdarah. Diterpa serbu seribu bendera,
dari laut, dari tapak, dari tebing, dari ambisi, dari khianat, dari lolong
tangis, dari cemas, dari dendam, dari mati, dari apapun. Lelaki itu tetap
mengapung di pucuk-pucuk senjata, ia menerima wasiat dari Lapuang. Genta yang
membuatnya tiada terjamah.
Ketika senjakala berganti, sambolangiq itu menampuk kuasa,
sepotong kadar memantik cemburu, tangannya getar, tetumbuhan kembali hijau,
namun syair merayunya galau, kalindaqdaq membuatnya limbung, kekerabatan pesai
diamuk kasmaran, tetapi ini bukan cinta. I Pura Paraqbueq menampik mahkota.
Ini bukan wasiat, hanya kabar purba. Bagimu mengeja laku
yang sudah, agar tak ajal setiap hitungan. Dalam getir Daeng Rioso, I Sorai
menagihmu pedih. Melampau syair perang...
Mamuju, 27 Januari 2017