Minggu, 22 Januari 2017
Video: KACAPING MANDAR ALA BAMBA TIPALAYO
Kacaping atau pakkacaping adalah salah satu
pertunjukan kesenian tradisional Mandar yang kerap ditampilkan pada acara
perkawinan, khitanan dan acara adat atau oleh seseorang yang mempunyai nadzar atau tinja’. Kesenian
yang satu ini sejak era 2000-an telah mengalami kelangkaan pertunjukan karena
tergerus oleh pengaruh budaya modern dan kurangnya perhatian
generasi muda dalam mendalami dan meneruskan kesenian ini. Bisa jadi juga
karena tingkat kesulitannya terlalu tinggi bagi seorang seniman untuk memainkan
jenis kesenian ini.
Dalam setiap acara, pakkacaping
dibarengi dengan menampilkan pi’oro yang
terdiri dari kumpulan gadis-gadis cantik yang duduk di depan (jarak 3-4 meter)
dari pakkacaping. Pakkacaping memainkan
alat musik ini, dan mattedze (lagu
yang dilantunkan secara spontan oleh pakkacaping
yang banyak memuat sanjungan kepada gadis-gadis cantik di hadapannya). Lagu yang
dinyanyikan dengan gaya khas tuturan ini juga menyindir penonton (para pemuda,
tokoh masyarakat, tokoh adat atau pejabat pemerintah) untuk mappa’macco’ (saweran
dengan uang tunai, kadang berupa barang dan diletakkan di hadapan pi’oro.
Gadis gadis pi’oro tersebut
menjadi sumber inspirasi bagi pakkacaping
dalam melantunkan lagu-lagunya yang menggoda dan menyindir penonton/tokoh yang hadir.
Para penonton yang kena sindiran (di tedze)
akan berlomba mendatangi gadis untuk mappa’macco’. Untuk pa’macco’, selain
untuk gadis-gadis pi’oro, para
penonton juga tidak lupa meletakkan uang ditempat yang sudah disiapkan oleh
tuan rumah/panitia (biasanya baki besar).
Para pa’macco’ akan
bersaing untuk membuat pi’oro yang
didukung, sehingga pada saman dahulu, kadang terjadi persaingan ketat antar pappa’macco’ dan tidak
jarang ada keributan mana kala ada yang saling mengejek karena gadis
dukungannya kurang sawerannya. Hasil saweran didepan gadis pi’oro menjadi hak
pi’oro, dan yang
di baki besar menjadi hak penyelenggara atau tuan rumah.
Para pakkacaping selain mattedze gadis pi’oro, kadang
juga membuat satu segmen lagu untuk mattolo’. Materi tolo’ diambil dari cerita rakyat, cerita jenaka, cerita para pejuang dan
pahlawan yang mappatumballe’
lita’ Mandar.
Alat musik yang di pakai dalam pertunjukan ini adalah kacaping (kecapi) yang bentuknya seperti
gitar tapi agak panjang dan ramping serta talinya hanya dua. Personilnya minimal 4 orang yang terdiri dari 2 orang bagian alat
musik (sound) dan 2 orang lainnya
sebagai penyanyi. Adapun busana yang digunakan untuk pemain dan penyanyinyi
adalah baju, celana panjang (kadang sarung sa’be
Mandar),
kopiah (kadang juga pengikat kepala). Sedangkan bagi gadis-gadis pi’oro didandani secantik mungkin dengan memakai pakaian adat, baju pokko, sarung sa’be dan
aksesoris lain yang dianggap perlu dengan tetap bernuansa budaya Mandar.
VIDEO: Parrawana Towaine ala Bamba Tipalayo
Rawana atau parrawana (rebana) adalah sebuah jenis pertunjukan
yang ada di Mandar. Jenis alat dan pertunjukan ini mulai ada ketika islam masuk
di Mandar dan dalam perkembangannya, pertunjukan ini kerap kali mengiringi atau
di pertunjukan ketika masyarakat mempunyai hajatan keagamaan seperti khataman
qu’ran dan mengiringi iringan pengantin.
Jenis pertunjukan ini dimainkan tidak hanya oleh kelompok
laki-laki atau parrawana tommuane tapi juga kelompok perempuan yang disebut
parrawana towaine yang dalam pertunjukan bisanya perempuan yang menabuh rebana
ini menggunakan kostum pakaian adat Mandar.
Baik parrawana tommuane maupun parrawana towaine, tabuhan rebana
dan syair lagunya semuanya mengandung pesan agama dan seruan-seruan moral,
seperti:
“Manu-manu di suruga, saicco pole
boi,
Allahmappettuleang, tosukku
sambayanna.....
Passambayammoqo naung, pallima
wattumoqo,
Allahiyamo tuqu pewongan di
ahera...”,dst.
Hanya saja parrawana towaine syair lagunya memakai bahasa Mandar
sementara parrawana tommuane menggunakan bahasa arab yang di ambil dari kitab
Al Barzanjiy seperti al burdah (burudah), tananka, asyrakah dll. Selain itu,
tabuhan rebana pada pertunjukan parrawana
tommuane tersirat kalimat tahlil,
misalnya, tabuhan “de’
dung de’ dung de’ de’
dung...” Ketukan ini menyiratkan untaian “laa ilaha illallah...”.
Alat musik yang digunakan adalah rawana besar dan kecil, terbuat
dari batang kayu yang di bentuk sedemikian rupa dengan bagian sisi depannya di
bungkus kulit kambing (pakolong) yang sudah dikeringkan,sedangkan personilnya
terdiri dari 8 sampai 15 orang yang semuanya di haruskan menyanyi mengikuti
irama rawana.
RUMPITA : DARI BUMI PA'BICARA KE NEGERI TANETE TAMBOTTU TAPPALANG
Catatan Muhammad Munir
Terhitung mulai jum’at-sabtu
dibilangan tanggal 20-21 Januari 2016, Rumpita resmi menyapa masyarakat dibumi
Tanete Tambottu. Tim Kreatif RUMPITA dan Lentera RUMPITA Majene mencoba
mengurai dan mengelaborasi bentuk pengabdiannya menyapa generasi Tappalang,
salah satu dari wilayah adat yang tercatat dalam gugusan litaq Ba’bana Binanga
dalam konfederasi Mandar pada tahun 1580-an di Balanipa. Kendati Tappalang
sendiri adalah rumpun keluarga dari Ulusalu dari garis keturunan neneq Tambuli
Bassi. Namun menjadi satu lewat RUMPITA sebagai perekat penyatuannya dalam
memesrai litaq pembolongang.
Hari Sabtu 21 Januari 2017, tak ada hujan deras mengguyur sebagai penghalang, tak juga ada badai
yang menghantam. Yang ada hanya waktu yang serba sulit untuk dibagi ditengah
perampungan beberapa naskah buku yang akan naik cetak di Triwulan Pertama 2017
ini di Polman dan Majene. Rasanya sudah pesimis untuk bisa memenuhi panggilan dari adik-adik Lenetera
Rumpita untuk menyambangi Tappalang. Ada usulan untuk diundur ke tanggal 28
Januari sebab pada tanggal 29 ada agenda di Mamuju kota. Usulan tersebut
ternyata ditampik dengan mengirimkan armada mobil untuk angkut buku dari
Tinambung ke Tappalang.
Itulah Ade, sang pemilik mata indah dari genetik neneq Tambuli Bassi di Taang
ini bersikeras untuk menggolkan agendanya di Tappalang.
“ SMA Negeri 1 Tappalang dan anak-anak di
Desa Taan dan Kasambang terlanjur mengharapkan kedatangan Tim Kreatif RUMPITA
untuk bisa berbagi pahala sosial lewat aksi gelar buku dan bincang literasi di
SMA Negeri 1 Tappalang”.
Katanya Ade Irma Yuniar. Tentu saja kondisi tersebut mau tidak mau harus menyiapkan TIM
Kreatif Rumpita untuk bisa menghadiri agenda tersebut. Dan benar saja, Nursaid
Nurdin tiba-tiba mengambil keputusan, “Kita
harus terima panggilan itu kanda, tidak bisa tidak sebab mereka juga adalah
bagian dari anak negeri ini yang berhak mendapatkan apa yang bisa kita berikan
kesana”. Tak ayal lagi, Adnan Wardihan, Asrar, Alling mengambil langkah dan
berkemas untuk menempuh perjalanan panjang yang membutuhkan durasi sampai 2 jam
naik kendaraan bermotor.
Ade Irma Yuniar, Asmawati, Tuti, Mila, dkk ternyata sudah menunggu disana. Kekhawatiran jangan-jangan mereka menunggu membuatnya harus berangkat lebih dulu. Dan ternyata benar. Mereka sudah dalam penantian untuk bisa menepis rasa malu jika tak ada personil RUMPITA yang kesana. Anehnya, tak tampak sama sekali rasa susah atau apapun yang tergurat di wajah Nursaid dkk. Mereka bahkan penuh semangat dan kegembiraan. Baik Nursaid dkk maupun mereka yang di Tappalang rupanya sangat senang mendengar kegiatan ini tak ditunda.
Gelar Buku dan Bincang Literasi di Tappalang ini ternyata sangat membakas di wajah-wajah kecil yang polos itu. Dari mereka ditemukan talenta baru dan anak-anak yang sangat gembira mengikuti aksi gelar buku dari personil Rumpita. Hingga sampai pada kesimpulan bahwa RUMPITA harus bisa menjadi katalisator budaya literasi di Tappalang yang memang sudah punya fasilitas SUDUT BACA di SMA negeri 1 dan dibeberapa desa di Kecamatan Tappalang.
Selain upaya menebar virus literasi dalam artian mendekatkan akses bacaan ke masyarakat, muncul juga keinginan untuk mendalami jejak-jejak peradaban di BUMI TAPPALANG. Begitulah yang menjadi tradisi di RUMPITA pada setiap kunjungannya disebuah tempat. Mereka adalah insan-insan yang tak ingin dikatakan generasi yang gagal paham, menggendong lupa dan sejenisnya. Mereka sebisa mungkin menelisik dan mengorek kedalaman untuk bisa menemukenali sukma sebuah daerah. Hingga sebuah pertanyaan muncul dalam benak mereka, mengapa disebut Tappalang?
Menurut beberapa peneliti dan cerita tutur
yang berkembang dimasyarakat bahwa Tappalang adalah salah satu komunitas
masyarakat yang peradabannya sudah berkembang pada abad ke-12. Abad ke-12
tersebut eksistensi masyarakat adat Tapalang telah terwujud. Masyarakat adat Tapalang
memiliki kebudayaan lengkap dengan norma dan aturan, memiliki sistem interaksi
sosial, sistim ekonomi dan sistim pemerintahan yang dijadikan pedoman dalam
kehidupan bermasyarakat. Mereka hidup
rukun, aman dan damai, semangat gotong royong, persaudaraan dan kesetiakawanan dijunjung
tinggi. Masyarakat hidup saling menghargai dan tolong menolong. Yang membuat
Tappalang tak terekspos sebab masyarakat lebih kental dengan budaya tutur.
Sejarah asal Tappalang mempunyai banyak versi
yang berkembang. Namun, yang banyak dijadikan referensi adalah ketika seorang lelaki
dari Tabulahang bernama Tambuli Bassi bersama
rombongan melakukan perjalanan melalui Tanete
Tambottu (gunung yang tidak terputus) hingga tiba di suatu tempat yang bernama
Karatuang (kaki bukit Dusun Tamao Desa Tampalang). Di tempat itulah berakhirnya
perjalanan Tambuli Bassi dimana tongkat dari bambu emas itu ditancapkan dan berkata
dalam dialek rumpun bahasa ulunna salu "diami
inde tampa' lalangtaq" (disinilah ujung perjalanan kita). Sampai sekarang
wilayah ini dikenal dengan sebutan Tampalang atau Tappalang yang berarti ujung
jalan.
Diujung jalan itulah RUMPITA kini berhenti sejenak. Berhenti untuk
kemudian mengatur langkah bagaimana mendesai wilayah ini agar tak saja ada,
tapi juga diakui sebagai sebuah wilayah yang dahulu berdaulat dan menjadi pusat
peradaban di Mandar. Inilah kerja-kerja RUMPITA kedepan. Literasi mesti menjadi
sebuah gerakan kolektif untuk tidak saja berhenti pada target membaca dan
meningkatkan minat baca. Namun yang terpenting bagaimana mereka yang hari ini
membaca, kedepan bisa menulis minimal menulis apa yang pernah terjadi, yang
terjadi saat ini dan yang akan terjadi kedepan. Itulah nilai paling hakikat
dari sebuah gerakan literasi.
Langganan:
Postingan (Atom)