Selasa, 17 Januari 2017

MENJAGA PERSAUDARAAN WALAU BERBEDA ITULAH BHINNEKA TUNGGAL IKA





Oleh: Drs. Darmansyah[1]

Pertama-tama saya ucapkan terima kasih kepada adinda, Muhammad Ridwan Alimuddin (Pustakawan Armada Pustaka Mandar) yang telah dengan sudih bersilaturrahmi, memberikan tanggapan terhadap tulisan saya berjudul “Bhinneka Tunggal Ika Dalam Perspektif Mandar”. Beliau memberikan tanggapan di Radar Sulbar edisi 13 januari 2017 dalam halaman opini dengan judul “Apakah Kata “Tunggal” dalam Bhinneka Tunggal Ika Bahasa Mandar.
 
Tentu kita sepakat bahwa tujuannya adalah menjalin hubungan bersahabatan yang lebih akrab. Dan tidak setuju jika merusak hubungan silaturrahmi. Perbedaan pendapat bila disikapi secara arif dan bijaksana tentulah menambah keakraban diantara kita. Begitu juga perbedaan pendapat akan menjadi rahmat bila niatnya untuk menemukan ilmu pengetahuan demi kemaslahatan ummat.

Opini yang saya tulis di Radar Sulbar edisi 9 januari 2016 bukanlah semata-mata dilatar belakangi polemik di dunia maya atas pernyataan saya pada saat menjadi pemateri diskusi akhir tahun di gedung Assamalewuang kabupaten Majene, 30 Desember 2016. Sebelumnya juga menyampaikan materi yang sama pada orasi dengan tema Bhinneka Tunggal Ika dalam acara “Nusantara Bersatu” yang diselenggarakan oleh Dan Dim 1401 Majene di lapangan Prasamya Majene. Tulisan/Opini di Radar Sulbar lebih dari menjalin persatuan dalam keberagaman demi keutuhan NKRI yang didalamnya juga bagian dari suku, bahasa dan budaya Mandar.

Adinda sendiri mengakui bahwa pernyataan itu telah dikutip di media online, Mandarnews.com (30 desember 2016), dengan kalimat sebagai berikut “Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi semboyang Indonesia tidak berasal dari bahasa Sansekerta. Tapi berasal dari bahasa Mandar. Saya katakan Bhinneka Tunggal Ika berasal dari kata bahasa Mandar itu. Bhinneka tunggal, tunggal bahasa Mandar, Situnggalang. Bukan bahasa Sangsekerta itu Bhinneka Tunggal Ika, saya katakana bahasa Mandar. Tunggal mesa kan. Inggai situnggalang, berduel”. Tulisan yang sepotong-sepotong itu, bukanlah pernyataan yang utuh karena ada perdebatan, pertanyaan kemudian diklarifikasi.

Perlu diketahui bahwa acara yang digelar pada tanggal 30 desember 2016 itu, merupakan forum ilmiah. Dialogis yang sekali lagi merupakan diskusi, perdebatan, pertanyaan, dan klarifikasi yang utuh, bukan kutipan sepotong-sepotong. Dan kesimpulannya tentu ada pada panitia penyelenggara. Supaya pernyataannya sempurna saya berharap utuk tidak mengutip di media online, lebih baik bersilaturrahmi secara langsung.

Saya hanya mengingatkan kepada pembaca yang budiman akan pesan keimanan di dalam kitab kebenaran mutlak “Ya ayyuhal-lazina amanu in ja ‘akum fasiqum binaba’in fa tabayyanu an tusibu qaumam bijahalatin fa tusbihu ‘ala ma fa ‘altum nadimin: Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu (QS: Al-Hujurat; 6). Harus dijadikan pembelajaran bahwa berita yang tidak sempurna (tidak utuh), dipotong-potong lebih-lebih yang beredar di dunia maya, sering kali menimbulkan perselisihan. Apalagi jika didorong keegoisan pribadi, merasa pintar dan benar sendiri – orang lain bodoh dan salah. Tentu bukanlah itu sebagai warga Negara yang baik dan sangat jauh dari hakekat Bhinneka Tunggal Ika.

Alhamdulillah, adinda juga telah membenarkan bahwa kata “Tunggal” ada juga dalam kosa kata bahasa Mandar (paragraf-4) yang juga bisa ditemukan dalam kosa kata bahasa lain di Nusantara lalu mengutif beberapa daerah yang menggunakan juga kosa kata “Tunggal”. Dan saya pikir tidak ada salahnya, jika orang lain juga menggunakan dan mengakui sebagai bahasanya. Perlu diingat bahwa pada mulanya manusia berasal dari diri yang satu dan bahasanya pasti sama (satu), karena beranak-pinak (populasi) serta perkembangan peradaban, maka perkembangan bahasapun mengikutinya. Dan tidak menutup kemungkinan dikemudian hari, ada kosa kata bahasa Mandar yang diakui sebagai bahasa dunia.

Kamus bahasa Mandar yang disusun oleh Abdul Muttalib yang diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta (1977) tentu kita sependapat bahwa bukanlah satu-satu rujukan. Banyak kosa kata bahasa Mandar dan kaya makna tidak ditemukan dalam karya Abdul Muttalib.
 
Adinda Ridwan yang saya hormati !. Makna yang saya maksudkan dalam tulisan itu, khususnya pada paragraf pertama. Poinnya adalah, bahwa hakekat atau makna kalimat Bhinneka Tunggal Ika itu adalah semua budaya, bahasa, ras, suku, agama dan kepercayaan bersatu dalam Ke-Bhinneka-an. Beragam tetapi terbingkai secara tunggal kedalam NKRI. Adapun sejarah proses penciptaan lambang Negara Garuda Pancasila dengan semboyang Bhinneka Tunggal Ika, saya percaya kita semua juga sudah mempelajarinya.

Referensi dan atau rujukan terhadap Lambang Negara Garuda Pancasila dengan semboyang Bhinneka Tunggal IKa tentulah tidak sedikit diantara anak bangsa yang paham dan telah membacanya. Saya mempunyai pengalaman pribadi (tentu bukan kebanggan), pernah menjadi mahasiswa (S2) Pasca Sarjana pada jurusan Hukum Tata Negara (tidak selesai), juga pernah juara harapan 2 pada lomba pidato dan debat tentang Pancasila (Simulasi P4) tingkat Provinsi Sulawesi Selatan, mewakili kabupaten Majene (1994/1995). Dari pengalaman dan hasil kajian-kajian itu dapat menjadikan diri serta menunjukkan karakter yang mulia sebagai bangsa yang berdudaya.

Poin yang harus diambil dari semua tulisan serta pidato-pidato saya tentang Bhinneka Tunggal Ika, adalah agar kita sebagai warga Mandar tetap terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam upaya menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bukan hanya kata “Tunggal” yang harus dibesar-besarkan, sehingga melahirkan kesan, bahwa Darmansyah itu sebagai ketua DPRD kabupaten Majene, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Sulbar, Pendiri Taman Bacaan Bura’ Sendana, tidak paham Bhinneka Tunggal Ika.
Saya memohon ma’af kepada semua pihak, jika saya mengharapkan tanggapan akan adanya gagasan-gagasan baru, pemikiran-pemikiran baru, ide-ide baru yang cemerlang untuk mempertebal rasa persatuan dalam ke-Bhinnekaa-an dengan tujuan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bukan justru merusak hubungan persaudaraan diantara anak bangsa.

Masyarakat Sejarawan Indonesia Sulawesi Barat berencana bekerjasama dengan Universitas Hasanuddin (UNHAS) dan Universitas Sulawesi Barat akan mengadakan Silaturrahmi melalui dialog kebangsaan dengan tema “Bhinneka Tunggal Ika Dalam Perspektif Mandar”. Kepada semua pihak mulai dari Akademisi, kalangan profesi, politisi, sejarawan, budayawan, pelajar, masyarakat secara umum untuk mengikuti acara tersebut. MSI berharap semoga dalam acara itu dapat melahirkan pemikiran, gagasan, ide yang berasal dari tanah Mandar untuk Indonesia yang lebih baik. Jadwalnya akan diumumkaan kemudian.



[1] Pendiri Taman Bacaan Bura’ Sendana, Ketua DPRD Majene dan Ketua MSI Cabang Sulawesi Barat

Inilah Towaine Mandar

Penerbit Erlangga Berbagi Bacaan ke RUMPITA