Sabtu, 14 Januari 2017

CATATAN WAKTU LUANG : KATA, KOTA & KAMPUNG


Catatan : Muhammad Rahmat Muchtar

Kota dan kampung atau desa masing-masing memiliki pengaruh kuat bagi para pencipta karya sebagai sumber inspirasi yang kaya, unik serta istimewa dalam melahirkan karyanya lewat sastra, seni rupa, teater, tari, musik dll.
Bagi yang pernah mengalami pengembaraan berkarya didua wilayah (suasana kota & desa), magma pengalaman kreatifitas yang terkandung dan sudah bercampur tentu mempunyai ragam pijak melahirkan karya yang tergantung pada dimensi pengalaman apa karya itu terlahir. Pengalaman spiritual, memori serta gesekan sosial yang dalam disuatu tempat akan sangat berpengaruh untuk melahirkan suatu kata misal : pematang, savana dari latar desa, atau urban, gedung dari latar kota. Betulkah?
Dalam arena sastra, saya teringat Mas Imam Budi Santoso saat diskusi sastra lingkaran kecil di Omah Panggung Nitiprayan , Jogja 2005 lalu. beliau mengkurasi puisi-puisi saya dengan tajam bahwa, mestinya Rahmat lebih kuat menggali ikon-ikon laut dan Sulawesi terutama Mandar sebagai kekuatan kearifan lokal dan latar belakang yang membayangi proses pra Jogja. Itu berarti bahwa saya belum menemukan kondisi puisi yang matang terhadap penyerapan ruang sewajarnya dari pandangan latar tolakan berkarya dimaksud mas Imam..?
Pendalaman proses selanjutnya, saya merasa tidak bisa terpaksa untuk terlibat total merayakan cuaca kampung halaman, desa, etnisitas kedalam nafas karya, meskipun selama ini tidak sepenuhnya meninggalkan aikonik tersebut. Baik dalam lukisan maupun puisi. Bisa jadi karena nurani dan ladang kejujuran terhadap suatu kesan dan problem didalam diri berkarya sulit dibohongi & terasa ada yang malu dikedalaman jiwa kita bila hanya sekedar seolah-olah. tempaan waktu akan memboboti & menggiringnya.
Dulu saya masih keras batu akan upaya pengerucutan warna identitas pada sebuah karya (terlebih pada pemilihan symbol, majas & kata pada kondisi wilayah). Meski beberapa kenyataan telah naik daun diarena nasional seperti penyair D. Zawawi Imron sebagai salah satu penyair yang menetap didesa batang-batang, Madura. Majas dan ikonnya sangat kental bernuansa desa dan suasana dikampungnya. Seperti kata dan kalimat dalam puisinya : Nyiur, Madura Akulah Darahmu, Bantalku Ombak Selimutku Angin, Nyanyian Kampung Halaman dlsb.
Demikian karya “Abad yang Berlari” dengan suasana urban kota oleh “Afrizal Malna” yang meski berdarah Minang tapi lahir diJakarta.
Kata teman-teman lainnya, gimana nuansanya kita membuat puisi dengan memilih kata “SALJU” padahal kita sendiri tak pernah menikmatinya. Yaaah… itulah karya puisi dengan rasa, pandangan & pembelaannya masing-masing.
By. Mat, Januari 2017

ABDULLAH RASYID : Anak Kampung Yang Tak Kampungan (Bagian 2 Selesai)

         


         Abdullah Rasyid menjadi PNS sesungguhnya hanya menyiapkan berkas berupa bahan dasar saja tapi tidak pernah ikut tes. Ia lulus atas pertimbangan supaya ia tak lagi merongrong kewibawaan Orde Baru. Rafiuddin Hamarung, pejabat penting di provinsi saat itu punya peran penting dalam menaklukkan Abdullah Rasyid dengan cara di PNS-kan. Ia ditugaskan di lingkup Pemda Provinsi Sulsel satu atap dengan Rafiuddin Hamarung.
            Tahun 1982, umurnya belum genap 30 tahun, tapi pemerintah Kabupaten Pinrang begitu mempercayakan sebuah tanggung jawab yang sangat strategis dalam pemerintahan kabupaten. Semua yang namanya pengelolaan proyek harus melalui Abdullah Rasyid, termasuk ia jjuga yang menangani proyek-proyek inpres pembangunan jalan, bahkan dalam banyak urusan yang berkaitan dengan proyek-proyek besar dia yang ditugaskan bupati untuk loby ke Jakarta. Padahal dalam perjenjangan kepangkatan Abdullah saat itu baru 2B, belum sarjana lengkap.
            Lompatan karier Abdullah Rasyid tak bisa dipisahkan dengan pengembaraan gerakannya dan ketajaman intelektualnya sewaktu masih kuliah dulu. Tahun 1985-1990 ia menjabat sebagai Ketua AMPI Kab. Pinrang sekaligus terpilih sebagai Ketua KNPI Kab. Pinrang dan dijabatnya selama dua periode.
            Pada tahun 1990 ia di diangkat sebagai Kepala Dinas Peternakan Kab. Pinrang dalam usia belum mencapai 30 tahun. Setahun kemudian ia dipercayakan oleh Pemprov. Sulsel untuk ditugaskan sebagai Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Mamuju, dilantik pada tanggal 27 September 1991.    
Tiga hari setelah dilantik, keluar radiogram dari Mendagri di Jakarta meminta Abdullah Rasyid kembali ke Makassar untuk memperkuat kemenangan Golkar pada Pemilu 1992. Ia hanya cuti jadi Kepala Dinas untuk menjalankan tugasnya sebagai coordinator Bapilu Golkar Kab. Pinrang. Usai Pemulu, ia kemudian kembali ke Mamuju untuk bertugas sebagai Kepala Dinas Peternakan. Ia menjalankan tugas sebagai Kepala Dinas dengan kondisi betul-betul dari nol. Disebuah ruang kecil, hanya ada dua meja dan kursi, dibantu oleh 4 orang staf dan belum ada kantor tersendiri.
            Abdullah Rasyid menjabat Kepala Dinas Kab. Mamuju lebih sepuluh tahun. Ia membangun jaringan ke Jakarta dan hasilnya bisa dilihat pada bangunan Kantor Peternakan Kab. Mamuju yang merupakan kantor dinas  terbesar di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Ia banyak mendatangkan proyek-proyek luar negeri: bantuan Bank Dunia dan proyek-proyek dari Badan PBB, termasuk bantuan APBN sering didatangkan dari Jakarta ke Mamuju dengan menggabungkan beberapa kantor unit kerja, perkebunan, pertanian, peternakan menjadi Dinas Pertanian dan lagi-lagi ia dipercaya menjadi Kepala Dinas Pertanian. Ia menjabat di Peternakan dan Pertanian selama 12 tahun 4 bulan.
            Berkat upaya-upaya itu, ia kemudian berkesempatan mengenal tanah Eropa, Spanyol, Balanda dan sempat beribadah di tanah suci, Menunaikan ibadah umrah. Ia juga banyak mendorong para investor masuk ke Kabupaten Mamuju.
            Pada tahun ketiga ia menjabat Kepala Dinas pertanian, 1999, wacana pembentukan Kabupaten Utara mulai menggelinding kencang. Hal tersebut terus berkembang, hingga masyarakat kian memasifkan aspirasi politiknya menuntut perpisahan secara politik dan pemerintahan dengan Induknya Kabupaten Mamuju.
Pada tahun 2000, Agus Ambo jiwa, Jamil Barambangi, Marigun Rasyid, Musawir Azis Isham serta komponen pemuda lainnya dan tokoh-tokoh masyarakat ternama di Mamuju sudah mulai membentuk sebuah wadah politik penuntutan pembentukan Kabupaten Mamujju Utara. Agus Ambo Jiwa dipercaya sebagai Ketua Komite Pembentukan Kab. Mamuju Utara disokong juga dengan keberadaan tim percepatan dan lobi yang dikoordinir oleh Musawir Azis yang terus menerus menyuarakan dan mendorong lahirnya undang-undang pembentukan Kabupaten Mamuju Utara.
Pada tahun 2003, perjuangan tersebut akhirnya menemukan hasil ditandai dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Mamuju Utara  dan Kabupaten Luwu Timur. Keberhasilan tersebut berkat peran dan upaya Abdullah Rasyid dalam mewujudkan wilayah seluas 3450 kmmenjadi sebuah kabupaten.
Para gerbong muda perjuangan tersebut berharap untuk membalas jasa Abdullah Rasyid menjadi pejabat sementara sebagai Bupati dalam mengantar dan mempersiapkan seluruh instrument pokok sebuah kabupaten. Namun apa yang terjadi, ketika isu menggelinding siapa bakal menjadi pejabat Bupati di daerah ini. Al Malik Pababari, selaku Bupati Mamuju pada saat itu bahkan tak pernah menyebut nama Abdullah Rasyid dalam rekomendasi suratnya kepada Meneteri Dalam Negeri. Orang yang paling berjasa justeru tidak direkomendasi oleh Bupati induk menjadi sebuah keresahan tersendiri sekaligus mengundang polemic dari berbagai kalangan.
 Abdullah Rasyid tak merasa resah, sebab pada saat itu justru HZB Palguna, Gubernur Sulawesi Selatan ketika itu sudah mempersiapak jabatan sebagai Kepala Peternakan Provinsi Sulawesi Selatan. Gerbong Muda yang dimotori oleh Agus Ambo Djiwa menemui senior dan Aras Tammauni, tokoh Mamuju yang juga punya hubungan dengan Buapti Mamuju Al Malik Pababari. Dari gerbong muda dan Aras ini mengubah rekomendasi Al Malik Pababari dengan merekomendasikan nama Ir. Abdullah Rasyid, MM. sebagai pejabat Bupati Mamuju Utara. Alhasil Mendagri pada saat itu, Hari Sabarno menerbitkan SK kepada Abdullah Rasyid sebagai Pajabat Bupati Mamuju Utara sampai dua tahun sebelum tiba masa pilkada.
Abdullah Rasyid menjalankan amanah Undang-Undang dengan sangat baik sampai menjelang Pilkada yang kali ini menggunakan system pemilihan langsung. Dalam pilkada langsung ini, Abdullah Rasyid harus mundur dari jabatan pejabat bupati sebab akan maju bertarung dalam Pilkada Mamuju Utara pada tahun 2005. Dengan menggandeng Agus Ambo Jiwa ia resmi diusung oleh PDI-Perjuangan, partai yang dipimpin oleh Agus Ambo Jiwa untuk bertarung pada Pilkada Matra pada 27 Agustus 2005. Dan hasilnya adalah pada tanggal 5 Oktober 2005 pasangan Abdullah Rasyid dan Agus Ambo Jiwa ini resmi menjadi Bupati Mamuju Utara periode 2005-2010.
Sebagai Buapti, ia berusaha mempersatukan kekuatan dan membangun komunikasi dengan lawan-lawan politinya. Lobi-lobi anggaran ke pusat semakin gencar ia lakukan untuk membangun infrastruktur Mamuju Utara. Hasilnya sangat mencengangkan. Mamuju Utara yang sebelumnya memperoleh DAU 55 miliar kini menjadi 146,3miliar. Begitu juga DAK dari 11 miliar sebelumnya menjadi 25 miliar rupiah. 
            Salah satu komitmen dasar Abdullah Rasyid pada 5 tahun periodenya sebagai bupati adalah menjadikan Mamuju Utara setara dengan kabupaten lain di Sulawesi Barat. Untuk itu, 40 M segera digelontorkan untuk pembangunan Kantor Bupati, Kantor DPRD dan Rumah Jabatan. Proyek ini dilaksanakan dengansistim full financial, uang diserahkan pada saat bangunan jadi. Dalam kota Pasangkayu, ibukota Mamuju Utara jalanannya diaspal hotmix  termasuk sarana vital public lainnya masuk dalam garis kebijakan seperti penerangan jalan, PLN dan air bersih yang sebelumnya sudah dianggarkan.
       Pemerintahan Abdullah Rasyid dan Agus Ambo Jiwa mengusung visi menciptakan Kabupaten mamuju Utara sebagai Kota Agropolitan. Untuk mencapainya itu misi yang diemban adalah membangun sector pertanian dengan konsep yang mantap, irigasi harus tersedia untuk menambah luasan persawahan dua kali lipat. Dalam program ekstensif memang sangat tergantung pada musim hujan, sehingga bangunan irigasi mutlak menjadi prioritas utama. Dan itu dibuktikan dengan dibangunnya waduk dengan desain saluran-saluran air bisa mengairi persawahan hingga 1700 ha.
            Mamuju Utara juga dijadikan sebagai daerah penghasil jeruk manis terkemuka di bagian barat pulau Sulawesi dengan luas lahan 10.000ha dan sudah berproduksi sekitar 2500 ha dan masing-masing bisa berproduksi 40 ton perhektar. Selain jeruk, tanaman unggulan lain yang dikembangkan adalah sawit dan kakao.
            Sektor kesehatan juga begitu diperhatikan dengan mebangun rumah sakit besar di pusat kota serta menyediakan puskesmas di empat kecamatan untuk memudahkan bagi masyarakat yang tinggal di lereng gunung menikmati pelayanan kesehatan. Fasilitas rawat inap dan penyediaan mobil ambulance disetiap puskesmas. Target itu telah selesai semua di tahun ketiga.
            Membangun SDM juga tak tanggung-tanggung. Pendidikan diinternal birokrasi dilakukan dengan menyekolahkan birokrasinya untuk peningkatan kapasitas pelayanan kepada masyarakat. Membangun kerjasama dengan perguruan tinggi bonafide di Makassar adalah agenda mendesak agar di Pasangkayu terdapat fasilitas perguruan tinggi sebagai instrument penting dalam mencetak sumber daya manusia yang handal dan siap pake.
           Capaian-capaian itu membuktikan bahwa Abdullah Rasyid tidak hanya berhasil mengayuh hidupnya dari sejak kecil hingga dewasa.  Himpitan kesulitan yang menderanya pada dekade 80-an berhasil ia lalui dengan cara menikmati kesulitan itu. Pertemuannya dengan Hj. Bulaeng dalam sebuah akad menjadikan hidupnya praktis mengalami perubahan dan menuai kebahagian sampai pada puncaknya, yaitu menjadi Buapti mamuju Utara yang pertama. Pernikahannya denga Hj. Bulaeng ini dikaruniai 4 orang anak, seorang putrid dan 3 orang putra.
            Abdullah Rasyid hanya bisa memerintah sebagai bupati defenitif selama satu periode, sebab pada periode keduanya, Agus Ambo Jiwa ternyata mengambil peluang untuk bisa bertarung di pilkada kedua sebagai Calon Bupati dengan menggandeng M. Saal sebagai wakilnya. Betapapun Abdullah Rasyid juga berusaha melawan, namun akhirnya takdir mempertemukannya untuk kembali menerima kenyataan mengakui Agus Ambo Jiwa sebagai pemenang.
            Agus Ambo Jiwa sebagai Bupati Mamuju Utara yang sampai pada periode keduanya, tak mampu terkalahkan. Dalam pilkada serentak pada 2015 kemarin, Abdullah Rasyid kembali melawan dan menjadi rival dari Agus. Tapi lagi-lagi, Abdullah Rasyid untuk kedua kalinya tak mampu mengungguli Agus Ambo Jiwa. [1]



[1] Diolah dari tulisan Sarman Sahuding, 2006.

ABDULLAH RASYID : Anak Kampung yang Tak Kampungan (Bagian 1)

Abdullah Rasyid


Sejauh 19 kilometer bukanlah penghalang bagi Abdullah Rasyid. Di masa silam ia harus rela berjalan kaki untuk sampai di kota Pinrang karena satu hasrat: melanjutkan sekolah. Hanya berbekal beberapa liter beras yang kerap dibawanya dari kampung tiap akhir pekan mudik, toh niatnya tak pernah urung untuk melanjutkan sekolah setinggi-tingginya. Dari dasar “universitas kesulitan” dimasa kecil inilah yang mengantarnya gemilang di pendidikan, hingga bisa sarjana dengan predikat Cumlaud. Dulu, begitu terjal jalan hidupnya. Tapi tekad untuk maju selalu menafasi langkahnya. Dan sang anak desa itu telah mengitari tanah Eropa dan lalu menemukan takdirnya sebagai Bupati Mamuju Utara yang pertama bersama Ir. Agus Ambo Djiwa yang mendampinginya sebagai Wakil Bupati. Keduanya di nobatkan menjadi Bupati dan Wakil Bupati Mamuju Utara yang pertama pada tahun 2005-2010.
Di sebuah desa yang jauh dari kota Pinrang, Kabupaten Pinrang, lahirlah seorang bocah yang bernama Abdullah Rasyid. Disuatu sore menjelang malam, tepat pada hari jumat, 15 Juli 1959. Terlahir dari seorang petani yang bernama H. Abdul Rasyid yang dipercaya oleh masyarakat sekitarnya sebagai Imam Masjid di desanya. Ia menjadi imam lebih dari 20 tahun. Ayahnya berasal dari keluarga besar di Pinrang bagian barat. Sedangkan ibunya berasal dari rumpun keluarga Pinrang bagian utara, bahkan sampai Kabupatn Polewali Mandar dan Majene.
Dimasa kecil Abdullah, ia memang senang berkelompok. Ia kerap mempengaruhi teman-teman sebayanya untuk aktif bermain olahraga dan mengingatkan mereka agar membantu orang tua masing-masing di sawah atau pun di kebun. Semasa kecil ia sangat ingin tahu segala hal, dan kemndiriannya sudah mulai Nampak. Inilah yang menandakan bahwa dalam diri Abdullah Rasyid telah tertanam jiwa dan talenta kepemimpinan.
Abdullah adalah anak tertua dari 8 orang bersaudara. Ketika ia menginjak kelas 3 Sekolah Rakyat (SR), ayahnya harus berpindah rumah ke kota karena mempersunting lagi seorang dara Pinrang. Sementara ibunya, selain sedih karena tak siap dimadu, ia juga dipusing memikirkan siapa yang akan bekerja menghidupi keluarga besarnya. Kondisi inilah yang memaksa Abdullah selain menjadi kakak bagi adik-adiknya ia juga sekaligus menggantikan peran ayahnya mencari nafkah sehari-hari dalam keluarga. Inilah cara Abdullah untuk membuat ibunya kembali bersemangat mengarungi kehidupannya.
Masa-masa sulit dan kelabu itu bertepatan dengan pasukan 710 mengadakan piutang pengadaan militer. Dan Pasukan 721 ada disitu. Ketika 710 kalah, Abdullah sempat mendapat sepucuk senjata namun ia buang karena takut mendapat masalah. Terlebih saat itu, ia mendengar kabar bahwa anak laki-laki yang genap berusia 10 tahun akan ditembak mati oleh 710. Ayah Abdullah Rasyid dikenal sebagai tokoh yang jika ada orang yang mau ditembak oleh 710, selalu member saran kepada 710 agar orang tersebut lebih baik disuruh bekerja kebun untuk kepentingan 710.
Ayah Abdullah Rasyid juga sangat memperhatikan pendidikan anaknya, sehingga Abdullah Rasyid disuruh sekolah ke kota sebab pada saat itu, sekolah rakyat di desanya masih dakam bentuk kelas jauh. Untuk ke kota, Abdullah Rasyid harus menempuh perjalanan dengan jalan kaki sejauh 10 km, itupun baru sampai di jalan raya. Abdullah kemudian melanjutkan lagi perjalanan sepanjang 3 km untuk sampai di tempat yang dituju. Dengan modal surat pindah sekolahnya di desa, ia diterima sekolah di SD Negeri Pinrang.
Abdullah Rasyid memulai kehidupan barunya di kota untuk bersekolah. Setiaphari sabtu ia harus pulang ke kampung untuk mengambil bekal, beras dll. Sebuah rutinitas yang sungguh sangat melelahkan, belum lagi di perjalanan harus memburu waktu agar tiba dibawah jam 19.00 malam, sebab kadang muncul pasukan gerombolan yang juga mengancam jiwanya. Kondisi itu harus membuatnya berlari untuk bisa kejar waktu tidak sampai kemalaman tiba di kampungnya. Rupanya kebiasaannya berlari saat pulang kampung setiap sabtu ini membuatnya menjadi seorang yang jago dalam lomba lari. 
Ia tamat SD pada tahun 1966 bertepatan dengan masa-masa gentingnya Negara akibat pemberontakan G.30 S/PKI. Kembali ia mengambil keputusan untuk melanjutkan pendidikannya di tingkat SMP. Meski tak direstui oleh orang tuanya dengan alasan ekonomi. Abdullah Rasyid tidak perduli, ia tetap ngotot untuk bisa lanjut sekolah. SMP Negeri 1 Pinrang kembali menjadi saksi atas sejarah seorang Abdullah Rasyid yang penuh semangat dan optimisme meraih masa depannya. Berjalan dan berlari masih menjadi rutinitasnya, belum lagi ia harus terbiasa dengan kekurangan bahan makanan, sebab tidak sama pada saat di SD, ia bisa setiap sabtu mengambil beras di kampungnya. Sekarang sudah tidak bisa lagi sebab gerombolan semakin merajalela dan bisa mengancam jiwanya jika kepergok dengan kawanan tersebut.
Kelas dua SMP, ayahnya berusaha membelikan sepeda untuknya. Ia memang anak yang piawai dan cerdas . Selain menjadi ketua kelas, ia bahkan menjadi ketua ikatan pelajar NU Kabupaten Pinrang. Memimpin rapat adalah kebiasaan bagi Abdullah Rasyid. Kelas 3 SMP, ia semakin menguatkan tekadnya untuk mulai menetapkan impian dan cita-citanya menjadi sarjana hukum. Pilihanya jadi sarjana hukum adalah agar  bisa membela orang kecil. Terlebih ia kerap menyaksikan ayahnya dan masyarakat sekampungnya dianiaya oleh gerombolan bersenjata. Abdullah bahkan sudh mengenal dunia demonstrasi melaui wadah OSIS dan Ikatan Pelajar NU yang dipimpinnya. Rumah yang ia tempati di kota sering dipenuhi oleh teman-temannya. Ia pun tak lagi bergantung seratus persen pada orang tuanya.
Usai SMP, ia lagi-lagi tak menyerah pada keadaan. SMA Negeri 1 Pinrang harus menjadi bagian dari hari-harinya dalam proses pengembangan diri Abdullah Rasyid. Meski sekolah ini masih berstatus 710, karena jam 7 pagi masuk belajar, jam 10 sudah pulang. Ini terjadi karena terbatasnya guru yang bisa mengajar. Abdullah Rasyid terpilih lagi menjadi ketua kelas dan sekretaris OSIS. Ia bahkan terpilih menjadi siswa teladan di tingkat kabupaten Pinrang dan mewakili Pinrang ke tingkat provinsi Sulawesi Selatan. Keunggulannya dilahat dari pelajaran dan aktifitasnya di sekolah.
Pada saat kelas 2 SMA, ia terpilih menjadi wakil Paskibraka Kabupaten Pinrang dan di Makassar ia bergabung dengan 23 orang perwakilan dari kabupaten lain. Dalam barisan itu, ia tergabung dalam pasukan delapan pada posisi penarik bendera Merah Putih saat upacara peringatan 17 Agustus 1945 yang diperingati setiap tahun. Yang memegang bendera saat itu adalah Baharuddin Baso (kelak menjadi Bupati Jeneponto). Sehabis mengikiuti kegiatan Paskibraka ini, Abdullah Rasyid terlecut jiwanya untuk bisa merambah kota besar dan berkeinginan untuk bisa lanjut SMA kelas 3 di Makassar.
Tekad dan juga nekad ia tempuh, sebab pindah ke Makassar tanpa member tahu orang tuanya di kampung. Tapi demi mengejar cita-citanya, Abdullah Rasyid menikmati semua itu. Di Makassar ia menumpang tinggal di rumah seorang tentara. Esoknya ia mengayuh sepedanya menuju SMA 1 Negeri Makassar, tapi disana tak lagi menerima siswa pindahan. Ia lanjut ke SMA 2, disana juga sudah tak menerima. Akhirnya ia diterima di SMA Negeri 3 Makassar dengan persyaratan ia harus rela memotong rambutnya yang gonrong saat itu.
Awal mengikuti pelajaran di sekolah, ia amat canggung dan minder. Hal ini disebabkan ia tak terlalu lancer berbahasa Indonesia, sebab ketika di SD sampai SMP di Pinrang jarang ada siswa yang menggunakan bahasa Indonesia. Ia kemudian menyesuaikan diri dan kembali dipercaya menjadi ketua kelas. Pada saat aktif belajar, orang tuanya di kampung baru tahu kalau ia tak lagi tinggal di Pinrang. Ayah ibunya hanya bisa kirim beras ke Makassar, sebab saat itu uang adalah benda yang sangat sulit bagi masyarakat kampung. Abdullah Rasyid menyiasati hidup dan biaya sekolahnya dengan memanfaatkan waktu malamnya di pasar terong Makassar. Di sana ia kerap menjadi kuli panggul untuk membongkar muatan mobil truk sampai selesai.
Saat tamat SMA, sebetulnya ia ingin lanjut sekolah di AKABRI sebab ia sangat akrab dengan Kamaruddin Patimbang (Mantan Kapolres Pinrang yang saat itu menjabat Kadapol (kini Kapolda) Sulawesi Selatan Tenggara. Kebetulan anak dari Kamaruddin ini pernah mewakili Kabupaten Pinrang saat menjadi siswa teladan mewakili siswi/perempuan.
Kadapol Sulselra ini megajak Abdullah Rasyid untuk mendaftar di AKABRI Kepolisisan dan dijamin lulus. Tapi ia lebih memilih AKABRI Angkatan Udara meski tak ada jaminan untuk lulus. Ia tetap mendaftar di AKABRI Angkatan Udara meski kemudian ia harus gagal karena ada salah satu giginya yang berlubang dan ia cabut, padahal gigi berlubang itu cukup ditempel saja. Tapi bukan Abdullah Rasyid namanya kalau tak punya plan lain dalam merancang masa depannya. Gagal di AKABRI, ia mendaftar di perguruan tinggi. Ia mendaftar di Universitas Hasanuddin dan lulus di Fakultas Ilmu-Ilmu Pertanian. 
Memasuki dunia kampus adalah tahapan aktif yang begitu berarti bagi Abdullah Rasyid. Ia tak hanya diperkenalkan pada pelajaran ilmiah yang kian meningkat, nalarnyapun sudah mulai tajam. Ia sudah mengenal logika komunikasi berfikir tingkat atas. Ia semakin menemukan kreatifitas retorika dan banyak menemukan kawan-kawan muda yang menonjol dengan pelbagai latar belakang hidup. Ia jjuga sudah mulai memperkenalkan diri dan mengenal seluk beluk organisasi pada level yanh sesungguhnya. Sudah memahami arah sebuah gerakan yang terorganisir. Disinilah dubut awal organisasi Abdullah Rasyid mulai dituliskan.
HMI adalah pilihannya sebab UNHAS pada waktu itu adalah salah satu kampiun HMI. HMI adalah wadah kemahasiswaan yang bernuansa Islam, yang pada tahun 1960-an dan 1970-an menjadi tempat pengkaderan awal tumbuhnya pemimpin-pemimpin bangsa, setelah satu atau dua-bahkan tiga dekade berikutnya. Abdullah Rasyid benar-benar mengikuti dan menikmati proses. Di tingkat II ia tercatat dalam jajaran pengurus inti senat mahasiswa, bahkan pernah menjabat Sekretaris Jendral Senat Mahasiswa Fakultas Ilmu-Ilmu Pertanian, UNHAS. Pada tingkat III sudah masuk dalam pengurus inti Dewan Mahasiswa (DEMA), ia juga pernah menjabat sebagai ketua Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) fakultas, semacam lembaga legislative mahasiswa.
Untuk kian mematangkan pemikirannya, ia mengikuti LK-2 (intermedit) HMI yang diadakan di Bontolempangang, Sekretariat HMI Cabang Ujungpandang yang saat itu HM. Daeng Patompo menjabat sebagai Walikota Ujungpandang. Dalam pengembangan kelembagaan internal kampus, ia tercatat sebagai salah satu peserta LKM (Latihan Kepemimpinan Mahasiswa) se-universitas angkatan ke-2 yang diselenggarakan oleh Dewan Mahasiswa UNHAS. Nama-nama lain seperti, Marwah Daud Ibrahim, Andi Mattalatta, Tadjuddin N. Said juga tercatat dalam pelatihan ini.
Ketika Pemilu pertama Orde baru, 1971 lahir Golkar bentukan penguasa Orde baru. Pentolan-pentolan kampus sangat diminati oleh Golkar untuk menjadi penyokong kemenangan  dalam pemilu. Tapi Abdullah Rasyid justru memilih dan tertarik pada wadah yang merupakan afiliasi dari partai-partai tertentu selain Golkar. Ia bergabung dalam pergerakan Pemuda Anshor dan masuk IPNU Makassar. Abdullah Rasyid kian dikenal publik. Sepedanya mulai berganti dengan motor. Kegiatannya semakin bertumpuk dan tentu sudah bisa ia jalani semuanya. Ia juga sudah bisa menyambangi semua teman-temannya yang tersebar di kota Makassar.
            Perubahan demi perubahan terus terlakonkan dan didalamnya ada Abdullah Rasyid, sosok muda yang tunduk pada hokum alam yang melingkupinya. Setelah beberapa tahun kuliah, tibalah masanya Kuliah Kerja Nyata (KKN), salah satu prasyarat penting sebelum seorang mahasiswa mengakhiri sebuah perkuliahan secara formal, lulus sebagai sarjana.
            Saat itu, 1979 Abdullah Rasyid ditempatkan di Kabupaten Bone dan disana ia dipercaya sebagai Korcam. Pengalaman dalam KKNnya itu sangat berkesan karena banyaknya problem yang dihadapi oleh pemerintah di Kabupaten Bone. Pembangunan yang semrawut, bahkan tuntutan harus jalan sementara pengendali pembangunan kurang begitu siap dengan realitas. Yang ada. Abdullah Rasyid dkk harus terlibat langsung merancang pembangunan. Mereka dengan begitu sigap membantu pemerintah daerah melakukan apa saja demi pembangunan masyarakat kabupaten itu. Intinya, banyak hal yang mereka kerjakan.
            Usai KKN di Bone rupanya bertepatan dengan penerimaan pegawai negeri sipil. Hal ini sejalan dengan keluarnya Keppres Nomor 4 Tahun 1980 yang salah satu itemnya adalah akan dibentuk Badan Perencanaan Pembangunan yang akan diadakan di daerah kabupaten/kota. Dengan begitu, tentu pemerintah membutuhkan pegawai yang tak sedikit termasuk di Sulawesi Selatan. Abdullah Rasyid termasuk salah satu yang lulus dan ditempatkan di kantor Gubernur Sulawesi Selatan. (Bersambung)
            

ORANG MANDAR PELAUT ULUNG : Leluhur Mandar Bukan Dari Langit Tapi dari Laut China Selatan (Bagian 3 Selesai)



Tulisan ini adalah Makalah yang disampaikan oleh Drs. Darmansyah, Ketua MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) Cabang Sulbar pada Kongres Nasional Sejarah X di Jakarta pada tanggal 7-10 November 2016:

Pengetahuan lain nelayan Mandar untuk mengenal batas wilayah menurut H. Ahmad Sahur dalam buku “Pengetahuan Tradisional Pembuatan Perahu Orang Mandar“ (1991/1992) adalah didasarkan pada warna laut. Bila warna laut kekuning-kuningan (pengaruh lumpur) berarti sedang berada di perairan pulau Kalimantan. Sebaran perahu juga memberi petunjuk tentang daerah mana mereka berada. Kondisi ombak dan arus menjadi pengetahuan tentang keberadaan mereka. Hasil tangkapan, mereka dapat memastikan keberadaan mereka.

C.  Penutup

1.   Kesimpulan:
a.     
         Nenek moyang orang Mandar yang dipercayai selama ini berasal dari kayangan/langit “Tomanurung”, tidaklah benar dan sangat bertentangan dengan logika, maupun kitab-kitab suci. Nenek moyang orang Mandar sesungguhnya berasal dari Cina Selatan (Austranesia) dan jalur kedatangannya melalui perairan (lautan). Secara genetik telah membuktikan bahwa orang Mandar berasal dari laut. Ombak sudah menjadi sahabat dalam melakukan pelayaran ke berbagai pulau di Nusantara.

b.                         Rumpon (roppo) sebagai kebudayaan hasil cipta orang Mandar pada zaman pemerintahan tradisional, selain sebagai tempat berlindungnya ikan (alat bantu tangkap ikan), juga dijadikan sebagai batas daerah teritorial laut dari kerajaan. Roppo dekat sebagai penanda batas territorial, roppo tangnga (rumpon tengah) dipasang pada  wilayah laut yang mencapai kedalaman 200 – 1.800 meter masuk dalam hukum tentang landasan continental (tebing dasar laut). Sementara roppo jauh sudah berada pada zona ekonomi ekslusif (ZEE).

c.                  Perahu Sande’ diciptakan pelaut Mandar, terinspirasi dari perahu lesung (olang Mesa) yang digunakan oleh Torije’ne’ dalam perjumpaannya dengan Pongkapadang (suaminya). Perahu tradisional Olang Mesa, Pakur  dan/atau Sande’ merupakan warisan dari turunan Pongkapadang yang kelak dikemudian hari digunakan sebagai alat transportasi dalam melakukan perdagangan antar pulau, juga digunakan sebagai sarana dilautan dalam menangkap ikan.

d.                          Pelayaran orang – orang Mandar dalam mengarungi samudera ke berbagai pulau di Nusantara telah banyak menemukan pulau-pulau tak berpenghuni, dan mereka mendiaminya. Pelaut Mandar dalam mengarungi samudra, telah memahami ilmu perbintangan (astronomi) untuk dijadikan pedoman dalam melakukan pelayaran.

   Dari simpulan-simpulan di atas, tidaklah berlebihan jika penulis menyatakan bahwa orang Mandar adalah pelaut ulung yang tangguh.

2.    Saran

Demikian tulisan ini, penulis sadar bahwa di dalamnya tentu terdapat banyak kekurangan karena dalam hidup ini tidak ada yang sempurna, yang sempurna hanyalah Allah Swt. Oleh karenanya, pembaca yang budimanlah yang kelak akan menyempurnakannya.  Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada semua kalangan yang telah memberikan saran dan masukan serta kritikan. Semoga Allah Swt. memudahkan hambanya dalam mencari ilmu-Nya. Amin


Daftar Kepustakaan Dan Informan

Al-Qur’a Karim     , 1980, Terjeemahan Departemen Agama RI, Jakarta.
Abdul Muthalib Dkk, 1985/1986, “Transliterasi Dan Terjemahan Pappasang Dan Kalindaqdaq (Naskah Lontar Mandar)“, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sulawesi Selatan La Galigo.
Abd. Hamid Bola, 2009, “Keramat Menelusuri Tempat – Tempat Bersejarah di Sendana Majene“, Yayasan Anak Bangsa (YAB) Majene;
Abd. Rahman Hamid, 2016, “Laut Dan Perahu Dalam Sejarah Mandar“, Makalah pada dialog Sejarah dan Budaya, diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar.
A. M. Mandra       , 1986, “Lontar Balanipa Mandar“, Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Ujung Pandang;
……………………   , 2001, “Kerajaan Sendana“, Yayasan Sa’adawang Sendana Majene;
……………………   , 1987, “Beberapa Perjanjian dan Hukum Tradisi Mandar“, Yayasan Sa’adzawang Sendana Majene;
Arifuddin Ismail, 2012, “Agama Nelayan Pergumulan Islam Dengan Budaya Lokal“, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Baharuddin Lopa, 1982, “Hukum Laut: Pelajaran dan Penerapan“, Bandung Alumni.
Darmansyah – Bakri Latief, 2016, “Sastra Mandar”, De La Macca (Anggota IKAPI Sulsel, Makassar.
Faisal                    , 2016 “Solidaritas Nelayan Mandar di Pangali-ali Kabupaten Majene“, Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar.
Haliadi Sadi, 2012, “Sejarah Kabupaten Parigi Moutong“, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Parigi Moutong – Kerjasama Dengan Pusat Penelitian Sejarah (PUSSEJ) Lembaga Penelitian Universitas Tadulako Palu, Penerbit OMBAK, Yogyakarta.
Horst H Weibner, 1998, “Beberapa Catatan Tentang Pembuatan Perahu dan Pelayaran di Daerah Mandar Sulawesi Selatan”, Ujung Pandang : P3MP Unhas.
Muhammad Amir, 2016, “Pelayaran Niaga Mandar Pertengahan Abad XX : Dari Pelabuhan ke Pelabuhan Merajut Integrasi Bangsa“, Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar.
Muhammmad Ridwan Alimuddin, 2005, “Orang Mandar Orang Laut: Kebudayaan Bahari Mandar Mengarungi Gelombang Perubahan Zaman”, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI, Jakarta.
Riedel, J.G.F., 1870, “De Vestiging der Mandaren in de Tomini-Landen” (Pendudukan Negeri-Negeri Tomini oleh orang Mandar), Tijdschrift van de Batviaasche Genootschap 19: 554-64.

Syamsul Bahri, 2016, “Rumpon Sebuah Karya Budaya Nelayan Mandar”, Makalah pada dialog Sejarah dan Budaya oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar.
Syaiful Sinrang    , 1994, “Mengenal Mandar Sekilas Lintas“, Rewata Rio, Ujung Pandang.
Suradi Yasil Dkk, 1984/1985, “Inventarisasi, Transkripsi, Penerjemahan dan Penulisan Latar Belakang Isi Naska Kuno/Lontar Mandar Daerah Sulawesi Selatan”, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Proyek Inventarisasi Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
…………………….  , 2004, “Ensiklopedi Sejarah, Tokoh dan Kebudayaan Mandar”, Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR), Yogyakarta;
Lembaga Penelitian Dan Pengembangan Masyarakat (LP2M) Universitas Hasanuddin Makassar, 2015, “Analisis Data Pendukung Penegasan Batas Antar Daerah Provinsi Sulawesi Barat Tahun Anggaran 2015“,Tim Pemprov. Sul-Bar
Informan :
1.   A. M. Mandra;
2.   H. Abdul Hamid Bola BA;
3.   Katjo Parusi, BA;
4.   Suradi Yasil;
5.   H. Ahmad Asdy;
6.   Muhammad Munir;
7.   Gazali;
8.   Dr. Haliadi Sadi, M.Hum;
9.   Tammalele;

ORANG MANDAR PELAUT ULUNG: Pelaut Mandar Adalah Ahli Astronomi (Bagian Kedua)



Tulisan ini adalah Makalah yang disampaikan oleh Drs. Darmansyah, Ketua MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) Cabang Sulbar pada Kongres Nasional Sejarah X di Jakarta pada tanggal 7-10 November 2016:

B. Pembahasan

Julukan Orang Mandar Pelaut Ulung sangatlah tepat. Beberapa penemuan dan bukti-bukti yang mendukung julukan tersebut dapat kita temukan melalui kajian sejarah di tanah Mandar. Penemuan yang paling berharga bagi pelaut Mandar dalam mengarungi samudera ke berbagai negeri di Nusantara adalah telah ditemukannya Teluk Tomini. Bukan hanya itu, pelaut Mandar juga mendirikan kerajaan Kasimbar dan kerajaan Moutong di wilayah teluk Tomini di sekitar abad ke-16 Masehi. Teluk Tomini di kabupaten Parigi Moutong, provinsi Sulawesi Tengah adalah teluk terbesar di dunia dan merupakan segitiga terumbu karang (Coral Triangle) terbaik dunia, dengan luas 1.031 hektar, memiliki hutan mangrove seluas 785.10 hektar dan Taman Nasional Laut Kepulauan Togean dikenal sebagai “The Heart Of Coral Triangle“. International Hydrographic Organization (IHO) Mendefinisikan sebagai salah satu perairan Kepulauan Hindia Timur.

Tomini berasal dari bahasa Mandar dengan asal kata “ Tau dan Mene “. Tau artinya orang dan Mene berarti naik atau baru datang. Dalam bahasa lokal (bahasa Kaili) berarti orang yang baru datang, karena yang baru datang di teluk terbesar dunia itu adalah orang-orang Mandar maka orang Kaili sebagai penduduk asli menyebut orang Mandar sebagai Tomene. Dalam perjalanan sejarah, kata Taumene dipengaruhi oleh bahasa dan dialek Tiola maka Taumene berubah menjadi Toumini dan terakhir menjadi Tomini.

Kehadiran pelaut Mandar di teluk Tomini diperkirakan pada abad ke-16 Masehi. Konon ceritanya, orang-orang Kaili Kasimbar bermukim di atas gunung dengan menanam binte (jagung). Mereka turun dari gunung dan tiba-tiba menemukan perahu orang-orang Mandar. Dalam berkomunikasi tentu tidak nyambung tapi orang Mandar memberi bahasa isyarat yang menandakan bahwa mereka bukanlah musuh.

Kehadiran orang-orang Mandar di teluk Tomini, bertepatan dengan adanya imperialisme kerajaan Gorontalo ke negeri-negeri yang ada di wilayah teluk Tomini. Kelompok-kelompok masyarakat yang dipimpin oleh Olongian-Olongian – kurang lebih sama dengan Tomakaka’ di Mandar (pemimpin komunitas), tidak dapat bekerjasama untuk mengusir penjajah dari negeri lain karena di antara kelompok terjadi pertikaian. Dalam kondisi seperti itu, maka dengan sangat mudah dikuasai oleh kerajaan Gorontalo. Kehadiran orang-orang Mandar di wilayah Tomini dipimpin oleh Daeng Manase dari kerajaan Sendana. Kedatangan orang-orang Mandar diwilayah teluk Tomini berdampak positif bagi kehidupan politik penduduk setempat.

Untuk mengenang kehadiran pelaut Mandar di teluk Tomini, pemerintah kabupaten Parigi Moutong bersama seluruh komponen masyarakat, mengabadikan peristiwa itu melalui tarian Tomene-Tomini. Tarian klosal Tomene-Tomini pernah ditampilkan pada acara penyambutan Presiden Joko Widodo bersama dengan Mantan Presiden Megawati Sukarno Putri serta sejumlah menteri Kabinet Gotong Royong dalam acara “Festival Teluk Tomini Momentum Menuju Sail Teluk Tomini 2015”.

Bukti lain bahwa orang Mandar adalah pelaut ulung, adalah adanya istilah dalam masyarakat Mandar yang dikenal dengan Mallekka’ dapurang, yaitu kebiasaan orang-orang Mandar pindah ke tempat lain (bermigrasi) dengan membawa serta isi dapur dan lain sebagainya ke tempat tujuan, ada pun yang tidak bisa dibawa serta, mereka jual semuanya. Mereka meninggalkan kampung halaman dengan melalui jalur lalulintas laut dan menggunakan perahu sande’ untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Ada juga dengan alasan keamanan karena di kampung halamannya terjadi pemberontakan. Orang-orang Mandar asal Ba’babulo (Pambuang) misalnya  malleka’ dapurang (bermigrasi) ke berbagai daerah di Nusantara karena kampung halaman mereka hangus dibakar oleh pengacau (gerombolan), begitu juga pasukan  gurillah (pasukan Kahar Muzakkar) yang dikenal dengan DI/TII tahun 1950 – 1965. Mereka bermigrasi ke Pulau Kalimantan, khususnya ke Pulau Laut, Karassiang, Tanjong Saloka, Karajaan, Tali Sayang, Masalima, dan beberapa daerah lain. Pemikiran di atas juga diperkuat oleh Said dan Prabowo (2010), dalam buku “Diaspora Bugis dalam Alam Melayu Nusantara“.

Akar kemaritiman orang-orang Mandar dapat diketahui dari beberapa literatur yang banyak mengkaji jiwa orang-orang Mandar. Cristian Pelras dengan tegas mengemukakan dalam bukunya The Bugis (1996) bahwa sebenarnya orang bugis bukanlah pelaut ulung seperti yang banyak dikatakan orang selama ini. Orang Bugis sebenarnya adalah Pakkambilo (pedagang) dan yang mengantar sampai ke pulau-pulau atau daerah tujuan adalah perahu sande’ orang Mandar. Laut dan perahu hanyalah  media atau sarana yang digunakan untuk memperlancar aktivitas perdagangan mereka. Kalau mau menyebut pelaut ulung maka paling tepat sebutan itu ditujukan pada orang orang Mandar. Dalam lontar di Mandar, banyak sekali ditemukan pantun yang berhubungan dengan kemaritiman dan itu merupakan salah satu bukti bahwa orang Mandar sudah sangat akrab dengan kehidupan laut sejak jaman dahulu kala. Berikut ini adalah beberapa contohnya :
1)   Tania tau passobal                    : Bukanlah pelaut ulung
Moa’ mappelinoi                      : Jika menunggu rebahnya ombak
Lembong di tia                        : Justru ombaklah
Mappadzottong labuang.              : Yang mengantarkan pada tujuan.

2)   Lembong tallu di lolangang          : Walau ombak setinggi gunung
Sitonda tali purrus                 : Serta kilat sambar-menyambar
Uola toi                           : Kuarungi jua
Ma’itai dalle’ u.                    : Untuk mencari rezki.

3)   Tikkalai nisobalang                     : Kalau layar sudah terkembang
Dotai lele ruppu                      : Lebih baik tenggelam dan hancur
Dadzi lele tuali                         : Dari pada kembali
Dilolangang.                          : Surut ke belakang.

4)   Moa’ diang mating bura                : Jikalau ada busa menghampiri
Dise’dena lopimmu                       : Di dekat perahu
Dao pettule’                              : Usahlah bertanya
Salili’ u mo tu’ u.                        : Itulah tanda rinduku padamu.

Dalam Memorie Leyds, Asistant Resident Van Mandar (1937 -1940) ditemukan catatan jalur-jalur pelayaran yang ditempuh oleh pelaut-pelaut Mandar (yang berlangsung sampai saat penjajahan Belanda), bukan hanya terbatas sampai Maluku tetapi bahkan sampai ke Papua Nugini. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pelaut dari Sulawesi yaitu suku Mandar, Makassar, Bugis merupakan pelaut ulung yang kerap kali mengarungi lautan hingga ke Madagaskar. Di provinsi Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan dikenal ada empat etnis utama yang berdiam di wilayah ini, yaitu etnis Mandar, Bugis, Makassar, dan Toraja. Etnis ini telah menciptakan jaringan luas, tradisi wirausaha dan komunitas persebaran serta pelibatan diri yang lebih jauh dalam segala aspek kehidupan. Dibekali keberanian mengarungi lautan, mereka melakukan pelayaran untuk mencari kehidupan baru yang menjanjikan. Selain itu, banyak di antara para pelaut yang telah melakukan perdagangan sepanjang garis pantai Asia Tenggara merupakan pelaut yang berasal/ orang yang bersuku Mandar, Bugis, dan Makassar. Beberapa tempat yang mereka diami dan tinggali adalah Jawa bagian tengggara, selat Malaka (Malaysia dan Riau), kepulauan Nusa Tenggara (Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba, dan Timor), kepulauan Maluku (Ambon, Ternate, Tidore dan Seram), Kalimantan (Samarinda, Balik Papan, dan Banjarmasin).

Orang-orang Mandar sudah melakukan perdagangan lintas pulau. Mereka sudah berdagang sampai ke Gersik Jawa Timur, Malaysia Timur, Bangka Belitung, Malaka. Menurut Prof. Dr. Baharuddin Lopa, SH. pedagang Mandar itu disebut Passa’la’ dan Pa’abo. Pa’abo adalah pedagang orang-orang Mandar yang pergi ke Maluku untuk membeli rempah-rempah,  kemudian dibawa ke Semenanjung Malaka (Passa’la’) untuk kemudian dijual secara barter dengan produk luar negeri seperti benang, kain (terutama sutera), dan barang pecah belah dari bahan keramik cina (Passa’la’ polei mambawa cawalla). Ada juga yang disebut dengan Pa’jawa atau Passelatan, yaitu pedagang orang-orang Mandar yang menyeberangi laut Jawa. Pattawao’ juga adalah pedagang orang-orang Mandar yang meyeberang sampai ke Negara Malaysia. Perdagangan orang-orang Mandar ini diperkirakan berlangsung sejak abad ke-15 hingga tahun 1990. Koloni orang-orang Mandar di Jawa Timur diabadikan melalui Peraturan Daerah kabupaten Bayuangi tentang Pembentukan kelurahan Kampung Mandar di kecamatan Bayuangi. Di Pulau Panggang – Jakarta Utara, telah ditetapkan Peraturan Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Tentang pembentukan kelurahan Lagoa. Lagoa adalah seorang Pendekar Darah Putih asal Mandar yang telah berjasah mengusir bajak laut di kepulauan seribu disekitar abad ke-17, sezaman dengan tokoh legendaries Betawi, Sipitung.

Keberanian orang-orang Mandar dalam menyeberangi laut lepas dengan perahu tradisionalnya, dibuktikan oleh leluhur KALEMDIKPOL RI, Komjen Pol. Drs. H. Syafruddin Kambo, M.Si. yang mampu menunaikan ibadah haji di Mekkah pada tahun 1889. Keberanian orang-orang Mandar dalam mengarungi samudera didasarkan pada keyakinan dan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Keyakinan dan ilmu pengetahuan kelautan, dikenal di Mandar dengan sebutan Paissangang Pole’bo’. Mengenai paissangang Pole’bo’ ini, penulis mengklasifikasinya menjadi dua jenis. Pertama Paissangang (mantra) yang dapat memberi keyakinan/semangat bahwa apabila mantra (do’a) dibaca maka hambatan berupa ombak dan badai akan bisa teratasi. Umumnya pelaut di Mandar, yang paling ditakutkan adalah laso anging (angin tornado) dan Indo urang (hujan siklonal), oleh karenanya seorang jurumudi (nahkoda) harus mengetahui mantra yang dapat membelokkan badai. Contoh Mantra : Bismillahirrahmanirrahim – leseo mating anging – nanaolai mating ipanjala-jala lino – laso diting – laso dini. Barakka’ do’a bisa lao di Allah Ta’alah kumfayakum; artinya : Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang – badai yang ada dihadapanku membeloklah – si penjelajah dunia akan lewat –pusaran angin disitu – pusaran angin yang di sini - Berberkahlah do’a mujarab ini karena Allah semata – Maka terkabullah do’a ini.

Paissangan kedua, berupa ilmu pengetahuan (kecerdasan) atau keterampilan. Pelayaran dengan menggunakan perahu layar sangat terkait dengan angin dan cuaca. Apabila anginnya bagus, perahu akan melaju dengan cepat, begitu pula sebaliknya. Angin juga menentukan arah haluan dan kibaran layar. Posisi layar boleh berpindah ke kiri atau ke kanan, tergantung keinginan dan arah yang akan dituju. Ada beberapa istilah yang harus dikuasai oleh seorang jurumudi (nahkoda), sebagaimana dikemukakan Dr. Arifuddin Ismail dalam bukunya Agama Nelayan (2012 : 88), diantaranya adalah sebagai berikut : (a). Bilu’ : perahu diarahkan menghadap arah angin; (b) Turu’ : perahu diarahkan keluar dari arah angin; (c) Tunggeng Turu’ : perahu dibelokkan dengan mengikuti arah angin; (d) Tunggeng Bilu’ : perahu dibelokkan ke arah angin. Penentuan arah tersebut terkait juga dengan posisi layar. Oleh sebab itu, tali yang mengikat pada sumbu bagian bawah layar harus digerakkan dengan lincah. Begitu juga guling (kemudi) yang terdapat di bagian belakang (buritan) perahu harus diseimbangkan dengan arah yang dituju.

Lanjut Dr. Arifuddin Ismail (2012: 89) menyebutkan bahwa pelaut Mandar mengenal beberapa tanda-tanda alam, baik yang ada di laut (gelombang, arah angin, dan arus air), maupun yang ada di daratan (gunung, tanjung, burung, dan tanda-tanda alam tertentu), begitu juga tanda-tanda alam yang ada di langit (awan, bintang-bintang, bulan, dan matahari). Semua tanda alam tersebut dijadikan petunjuk dalam menentukan posisi dan arah perahu. Tanda-tanda alam di laut berupa ombak terkait dengan angin, arus, dan karang. Pelaut Mandar mengenal beberapa jenis lembong (ombak), diantaranya : (1) Lembong kaiyyang (ombak besar); (2) Lembong sirua-rua (ombak sedang); (3) Lembong keccu’ (ombak kecil); (4) Lembong siruppa-ruppa’ (pertemuan ombak yang terjadi karena adanya arus yang saling bertemu dan menimbulkan pusaran air); (5) Lembong silatu-latu’ (ombak yang datang dari berbagai arah). Hubungannya dengan karang laut yang dalam bahasa Mandar disebut taka’, bagi nelayan Mandar – lembong (ombak) dijadikan petunjuk utama. Kalau ombaknya tidak besar, kemudian memiliki jarak yang rapat, ukurannya sekitar 1,5 - 2 meter, jarak antara satu ombak dengan ombak lainnya sekitar 1 meter, itu berarti ada karang laut. Begitu juga, apabila warna air laut sudah tidak terlalu biru, ada perubahan mendadak dari hitam kebiru-biruan menjadi biru muda.

Tanda-tanda alam di daratan seperti gunung, karang, tanjung, burung darat juga digunakan pelaut Mandar sebagai pedoman ketika sedang berlayar. Misalnya, ketika berada di perairan Selat Makassar, dari jauh sudah kelihatan Tanjung Rangas di Majene. Gunung itulah yang dijadikan tanda dalam menentukan arah haluan untuk mendarat. Demikian pula dengan gunung, kalau gunungnya tinggi lagi terjal (berjurang) dan dekat ke bibir pantai, itu berarti lautan di sekitarnya dalam. Begitu juga sebaliknya, bila gunung jauh dari bibir pantai, gunungnya tidak tinggi menjulang, daratannya luas, maka itu berarti lautan di sekitarnya dangkal.

Burung juga membantu para nelayan, jika burung sudah nampak mencari makanan di sekitar perahu, bertengger pada batang pohon yang hanyut, itu berarti daratan sudah dekat. Burung-burung terbang meninggalkan daratan paling jauh 40 kilometer. Burung tersebut orang Mandar menyebutnya burung jagong, bentuknya mirip burung bangau, lehernya panjang, kakinya agak kecil panjang, warnanya hitam bercampur putih keabu-abuan. Burung ini beroperasi di laut pada pagi hari dan kembali ke sarangnya di darat menjelang malam.

Baharuddin Lopa  dalam buku “Hukum Laut : Pelajaran dan Penerapan menyebut tanda–tanda alam lain yang sangat membantu pelaut adalah bintang-bintang yang ada di langit. Pelaut Mandar memahami ilmu astronomi, dari bintang-bintang, mereka dapat memahami pergantian musim dan posisi keberadaannya di laut. Ada empat jenis bintang yang digunakan untuk mengetahui arah dan pergantian musim, diantaranya adalah sebagai berikut : (1) Balunus, (2) Tallu-tallu, (3) Towalu, (4) Sapo kepang. Sapo kepang, terbit sesudah isya dan menghilang menjelang subuh. Jika bintang sapo kepang sudah tidak kelihatan, para nelayan Mandar akan segera berangkat ke laut. Bintang balunus dapat menandai arah selatan sedangkan Tallu-tallu untuk menentukan arah utara. Petunjuk bintang ini digunakan pada saat berlayar di malam hari. Sedangkan di siang hari, mereka menggunakan arah ombak dan tanda alam lain baik yang ada di darat maupun yang ada di laut. Awan oleh pelaut Mandar, juga dijadikan pedoman dalam mengarungi samudra. Bila sedang berlayar, lalu melewati awan tebal di angkasa raya maka itu berarti perairan di sekitarnya sangat dalam. Bila langit di perairan dijumpai awan yang tipis dan bersisik serta lautannya berombak kecil maka itu berarti disekitar perairan terdapat banyak ikan. Demikian pula di waktu pagi hari, dijumpai awan kemerah-merahan dan menjulang tinggi ke angkasa diikuti dengan terbitnya matahari, maka itu berarti akan terjadi kemarau panjang (paceklik).

Perhitungan bulan Qamariah dan bulan Syamsiah, juga digunakan sebagai pedoman pelaut Mandar untuk turun ke laut. Para nelayan Mandar tidak mau melaut pada perhitungan awal bulan qamariah (1 – 3), juga bulan pertengahan (14 – 16), begitu juga pada hitungan bulan (27 – 30). Tanggal-tanggal pada perhitungan bulan qamariah ini, orang Mandar menyebutnya teppu lotong (langit gelap-gulita). Pelaut Mandar berkeyakinan bahwa pada tanggal-tanggal itu biasanya angin kencang dan ombak besar sehingga ikan sukar didapat. Begitu juga penanggalan Syamsiah, pelaut Mandar menggunakan perhitungan bulan Masehi untuk menentukan musim. Musim barat dimulai pada bulan Oktober – Nopember hingga bulan Maret – April. Musim timur dimulai pada bulan April – Mei hingga September – Oktober. Bila musim timur tiba, nelayan Mandar beraktifitas di laut untuk mencari telur ikan terbang (Pa’otto’/Pattallo’), mencari ikan terbang (tui-tuing/banggulung). Pada musim barat, nelayan Mandar beraktifitas di laut untuk mencari ikan cakalang/bambangang yang dikenal dengan istila Pakkalor/Palladzung. Petunjuk lain yang digunakan nelayan Mandar adalah bulan sabit. Apabila bulan sabit agak miring ke utara, maka yang terjadi adalah musim barat. Musim barat ditandai dengan angin bertiup secara terus-menerus dan kadang kala disertai gemuruh (Guntur) dan hujan lebat. Dan apabila bulan sabit agak miring ke selatan, maka yang berlangsung adalah musim timur.  Angin akan bertiup dari arah tenggara ke barat daya. (BERSAMBUNG)