Jumat, 13 Januari 2017

MENYEPUH MIMPI

Menyepuh Mimpi

Kita tak akan pernah bisa menyepuh ulang segala impian
dan kenangan yang meranggas perlahan di ringkih hati
lalu menyemai harap, segalanya akan kembali seperti semula
“Karena apa yang tertinggal,” katamu,”seperti sisa jejak kaki
di bibir pantai yang lenyap terhapus hempasan ombak”
Kita hanya akan bisa bersenandung merepih pilu
Dan membuat segenap angan terbang liar mencabik cakrawala
seraya menyimpan segala asa dan rindu pada diam,
pada keheningan
pada lagu lama yang kita lantunkan
dan bergema lirih hingga ke sudut sepi sanubari
“Karena apa yang kini ada”, ucapmu lagi,

”Adalah tempat dimana angin segala musim bertiup 
dan arus semua sungai 
bermuara yang kerap membuat kita gamang pada pilihan : 
meniti samar masa depan ataukah menggenggam nostalgia 
dan ikut karam bersamanya”

KOTA CENGKEH, MARET 2013


INGIN MEMBUNUH TUHAN


Tuhan
Aku kini semakin jauh
Tersesat di belantara kota
Aku kini ditelan zaman
Keramaian dan fatamorgana
Menjeratku dan tak dapat lagi kembali

Kenikmatan semu dan godaan
Menyeretku pada keindahan yang membunuh
Harta
Tahta
Wanita
Nama besar dan keabadian
Telah mengubah arah dan kiblatku; Selangkangan !

Bahkan,
Aku seakan berencana membunuh-Mu
Untuk merampas segala yang Kau miliki

Muhammad Munir
Makassar, 1 Muharram 1435 H.  


MENGELABORASI MAKNA KATA KADER


                                                         
 Oleh: Muhammad Munir

Sebuah percikan sejarah ketika bom atom mengguncang Hiroshima dan Nagasaki. Tak terhitung berapa jiwa manusia yang hilang melayang pada kejadian itu. Disaat yang sama sang kaisar datang memantau kejadian itu. Dari bibir Sang Kaisar itu kalimat pertama yang terucap adalah sebuah pertanyaan; ”Masih adakah guru yang hidup?’. Kenapa harus guru? Karena gurulah yang sangat berpeluang untuk membangun masa depan sebuah negara.

Ketika semua tokoh politik didaerah ini kehilangan jati diri, maka yang harus kita pertanyakan adalah masih adakah kader partai...? Kenapa kader? Karena kaderlah yang paling berpeluang untuk membangun masa depan partai. Kader adalah penentu kalah menang suatu partai dalam setiap kontestasi, baik itu pemilu, pilpres maupun pilkada. Kader adalah makhluk yang akan selalu ada dalam lingkup sebuah partai. Pimpinan boleh berganti, tapi kader tetaplah kader.

Istilah ‘kader’ adalah kosa kata yang sering kita sebut dan tidak terlalu banyak yang mencoba mengelaborasi makna kedalamannya. Dalam sebuah organisasi partai, kader dibedakan dalam dua kategori, yaitu “Kader Formalitas” dan “Kader Esensial”. Kader Formalitas adalah sebutan bagi siapapun pengurus struktural partai dan pernah mengikuti pelatihan kader. Sementara Kader Esensial adalah penjumlahan kualitas yang terdapat dalam diri seseorang tanpa melihat apakah orang itu berada dalam struktur partai atau tidak.

Kualitas yang dimaksud meliputi bentuk immaterial seperti cita-cita, angan-angan, niat baik, sifat ikhlash, tulus dll, hingga bentuk material yang dapat dilihat dalam konstribusi pemikiran, tenaga, dana dll. Pada pengertian Kader Formalitas yang tidak memiliki kualitas Kader Esensial cenderung akan menjadi beban dan penghalang untuk menang, bahkan mungkin tepat disebut “benalu partai”.
Mengelaborasi kata kader sesungguhnya merupakan upaya sebuah lembaga politik untuk membangun ruang akademis dan hati nurani.  Sebuah keniscayaan untuk menjadikan politik sebagai lapangan kompetisi sekaligus sportifitas. Kader bukanlah karyawan, bukan pula staf yang setiap saat harus menjadi pihak yang dituntut bertanggung jawab dalam setiap proses yang menjadi tugas dan tanggung jawab partai. Kader tak harus menjadi korban adanya penyelewengan, pembiaran dan apapun bentuknya, lalu dijadikan kekuatan untuk menjadikan kader sebagai pembela.

Adalah sebuah kesalahan fatal yang yang tidak bisa di tolerir, ketika dandanan-dandanan politik yang sifatnya menina bobokan kader. Pun partai tak harus menjadi muara dari seluruh kepentingan politik, sebab jika ingin besar, partai harus dijadikan seragam kolektif untuk mengakomodasi keinginan masyarakat lebih dahulu ketimbang kader. Karena atas nama demokrasilah partai politik menemui takdirnya untuk dilahirkan dengan fungsi utama sebagai rumah aspirasi rakyat.Jangan lagi mengeja konsep politik Belanda yang ketika ada segolongan yang tidak pro atau menentang maka jalan satu-satunya adalah disingkirkan.

Lembaga partai politik yang didalamnya ada banyak kader yang menjadi wakil rakyat. Sejatinya Partai dan lembaga DPR menjadi wadah aspirasi dan aksentasi konstituen dengan masyarakat secara umum. Pengurus partai dan anggota dewan seharusnya memposisikan diri sebagai aspirator, inisiator dan mediator bagi kebutuhan masyarakat secara umum dan konstituen secara khusus. Apabila aspirasi tidak mampu diakomodir secara baik dan benar, maka jangan heran jika kemudian kritik, opini, bahkan mosi tidak percaya sebab jika rakyat lelah maka makian dan sumpah serapah adalah halal baginya.

Sampai hari ini, sejak 2006, penulis masih menemukan adanya kader partai yang belum menemukan jati dirinya. Tak jarang kader tersebut menjadi kayu bakar dalam setiap pemilihan. Belum juga lahir wakil rakyat yang betul-betul bisa menjadi bagian dari solusi, yang ada malah menjadi bagian dari masalah. Pun belum kutemukan pimpinan partai yang betul-betul bisa menjadi corong kepentingan kader dan masyarakat konstituen, yang ada malah menjadikan jabatan sebagai pimpinan partai sebagai ajang gagah-gagahan. Baik Wakil Rakyat maupun Pimpinan Partai masih butuh proses untuk bisa connect dan menemukan frekwensi untuk bisa berkomunikasi dengan rakyat pada gelombang yang sama.

Lalu apakah kondisi seperti ini akan terus dipertahankan dan tak ada upaya-upaya yang bisa membuat kader lebih berdaya dan mandiri dalam kehidupan bermasyarakat ? Tulisan ini tidak untuk membangun ruang diskusi lebih banyak, tapi diharapkan menjadi katalisator tersampaikannya harapan untuk membuat para pemimpin partai dan wakil rakyat lebih banyak berintrasfeksi diri, lebih sering mengeja jiwanya untuk merasakan pedih perih menjadi rakyat yang asing dan terlantar dalam sistem didaerahnya. Tak ada makan siang gratis...itu pasti. Tapi rakyat ini tak butuh makan gratis, tak ingin makan enak melulu. Yang mereka butuhkan adalah enak makan.


Maka siapapun, hari ini mari merubah pola berpolitik kita. Jangan lagi kita sibuk berfikir untuk bisa beli ikan buat rakyat, tapi berilah mereka kail agar mereka bisa memancing ikan. Janganlagi kita sibuk mengumpul pundi-pundi untuk membagi puing-puing ke rakyat. Mulailah kita berfikir masa depan, jangan menjadikan rakyat sebagai bagian dari masa lalu kita. Berani Berubah !

Buku Kalinda'da' Kontemporer Mandar : PENGANTAR PENULIS

PENGANTAR PENULIS


Dengan rahmat dan karunia Allah SWT. Penulis akhirnya bisa menyusun dan menyelesaikan buku Kumpulan Kalinda’da Kontemporer Mandar “Cinna, Cinnau, Cinnamu, Cinnata, Cinnana” yang didalamnya memuat narasi ratusan kalinda’da’ yang penulis gubah dalam rentang waktu yang lama. Selain itu, ada lampiran kalinda’da’ lontar Mandar serta Kalinda’da’ yang ditulis oleh Alm. Abdul Muis Mandra.

Kalinda’da Lontar dan Kalinda’da’ Abdul Muis Mandra ini penulis lampirkan selain untuk menjadi perbandingan karya sastra, sekaligus mengapresiasi karya-karya pendahulu kita sebagai salah satu literatur di Mandar Bagaimanapun, kita harus berterima kasih kepada para pendahulu kita, yang dengannya mahakarya leluhur kita tersebut masih bisa kita nikmati hari ini.

Tujuan penulisan buku ini juga adalah upaya untuk mengabadikan karya-karya sastra yang sepanjang sejarahnya hanya berkutat di wilayah tutur dan lisan. Dengan tersusunnya buku ini, diharapkan masyarakat bisa dengan mudah memilah jenis kalinda’da’ yang akan di tampilkan dalam setiap acara/pagelaran.
Kalinda’da’ yang penulis gubah ini terbagi dalam beberapa kelompok atau jenis kalinda’da’ yang bercerita tentang Cinta, Cinta Kepada Allah, kepada Muhammad, Kepada Al-Qur’an sampai kepada lingkungan dan cinta muda-mudi. Itulah sebabnya judul buku ini mengusung “Cinna, Cinnau, Cinnamu, Cinnata, Cinnana” sebab didalamnya nyaris semua bentuk cinta terakumulasi dalam percikan kalinda’da ini.

Dengan terbitnya buku ini penulis menyampaikan penghormatan dan penghargaan serta ucapan terima kasih kepada Bapak Drs. Darmansyah (Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Sulbar). Tanpa dukungan beliau, buku ini mungkin tak akan pernah ada rak-rak buku. Kepada Dinda Muhammad Asri Abdullah, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Kab. Polman. Serta Ananda Muhammad Munir yang merelakan hampir setiap waktunya untuk mengumpul dan mengetik ulang naskah-naskah yang telah penulis selesaikan. Naskah Puaji Tokke (Kumpulan Puisi Mandar) adalah buku pertama yang penulis percayakan kepadanya untuk menjadi editor. Buku ini adalah naskah kedua yang juga lahir dari keuletannya menyortir dan menyunting serta mengedit naskah-naskah yang lusuh dalam tas penulis.

Almarhum Husni Djmaluddin, Syarbin Syam, Drs. Abdul Muis Mandra, Andi Syaiful Sinrang, MT. Azis Syah, Ahmad Patingari, Nurdahlan Jirana, Ali Sjahbana, adalah sosok yang ikut mewarnai proses lahirnya peradaban di tanah Mandar. Mereka adalah guru yang penulis jadikan inspirasi dalam berkarya. Olehnya, buku ini penulis halalkan untuk menjadi amal jariyah dan berharap setiap pembaca berkenan mengirimkan bacaan Surah Al-Fatihah yang pahalanya adalah buat mereka.

Juga ucapan terima kasih kepada orang tua kami Nurdin Hamma, saudara kami Saharuddin Madju dan semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu-persatu. Secara khusus penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada bapak Drs. Suradi Yasil, M.Si. yang banyak memberikan literatur, saran dan masukan kepada penulis.

Penulis mengharapkan kritikan dari pembaca yang budiman untuk dijadikan bahan perbaikan pada edisi berikutnya. Disana-sini, tentu terdapat banyak  kekurangan Kritik dan saran dari pembaca sekalian adalah hal yang penulis tunggu-tunggu. Dan kepada Allah SWT jua kita berserah diri sebagai pemilik kebenaran mutlak, dan semoga kita semua dimudahkan dalam mencari ilmu-Nya. Amin ! 


Tinambung, 10 Januari 2017



BAKRI LATIEF

BUKU SILAT BURAQ PADANG BALANIPA : Pengantar Penulis



Penulis meminjam sebuah pribahasa kuno dari Indian Alaska,When an elder dies a library burns ketika seorang tua meninggal maka satu perpustaakan habis terbakar. Sebuah pertanyaan seketika muncul, sudah berapa perpustakaan kita yang hilang dan apa upaya kita untuk melestarikan perpustakaan yang hilang itu untuk tetap bertahan?. Pertanyaan ini penting untuk dijawab, sebab refleksi dari perkembangan abad manusia nusantara yang kian meninggalkan hikmah warisan para tetuanya. Sehingga tumbuh sebuah keraguan yang masih mencemak untuk melanggengkan warisan tersebut.

Penulis menganggap, pesan tetua inilah yang disebut sebagai filsafat ke-Indonesiaan kita. Kelompok filsafat barat menyebutnya hal itu sebagai fase fase kosmosentris. Tapi kita memiliki penamaan tersendiri  tanpa harus dikategori sebagai manusia animisme dan dinamisme. Kaitannya dengan fakta anak bangsa telah terjangkit modernisasi, baik tingkah laku dan pola pemikirannya, mereka hidup tanpa mengetahui bagaimana semangat lokalitas dan semangat yang ditawarkan modernisasi.

Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap para tokoh bangsa Indonesia, ada salah satu fase dimana bangsa ini mulai meninggalkan falsafahnya. Itu dimulai dari munculnya para pemikir bangsa ini yang  melahirkan konsep emansipasi, madilog, sosialisme dan lain sebagainya. Konsep itu mengisyaratkan pada dunia bahwa tradisi dan kebudayaan Indonesia adalah karakter manusia timur yang tertinggal meski dipuja dari tata nilai namun tidak merubah persoalan taraf kehidupan. Lalu konsep-konsep tersebut mengambil celah keadaan bangsa ini dengan isu-isu kesejahteraan. Nah ketika modernisme ini kian merajalela, perubahan besar-besaran kemudian terjadi, dekonstruksi, rekontruksi nalar dan kesadaran anak bangsa tak dapat terbendung.

Akibatnya, situs-situs peribadatan agama kepercayaan lokal dimasa lalu, kini ditinggalkan. Padahal yang terpenting dari situs tersebut yakni sebagai simbol keberadaan kejayaan dimasa lalu. Paling tidak kita sadar untuk merawatnya dari termakannya zaman. Baik dia yang berbentuk karsa, rasa ataupun cipta artefak serta nilai falsafah.Dapat kita saksikan sendiri, kaum-kaum adat hari ini masuk sekolah lalu mengusai ilmu sains dan filsafat modern, hingga adat kini di anggap sebagai mistisme dan takhayyul serta ilusi kuno bin kolot.

Penghormatan masyarakat adat terhadap air dan roh air kini tergantikan oleh eksploitasi orang modern terhadap air, hingga air seenaknya dicemari. Laut pun kemudian dianggap boleh dicemari karena di anggap benda mati dan tak patut dihormati. Begitu juga penghormatan terhadap hutan dan roh hutan telah tergantikan dengan eksploitasi hutan, penanaman seuta pohon digalakkan, tapi seribu hektar hutan dibalak liar tak pernah bisa digagalkan, hutan kemudian sah -sah saja untuk dibakar dan dijadikan lahan industry, sebab hutan bukan lagi hal yang keramat. Parahnya, agama dengan muatan liberalisme dan radikalisasi ikut dijadikan alat untuk menghancurkan falsafah tersebut.
Bukankah agama telah mengajarkan kita untuk saling menghormati antara manusia dengan manusia termasuk terhadap alam. Isu-isu HAM dan Pluralisme menjadi bagian tak terpisahkan sebagai hasil konstruksi kesadaran dari rincian pengetahuan barat. Mungkin bisa direfleksi bagaimana metode suku Badui dan suku Mandar mengelola hasil alamnya tidak hanya dengan tata cara teknis belaka dengan kandungan makna ussul dan pemali yang dilakoninya, mereka tetap sejahtra untuk survive. Tidak hanya berfikir mau makan apa hari ini dan esok tetapi bagaimana kehidupan sosialnya terjaga.

Jika di Mandar Sulawesi Barat terdapat konsep tomanurung, filsafat orang Mandar yang memandang manusia sebagai makhluk yang berasal dari langit atau surga atau bahkan berasal dari negeri para kaum leluhur, telah tergantikan oleh filsafat moderen dibangku sekolah, bahwa manusia adalah makhkuk evolotif yang berasal dari kera (Manusia Purba). Beginilah cara dunia moderen meletuskan segala bentuk perang bagi peradaban manusia menuju globalitas runtuhnya peradaban.

Bagaimana dengan konsep memandikan pusaka (Massossor) ritual laut dan perahu bagi orang Mandar dahulu, sebagai keluluhuran filsafat orang nusantara kemudian direduksi hanya pada model tekhnis semata, bukan sebuah makna filosofi “amaniniang” keharmonisan antara unsur manusia, alam dan ketuhidan.

Bukan dianggap salah jika belajar segala bentuk ilmu pengetahuan tetapi tidak serta merta patron falsafah hidup kini berkiblat kebarat, dimana bangsa nusantara jauh sebelumnya, telah lebih awal mendulang kejayaan dengan konsepnya sendiri. Kemudian pengetahuanlah yang membuat masa keemasan dianggap feodalisme untuk pelanggengan kekuasaan, yang kemudian harus diganti oleh konsep demokrasi. Sistem ini justru jauh lebih membuka ruang kekuasaan.Sistem yang tak jauh beda dengan hukum rimba, hanya saja dibalut dalam model patron politik lokal.

Artinya bahwa politik dengan gembosan isu-isu kesejahteraan membuka keran oligarki dan semakin memperhadap-hadapkan kaum proletar dengan para borjuis, jika digali paradigmanya dianggaplah kelas sosial merupakan hasil reduksi pertarungan kasta yang dilanggengkan dengan pengejewantahan keleluhuran para leluhur sebagai anak tuhan. Padahal faktanya kini, justru negara lewat sistemnya dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasan kelompok tertentu, lalu tradisonalisme nusantara kemudian menjadi kambing hitam.

Akhirnya, yang terjadi tidak sekedar adanya pergeseran kesadaran manusia nusantara, tetapi dampak dari pergeseran tersebut, munculnya wujud egosentrisme manusia sebagai makhluk will to power, kehendak untuk berkuasa serta kesewenangan terhadap alam semesta atas nama hak rasio.

Salah satu perpustakaan terbesar bangsa ini adalah kebudayaan yang tak hanya sekedar kebudayaan, terkandung didalamnya nilai filosofis spritualisme dan pengejewantahan sejarah peradaban nusantara. Penulis mengambil salah satu contoh mahakarya terbesar bangsa Nusantara yang memenuhi berbagai aspek kehidupan, yakni pencak silat. Bagi penulis pencak silatlah yang mengandung itu semua. Olahraga, seni, kebudayaan dan spritual. Dialah pencak silat, mahakarya bangsa dan salah satu pilar semua dimensi peradaban nusantara yang senantiasa menyapa dunia, hari ini esok dan kemarin.

Akankah esok akan menjadi harapan, kemarin menjadi kisah indah, dan hari ini tetap sebagai jangkar yang kokoh untuk menuju harapan dan meneruskan kisah yang indah?. Jawabnya ada pada kesadaran anak bangsa dalam menghadapi zaman.

Penulis sangat bermimpi ingin membuat film silat seperti film taichi, bela diri Cina yang memainkan jurus dan filosofi bela dirinya dalam sebuah film kungfu.

Penulis teringat dengan sebuah film Cina yang menjelaskan kisah Ip Man (guru Bruce Lee), Ip Man menegakkan kedaulatan  bangsanya lewat bela diri, dia bertarung melawan penjajah dan melawan dominasi kebudayaan yang berupaya penjajah tanamkan didaratan Cina, lalu mencoba memandang remeh beladiri Cina.

Hingga suatu saat Ip Man harus bertarung melawan semua jenis beladiri asing Inggris dan Jepang atas nama bangsa Cina. Terbukti dengan tekad dan kemampuan serta militansi ideologi kecintaan terhadap negara, kebudayaan dan beladiri khas bangsanya, dia mampu melawan penjajah yang mencoba meremehkan negara dan bela diri khas bangsanya itu.

Nusantara sendiri memiliki sebuah perdaban yang besar, nasanatara mempunyai peradaban yang tak kalah dengan peradaban yang Cina miliki, tentu saja bangsa Indonesia bisa menegakkan nasionalisme dengan kebudayaannya. Melawan dengan primordialisme kebangsaan yang pantang tunduk pada penjajah. Sayangnya kebudayaan pencak silat hanya berkembang disektor olahraga tetapi tidak sejalan sebagai bentuk aspek budaya.

Awalnya rencana penelitian ini dimulai karena terdorong melihat aktivitas kebudaayaan yang  terdokumentasi di Mandar belum ada yang bicara tentang silat secara spesifik, umumnya kebudayaan dituliskan secara spesifik pada musik, sastra, bahari serta tarian. Tidak khusus membahas bagaimana perkembangan pencak silat. Padahal salah satu kebudayaan yang akan digeser oleh globalisasi adalah pencak silat, tidak hanya di Mandar tetapi di Indonesia secara umum. Silat kini menjadi sebuah identitas lokal bangsa yang terlupakan. Sehingga penting untuk dituliskan, terlebih tidak semua diantara kita ingin melakoninya.

Penulis teringat dengan sebuah ungkapan Datuk Edwel, bahwa terlalu murah harga bangsa saya jika saya tak bisa memberikan apa-apa, tapi ternyata ada kebudayaan khas saya yang bisa saya banggakan untuk kukenalkan kedunia, dan kebudayaan yang Edwel maksud adalah pencak silat.[1]

Ada hal yang membahagiakan dalam penyusunan karya ini. Sebagai pemula, karya ini adalah anugerah tersendiri dengan tercurahnya hidayah bisa menyusun karya ini. Sejak duduk di Kelas tiga SMA niat itu telah terbersit, namun belum memahami karya kebudayaan seperti apa dan dengan cara apa memulainya. Saat itu penulis sudah memiliki data-data dan pemahaman dasar ilmu beladiri.

Hal tersebut terjadi sebab sejak kecil penulis telah dibimbing langsung oleh ayahhanda untuk mempelajari yusika (sejenis bela diri silat). Saat masuk usia SMP, penulis telah belajar Black Panter. Demikian juga di SMA kerap mempelajari bela diri kempo dan melanjutkan tradisi silat di perguruan silat Minangkabau hingga dibangku kuliah. Penulis juga ikut serta sebagai atlit kempo Sulbar, dan tertarik untuk sedikit belajar beladiri karate. Dalam proses melihat, melakoni dan membandingkan itulah penulis mulai meramu data-data melalui cerita tutur para pendekar dan ahli beladiri asing hingga penulis kemudian memilih fokus di pencak silat.

 Keterlibatan penulis dalam berbagai kelas kejuaraan Kempo cukup memberi pengalaman berharga, meski tidak menorehkan prestasi gemilang. Hal ini terjadi karena terbatasnya waktu untuk mengikuti turnamen secara rutin. Bukan hanya itu, penulis juga memilih lebih fokus dibangku kuliah dan organisasi. Kendati demikian, penulis merasa bersyukur mempunyai kesempatan dalam melakoni beberapa pertarungan dan meraih juara ketiga di pertandingan terakhir di Unhas Makassar. Dan pada tahun 2010 lalu, penulis berhasil menjadi peserta terbaik ujian kenaikan sabuk tingkat Kiyu Dua Nasional.

Pada saat menjadi mengikuti program studi S2 di Jakarta, data-data tersebut penulis kembangkan dan lebih dipertajam. Perkenalan penulis dengan orang-orang Jawa, Betawi, Madura dan Minangkabau terlebih orang Bugis Makassar (sejak di Sulawesi) banyak memberi informasi baru, baik secara literatur maupun tutur. Ada banyak orang yang penulis temui dan mencoba mengorek informasi darinya, Namun dalam prosesnya, ada rasa kecewa sebab mereka menilai silat tradisional dianggap tidak boleh untuk dipublikasikan dan belum dalam kesadaran untuk menyusun karya ini.

Beruntunglah keberadaan Buraq Padang yang merupakan turunan dari Minangkabau di Mandar membuka peluang untuk menuliskan dan mendokumentasikannya, berkat hubungan kedekatan Minangkabau dan Buraq Padang serta kedekatan penulis dengan salah satu khalifah Buraq Padang dan guru besarnya. Sembari mempelajari data-data dan menggali rahasia gerakan yang dimiliki silat Buraq Padang.

Hikmahnya adalah, tekad untuk menyusun karya sederhana ini dalam membincang silat Mandar, akan dimulai dari BuraqPadang, yang tidak hanya mewakili keberadaan pencak silat di Mandar, tetapi juga melatari intrkasi kebudayaan dari sebuah peradaban antara orang Mandar dan Minangkabau. Hingga patut di syukuri, semoga karya ini bermanfaat untuk pelestarian kebudayaan di Mandar dan Indonesia khususnya pencak silat tradisional. Ucapan terimakasih sedalam-dalamnya tanpa terkeculai untuk kedua orang tua dan Abdi Ahmad selaku paman sekaligus ayah, sepupu dan para pembimbing penulis selama mendalami dunia jurnalistik dan kajian kebudayaan serta pengetahuan lainnya dibidang akademik.

Banyak dari beberapa tokoh intelektual dan kebudayaan menjadi tempat belajar dan berdiskusi, hingga tak luput ucapan terimakasih penulis sampaikan pada sosok guru Muhammad Ma’ruf Muhtar. Sahabat senior Muhammad Sukriadi Azis, Mas’ud Shaleh, Subair Sunar, Muslim Sunar, Askra Darwis, Syeh Ahmad Zaky Dfjafar Almahdaly, serta orang tua kami Nurdin Hamma dan Tammalele dan semua yang tak sempat dituliskan.

Ucapan terimakasih pula untuk Muhammad Ridwan Alimuddin, Dahari Dahlan, Muhammad Munir, Muhaimin Faisal, Adi Arwan Alimin dan sosok guru Muhammad Syariat Tajuddin yang banyak memberi masukan selama ini. Sahabat karib Aco Muhammad Rifai, Puaq Kali, Jasman Puaq Mi’na,Arif selaku senior dan guru pula buat penulisi. Dan terkhusus pribadi KH. Muhammad Syibli Sahabuddin. Serta Prof. Dr. H. Baharuddin Lopa, Husni Djamaluddin dan Prof. Dr. KH. Sahabuddin, bagi penulis, meski tidak bersentuhan langsung dan hanya mengenal sosok dari latar sejarah beliau disaat duduk dibangku sekolah, namun beliau adalah inspirator yang akan selalu tumbuh dihati generasi Mandar.

                                                            Penulis


                                                            Suryananda




[1] youtube

Tentang Kalinda'da' (Bagian 4-Selesai)



1.    Sturuktur Kalinda’da’

Sturuktur kalinda’da’ pada dasarnya ada dua kategori, yaitu kalinda’da’ dua kerat (dua baris) dan kalinda’da’ empat kerat (empat baris). Namun pada  umumnya dan lebih bayak digunakan orang adalah yang terdiri dari empat kerat (empat baris). Suradi Yasil mengurainya dalam struktur kalimat sebagai berikut :
(a)     Tiap bait terdiri dari 4 (empat) larik/baris.
(b)     Larik pertama tediri dari 8 (delapan) suku kata.
(c)      Larik kedua tediri dari 7 (tujuh) suku kata.
(d)     Larik ketiga terdiri dari 5 (lima) suku kata.
(e)     Larik keempat terdiri dari 7 (tujuh) suku kata.
(f)       Merupakan puisi suku kata.
(g)     Persajakan kalinda’da’ umumnya bebas. Ada yang bersajak akhir aaaa, abab, abba, dan aabb.

Dalam struktur kalinda’da juga ada rumus yang disepakati yaitu mempunyai suku kata : 8–7–5–7. Ini dikenal dengan rumus 8757. Berikut beberapa contoh:
1.         Garitimmudilin do–mu          = 8  suku kata
Puppianasallambar              = 7  suku kata
Naupewong                               = 5  suku kata
Malaidikappungngu              = 7 suku kata.

2.         Usangabittoengra’da’         = 8 suku kata
Dipondo’ na - i bolong                        = 7 suku kata
Ikandi’pale’                               = 5 suku kata
Mam burepecawanna          = 7 suku kata

3.         Tenna’rapangda’uwai           = 8 suku kata
Lambakalolololong               = 7 suku kata
Mettonangbanda’                     = 5 suku kata
Dinaungnaende’ mu             = 7 suku kata

4.         Rapanga’dai’dibulang         = 8 suku kata
Sipanginobittoeng                 = 7 suku kata
Diuissanna                                = 5 suku kata
Mutarimasallangngu            = 7 suku kata

5.         Innadzuapanisanga             = 8 suku kata
Masaradibatammu               = 7 suku kata
Allobongima’                            = 5 suku kata
Mallabudikappungmu          = 7 suku kata



6.    Ciri khas kalinda’da’

Kalinda’da’ mempunyai beberapa persamaannya dengan pantun Melayu dan syair Arab, khusus pantun Melayu dan syair Arab yang terdiri dari empat baris sebait, dan ada juga pantun Melayu dan syair Arab yang terdiri dari dua baris sebait. Seperti juga salah satu bentuk sastra Mandar yang ditemukan dalam lontar, ada yang terdiri dari dua baris sebait, seperti kalinda’da’ berikut ini :
Polemi tanda keama’                                  
Dinatallanna lino                                         
Popporna loka                                              
Nisanga uru sei.                                           
Sudah datang tanda kiamat
Pertanda dunia akan kiamat
Sisir pisang paling bawah
Disangka sisir paling atas.

Pantun Melayu :
Kalau tuan mudik ke hulu
Bawakan saya bunga kamboja
Kalau tuan mati dahulu
Nantikan saya di pintu surga.

Syair Arab :
Innal mu’allima waththabiiba kilaahumaa
Laa yanshahaani idzaa humaa lam yukramaa
Fashbir lidaaika in jafauta thabiibahaa
Waqna’ bijahlika in jaufauta mu’allimaa.
Terjemahan bebasnya :
Sesungguhnya pengajar dan dokter dua-duanya
Tidak akan memberi nasehat bila mereka tidak terhormat
Maka sabarlah atas sakitmu jika engkau jauhi dokter
Dan terimalah kebodohanmu jika engkau jauhi pengajar.

Selain kalinda’da 4 baris, ada juga Kalinda’da’ dan pantun Melayu serta syair Arab yang dua baris sebait.
Kalinda’da’ :
Mula dianna dunia Makka anna’ Madina.
Posi’na lino iyamo Baetullah.
Pertama kali dunia ada Mekalah dengan Medina
Pusatnya dunia itulah Baitullah.

Rahasia pappeyappu apa nasisalai
Inna membolong inna nipembolongngi.
Rahasiah dan ma’rifat apa perbedaannya
Mana yang melebur dan mana yang dileburi.

Sarea’ anna tareka’ hakiki pappeyappu
Inna mellorong di Aras Kurusia.
Syariat dan tarekat-hakikat pengenalan
Mana yang sampai ke Aras Kurusia.

Messunganna rahasia apa napessunganni
Dimettamanna apa napettamai.
Keluarnya nafas apa tugasnya
Ketika masuk apa pula maksudnya.

Pessunganna pettamanna sipa’ alang ditia
Diang makko’na nyamang pole di puang.
Masuk dan keluarnya nafas hanya sifat alamiah
Ada wadahnya berupa nikmat tak terkira rahasia Tuhan.

Inna oroang massoba apa nipassobangang
Inna massoba anna Puang disoba.
Dimana tempat menyembah dan apa dipakai menyembah
Siapa yang menyembah agar Allah yang disembah.

Ate oroang massoba ate toi massoba
Puang maraja andiang da’duanna.
Hati tempat menyembah – hati juga yang menyembah
Allah yang maha agung tak ada bandingnya.

Inna sambayang tambottu sikkir tammala pi’de
Na dzipewongang sita Allah Ta’ala.
Mana shalat tak putus dan zikir tak dapat padam
Akan dijadikan bekal menghadap Allah Swt.

Pe’gurui sita memang Puang Allah Ta’ala
Dapa manini kurang pappeyappummu.
Pelajari dari awal bertemu Tuhan semesta alam
Jangan sampai kurang pengetahuanmu terhadap Tuhanmu.

Apadzi tia namala kurang pappeyappummu
Allo bonginna batang sirande-rande.
Mengapa sampai kurang pengenalanmu terhadap Tuhan
Siang dan malam tak perna berpisah.

Pantun Melayu :
(1)          Dimana orang berkampung
(2)          Disana pantun bersambung.

(1)          Dimana orang berhimpun
(2)          Di sana pantun dilantun

(1)          Di mana orang berhelat
(2)          Di sana pantun melekat

(1)          Di mana orang berbual
(2)          Di sana pantun dijual

(1)          Rindang kayu karena daunnya
(2)          Terpandang Mandar karena kalinda’da’nya

(1)          Apa tanda Mandar sejati
(2)          Berkalinda’da’ sangatlah mahir

(1)          Apa tanda Mandar beradat
(2)          Dengan kalinda’da’ memberi nasehat

(1)          Apa tanda Mandar terbilang
(2)          Dengan kalinda’da’ mengajar orang

(1)          Apa tanda Mandar berbudi
(2)          Dengan kalinda’da’ memperbaiki diri

(1)          Apa tanda Mandar beriman
(2)          Dengan kalinda’da’ mengenal Tuhan

(1)          Apa tanda Mandar bersifat
(2)          Dengan kalinda’da’ ia berwasiat

(1)          Apa tanda Mandar pilihan
(2)          Dengan kalinda’da’ ilmu diturunkan

Syair Arab :
(1)          Laa tazhlimanna idzaa maa kunta muqtadiran.
(2)          Fazhzulmu tarji’u uqbaahu ilan nadam.
Terjemahannya :
(1)    Sekali-kali janganlah berbuat zhalim jika engkau berkuasa.
(2)    Karena zhalim itu akibatnya kembali pada penyesalan.

Isi dan ciri kalinda’da’ dan pantun Melayu serta syair Arab di atas, tampak jelas persamaan dan perbedaannya, dan tak dapat dipungkiri bahwa persamaannya lebih dominan ketimbang perbedaannya. Penulis berkesimpulan bahwa satu sama lainnya ada pengaruh, bahkan asal-mengasali dan sekiranya itu benar pastilah Pantun Melayu dan syair Arab yang mempengaruhi kalinda’da’, bukan sebaliknya.

Kalinda’da’ dan pantun Melayu serta syair Arab diatas memiliki persamaan  ketiganya - empat baris dalam satu bait, baris pertama dan ke dua sama-sama berfungsi sampiran, baris ketiga dan keempat sama-sama melukiskan isi, keduanya mementingkan isi/makna (tidak bercirikan romantis-materialistis; I’ art pour I’ = seni untuk seni atau seni untuk dinikmati bukan untuk diartikan sebagaimana faham aliran Romantis - Materialistik di abad ke XIX Masehi), tapi kalinda’da’ dan pantun Melayu serta syair Arab ketiga-tiganya menganut faham “seni untuk diartikan dan dinikmati”. Sedangkan perbedaan antara kalinda’da’ dengan pantun Melayu serta syair Arab adalah pantun Melayu dan  syair Arab mementingkan sajak, sedangkan kalinda’da’ kurang mementingkan sajak, tapi isi yang ditonjolkan.

7.    Jenis-Jenis Kalinda’da’

-     Kalinda’da’ Agama (masa’ala)

Kalinda’da’ agama adalah jenis kalinda’da’ yang berfungsi mentransformasikan nilai-nilai dan ajaran agama yang disampaikan dalam bentuk kalinda’da’. Misalnya :
(1) Tappadzi niwawa pole
Siri’ nipapputiang
Rakke di Puang
Sulo di wao lino.      
Hanya dengan bekal iman kita lahir
Wadahnya berbungkus malu (siri’)
Taqwa kepada Allah
Adalah obor di atas dunia.

(2) Sahada’di tu’u tia
Ayu sakka daunna
Nadioroi
Mettullung mappassau.
            Kesaksian kepada Allah (syahadat)
            Pohon kayu yang rimbun daunnya
Untuk ditempati
Bernaun dan beristirahat.

(3) Sambayandi tu’u tia
Na dipejari sulo
Na dipajari
Tappere di ku’burta.
            Sesungguhnya shalat itu
Akan dijadikan suluh
Suluh yang sebenarnya
Sebagai tikar dialam kubur.

(4) Ia lao dipesulo
Tanggalalang di ku’bur
Nyawa tassekka
Maroro tan diwarris.
Yang akan dijadikan suluh
Dalam perjalanan kealam kubur
Keyakinan yang tak mempersekutukan
Juga terhindar (lurus) dari Bid’ah.

(5)      Wattutta messung di lino
Laher tomi tu tau
Innamo puti’
Pole na di poleang.
Ketika kita lahir ke dunia
Kita sudah dibekali
Nurani kebenaran
Sebagai modal dalam mengarungi kehidupan.

-       Kalinda’da’ Penuturan Adat

Kalinda’da’ penuturan adat merupakan instrument penting dalam masyarakat Mandar dahulu kala. Dalam makna kekinian - adat dapat disamakan aturan hidup dalam bermasyarakat sehingga dikenal dengan hukum adat. Misalnya digunakan pada acara pelamaran seorang gadis, contoh :
(1) Nipaende’i tunai
Nipaoro di tambing
Nipapangada’
Dai’ di pe’uluang.
            Kami hadapkan hina – dina kami
            Bersila ditempat paling rendah
            Kami hadapkan
            Kesingga sana hadirin yang mulia.

(2) Dao parrappe tunata’
Tuna le’ba iami’
Buluang ulu
Anna’ nisanga tau.
Usah tuan sebut hina – dina
Kami jauh lebih hina – dina
Hanya karena kepala berambut
Hingga kami dinamai manusia.

(3) Poleang siola rannu
Diolo mala’bi’ta
Melo’ nasappe
Ditappa’ gala’garta.
Kami datang dengan harapan
Kehadapan hadirin terhormat
Ingin bergantung
Diujung gelegar hadirin.

(4) Tunai doing di llimbong
Naottong batu rape’
Tomelo’ tuna
Naummi nalolo’i.
Hina – dina kami didasar laut yang dalam
Tertindi batu rapat – rapat
Yang sudih bersama dengan kehinaan kami
Tentulah ia menyelaminya.

(5) Duru’di todzi’ tunai
Sayangngiandang todzi’
Nanisolangi
Tuo makkasi-asi.
Tolong pungutlah hina dina kami
Restuilah kami dengan penuh kasih
Untuk bersama
Hidup bergelut dengan kemiskinan.

(6) Bismilla dipippoleta
Alepu’ natappai
Nabi meturu’
Puang namappa’dupa.
Dengan Bismillah tuan datang
Kami sambut dengan besar hati
Berkat nabi kita untuk setuju
Tuhanlah yang akan mengabulkannya.

-     Kalinda’da’ Asmara

Kalinda’da’ asmara atau yang lebih dikenal dengan kalinda’da’ muda-mudi adalah kalinda’da’ (bahasa halus) yang digunakan oleh seorang pemuda atau pemudi dalam mengungkapkan perasaan cintanya kepada sang pujaan hati. Contoh :
(1) Garitimmu di lindomu
Puppiana’ sallambar
Naupiwongi
Malai di kappungngu.
Geriting rambut di jidatmu
Cabutkan sehelai
Akan kujadikan bekal
Pulang kekampung halamanku.

(2) Moa’ lessea’ malai
Anna’ maullung allo
Dao pittule’
Salili’umo tu’u.
Bila dalam kepulanganku
Seiring dengan mendungnya surya
Usalah bertanya
Rinduku telah terasa.

(3) Nasalilima’ manini
Name’ita minnama’
Me’ita’ tama
Buttudzi mallindui.
Kalau rasa rindu mulai terasa
Kepada siapa aku menatap
Kucoba memandang lebih dalam
Rasanya tak mungkin.

(4) Pitu buttu mallindui
Pitu ta’ena ayu
Purai accur
Naola salili’u.
Berapapun penghalang yang menghadang
Serta tantangan dan rintangan
Semuanya akan kuatasi
Untuk menggapai tujuanku.

(5) Inna dzuapa nisanga
Masara di watammu
Allo bongima’
Mallawu di kappummu.
Upaya yang bagaimana lagi
Yang akan kulakukan
Siang maupun malam
Selalu berfikir/berikhtiar untukmu.

-          Kalinda’da’ Anak-Anak

Pada diri anak-anak ada dua hal yang mengisi perasaan hatinya, yaitu perasaan suka-cita dan perasaan duka-cita. Itulah sebabnya pada diri anak harus ditanamkan rasa optimisme, penuh harapan – jangan diajarkan pada anak perasaan pessimis. Oleh orang-orang tua di Mandar dahulu kala, anak-anaknya sudah dibekali pesan-pesan yang baik untuk mempersiapkan dirinya sejak dini dalam mengarungi kehidupan yang penuh tantangan. Nasehat kalinda’da’ itu disampaikan orang tua kepada anak-anak disaat dalam ayunan (ditimang-timang) Contoh :
(1) Ana’ patindo’o naung
Dao lawe-laweang
Tuo marendeng
Diang bappa dalle’mu.
Duhai anakku sayang
Tidurlah dengan tenang
Kelak setelah dewasa
Semoga mempunyai rezki yang baik

(2) Diang dalle’ mulolongang
Damunghula-ghulai
Andiang dalle’
Nasadzia-dzianna.
Ketika kelak mempunyai rezki
Jangan berperilaku boros
Sebab rezki itu
Tidak selamanya ada.

(3) Dalle’mu topa o i’o
Mutarima macoa
Dalle’na tau
Dao pakkira-kira.
Nanti rezki yang kau usahakan sendiri
Yang kau anggap sebagai hartamu
Rezki orang lain
Jangan bermimpi untuk memilikinya.

(4) Lembong tallu di lolangang
Sitonda tali purrus
Muola toi
Ma’itai dalle’mu.
Walau banyak tantangan yang menghadang
Serta rintangan yang bertubi-tubi
Arungi jua
Untuk menggapai cita-citamu.

(5) Mo le’ba’ dilang di nganga
Naniamme’mo naung
Ra’da’i liwang
Moa’ Tania dalle’.
Walau sudah menjadi milik
Dan sudah memberikan manfaat
Itupun juga akan lepas
Kalau memang bukan rezki.

-          Kalinda’da’ Pappasang

Penuturan kalinda’da’ tidak ada yang membatasinya sepanjang pakkalinda’da’ dalam menyampaikan isi, sasaran dan tujuannya tidak menimbulkan pertentangan/kekerasan (tindak pidana) dalam masyarakat. Dewasa ini seyogianya kalinda’da’ berfungsi sebagai tugas sosial, keagamaan dan tugas kebudayaan. Sebagai pengembang tugas sosial, dalam rentang sejarah yang panjang, kalinda’da’ senantiasa berperan aktif sebagai pembawa pesan moral. Kalinda’da’ nasehat misalnya sangat pamungkas memainkan peranan dalam menjaga dan memperkokoh moral masyarakat.
Demikian juga  jenis-jenis kalinda’da’ yang lain seperti kalinda’da’ masa’ala (agama), kalinda’da’ muda-mudi, kalinda’da’ anak-anak, kalinda’da’ penuturan adat dan kalinda’da jenaka (bersenda-gurau). Semua jenis kalinda’da’ yang disebutkan itu memainkan fungsi dan peran sebagai pembawa pesan, penyampai petuah atau pengembang amanah sesuai kalangan masing-masing.
Bila dirunut ke belakang, para penyebar islam dan kalangan bangsawan selalu ber-kalinda’da’ dalam majelis-majelis resmi. Inilah tugas pemerintah daerah dalam upaya melestarikan kebudayaan lokal untuk menampilkan kembali media kalinda’da’ pada acara-acara resmi kenegaraan di daerah termasuk media kalinda’da’ dijadikan para muballiq dalam menyampaikan pesan keagamaan.

-     Kalinda’da’ Sebagai Hiburan

Dalam upaya melestarikan kalinda’da’ metode salah satu yang paling ampuh adalah dilantungkan dalam syair lagu, misalnya berupa lagu sayang-sayang, padang pasir, kerambangang, andu-anduru’dang, dan lain sebagainya. Lagu sayang-sayang dan sejenisnya mulai ada dan berkembang ditahun 1970-an. Dan saat ini sayang-sayang menjadi warisan budaya tak benda yang diakui secara nasional yang berasal dari daerah Mandar dan sudah mendapat Surat Keputusan dari Kementerian Pendidikan Nasional RI dengan nomor sertifikat :…………………………………….. Lagu sayang-sayang ini, bukan lagunya sebagai warisan budaya tapi passayang-sayang-nya, karena yang bersangkutan memiliki keilmuan, kecerdasan,  keintelektualan dalam mencipta kalimat yang indah yang disebut kalinda’da’ (pantun) dengan cair tanpa ada konsep sebelumnya.
Lagu sayang-sayang ini dipopulerkan oleh Andi Syaiful Sinrang, Halija bersama Syaripuddin, dan beberapa seniman Mandar lainnya. Sebelum kalinda’da’ menjadi syair dalam lagu sayang-sayang terlebih dahulu dikenal dengan istilah pakkacaping dan parrawana. Lagu pakkacaping dan parrawana mempunyai syair lagu berupa kalinda’da’. Pada tahun 1960-an sangat populer di Mandar Pakkacaping, yaitu I Paraghai, I Taghi’, Isa’ala dengan tolonya dan pitedzena (sanjungan dan pujian). Bila I Taghi atau I Paraghai memainkan kecapi dengan lagu syair kalinda’da’ biasanya ditampilkan gadis-gadis cantik dengan memakai busana adat Mandar sambil duduk di hadapan hadirin (penonton), kemudian tuan rumah atau pelaksana pakkacaping memberikan uang terlebih dahulu kepada gadis-gadis cantik yang berbusana adat Mandar  kedalam kappar (Loyang) yang diletakkan didepan gadis cantik. Tradisi seperti ini di tanah Mandar disebut Pamacco’ (pemberi hadiah). Pamacco berikutnya tidak boleh memberi hadiah kepada gadis-gadis yang ditampilkan itu melebihi hadiah (uang) dari tuan rumah – pelaksana kegiatan, kapan itu terjadi – merupakan penghinaan terhadap tuan rumah.