Oleh : Muhammad Munir
Festival
Sungai Mandar adalah sebuah program tahunan yang
digagas oleh teman-teman di Uwake’
Cultuur Fondation yang dipunggawai oleh Muhammad
Rahmat Muchtar. Pada perhelatan fsm i 2014 mengusung tema “Sungai Sahabatku”, FSM II 2015
mengangkat tema “ Dengan Sungai Aku
Mencintaimu”. Dan perhelatan FSM III yang tahun 2016 di back-up oleh
pemerintah daerah Polewali Mandar (disbudpar) mengangkat tema “Pessungo Potaq Pettamao Randang”.
Ada beberapa hal yang menarik untuk di elaborasi dalam pemaknaan
dan pembacaan kita pada Festival Sungai Mandar di Tinambung ini, yaitu; pertama: tema yang diusung dari perhelatan pertama sampai ketiga
adalah sebuah proses pertumbuhan ideologi seiring dengan pematangan strategi
konsep dalam memesrai sungai sebagai anugerah tuhan. Ada sebuah tahapan yang begitu dinamis
seiring dengan upaya-upaya perbaikan dalam pelaksanaannya setiap tahun.
Kata “sahabat” pada FSM I adalah
fase anak-anak. Kata sahabat memang sering digunakan anak-anak dalam interaksi
sosialnya. Kemudian kata “mencintaimu”
pada FSM II adalah fase yang bisa dipadankan dengan usia remaja, sebab pada
usia remaja inilah tumbuh benih-benih cinta yang kerap menyelinap dalam setiap
proses perjalanan manusia yang sudah remaja. Lalu pada FSM III memilih sebuah
kalimat “pessungo pota’ pettamao randang”
adalah sebuah fase yang menunjukkan kematangan atau beranjak dari remaja ke
dewasa.
Fase-fase itu tumbuh secara alami. Dari fase anak-anak yang menjadikan
sungai sebagai sahabat, perlahan tapi pasti melahirkan sebuah rasa yang
membuncah sehingga rasa itu terungkapkan lewat sebait kata “aku mencintaimu”.
Dari proses menjadi sahabat yang melahirkan perasaan cinta itulah yang
membentuk karakternya sehingga bermuara pada sebuah fase kedewasaan. “pessungo pota’ pettamao randang” tentu
saja bukanlah sebatas kata slogan, tapi ia adalah sebuah ledakan kata. Ledakan
kata yang mewujud sebagai pernyataan untuk menarasikan kenyataan yang ada. Ia
adalah kesatuan kata yang utuh dan tak menyisakan kalimat yang mubassir
sehingga menjadikan FSM III ini tidak saja meluruskan tapi sekaligus
menyempurnakan sebuah gerakan yang tidak asal jadi tapi menjadi. FSM telah
tumbuh dan berkembang menjadi sebuah gerakan yang mencopy paste peristiwa
menjadi spektrum rasa yang tak lagi bisa terbendung.
Kedua: dari segi materi kegiatan yang akan diselenggarakan dan ditampilkan dalam FSM
III ini merupakan isu-isu sentral yang diharapkan menjadi solusi dari masalah
yang melingkupi masyarakat kita hari ini. Mulai seminar, persentase dan diskusi
dengan berbagai komunitas, reboisasi/penanaman pohon, pertunjukan seni
tradisional dan modern, bakti sosial sampai kepada rekomendasi-rekomendasi yang
telah dan akan dilahirkan sepanjang sejarah FSM tak lain adalah sebuah proses
politik kebudayaan dan pembebasan budaya-budaya kita untuk menata diri dan
membangun peradaban sungai.
Ketertarikan dan apresiasi saya terhadap FSM sesungguhnya terletak pada
materi yang saya anggap sejalan dengan tema yang diusung pada Kongres Sungai
Indonesia (KSI), di Banjarnegara, 26-30 Agustus 2015 lalu, yaitu "Sungai Sebagai Pusat Peradaban Bagi
Kelangsungan Hidup Dan Kesejahteraan Bersama". Lebih dari itu, saya
melihat ada beberapa hal yang ikut
terproses dan terfaktualkan, yaitu: pendidikan, pembangunan dan pemaknaan
Mandar sebagai identitas. Ketiganya itu merupakan suatu penegasan dari suatu peran yang sangat
positif dari masyarakat dan pemuda, sehingga saya tentu tidak harus resah
dengan bahaya pemuda yang kehilangan identitasnya, sebab dengan FSM ini
sekaligus menjadi usaha mencegah jangan sampai pemuda hanya main-main di jalan,
ngebut, narkoba dan pelanggaran lain.
Era globalisasi, modernisasi, westernisasi sampai pada MEA merupakan era keterbukaan di
negara kita. Dan saya ingin menegaskan bahwa meski era keterbukaan pada asing
tak jarang konklusi-konklusinya tidak selalu membuat kita maksyuk dalam
keasikan, tapi manfaatnya tentu lebih besar terhadap kebudayaan kita untuk
melihat cerminannya pada cermin kebudayaan lain, meski kemudian akan
menimbulkan distorsi-distorsi yang tak bisa dihindari dari akibat perbedaan
kebudayaan kita.
Namun semua itu, tentu akan menjadikan budayawan dan pelaku seni kita
dituntut untuk lebih kreatif dan ilmiah sifatnya. Untuk itu, menjadi penting
membuka dialog dengan masyarakat kita, dengan sejarah kita, dengan realitas
sosial kita, yang kesemuanya itu merupakan sesuatu yang asing bagi orang asing.
Ada semacam kekhawatiran dari masyarakat kita ketika daerah dan kebudayaan
kita tata, kelola dan kembangkan akan membuat daerah kita menjadi destinasi
budaya yang dikunjungi banyak wisatawan manca negara dan lalu Mandar ini akan
serupa dan senasib dengan bali. Saya tidak terlalu khawatir dengan persoalan
itu, sebab dari pantauan saya, tak ada yang menonjol di bali selain
revitalisasi atau suatu peningkatan rasa harga diri pada orang-orang Bali.
Justru dengan kondisi seperti itu, kita harus lebih terlecut dan melihatnya
sebagai manifestasi bagi peningkatan kesadaran religius dan sebagai respon
positif terhadap proses akulturasi budaya. Dan fsm serta kerja-kerja budaya
yang dihelat oleh teman-teman adalah geliat untuk sampai pada proses yang
mendewasakan itu. Disinilah makna pota’
dan randang diejawantah dan
difaktualkan lewat kata pessungo dan pettamao.
Ketiga: tentu saja pada obyeknya, yaitu sungai Mandar. Mengapa harus sungai?, ada
apa dengan sungai ?. Indonesia kita ini adalah negara kepulauan terbesar
didunia. Dari data kementerian kelautan dan perikanan RI tahun 2010, jumlah
pulau di Indonesia sebanyak 13,000 pulau, luas daratan 1.922.570 km2 dan luas
laut mencapai 3.257.483 km2 dan jika ditambah dengan Zona Ekonomi Ekslusif
(ZEE) seluas 200 mil laut, maka luas perairan laut Indonesia sebesar 7, 900,
000 km2 atau 81% dari luas keseluruhan wilayah Indonesia. Dengan luas daratan
dan lautan yang seperti itu, tentunya kekayaan alam Indonesia beraneka ragam,
seperti migas, pertambangan, kekayaan laut, kekayaan flora dan faunanya.
Menurut Dr. Yulius Paonganan, M.Sc. selaku Direktur Indonesia Maritime Institute, bahwa potensi ekonomi
maritim Indonesia diperkirakan sebesar Rp. 7,200 triliun. Jumlah yang sangat besar. Dan kepulauan
kita ini, sekitar 70 persen wilayahnya terdiri dari perairan, pulau-pulau yang
mewujud sebagai bagian dari perairan yang dijalin sebagai satu kesatuan oleh
sungai-sungai. Jalinan sungai itu adalah wujud yang kemudian kita maknai
sebagai sebuah entitas: tanah air.
Penyelenggaraan FSM tahun ini tentu diharapkan menjadi sebuah gerakan
mengembalikan fungsi sungai dan kegunaannya. Air, udara dan tanah jangan hanya
bisa di pergunakan seenaknya, tapi harus dijaga dan dirawat oleh pengguna itu
sendiri. Sungai harus ditopang oleh kebijakan dan regulasi oleh pemerintah,
serta melakukan pendekatan pendampingan kepada masyarakat, untuk memberikan
edukasi/penyuluhan sekaitan daya, fungsi dan
guna sungai.
Selain itu, FSM mesti melahirkan rekomendasi puncak terkait sungai sebagai:
1. Satuan ekologi sungai sebagai daya dukung peradaban bangsa; 2. Peran sungai
dalam mensejahterakan masyarakat; 3. Aliran sungai sebagai energi terbarukan
dari anugerah hingga musibah; 4. Ekowisata sebagai upaya konservasi budaya dan
konservasi daerah aliran sungai; 5. Mengabaikan peradaban sungai dalam mewujudkan
poros maritim adalah marginalisasi; dan 6. Sungai sebagai kesatuan sistim
politik dan ketahanan negara maritim.
Kesemuanya itu mesti terfaktualkan sebab sungai adalah habitat hidup dan
sumber penghidupan, luruh dalam kesatuan ekosistem dari unsur hayati, non
hayati dan manusia. Sungai tak hanya harus difahami sebagai sebuah arus yang
tenang, tapi ia adalah titah tuhan yang seringkali bergejolak dan menunjukkan
hukum alamnya kala manusia lalai dan abai padanya.
Terkait itu pula saya ingin memberi catatan tentang bagaimana “membangun peradaban sungai Mandar”
sebagai upaya menjaga kedaulatan sungai. FSM III yang dihelat pada awal Maret
2016. Sebagaimana kita
mafhum, keberadaan sungai adalah kesatuan yang utuh dan integral dengan gunung,
hutan dan daratan yang merupakan wilayah tangkapan air hujan dan pemasok air,
rembesan dan aliran. Degradasi dan ancaman terhadap sungai adalah merupakan
ancaman terhadap ekologi dan ekosistem air yang sekaligus juga menjadi ancaman
bagi kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia.
Dalam sejarah peradaban manusia yang diwarnai oleh berbagai kreatifitas dan
pengembangan peradaban, sungai adalah pengusung terdepan. Sebutlah misalnya,
mesir dengan sungai Nil-nya, Babilon, Mesopotamia dengan tigris-nya, India dengan sungai Hindus, sampai pada
Sriwijaya, Majapahit, Gowa, Bone, Ternate, Tidore, Banten, termasuk di Mandar
yang dikenal sebagai wilayah Pitu Ulunna
Salu (tujuh hulu sungai) dan Pitu
Ba’bana Binanga (tujuh muara sungai) yang sekaligus menjadi simbol
konferderasi 14 kerajaan (7 di hulu dan 7 di muara) yang menata sebagai manusia
Mandar.
Kesemuanya itu menunjukkan ketakterpisahan historis bangsa-bangsa dengan
Indonesia dengan sungai dan perairan. Pada skala hidup sehari-hari, kegiatan
pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, industri olahan rakyat,
perdagangan, perhubungan, pemukiman lagi-lagi menunjukkan ketakterpisahan itu.
Demikian juga aktifitas sebagian masyarakat Tinambung yang kerjaannya mengais
rejeki lewat jasa antar “uwai sau”. Semua deretan ini seharusnya
menjadi tumpukan kesadaran untuk kembali mencintai sungai.
Kaitannya dengan sungai, ada beberapa poin pertanyaan yang mesti menjadi
renungan kita bersama untuk kembali membangun peradaban sungai, yaitu: mengapa
sungai-sungai makin menyempit dan seperti comberan ? (kasus sungai di Jawa),
mengapa sengai-sungai besar yang mestinya menjadi sumber kehidupan justru
menjadi musibah bagi manusia ? (kasus sungai di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi,
termasuk sungai Mandar 1987 dan 2009), seberapa besar dan dimana saja potensi
sumberdaya aliran sungai yang mampu didaya gunakan untuk energy terbarukan?,
apakah gerakan konservasi DAS (daerah aliran sungai) sekaligus mengembangkannya menjadi wilayah tujuan
ekowisata sudah difahami oleh kita semua?, seberapa besar peluang dan potensi
mengembangkan ekowisata sungai yang berbasis DAS?, dan bagaimana strategi
mengembangkan ekowisata sungai yang berbasis pada masyarakat tempatan?, serta
siapa saja kelompok kepentingan yang harus terlibat?
Deretan pertanyaan itu lagi-lagi harus kita seriusi. Dan tanpa diJawabpun
saya yakin akan menemukan sebuah konsep tentang arah pembangunan peradaban
sungai dengan sebentuk tanya mengapa peradaban sungai menjadi penting untuk
terus dikembangkan?, bagaimana cara dan strategi untuk mentautkan peradaban
sungai, daratan, pesisiran agar melahirkan sebuah kemajuan dan kesejahteraan
bersama? Lalu hal-hal apa saja dari aspek regulasi-konsepsi-basis yang harus
disiapkan untuk memperkuat perwujudan negara poros maritim?.
Nusantara, sebagaimana disebutkan dalam negarakertagama, terbayang sebagai
kesatuan maritim yang saling terhubung oleh air (sungai). Interaksi antar pulau
tidak bisa dipisahkan dengan laut, lautpun tak bisa dilepaskan dari keberadaan
sungai. Demikian juga sungai tak dapat dipisahkan dari peradaban yang dibentuk
oleh kebudayaan. Karena hal tersebut tertaut dengan relasi sejarah peradaban.
Sebagai sebuah perspektif, sungai-sungai ini mesti menjadi penali bagi
persekutuan komunitas yang menghuni pulau-pulau ataupun kampung-kampung.
Membangun Peradaban Sungai
Mandar
Indonesia hari ini punya modal sumber daya manusia sebesar 250 orang
penduduk. Jumlah terbesar keempat di dunia setelah Tiongkok, India dan AS. Jumlah penduduk
usia produktif lebih banyak ketimbang yang berusia tidak produktif. Dengan
jumlah kelas menengah yang terus meningkat dari tahun ke tahun, dan juga modal
kekayaan alam yang melimpah dan beragam baik didarat maupun lautan, serta
posisi geoekonomi yang sangat strategis di jantung pusat perdagangan global.
Menurut UNTCTAD, 2010 sekitatar 45 persen dari seluruh komoditas dan barang
yang diperdagangkan didunia dengan nilai US 1. 500 triliun dolar pertahun itu
diangkut melalui laut Indonesia. Tapi sampai hari ini Negeri kaya raya ini
belum mampu mensejahterakan rakyatnya.
Jika selama ini rakyat belum bisa sejahtera, ini adalah merupakan imbas
dari sebuah ironi dari kebijakan nasional yang mendasari dilosofinya bertumpu
pada paradigma "daratan". Padahal negara kita adalah negara maritim
dengan wilayah 75 persen lautan, namun kita justru lebih enjoi mengabaikan
bahkan memunggungi lautan dan sungai. Ini tentu menjadi peluang bagi
negara-negara lainnya yang justru lebih banyak mengeruk keuntungan dari semua
kekayaan laut dan merusak sungai kita dengan limbah industri perusahaan asing.
Kembali pada konsep peradaban sungai. Perlu dicatat bahwa peradaban sungai
adalah peradaban yang menyangga teritori daratan dan laut. Peradaban yang
menjadi pintu keluar masuk bagi pertukaran budaya daratan dan budaya pesisir. Artinya, jika
upaya mewujudkan poros maritim hanya bertumpu pada paradgma "
kelautan" semata, maka sudah bisa dipastikan kesenjangan atau ketimpangan
pembangunan pasti akan mengulang sejarah seperti pada masa Orde Baru meski
dengan wujud yang berbeda.
Untuk itu dibutuhkan sebuah gerakan kolektif untuk tidak mengulang sejarah.
Sampai disini saya ingin mengerucutkan masalah untuk kembali membincang
sungai dan lebih spesifik pada peradaban sungai Mandar. Salah satu arti dari
kata Mandar adalah "air" atau "sungai". Ini artinya Mandar
sejak awal senantiasa dilekatkan dengan air, sungai, salu/maloso. Lihatlah
cerita tentang dua sosok pongka Padang dan torijeqne yang sekaligus
dikonsepsikan sebagai manusia yang mengusung kerangka peradaban Mandar.
Pasangan lelaki tangguh dan kuat pongka Padang adalah merupakan simbol dari
air pegunungan yang berasal dari sungai saqdang dan torijeqne merupakan simbol
dari kehidupan air dari daratan rendah (laut dan sungai). Dan ternyata air
adalah merupakan elemen penting dalam kebudayaan Mandar. Hal itu terlihat dari persekutuan kerajaan yang lahir di Mandar juga
dilekatkan dengan aliran air, yaitu Pitu
Ulunna Salu (sebagai simbol dari Pongka Padang representasi dari air yang mengalir dari
hulu sungai) dan Pitu Ba’bana Binanga
(sebagai simbol dari Torije’ne, representasi dari air yang mengalir sampai di lautan).
Dari fakta sejarah inilah kemudian saya melekatkan Mandar sebagai peradaban
sungai dikenal dengan konfederasi 14 kerajaan yaitu 7 di hulu (Tabulahan, Rante
Bulahan, Mambi, Aralle, Matangnga, Tabang dan Bambang) dan 7 di muara
(Balanipa, Banggae, Sendana, Pamboang, Tapalang, Mamuju dan Binuang) dan pada
tahun 2004 wilayah ini resmi menjadi sebuah provinsi yaitu Sulawesi Barat.
Lalu apa yang harus dibangun dari peradaban sungai Mandar yang bernama
Sulawesi Barat ini? Sebab sejak perubahan nama belakang dari selatan ke barat,
yang berbeda hanya kantor Jawatan baru. Perubahan ini rupanya tidak dibarengi
dengan perubahan pada bidang-bidang kehidupan lainnya. Termasuk sarana
transportasi, ekonomi masyarakat, dan layanan publik ditengarai tidak mengalami
tanda-tanda perbaikan yang signifikan.
Keberadaan Bandara Tampa Padang Mamuju tak banyak menolong, karena terbukti orang yang
mau ke Sulbar tetap merasa aman dan lancar melalui Bandara Hasanuddin Makassar. Bidang
pendidikan maupun layanan kesehatan. Bersekolah di Makassar lebih trend dan di
idamkan ketimbang di Mamuju, Majene atau Polewali. Berobat di rumah sakit
Makassar masih menjadi pilihan akibat kurangnya peralatan dan tenaga ahli
kesehatan di Sulbar.
Siapa melakukan apa ?
Dalam diskursus tentang peradaban sungai Mandar, peran pemuda hari ini
menjadi tumpuan harapan untuk melakukan mega proyek bangsa ini. Dalam sejarah
bangsa Indonesia, dari mulai syarekat dagang islam, budi utomo, proklamasi kemerdekaan,
gerakan mahasiswa 1967, gerakan mahasiswa 1978, hingga tumbangnya presiden
soeharto tahun 1998, semua gerakan ini di motori oleh pemuda.
Gerakan pemuda harus terus dihidupkan, sebagai bagian upaya mengisi
kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pendahulu bangsa ini, sudah
seharusnya pemuda ikut serta dalam upaya menjaga peradaban dan kebudayaan
tentang sungai, yang semakin hari, semakin mengkhawatirkan keadaanya.
Ada beberapa peran bagi pemuda dalam membagun peradaban sungai ini, yaitu; pertama: mempersiapkan diri sebagai
pemimpin Indonesia di masa depan yang berjiwa religius dan nasionalis serta
pemerhati;
Kedua: peduli pada kondisi bangsa, jangan sampai menjadi pemuda buta politik,
seperti yang disampaikan oleh penyair jerman, bertolt brecht “buta terburuk
adalah buta politik. Orang yang buta politik tidak sadar bahwa biaya hidup,
harga makanan, harga rumah, harga obat, semuanya bergantung keputusan politik.
Dia membanggakan sikap anti politiknya, membusungkan dada dan berkoar “aku benci
politik!” Sungguh bodoh dia, yang tak mengetahui bahwa karena dia tidak mau
tahu politik, akibatnya adalah pelacuran, anak terlantar, perampokan, dan yang
terburuk adalah korupsi dan perusahaan multinasional yang menguras kekayaan
Negeri, termasuk dalam hal ini kekayaan perairan kita, sungai dan laut.
Selanjutnya yang ketiga: adalah
melakukan gerakan sosial yang langsung menyentuh permasalahan masyarakat,
seperti kebodohan, kemiskinan, dan sulitnya akses kesehatan yang layak. Ada
banyak gerakan sosial yang di motori para pemuda, seperti Rumah Kopi dan Perpustakaan (RUMPITA), Indonesia Mengajar, Forum Indonesia Muda, Ayo Belajar, Komunitas Rumah
Pustaka, Perahu Pustaka, Bendi Pustaka, Becak Pustaka, Motor Pustaka, Sepeda
Pustaka yang tentunya melalui gerakan literasinya ini, konsep peradaban sungai Mandar terus dilisan
tuliskan.
Berangkatlah dari apa yang ada, apa yang bisa dilakukan untuk orang banyak,
untuk lingkungan kita, lakukan saja; terus yang keempat: turut serta mengkampanyekan bahaya perpecahan bangsa, dan
kembali kepada ideologi bangsa ini, yaitu pancasila serta menerapkan falsafah
bangsa, bhineka tunggal ika. Dan terakhir atau yang kelima: menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, karena pemuda
adalah generasi penerus bangsa, tidak pernah ada bangsa yang berjaya tanpa
menguasai iptek. Seperti kata Soekarno tentang pemuda “beri aku 1,000 orang
tua, maka akan kucabut gunung semeru dari akarnya, beri aku 10 pemuda niscaya
akan aku goncangkan dunia”.
Menjaga keutuhan bangsa ini adalah tugas kita bersama, demikian juga segala
kekayaan dan keindahan alam yang kita miliki ditambah dengan keberagaman suku
bangsa dan agama, Indonesia seperti surga yang hadir di dunia tetapi jika tidak
dijaga dengan baik dan benar, bisa menjadi neraka. Ada spirit yang sering saya dengar dari
pesan-pesan orang tua kita, terkhusus pada mereka yang ada di das sungai. Pesan
itu adalah “pemali pambawa naung parewa
ummandeangmu di maloso, nandeo tu’u kanene” (pantangan membawa (mencuci) peralatan
dapurmu di sungai, karena buaya bisa memangsamu). Hal ini memberi bukti, betapa
orang-orang tua kita begitu menyayangi sungai, jangankan membuang sampah ke
sungai, membuang sisa makanan yang ada diperalatan dapur saja dilarang dan
disakralkan sebagai sebuah pemali atau
pamali.
Wahai para pemuda, mari kita jaga Mandar yang kita tempati ini, mari kita
cintai sungai kita dengan sebaik-baiknya dan memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi masyarakat, bangsa dan negara ini, Indonesia adalah tanah
air kita, tanah air kita itu adalah lita’(tanah) Mandar (air) !.