Selasa, 10 Januari 2017

PERPUSTAKAAN RAKYAT SEPEKAN : Gerakan Literasi Berawal dari sini !

Oleh Muhammad Munir


Substansi peradaban dalam teori Ibnu Khaldun adalah ilmu pengetahuan. Mengapa ilmu pengetahuan? Sebab secara pengetahuan kita boleh saja sepakat, tapi secara ilmu itu belum tentu. Konsep ilmu pengetahuan ini mencakup sebuah proses mulai dari membaca, menulis (literasi) sampai kepada komunitas yang mengembangkannya. Suatu peradaban mustahil lahir tanpa peran komunitas.

Ibnu Khaldun bahkan hanya membutuhkan sebuah komunitas kecil yang nantinya berproses menjadi komunitas besar. Komunitas biasanya muncul di perkotaan atau bahkan membentuk suatu kota. Dari kota itu akan terbentuk masyarakat yang memiliki berbagai kegiatan kehidupan yang darinya timbul suatu sistem kemasyarakatan dan akhirnya lahirlah suatu negara. Kota Madinah, Kota Kordova, Kota Baghdad, Kota Samara, Kota Kairo dan lain-lain adalah sedikit contoh dari kota yang berasal dari komunitas yang kemudian melahirkan negara.

Tak berlebihan kiranya jika teori dan pernyataan ibnu khaldun tersebut dikorelasikan dengan kegiatan teman-teman di pambusuang. Perpustakaan Rakyat Sepekan (PRS) adalah agenda tahunan generasi muda di pambusuang yang di motori oleh Dahri Dahlan dkk.

Dahri dahlan, adalah putra daerah Mandar kelahiran Pambusuang yang jadi dosen di Universitas Mulawarman-Kaltim). PRS adalah biang dari sebuah komunitas kecil yang aktif mengembangkannya. PRS-1 mulai digelar pada tahun 2014, PRS-2 tahun 2015, dan PRS 3 digelar kembali tahun ini. Ajang PRS ini adalah penanda dari berkembangnya sebuah peradaban baru dimana ribuan buku di pajang yang menyulap lorong di sekitar masjid taqwa Pambusuang menjadi gelombang buku.

Seharian warga dan para pengunjung PRS akan sibuk memilah judul dan membaca buku sesuai selera. Yang juga menarik dari arena PRS ini adalah kegiatan diskusi yang diselenggarakan pada sore dan malam hari, serta didedikasikan kepada semua masyarakat secara gratis.

Pada perhelatan PRS ke-3 yang dibuka pada minggu, 13 Maret 2016, mengusung tema “bacai bacamu”. Sebagian orang menginterpretasi secara beragam tema mendasari punggawa PRS ini memakai tagline itu, sebab dalam kalimat bacai bacamu konon banyak digunakan oleh sebagian besar orang ketika mendapati oknum tertentu yang mempunyai kelakuan yang tak terkontrol. Orang yang mempunyai perilaku tidak sesuai dengan norma kesusialaan dan amasahoroan di di dalam kampung dan tidak mau mengindahkan peringatan dan nasehat, “bacai bacamu” adalah pilihan yang cukup untuk menimpalinya. Tapi sudahlah, ini bukan sesuatu yang mesti dipolemikkan atau diperdebatkan, sebab yang terpenting adalah substansi yang terkandung dalam PRS ini tersampaikan, dan Muhammad Ridwan Alimuddin juga sudah menegaskan bahwa pemaknaan dari tema tersebut adalah pemaknaan yang coba ditarik dari sisi literasinya, bukan pada mengusung persepsi negatif sebab perhelatan ini sungguh tak ada celah untuk masuk dalam pusaran pemikiran negatif.

PRS dari tahun ketahun dalam setiap agendanya, tradisi pinjam buku, gelar tikar atau terpal yang menjadi alas buku di pelataran masjid At-Taqwa Pambusuang itu dijajakkan, dipajang sampai menjadi alautan buku yang bebas dikunjungi oleh pembaca tanpa harus membayar. PRS III tahun ini menjadi lebih semarak dengan kehadiran nusa pustaka yang terletak pas di arena pajangan buku. Nusa pustaka siap menampung peserta diskusi dengan suasana yang nyaman dan ribuan koleksi buku tersusun rapih menunggu tangan-tangan lembut menyentuhnya. Diskusi lesehan di nusa pustaka menjadi penyaksi atas tema-tema diskusi dengan bermacam-macam tema dan narasumber ahli dibidangnya. PRS III dan Nusa Pustaka kini menjadi sebuah kesatuan yang utuh dan integral, tak terpisahkan, bergandengan mengusung semangat cendekia dalam melahirkan generasi ghuraba dan intelektual yang mapan.

Para pengunjung dan temn-teman kadang menganggap PRS ini adalah ajang pengisi waktu luang untuk menikmati sajian buku dari berbagai latar belakang disiplin ilmu. Nusa pustakapun kadang dijadikan obyek dari sebuah pernyataan konyol pengisi waktu luang itu. Kenapa konyol, karena pernyataan itu justru sangat paradoks dengan kenyataan, sebab di arena ini tak akan ada waktu luang selain belajar, membaca, diskusi yang tentunya menambah ilmu. Lihatlah, semua pengunjung dimanjakan dengan ribuan buku dari berbagai latar belkang ilmu dan judul. Lalu pada sore dan malam hari sebuah forum diskusi menanti.

Diskusi yang juga mempunyai tema yang secara spesifik diramu oleh penyelenggara untuk membantu dalam meningkatkan wawasan berfikir para peserta, baik sebagai masyarakat maupun sebagai pemerhati. Di diskusi prs itu ada praktisi, politisi yang merunut program dan kebijakan serta regulasi, ada sejarawan nasional JJ. Rizal, ada Maman Suherman, selebriti yang sekaligus menjadi notulen khusus di ajang ini, ada ustadz guru gaji yang mattale kittaq dengan tema agama dan peningkatan amaliah serta ubudiyah kita. Ada juga dosen, aktifis, pelajar dan mahasiswa, ada nelayan, petani dan pekerja kebun sampai pada pengangguran pun tak ketinggalan kesempatan untuk mendapatkan manfaat dari ide cerdas dan kreatif ini.

Dengan semuanya itu, PRS bukan lagi sebatas ajang menggali, membaca sesama dan memaknai pola pikir terhadap proses pengubahan sikap dan tata laku dalam upaya kemanusiaan melalui pola-pola ajar tertentu yang lasim kita sebut “pendidikan”, tapi sekaligus menjadi ruang untuk refreshing, liburan dan selfie bersama buku di Nusa Pustaka. Diskusi yang bercorak lingkungan, agama dan sastra (dongeng), bisa dikatakan telah berhasil menyulut dan menyalakan obor inspirasi yang tentu menjadi tantangan berikutnya bagi teman-teman penggagas dan pemuda setempat agar bagaimana obor tersebut dapat terbias penuh dan terang terus mengalahkan keterus-terangannya iklan Philips. Semangat lilin menyala dari apa yang masih gelap guna merambah jalan kemuara yang sehat, beriman, berbudaya, kreatif dan merdeka dari kebodohan untuk sampai pada makam minadzdzulumati ilan-nur, habis gelap terbitlah terang atau mungkin pessungo’pota pettamao randang.

Generasi Mandar hari ini dan kedepan harus selalu membatinkan bahwa belajar tidak hanya di sekolah dan di kampus, tapi bisa dimana saja. Karena sekolah dan kampus hanya mengetahui mata pelajaran, mata kuliah tetapi tidak telinga, mulut dan hati. Segala tempat adalah sekolah, setiap orang adalah guru dan segala benda adalah ilmu. Selain PRS, ada sebuah ghirah baru dari maraknya gerakan literasi, entah di Nusa Pustaka, Rumah Pustaka, Perahu Pustaka, Bendi Pustaka, Sepeda Pustaka, Rumpita (Rumah Kopi Dan Perpustakaan) kini menjadi solusi untuk menangkal benalu atau semacam parasit dalam dunia pembangunan karakter masa depan generasi bangsa, wabilkhusus bagi pemerintah yang kadang abai pada bagaimana menjadi bagian dari sebuah proses yang tak mereka sadari bahwa kegiatan yang sunyi dari lembar disposisi dan kwitansi berlogo kantoran adalah insan-insan yang telah mengambil alih sebagian tugas dan tanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dengan tetap eksistnya prs, diharapkan budaya literasi kian bergema dan menempati ruang-ruang peradaban yang jika sejarahnya dirunut, justru peradaban itu sendiri besar dan berkembang seiring dengan tingginya semangat literasi yang hidup pada jamannya. Hal terpenting yang mesti menjadi spirit buat kita, bahwa literasi ini mesti tetap survive tanpa harus menjadikangerakan ini sebagai wadah atau alat untuk memperoleh anggaran dari kantong APBD.


Gerakan literasi sejatinya dimaknai sebagai wujud ibadah sosial yang mesti didasari dengan nawaitu dan kesadaran bahwa ini adalah kewajiban, bukan sesuatu yang harus dibangga-banggakan. Jika gerakan literasi ini motivasinya adalah pengabdian, maka tak harus ada yang menjadi siapa-siapa, mendapat apa-apa, cukup melakukan apa saja yang mampu kita lakukan sebagai bentuk pengabdian pada litaq pembolongan.

Menyonsong FSM-4 Tahun 2017 : Membangun Peradaban Sungai

Oleh : Muhammad Munir
Festival Sungai Mandar adalah sebuah program tahunan yang digagas oleh teman-teman di Uwake’ Cultuur Fondation yang dipunggawai oleh Muhammad Rahmat Muchtar. Pada perhelatan fsm i 2014 mengusung tema “Sungai Sahabatku”, FSM II 2015 mengangkat tema “ Dengan Sungai Aku Mencintaimu”. Dan perhelatan FSM III yang tahun 2016 di back-up oleh pemerintah daerah Polewali Mandar (disbudpar) mengangkat tema “Pessungo Potaq Pettamao Randang”.

Ada beberapa hal yang menarik untuk di elaborasi dalam pemaknaan dan pembacaan kita pada Festival Sungai Mandar di Tinambung ini, yaitu; pertama: tema yang diusung dari perhelatan pertama sampai ketiga adalah sebuah proses pertumbuhan ideologi seiring dengan pematangan strategi konsep dalam memesrai sungai sebagai anugerah tuhan.  Ada sebuah tahapan yang begitu dinamis seiring dengan upaya-upaya perbaikan dalam pelaksanaannya setiap tahun.

Kata “sahabat” pada FSM I adalah fase anak-anak. Kata sahabat memang sering digunakan anak-anak dalam interaksi sosialnya. Kemudian kata “mencintaimu” pada FSM II adalah fase yang bisa dipadankan dengan usia remaja, sebab pada usia remaja inilah tumbuh benih-benih cinta yang kerap menyelinap dalam setiap proses perjalanan manusia yang sudah remaja. Lalu pada FSM III memilih sebuah kalimat “pessungo pota’ pettamao randang” adalah sebuah fase yang menunjukkan kematangan atau beranjak dari remaja ke dewasa.

Fase-fase itu tumbuh secara alami. Dari fase anak-anak yang menjadikan sungai sebagai sahabat, perlahan tapi pasti melahirkan sebuah rasa yang membuncah sehingga rasa itu terungkapkan lewat sebait kata “aku mencintaimu”. Dari proses menjadi sahabat yang melahirkan perasaan cinta itulah yang membentuk karakternya sehingga bermuara pada sebuah fase kedewasaan. “pessungo pota’ pettamao randang” tentu saja bukanlah sebatas kata slogan, tapi ia adalah sebuah ledakan kata. Ledakan kata yang mewujud sebagai pernyataan untuk menarasikan kenyataan yang ada. Ia adalah kesatuan kata yang utuh dan tak menyisakan kalimat yang mubassir sehingga menjadikan FSM III ini tidak saja meluruskan tapi sekaligus menyempurnakan sebuah gerakan yang tidak asal jadi tapi menjadi. FSM telah tumbuh dan berkembang menjadi sebuah gerakan yang mencopy paste peristiwa menjadi spektrum rasa yang tak lagi bisa terbendung.

Kedua: dari segi materi kegiatan yang akan diselenggarakan dan ditampilkan dalam FSM III ini merupakan isu-isu sentral yang diharapkan menjadi solusi dari masalah yang melingkupi masyarakat kita hari ini. Mulai seminar, persentase dan diskusi dengan berbagai komunitas, reboisasi/penanaman pohon, pertunjukan seni tradisional dan modern, bakti sosial sampai kepada rekomendasi-rekomendasi yang telah dan akan dilahirkan sepanjang sejarah FSM tak lain adalah sebuah proses politik kebudayaan dan pembebasan budaya-budaya kita untuk menata diri dan membangun peradaban sungai.

Ketertarikan dan apresiasi saya terhadap FSM sesungguhnya terletak pada materi yang saya anggap sejalan dengan tema yang diusung pada Kongres Sungai Indonesia (KSI), di Banjarnegara, 26-30 Agustus 2015 lalu, yaitu "Sungai Sebagai Pusat Peradaban Bagi Kelangsungan Hidup Dan Kesejahteraan Bersama". Lebih dari itu, saya melihat ada beberapa  hal yang ikut terproses dan terfaktualkan, yaitu: pendidikan, pembangunan dan pemaknaan Mandar sebagai identitas. Ketiganya itu merupakan suatu penegasan dari suatu peran yang sangat positif dari masyarakat dan pemuda, sehingga saya tentu tidak harus resah dengan bahaya pemuda yang kehilangan identitasnya, sebab dengan FSM ini sekaligus menjadi usaha mencegah jangan sampai pemuda hanya main-main di jalan, ngebut, narkoba dan pelanggaran lain.

Era globalisasi, modernisasi, westernisasi sampai pada MEA merupakan era keterbukaan di negara kita. Dan saya ingin menegaskan bahwa meski era keterbukaan pada asing tak jarang konklusi-konklusinya tidak selalu membuat kita maksyuk dalam keasikan, tapi manfaatnya tentu lebih besar terhadap kebudayaan kita untuk melihat cerminannya pada cermin kebudayaan lain, meski kemudian akan menimbulkan distorsi-distorsi yang tak bisa dihindari dari akibat perbedaan kebudayaan kita.

Namun semua itu, tentu akan menjadikan budayawan dan pelaku seni kita dituntut untuk lebih kreatif dan ilmiah sifatnya. Untuk itu, menjadi penting membuka dialog dengan masyarakat kita, dengan sejarah kita, dengan realitas sosial kita, yang kesemuanya itu merupakan sesuatu yang asing bagi orang asing.

Ada semacam kekhawatiran dari masyarakat kita ketika daerah dan kebudayaan kita tata, kelola dan kembangkan akan membuat daerah kita menjadi destinasi budaya yang dikunjungi banyak wisatawan manca negara dan lalu Mandar ini akan serupa dan senasib dengan bali. Saya tidak terlalu khawatir dengan persoalan itu, sebab dari pantauan saya, tak ada yang menonjol di bali selain revitalisasi atau suatu peningkatan rasa harga diri pada orang-orang Bali.

Justru dengan kondisi seperti itu, kita harus lebih terlecut dan melihatnya sebagai manifestasi bagi peningkatan kesadaran religius dan sebagai respon positif terhadap proses akulturasi budaya. Dan fsm serta kerja-kerja budaya yang dihelat oleh teman-teman adalah geliat untuk sampai pada proses yang mendewasakan itu. Disinilah makna pota’ dan randang diejawantah dan difaktualkan lewat kata pessungo dan pettamao.  

Ketiga: tentu saja pada obyeknya, yaitu sungai Mandar. Mengapa harus sungai?, ada apa dengan sungai ?. Indonesia kita ini adalah negara kepulauan terbesar didunia. Dari data kementerian kelautan dan perikanan RI tahun 2010, jumlah pulau di Indonesia sebanyak 13,000 pulau, luas daratan 1.922.570 km2 dan luas laut mencapai 3.257.483 km2 dan jika ditambah dengan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) seluas 200 mil laut, maka luas perairan laut Indonesia sebesar 7, 900, 000 km2 atau 81% dari luas keseluruhan wilayah Indonesia. Dengan luas daratan dan lautan yang seperti itu, tentunya kekayaan alam Indonesia beraneka ragam, seperti migas, pertambangan, kekayaan laut, kekayaan flora dan faunanya.

Menurut Dr. Yulius Paonganan, M.Sc. selaku Direktur Indonesia Maritime Institute, bahwa potensi ekonomi maritim Indonesia diperkirakan sebesar Rp. 7,200 triliun. Jumlah yang sangat besar. Dan kepulauan kita ini, sekitar 70 persen wilayahnya terdiri dari perairan, pulau-pulau yang mewujud sebagai bagian dari perairan yang dijalin sebagai satu kesatuan oleh sungai-sungai. Jalinan sungai itu adalah wujud yang kemudian kita maknai sebagai sebuah entitas: tanah air.

Penyelenggaraan FSM tahun ini tentu diharapkan menjadi sebuah gerakan mengembalikan fungsi sungai dan kegunaannya. Air, udar­a dan tanah jangan hanya bisa di pergunakan seenaknya, tapi harus dijaga dan dirawat oleh pengguna itu sendiri. Sungai harus ditopang oleh kebijakan dan regulasi oleh pemerintah, serta melakukan pendekatan pendampingan kepada masyarakat, untuk memberikan edukasi/penyuluhan sekaitan daya, fungsi dan  guna sungai.

Selain itu, FSM mesti melahirkan rekomendasi puncak terkait sungai sebagai: 1. Satuan ekologi sungai sebagai daya dukung peradaban bangsa; 2. Peran sungai dalam mensejahterakan masyarakat; 3. Aliran sungai sebagai energi terbarukan dari anugerah hingga musibah; 4. Ekowisata sebagai upaya konservasi budaya dan konservasi daerah aliran sungai; 5. Mengabaikan peradaban sungai dalam mewujudkan poros maritim adalah marginalisasi; dan 6. Sungai sebagai kesatuan sistim politik dan ketahanan negara maritim.

Kesemuanya itu mesti terfaktualkan sebab sungai adalah habitat hidup dan sumber penghidupan, luruh dalam kesatuan ekosistem dari unsur hayati, non hayati dan manusia. Sungai tak hanya harus difahami sebagai sebuah arus yang tenang, tapi ia adalah titah tuhan yang seringkali bergejolak dan menunjukkan hukum alamnya kala manusia lalai dan abai padanya.

Terkait itu pula saya ingin memberi catatan tentang bagaimana “membangun peradaban sungai Mandar” sebagai upaya menjaga kedaulatan sungai. FSM III yang dihelat pada awal Maret 2016. Sebagaimana kita mafhum, keberadaan sungai adalah kesatuan yang utuh dan integral dengan gunung, hutan dan daratan yang merupakan wilayah tangkapan air hujan dan pemasok air, rembesan dan aliran. Degradasi dan ancaman terhadap sungai adalah merupakan ancaman terhadap ekologi dan ekosistem air yang sekaligus juga menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia.

Dalam sejarah peradaban manusia yang diwarnai oleh berbagai kreatifitas dan pengembangan peradaban, sungai adalah pengusung terdepan. Sebutlah misalnya, mesir dengan sungai Nil-nya, Babilon, Mesopotamia dengan tigris-nya, India dengan sungai Hindus, sampai pada Sriwijaya, Majapahit, Gowa, Bone, Ternate, Tidore, Banten, termasuk di Mandar yang dikenal sebagai wilayah Pitu Ulunna Salu (tujuh hulu sungai) dan Pitu Ba’bana Binanga (tujuh muara sungai) yang sekaligus menjadi simbol konferderasi 14 kerajaan (7 di hulu dan 7 di muara) yang menata sebagai manusia Mandar.

Kesemuanya itu menunjukkan ketakterpisahan historis bangsa-bangsa dengan Indonesia dengan sungai dan perairan. Pada skala hidup sehari-hari, kegiatan pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, industri olahan rakyat, perdagangan, perhubungan, pemukiman lagi-lagi menunjukkan ketakterpisahan itu. Demikian juga aktifitas sebagian masyarakat Tinambung yang kerjaannya mengais rejeki lewat jasa antar “uwai sau”. Semua deretan ini seharusnya menjadi tumpukan kesadaran untuk kembali mencintai sungai.

Kaitannya dengan sungai, ada beberapa poin pertanyaan yang mesti menjadi renungan kita bersama untuk kembali membangun peradaban sungai, yaitu: mengapa sungai-sungai makin menyempit dan seperti comberan ? (kasus sungai di Jawa), mengapa sengai-sungai besar yang mestinya menjadi sumber kehidupan justru menjadi musibah bagi manusia ? (kasus sungai di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, termasuk sungai Mandar 1987 dan 2009), seberapa besar dan dimana saja potensi sumberdaya aliran sungai yang mampu didaya gunakan untuk energy terbarukan?, apakah gerakan konservasi DAS (daerah aliran sungai) sekaligus mengembangkannya menjadi wilayah tujuan ekowisata sudah difahami oleh kita semua?, seberapa besar peluang dan potensi mengembangkan ekowisata sungai yang berbasis DAS?, dan bagaimana strategi mengembangkan ekowisata sungai yang berbasis pada masyarakat tempatan?, serta siapa saja kelompok kepentingan yang harus terlibat?

Deretan pertanyaan itu lagi-lagi harus kita seriusi. Dan tanpa diJawabpun saya yakin akan menemukan sebuah konsep tentang arah pembangunan peradaban sungai dengan sebentuk tanya mengapa peradaban sungai menjadi penting untuk terus dikembangkan?, bagaimana cara dan strategi untuk mentautkan peradaban sungai, daratan, pesisiran agar melahirkan sebuah kemajuan dan kesejahteraan bersama? Lalu hal-hal apa saja dari aspek regulasi-konsepsi-basis yang harus disiapkan untuk memperkuat perwujudan negara poros maritim?.

Nusantara, sebagaimana disebutkan dalam negarakertagama, terbayang sebagai kesatuan maritim yang saling terhubung oleh air (sungai). Interaksi antar pulau tidak bisa dipisahkan dengan laut, lautpun tak bisa dilepaskan dari keberadaan sungai. Demikian juga sungai tak dapat dipisahkan dari peradaban yang dibentuk oleh kebudayaan. Karena hal tersebut tertaut dengan relasi sejarah peradaban. Sebagai sebuah perspektif, sungai-sungai ini mesti menjadi penali bagi persekutuan komunitas yang menghuni pulau-pulau ataupun kampung-kampung.

Membangun Peradaban Sungai
Mandar

Indonesia hari ini punya modal sumber daya manusia sebesar 250 orang penduduk. Jumlah terbesar keempat di dunia setelah Tiongkok, India dan AS. Jumlah penduduk usia produktif lebih banyak ketimbang yang berusia tidak produktif. Dengan jumlah kelas menengah yang terus meningkat dari tahun ke tahun, dan juga modal kekayaan alam yang melimpah dan beragam baik didarat maupun lautan, serta posisi geoekonomi yang sangat strategis di jantung pusat perdagangan global. Menurut UNTCTAD, 2010 sekitatar 45 persen dari seluruh komoditas dan barang yang diperdagangkan didunia dengan nilai US 1. 500 triliun dolar pertahun itu diangkut melalui laut Indonesia. Tapi sampai hari ini Negeri kaya raya ini belum mampu mensejahterakan rakyatnya.

Jika selama ini rakyat belum bisa sejahtera, ini adalah merupakan imbas dari sebuah ironi dari kebijakan nasional yang mendasari dilosofinya bertumpu pada paradigma "daratan". Padahal negara kita adalah negara maritim dengan wilayah 75 persen lautan, namun kita justru lebih enjoi mengabaikan bahkan memunggungi lautan dan sungai. Ini tentu menjadi peluang bagi negara-negara lainnya yang justru lebih banyak mengeruk keuntungan dari semua kekayaan laut dan merusak sungai kita dengan limbah industri perusahaan asing.

Kembali pada konsep peradaban sungai. Perlu dicatat bahwa peradaban sungai adalah peradaban yang menyangga teritori daratan dan laut. Peradaban yang menjadi pintu keluar masuk bagi pertukaran budaya daratan dan budaya pesisir. Artinya, jika upaya mewujudkan poros maritim hanya bertumpu pada paradgma " kelautan" semata, maka sudah bisa dipastikan kesenjangan atau ketimpangan pembangunan pasti akan mengulang sejarah seperti pada masa Orde Baru meski dengan wujud yang berbeda.
Untuk itu dibutuhkan sebuah gerakan kolektif untuk tidak mengulang sejarah.

Sampai disini saya ingin mengerucutkan masalah untuk kembali membincang sungai dan lebih spesifik pada peradaban sungai Mandar. Salah satu arti dari kata Mandar adalah "air" atau "sungai". Ini artinya Mandar sejak awal senantiasa dilekatkan dengan air, sungai, salu/maloso. Lihatlah cerita tentang dua sosok pongka Padang dan torijeqne yang sekaligus dikonsepsikan sebagai manusia yang mengusung kerangka peradaban Mandar.

Pasangan lelaki tangguh dan kuat pongka Padang adalah merupakan simbol dari air pegunungan yang berasal dari sungai saqdang dan torijeqne merupakan simbol dari kehidupan air dari daratan rendah (laut dan sungai). Dan ternyata air adalah merupakan elemen penting dalam kebudayaan Mandar.  Hal itu terlihat dari persekutuan kerajaan yang lahir di Mandar juga dilekatkan dengan aliran air, yaitu Pitu Ulunna Salu (sebagai simbol dari Pongka Padang representasi dari air yang mengalir dari hulu sungai) dan Pitu Ba’bana Binanga (sebagai simbol dari Torijene, representasi dari air yang mengalir sampai di lautan)[1].

Dari fakta sejarah inilah kemudian saya melekatkan Mandar sebagai peradaban sungai dikenal dengan konfederasi 14 kerajaan yaitu 7 di hulu (Tabulahan, Rante Bulahan, Mambi, Aralle, Matangnga, Tabang dan Bambang) dan 7 di muara (Balanipa, Banggae, Sendana, Pamboang, Tapalang, Mamuju dan Binuang) dan pada tahun 2004 wilayah ini resmi menjadi sebuah provinsi yaitu Sulawesi Barat.

Lalu apa yang harus dibangun dari peradaban sungai Mandar yang bernama Sulawesi Barat ini? Sebab sejak perubahan nama belakang dari selatan ke barat, yang berbeda hanya kantor Jawatan baru. Perubahan ini rupanya tidak dibarengi dengan perubahan pada bidang-bidang kehidupan lainnya. Termasuk sarana transportasi, ekonomi masyarakat, dan layanan publik ditengarai tidak mengalami tanda-tanda perbaikan yang signifikan.

Keberadaan Bandara Tampa Padang Mamuju tak banyak menolong, karena terbukti orang yang mau ke Sulbar tetap merasa aman dan lancar melalui Bandara Hasanuddin Makassar. Bidang pendidikan maupun layanan kesehatan. Bersekolah di Makassar lebih trend dan di idamkan ketimbang di Mamuju, Majene atau Polewali. Berobat di rumah sakit Makassar masih menjadi pilihan akibat kurangnya peralatan dan tenaga ahli kesehatan di Sulbar[2].

Siapa melakukan apa ?

Dalam diskursus tentang peradaban sungai Mandar, peran pemuda hari ini menjadi tumpuan harapan untuk melakukan mega proyek bangsa ini. Dalam sejarah bangsa Indonesia, dari mulai syarekat dagang islam, budi utomo, proklamasi kemerdekaan, gerakan mahasiswa 1967, gerakan mahasiswa 1978, hingga tumbangnya presiden soeharto tahun 1998, semua gerakan ini di motori oleh pemuda.

Gerakan pemuda harus terus dihidupkan, sebagai bagian upaya mengisi kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pendahulu bangsa ini, sudah seharusnya pemuda ikut serta dalam upaya menjaga peradaban dan kebudayaan tentang sungai, yang semakin hari, semakin mengkhawatirkan keadaanya.

Ada beberapa peran bagi pemuda dalam membagun peradaban sungai ini, yaitu; pertama: mempersiapkan diri sebagai pemimpin Indonesia di masa depan yang berjiwa religius dan nasionalis serta pemerhati;

Kedua: peduli pada kondisi bangsa, jangan sampai menjadi pemuda buta politik, seperti yang disampaikan oleh penyair jerman, bertolt brecht “buta terburuk adalah buta politik. Orang yang buta politik tidak sadar bahwa biaya hidup, harga makanan, harga rumah, harga obat, semuanya bergantung keputusan politik. Dia membanggakan sikap anti politiknya, membusungkan dada dan berkoar “aku benci politik!” Sungguh bodoh dia, yang tak mengetahui bahwa karena dia tidak mau tahu politik, akibatnya adalah pelacuran, anak terlantar, perampokan, dan yang terburuk adalah korupsi dan perusahaan multinasional yang menguras kekayaan Negeri, termasuk dalam hal ini kekayaan perairan kita, sungai dan laut.

Selanjutnya yang ketiga: adalah melakukan gerakan sosial yang langsung menyentuh permasalahan masyarakat, seperti kebodohan, kemiskinan, dan sulitnya akses kesehatan yang layak. Ada banyak gerakan sosial yang di motori para pemuda, seperti Rumah Kopi dan Perpustakaan (RUMPITA), Indonesia Mengajar, Forum Indonesia Muda, Ayo Belajar, Komunitas Rumah Pustaka, Perahu Pustaka, Bendi Pustaka, Becak Pustaka, Motor Pustaka, Sepeda Pustaka yang tentunya melalui gerakan literasinya ini, konsep peradaban sungai Mandar terus dilisan tuliskan.

Berangkatlah dari apa yang ada, apa yang bisa dilakukan untuk orang banyak, untuk lingkungan kita, lakukan saja; terus yang keempat: turut serta mengkampanyekan bahaya perpecahan bangsa, dan kembali kepada ideologi bangsa ini, yaitu pancasila serta menerapkan falsafah bangsa, bhineka tunggal ika. Dan terakhir atau yang kelima: menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, karena pemuda adalah generasi penerus bangsa, tidak pernah ada bangsa yang berjaya tanpa menguasai iptek. Seperti kata Soekarno tentang pemuda “beri aku 1,000 orang tua, maka akan kucabut gunung semeru dari akarnya, beri aku 10 pemuda niscaya akan aku goncangkan dunia”.

Menjaga keutuhan bangsa ini adalah tugas kita bersama, demikian juga segala kekayaan dan keindahan alam yang kita miliki ditambah dengan keberagaman suku bangsa dan agama, Indonesia seperti surga yang hadir di dunia tetapi jika tidak dijaga dengan baik dan benar, bisa menjadi neraka.  Ada spirit yang sering saya dengar dari pesan-pesan orang tua kita, terkhusus pada mereka yang ada di das sungai. Pesan itu adalah “pemali pambawa naung parewa ummandeangmu di maloso, nandeo tuu kanene” (pantangan membawa (mencuci) peralatan dapurmu di sungai, karena buaya bisa memangsamu). Hal ini memberi bukti, betapa orang-orang tua kita begitu menyayangi sungai, jangankan membuang sampah ke sungai, membuang sisa makanan yang ada diperalatan dapur saja dilarang dan disakralkan sebagai sebuah pemali atau pamali.

Wahai para pemuda, mari kita jaga Mandar yang kita tempati ini, mari kita cintai sungai kita dengan sebaik-baiknya dan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat, bangsa dan negara ini, Indonesia adalah tanah air kita, tanah air kita itu adalah lita(tanah) Mandar (air) !.



[1] Dr. Idham Khalid Bodi dan Saprillah, 2010
[2]Muhammad Syariat Tajuddin

ANDI HASAN MANGGABARANI : Peletak Dasar Pembangunan di Polmas


Banyak orang yang tak menduga, ketika Polmas menjadi satu kabupaten akan dipimpin oleh seorang sipil, maklum waktu itu daerah ini masih dalam kerawanan konflik bersenjata. Suasana kegentingan masih terjadi hampir disetiap sudut-sudut kawasan  yang baru terbentuk jadi kabupaten. Tapi  Andi Hasan Manggabarani[1] telah membuktikan: menjadi Bupati Polmas yang pertama (1960-1965). Dengan realitas daerah diatas tadi, sungguh sulit memformat kerangka awal pembagunan daerah.

Namun begitulah konsekensinya, seorang pemimpin harus lebih berani  menanggung segala pahit getirnya masa perjalanan kehidupannya. Plus-minus kepemimpinan Andi Hasan, tentulah nampak mengiringinya selama ia menjadi bupati, sebab memang kekuasaan tak ada yang kekal.

Andi Bilu Manggabarani berhasil mempersunting Andi Tannawali, adik seorang Pa’bicara Binuang. Dari perkawinan itulah lahir putranya yang bernama Andi Hasan Manggabarani  dan Andi Rivai.

Andi Bilu memang menetap di Polewali, tapi ia juga berpetualang ke berbagai daerah, termasuk pernah di Majene. Karena itu Andi Hasan, anaknya disekolahkan di Majene hingga tamat HIS (SMP). Selama masa sekolah, tiap hari bolak balik Polewali-Majene hanya dengan sebuah sepeda. Terkadang pula satu dua hari menetap di Majene.

Untuk melanjutkan pendidikan lanjutan, ia masuk SMA Katolik Makassar. Nilai ijazahnya amat bagus, bahkan mata pelajaran aljabar rata-rata 10. Bahasa juga bagus. Andi Hasan menguasai bahasa Inggris, Jepang, dan sedikit sedikit bahasa Belanda apalagi bahasa daerah. Hampir semua bahasa empat etnis di Sulawesi Selatan fasih mengucapkannya. Usai masa sekolah, ia menggabungkan diri dalam perjuangan KRIS Muda bersama-sama melawan Belanda. Karena perjuangan inilah, Andi Hasan pernah ditangkap oleh Belanda dan dipenjarakan di Majene hingga 1948 baru dikeluarkan.

Karena ia mempunyai bakat bisnis, Andi Hasan kemudian secara perlahan-lahan menggeluti anemer, (sekarang: kontraktor bangunan). Dengan itu ia banyak bikin bangunan di Polewali, semisal tanggul yang ada di pantai Polewali, meski belum permanen total. Ia juga dipercayakan membangun kantor Korem Parepare.

Saat keluarga Andi Hasan hendak pindah ke Surabaya, Jawa Timur, banyak menginginkannya jadi Bupati Polmas. Andi Pangerang Pettarani, Gubernur Sulawesi Selatan saat itu punya pertimbangan. Salah satunya, tak mungkin Andi Selle akan berani macam-macam kepada Andi Hasan karena Andi Rivai saudaranya tengah menjabat  sebagai Komandan Resimen di Parepare. Jadi pertimbangan keamanannya jelas karena Andi Selle mesti hormat kepada Andi Hasan, Bupati Polmas.

Pertimbangan lain adalah pendidikan Andi Hasan agak memadai. Sehingga Andi Pangeran Pettarani menunjuknya melantik secara resmi Andi Hasan Manggabarani sebagai Bupati Polmas. Pada saat jadi bupati, sebagian anak anaknya yang sudah menetap di Surabaya sehingga mereka semua dipanggil pulang ke Polewali. Kendati sebenarnya di Surabaya, telah dibangun jaringan untuk merintis sebuah usaha, tapi demi pengabdian, Andi Hasan lebih memilih membangun kampung halaman ketimbang memilih jalur  sukses (bisnis) di negeri orang.

Dan kisah itupun berulang pada anak pertamanya.  Ceritanya ketika Hasyim Manggabarani diminta menjadi Bupati Polmas (1998-2003), sebetulnya waktu itu di promosikan menjadi Walikota Malang, Jawa Timur. Hitung-hitung dari segi gengsi, popularitas menuju kekuasaan yang lebih tinggi, pastilah lebih menjanjikan menjadi Walikota Malang. Siapapun yang mendapat peluang seperti ini rasionalnya pasti akan memilih di Malang.

Tapi Hasyim menyadari satu hal: ayahnya adalah tempat bersandar menentukan pilihan. Ia pamit. Apa kata ayahnya (Andi Hasan). Mengapa kamu harus ke Jawa, sementara daerahmu membutuhkanmu. Kamu harus kembali ke Polmas.

Apa respon Hasyim. Jangankan jadi Bupati di Polmas, disuruh keluar jadi tentarapun akan turut kalau ayah (Andi Hasan) berkehendak demikian. Dan Hasyim turut perintah ayahnya: menjadi Bupati Polmas.

Bupati Hasan kemudian melakukan penataan ruang pembangunan. Di konsentrasikan kawasan Pekkabata sebagai  sebagai pusat pemerintahan. Secara perlahan membuka jalan, terutama kawasan yang masih terisolasi seperti di kawasan pegunugan Polmas.

Antara jabatan formal dan ditengah lingkungan keluarga, tak nampak jaraknya. Ia ciptakan iklim kekeluargaan, tak membeda bedakan. Di tengah keluarganya sendiri, ia menanamkan kepemimpinan yang islami. Yang tua menghargai yang muda, yang muda hormat kepada yang tua. Tiap waktu magrib tiba, segera wudhu untuk shalat berjamaah di rumah.

Tiap malam ia bertindak mengawasi anak-anaknya untuk belajar, kecuali malam minggu ia biarkan anak-anaknya bersantai bersama kawan-kawannya, bahkan ia bekali uang jajan untuk belanja sesukanya. Ia tanamkan disiplin pada anak-anaknya.

Silaturrahmi juga dianggap penting. Disaat-saat tertentu ia acap kali bertandan kerumah-rumah kerabatnya, bahkan kerumah bawahannya di kantor daerah. Kebiasaan inilah yang membuatnya berhasil mempersatukan pelbagai etnik di Polmas.

Seiring terbentuknya Polmas jadi kabupaten, kawasan pegunungan sudah menuntut untuk jadi kabupaten sendiri. Bupati Hasan Mangga memahami hal itu, karena memang secara historis menggariskan seperti itu. Namun, ia melakukan pendekatan kepada tokoh-tokoh dari Mamasa bahwa suatu waktu, kalau segalanya sudah dibenahi dan sudah siap, maka Kabupaten Mamasa akan terbentuk jadi satu kabupaten.

Andi Hasan sangat menjaga Hubungan sesama pejabat bupati di Sulawesi Selatan sehinggahampir sebagian besar bupati-bupati di Sulawesi Selatan seangkatannya ia akrabi semua, terlebih mereka semua masih masih kerabatnya sehingga tidak ada rasa sungkan saat mau berkunjung.

Hubungan kedekatan dengan para pejabat itu ia manfaatkan untuk saling tukar informasi dalam membenahi daerahnya masing-masing. Salah satu wujud nyata dari hubungan antar pejanat itu  adalah jika ada yang namanya proyek dana daerah tertutup semisal danapendidikan yang diserahkan kepada mahasiswa Polmas yang menuntut ilmu di Makassar untuk dikelola sendiri oleh mahasiswa.

Menjelang masa akhir jabatannya, ia sudah meminta kepada Gubernur Sulawesi Selatan agar diberhentikan. Tapi entah pertimbangan apa, permohonan Bupati Hasan belum dikabulkan. Padahal saat itu, sekelompok mahasiswa ada yang memintanya untuk mundur. Ia bahkan menyampaikannya kepada mahasiswa kalau dirinya sudah memohon untuk mundur jadi bupati, tapi belum dikabulkan.

Mahasiswa pada saat itu menuntut agar Bupati Hasan mundur dengan dua alasan, pertama; adanya isu yang beredar bahwa Hasan Maggabarani bukan orang Mandar, Ini tentu saja tindakan konyol sekaligus bodoh, sebab dalam sejarah disebutkan bahwa Binuang adalah komunitas Mandar yang juga ikut dalam deklarasi Passimandaran Allamungan Batu di Luyo. Kedua; Andi Hasan Maggabarani aktif sebagai ketua partai, yaitu PNI 1945. Momentum itu digunakan oleh kelompok tertentu karena pada saat itu terjadi pergantian pemerintahan, dari Orde Lama ke Orde Baru. PNI saat itu dianggap sebagai partai warisan Orde Lama.

Setelah resmi tak lagi menjabat sebagai Bupati Polmas, ia kembali menekuni bisnisnya. Selama lima tahun, ia menetap di Jakarta, mengelola CV. Hayam Wuruk dengan posisi mengatur administrasi sesuai keahliannya yaitu ahli abon A dan B (akuntansi atau tata buku). Ia juga pernah diminta oleh pengusaha Cina di Pare-pare untuk mengelola usahanya, sebab pengusaha Cina tersebut hendak keluar Negeri. Tawaran itu ia tolak. Bukan hanya itu, ia juga menolak tawaran Kepala Keuangan di Tingkat Provinsi Sulawesi Selatan. Alasan penolakannya karena diberi syarat  harus keluar dari PNI dan masuk Golkar. Bukan Andi Hasan kalau tawaran itu tidak ia tolak, sebab ia tetap teguh pada prinsipnya dan menganggap bahwa PNI bukanlah partai terlarang.

Di masa tuanya, Andi Hasan betul-betul menikmatinya. Selain anak-anaknya sudah hidup mandiri dengan pelbagai pekerjaan disiplin ilmu yang dimiliki, warga di sekitarnya juga sangat menghormatinya. Suatu ketika, rumahnya, di jalan Sungai Kelara 2 Makassar, Andi Hasan hendak menjual rumahnya, tapi warga sekitar gigih menolak sebab mereka sudah menganggap rumah dan pemiliknya itu sudah bagian dari hidup mereka, terlebih yang punya rumah juga tak hidup miskin, jadi untuk apa di jual. Jika pertimbangan mau merombak, seluruh warga siap berpartisipasi dan menanggungnya sampai selesai.

Inilah sisi lain dari kesuksesan pribadi Hasan Manggabarani dalam menjalani hidup dan bertetangga. Ternyata warga menginginkan nama Hasan Manggabarani tetap terpampang di pintu rumah tersebut sebab dengan rumah itu mereka menyimpan kenangan indah ketika Andi Hasan masih bertugas di Polmas sebagai bupati. Sudah menjadi tradisi Andi Hasan jika pulang dari Polmas ke Makassar, selalu dipenuhi dengan berbagai macam buah-buahan serta hasil kebun yang semuanya itu dinikmati bersama warga sekitar. Para tetangga selalu bersorak gembira jika Andi Hasan tiba di rumahnya dengan berbagai buah dan bahan makanan dari kebun. Itulah yang tak bisa dilupakan oleh warga sekitar, sehingga tetap merindukan Andi Hasan untuk tetap tinggal disitu. Dengan kedekatan itu pula, warga begitu menghormati Andi Hasan sebagai pemimpin, orang tua, guru dan saudarara bagi mereka.

Andi Hasan menghembuskan nafasnya yang terakhir pada tahun 1999, pas setahun setelah Hasyim manggabarani dilantik jadi bupati Polmas. Andi Hasan meninggal di kediamannya di Polewali dengan meninggalkan 12 anak, 8 orang laki-laki dan 4 orang perempuan yang kesemuanya terbilang sudah sukses. Hampir di semua titik negeri ini, anak-anak dari Andi Hasan mengbbdi untuk bangsa.

Demikianlah pendidikan yang ditanamkan seorang Andi Hasan kepada anak-anaknya yang kesemuanya menjadi rahmatan lilalamin. Alfatihah.[2]



[1] Bupati Polewali Mandar (dulu Polewali Mamasa) pertama periode 1960-1965. Salah satu putra beliau yang sempat menjadi Bupati Polewali Mandar adalah Andi Hasyim Manggabarani.
[2] Sarman Sahuding, 2006