Senin, 27 Februari 2017

Catatan Kecil dari WISATA SEJARAH MA. NURUL MAARIF PARIANGAN-LUYO (2)


”Situs Ondongan dan Peluang Wisata Terpadu Bukan Sekedar Omongan”
 (Bagian 2 –Selesai)


Catatan : Muhammad Munir

Tepat Pukul 16.00 Wita, para peserta Wisata Sejarah Madrasah Aliayah Nurul Maarif tiba disebuah bukit dipusat kota Majene. Rombongan Kepala Sekolah dan guru-guru tiba bersamaan dengan pemandu yang terdiri dari Tammalele, Thamrin, Ifrat dan Penulis. Bukit kecil tersebut berada diantara area Rujab Bupati Majene dan Taman Kota Majene. Para pengunjung lebih mengenalnya sebagai Situs Ondongan yang didalamnya ada sekitar 480 buah makan raja-raja, pejabat dan kerabat raja Banggae.

Kompleks makam ini terletak di Kampung Ondongan, Kelurahan Pangaliali, Kecamatan Banggae, Kabupaten Majene. Begitu tiba di kompleks, sontak para siswa-siswi segera berhamburan di areal kompleks, sekedar selfie-selfie dan mengabadikan momentum tersebut. Siapapun yang datang ke kompleks ini, pasti merasakan sesuatu yang begitu indah. Panorama birunya laut, jirat dan nisan yang menggunakan beberapa macam bahan, seperti batu cadas, andesit, dan kayu melengkapi perjalanan wisata sejarah MA Nurul Maarif sore ini.  


Kompleks Raja-Raja Banggae di Ondongan ini berderet dari timur ke barat. Thamrin dan Tammalele serta Ifrat berusaha menjadi bagian dari peramu wisata yang profesional. Mereka mengambil bagian memberi informasi kepada anak-anak yang bertanya dan atau kebetulan memperhatikan bentuk dan jirat makam yang ada di kompleks ini. Penulis yang juga menjadi bagian dalam perjalanan wisata ini mencoba memberi penjelasan kepada beberapa siswa dan guru-guru yang mengikuti penulis. Pada mereka penulis jelaskan bahwa di kompleks ini ada 480 makam yang masuk dalam inventarisasi Situs cagar budaya Ondongan di BPCB Makassar dengan nomor inventaris 151 yang terdiri dari makam makam besar dan kecil.

Adapun diantara tokoh-tokoh yang dimakamkan di kompleks ini antara lain Makkidaeng Manguju tomatindo di Lanriseng (Arajang Balanipa dan Mara’dia Banggae) cucu Arajang Balanipa ke-15, ada juga makam I Besse Kajuara anak Arung Pone yang menjadi Raja Bone ke-27 (1857—1859), ia menikah dengan Makkidaeng Manguju. Makam I Besse Sompung istri pertama Arajang Balanipa, Tomappellei Pattuyuanna juga dimakamkan disini.. Tentu saja masih banyak makam lain yang tidak diketahui siapa dan kapan dimakamkan. Menurut Thamrin, makam-makam ini pernah diberi nama-nama penghuni makam, tapi karena pertimbangan lain nama di makam-makam tersebut dilucuti satu persatu.  


Dari beberapa sumber catatan sejarah, banyak menyebutkan bahwa kompleks makam raja-raja hadat Banggae ini mulanya berpusat di Salabose atau perkampungan Salabose yang berada didataran tinggi di kota Majene ± 120 mdpl. Banggae sendiri pada mulanya adalah kelompok masyarakat yang dipimpin oleh Ketua suku yang digelar Tomakaka yang belakangan dikenal sebagai Tomakaka Poralle. Selain Tomakaka Poralle ada juga Tomakaka Pullajonga, Tomakaka Salogang, Tomakaka Totoli, Tomakaka Pepattoang yang memimpin komunitas masyarakatnya dan tinggal di sekitaran Banggae. Keberadaan Tomakaka-tomakaka itulah yang kemudian menata diri dan membentuk kerajaan Banggae.

Membincang Banggae, Topole-pole adalah nama yang familiar dikalangan masyarakat Majene. Pemilik gelar Topole-pole ini adalah salah satu pendatang dari kerajaan Majapahit yang kemudian kawin dengan Tomerrupa-rupa Bulawang, putri Tomakaka  Poralle. Topole-pole ini memiliki kecakapan dalam hal penataan masyarakat sehingga Tomakaka Poralle sepakat membentuk suatu sistem pemerintahan baru yang dikenal sebagai pemerintahan Tomakaka Poralle. Sistem pemerintahan inilah yang menjadi cikal bakal  terbentuknya Kerajaan Banggae.

Awal pembentukan sistem pemerintahan ini sempat bergejolak dengan pertentangan antara Tomakaka Poralle dan Tomakaka Totoli terkait batas wilayah. Pertentangan akhirnya bisa diselesaikan dengan cara perkawinan antara Daenta Melanto putra Tomakaka Poralle dengan seorang putri Tomakaka Totoli, yang mengakibatkan kedua pemerintahan Tomakaka berjalan aman dan damai. Dari sejarah perkembangan Kerajaan Banggae telah tercatat raja raja yang memerintah baik sebagai maradia matoa ataupun maradia malolo. Mara’dia yang diketahui hanya 25 orang mulai dari mara’dia Daenta Melanto  sampai  Rammang Pettalolo (1907-1949).


Sekilas informasi itulah yang dapat penulis sampaikan kepada para peserta Wisata sejarah. Demikian juga Tammalele, Tamrin dan Ifrat memberikan informasi kepada mereka sesuai dengan apa yang membuat para siswa penasaran dan bertanya pada pemandu. Dari pengamatan penulis, baik guru maupun siswa-siswi sangat menyenangi dan puas bisa sampai ke Ondongan ini. Mereka selain tertarik dengan wisata sejarahnya, mereka juga terpesona dengan suasana yang begitu menyenangkan di bukit ini. Panorama laut yang membentang dihadapan bukit Ondongan ini adalah daya tari tersendiri bagi mereka. Namun waktu jua yang membuat mereka terpaksa harus merelakan kenikmatan itu direnggut dan mengharuskan mereka pulang.

Hal yang menarik perhatian penulis dari keberadaan situ Ondongan ini adalah letaknya yang strategis. Ondongan juga telah dianggarkan dalam APBN melalu BPCB Makassar, mulai dari pemeliharaan sampai biaya operasional kompleks ini. Yang sedikit mengganjal adalah sikap Pemda majene yang terkesan abai pada obyek ini. Pemerintah Majene seharusnya bisa mengelola secara kereatif profesional kompleks ini. Kompleks ini sangat berpotensi dikelola oleh Pemda sebagai pusat wisata sejarah, wisata kuliner dengan memnfaatkan fasilitas BPCB. 


Sejatinya Pemda tak hanya menarik retribusi dari pengunjung, tapi pemerintah bisa membangun fasilitas wisata kuliner bagi masyarakat sekitar untuk membantu meningkatkan taraf ekonominya. Pemda bisa menarik retribusi dari para penjual yang ada dikompleks selain memungut dari pengunjung. Dan ini sangat memungkinkan mengingat banyaknya pengunjung yang datang dari berbagai daerah dan setiap hari jumlah kunjungan ini puluhan bahkan ratusan orang yang datang. Ini tentu menjadi peluang untuk meningkatkan PAD dan pendapatan warga disekitar kompleks.


RUMAH BACA LKMM : Gerakan Bukan Alat, Tapi Wadah Untuk Berbagi !



Catatan Muhammad Mnir
 
Jika kita kebetulan jalan-jalan ke Kompleks Museum Mandar di Jalan Raden Suradi Kabupaten Majene, maka berjalan lurus kebelakang kompleks Museum Mandar akan kita temukan banner yang terpasang di depan sebuah ruangan yang masih bagian dari bangunan Museum Mandar. Banner tersebut bertuliskan Lembaga Kajian Mahasiswa Majene atau disingkat LKMM. Disanalah seorang pemuda yang bernama Muhammad Naim, sosok anak muda yang kesehariannya bertugas di Rumah Sakit Umum Daerah Majene mengelaborasi bentuk pengabdiannya pada tanah leluhurnya, Banggae Majene.

Naim, demikian ia akrab disapa bersama Asdar, Wahyuddin, Muhammad Ikhram, Muh. Gilang, Megawati, Nurhidayah, Humairah, Wasilah dan lainnya menata diri dalam LKMM yang intens melakukan kajian kemahasiswaan. Kajiannya bermacam-macam tema dan secara umum lembaga ini mengafirmasi diri sejauh mana peran dan fungsi mahasiswa dalam ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengawal proses pembangunan di majene sebagai Kota Pendidikan. Dari ruang kecil itulah lahir berbagai ide untuk mencoba mempola gerakannya membaktikan diri dan berbagi kepada masyarakat.

Dari ruangan itu pula saya mendapat Chat di medsos tentang keinginan mereka iut ambil bagian dalam proses penyebaran virus literasi di Mandar. Tanggal 28 Oktober 2016 tepatnya ketika RUMPITA menggelar WISATA BUKU di Depan SMK Negeri 2 Majene menjadi awal bagi mereka mengenal tradisi literasi yang digagas oleh RUMPITA. Program pemebentukan RUMAH BACA RUMPITA diberbagai daerah di Polewali Mandar dan Kabupaten Majene yang belakangan sudah merambah sampai ke Kabupaten mamuju Utara. RUMPITA Mamuju Utara dikelola oleh salah satu pemuda yang bernama Mardin Guevara (nama akun facebook).



Sebagaimana tradisi RUMPITA jika ada komunitas atau organisasi yang ingin mengambil peluang dalam penguatan dunia keaksaraan ditanah Mandar syaratnya hanya menyediakan ruangan dan rak buku. Selebihnya Buku akan disuplai dari pusat RUMPITA di Tinambung. Persyaratan lainnya adalah kesiapan untuk ikut membuka akses bacaan kepada masyarakat yang kurang tersentuh dengan bacaan terutama daerah-daerah dipinggiran dan pelosok Kabupaten Majene. Muhammad Naim dkk segera menyanggupinya dan pada acar WISATA BUKU RUMPITA I itu juga diserahkan ratusan buku untuk koleksi awal buat RUMAH BACA RUMPITA di Lembaga LKMM.

Sejak saat itulah, program LKMM tidak saja bergerak diwilayah-wilayah kampus dan ruang diskusi tapi sekaligus menjadi mitra kerja RUMPITA untuk menggelar buku secara rutin di pusat kota Majene (Tugu Posasi) dan juga berkeliling dari Salabose sampai ke Pambo’borang dan Rusung Majene. RUMAH MACA LKMM Majene kini eksist dalam aksi literasi.  Donasi buku juga sudah mulai berdatangan dari masyarakat yang peduli dengan gerakan anak-anak muda ini.

Kendati kehadiran pemerintah dalam ikut menguatkan gerakan anak-anak muda ini nyaris dikatakan tak ada, tapi mereka terus saja memberi yang terbaik buat generasi masa depan Majene, terutama pembinaan minat baca kepada anak-anak usia dini di Majene. LKMM dalam beroperasi membagi wilayah jangkauannya dengan RUMAH BACA yang dikelola oleh Thamrin di Teppo, sehingga dalam berkegiatan sekali jalan mereka berbagi zona dengan tujuan persebaran virus literasi ini semakain menjangkau banyak titik di Kabupaten Majene.


Menemukan sosok pemuda yang peduli dengan kegiatan pengembangan potensi SDM Majene seperti ini memang teramat susah, terlebih dalam berkegiatan mereka tak ditopang oleh operasional yang memadai. Merka bergerak murni swadaya dan inisiatif sendiri dalam menyiasati biaya operasional yang kadang membuat kocek mereka kosong. Tapi itulah nilai dari sebuah gerakan. Gerakan literasi tepatnya, bukan program literasi, sebab program adalah istilah yang lebih pas dengan kegiatan yang dananya disuplai oleh negara atau bersumber dari APBD. Pemda Majene memang punya program kepustakaan dalam bentuk pengadaan mobil pintar, PKBM dan perpustakaan sekolah dan desa. Tapi gerakan yang dilakukan oleh penggerak literasi ini justru lebih terasa perannya dimasyarakat ketimbang mereka yang disuplai anggaran.

Pemerintah dengan berbagai model programnya memang secara administrasi dan atraksi gerak memiliki kinerja yang pantastis, tapi dari segi penguatan secara akar rumput yang menyentuh lapisan terbawa dari masyarakat ini nyaris tak terbaca. Metode dalam gerakan literasi juga sangatlah beda. Gerakan literasi yang digalakkan oleh para penggerak literasi cenderung memberi kenyamanan pada anak-anak dengan membawa mereka membaca diruang terbuka seperti taman kota, dibawah pohon rindang atau dibibir-bibir pantai. Mereka cenderung pada methode belajar sambil bermain. Methode ini lebih dekat pada proses mengembalikan methode pendidikan KI Hajar Dewantara dengan Taman Siswanya. Dan sejatinya memang, anak-anak di usia TK dan kelas 1-3 SD diberi ruang untuk belajar sambil bermain agar mereka menerima transfer ilmu dengan nyaman. 


Itulah nilai pembeda antara program dan gerakan yang dilakukan oleh penggerak literasi dan pemerintah. Selain keunggulan metodenya perbedaan sumber pemdapatan dalam melaksanakan segala program kegiatannya juga bagaikan bumi dan langit. Tapi itulah dinamika. Gerakan literasi ini mesti hadir sebagai pembeda sekaligus sebagai ruang gugaha dab gugatan terhadap kinerja pemerintah terkait dunia literasi dan keaksaraan. Literasi juga bukan alat untuk menjadi gerakan untuk merogoh kocek pemerintah dari saku anggaran. Tapi bagaimana membangun sinergi dan kesadaran kolektif agar pemerintah bisa faham substaansi dan orientasi dari proses mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara. Itulah yang kerap disampaikan oleh Punggawa Rumah Baca LKMM, Muhammad Naim kepada seluruh member LKMM dalam setiap kesempatan.  

Untuk anda yang ingin berbagi buku bacaan atau ikut dalam kajian kemahasiswaan, silahkan langsung mengunjungi Sekretariat LKMM di Kompleks Museum Mandar Majene. Muhammad Naim juga bisa dihubungi lewat akun Muhammad Naim di Facbook.  

Catatan Kecil dari WISATA SEJARAH MA. NURUL MAARIF PARIANGAN-LUYO (1)


”Mengubah Paradigma Berlayar diujung Badik dengan Berlayar di ujung Pena”  
 (Bagian 1 dari dua tulisan)
 

Catatan : Muhammad Munir

Mengutip pernyataan Juri Lina berkebangsaan Swedia dalam bukunya “Architects of Deception – The Concealed History of Freemansory” menulis bahwa ada tiga cara yang paling dahsyat untuk menjajah dan melemahkan sebuah bangsa. Pertama adalah Kaburkan sejarahnya, Kemudian hancurkan bukti-bukti sejarahnya agar tak bisa dibuktikan kebenarannya, dan yang ketiga, putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya, katakanlah bahwa leluhurnya itu bodoh dan primitif. Ketiga cara tersebut sangat mungkin diterapkan kepada bangsa dan suku apapun, termasuk di Mandar.

Sejarah di Mandar terlepas dari apakah memang kabur atau dikaburkan, sebuah upaya mesti dilakukan sebagai antisipasi bersama untuk tidak menjadikan generasi kita sebagai generasi yang menggendong lupa. Menggendong lupa adalah salah satu penyakit yang menjangkiti generasi kita dengan mengabaikan peran sejarah dalam perangai, pola dan lakunya. Kecelakaan paling besar adalah ketika generasi hari ini tak lagi ingin menengok sejarahnya.  

Madrasah Aliayah Nurul Ma’arif yang beralamat di Pariangan Desa Pussui Kecamatan Luyo adalah salah satu sekolah yang intens mengadakan kunjungan ke Museum Mandar dan tempat-tempat bersejarah bagi siswa siswinya yang baru masuk sekolah. Hari ini (Minggu, 26 Februari 2017) Madrasah Aliyah Nurul Ma’arif memboyong siswa-siswinya ke Museum Mandar Majene dan Kompleks Makam Raja-Raja Banggae di Ondongan Majene.


40-an siswa siswi MA Nurul Ma’arif dengan didampingi Kepala Sekolah dan dewan gurunya menikmati wisata sejarah dengan mengelilingi ruang pameran benda-benda peninggalan sejarah yang dipajang oleh pihak Museum Mandar. Setelah puas berkeliling, mereka kemudian dikumpul di aula museum untuk diberikan pengantar dan penjelasan singkat tentang sejarah Mandar dan Sejarah Museum Mandar yang dipandu langsung oleh Tammalele dan M. Thamrin.

Museum Mandar adalah peninggalan Belanda yang dibangun pada tahun 1908 dan mulai digunakan pada tahun 1910 sebagai Rumah Sakit bagi para prajurit dan aparat pemerintahan Hindia Belanda di Kabupaten Mandar yang ibukotanya ada di Majene. Sepeninggal Belanda, bangunan ini terbengkalai hingga pada tahun 1989, Pemerintah Kabupaten Majene menyerahkan gedung ini kepada Yayasan Museum Mandar untuk dijadikan tempat penyimpanan, perawatan, pemeliharaan, pengamanan dan pamerean benda-benda peninggalan sejarah. Demikian Thamrin menjelaskan keberadaan Museum Mandar Majene. Museum Mandar, masih menurut Tamrin memiliki kurang lebih 1. 400 benda-benda bersejarah yang terbagi dalam berbagai macam koleksi geologika, biologika, ethnografika, historika, numismatika, filologika, keramologika, teknologika dan seni rupa. 


Dalam sesi Pengenalan sejarah terhadap siswa-siswi MA. Nurul Maarif yang di pandu oleh Tammalele ini memunculkan sederet pertanyaan sekitar siapa sosok Andi Depu, Latar belakang panamaan Mandar dan asal usul Tomandar, Puang dan Daeng dan bukti-bukti fisik tinggalan sejarah kerajaan yang pernah ada di Mandar.  Sebagai pemandu Tammalele sangat mengapresiasi minat para siswa-siswi tersebut karena keingin tahuannya terhadap asal-usul dan substansi sejarah Mandar.

Tammalele kemudian memberikan kesempatan penulis untuk memberi tambahan sedikit bagaimana sejarah kerajaan-kerajaan di Mandar. Penulis mencoba menyentil mereka dengan keberadaan mereka dari Luyo tersebut. Penulis katakan bahwa kalian seharusnya mengambil peran dan mendominasi pemahaman sejarah, sebab periodesasi sejarah yang direkam dalam dokumen tua dan naskah kuno justru menempatkan Luyo sebagai titik sentral berlangsungnya dua babakan sejarah yang menentukan alur perjalanan peradaban di Mandar. Passokkorang adalah kerajaan yang berpusat di Luyo. Ia adalah kerajaan yang yang pernah jaya dan berdaulat sekitar 200 tahun sebelum lahirnya Balanipa. Dan persekutuan Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu justru dipuasatkan di Luyo yang ditandai dengan monumen Allamungan Batu di Luyo.

“Dalam sejarah jelas dicatat bahwa Allamungan batu di Luyo adalah hasil kesepakatan di Tammajarra dan kesepakatan di Tammajarra adalah hasil kesepakatan di Podang. Ini tentu menjadi acuan bahwa kalian adalah generasi yang harus mengambil peran terhadap alur perjalanan sejarah. Kalian harus mampu merekonstruksi kembali jejak sejarah peradaban yang pernah lahir dan berpusat di Luyo. Demikian penulis memberi semangat kepada para siswa-siswi Nurul Ma’arif.

Sedikit catatan dalam acara ini tentang sosok Tammalele yang menanggapi menamaan gelaran Puang dan Daeng. Ia mengatakan bahwa istilah Puang dan Daeng itu cukup difahami dan dikenal siapa para pemilik dan pelaku sebutan Puang dan Daeng tersebut. Sebab sebagai muslim tentu harus memahami bahwa Islam tidak pernah mendiskriminasi umat manusia dengan kasta-kasta dan strata sosial yang membatasi hubungan hablumminannas tersebut. Islam jelas menganut faham bahwa dihadapan Allah, semua manusia sama derajatnya kecuali yang beriman dan bertakwa. Al-Qur’an juga jelas menegaskan itu. 


Ifrat, tokoh muda dan seniman Majene ini ikut ambil bagian memberi spirit pada siswa-siswi Nurul Maarif ini. Dikatakannya bahwa ia Tomandar itu jelas orangnya dan sifatnyapun sudah cukup tegas untuk menegaskan diri sebagai manusia yang berjatidiri Mandar. Tak lagi bijak membincang Mandar dari sudut pandang dan retorika apapun, sebab ia adalah nilai. Demikian pungkas tokoh seni yang tak asing dalam dunia perteateran ini.

Acara kemudian ditutup oleh Tammalele dalam kalimat singkat yang sangat memukau. “Jika dahulu Mandar kerap dalam stigma yang begitu ekstrim dengan Berlayar dipamor badik, maka maka hari ini kalian harus bisa mengubah paradigma itu menjadi keinginan untuk Berlayar di diujung pena dan IT“. Demikian Tammalele mempersilahkan kepada semua pengunjung untuk berkemas menuju ke Kompleks raja-raja Banggae di Ondongan Majene. (Bersambung)


Sabtu, 25 Februari 2017

APATAR PAMBOANG : Mengurai Senyum dan Berbagi Rasa Merdeka !


Tahun lalu, tepatnya Maret sampai Mei 2016 saya banyak menyusuri jalan-jalan sunyi di pelosok Pamboang dan Adolang. Mulai dari berziarah ke Ku’bur Kaeyyang, bernostalgia sambil membayangkan duduk diskusi diberanda Sapo Kayyang yang beberapa puluh tahun dihanguskan oleh Belanda. Sampai berusaha menaklukkan puncak Buttu Karappuanna Adolang. Menarik memang, pemerintah Majene dengan slogan Majene Mammis-nya, tapi ketika menelusuri jalanan selepas kelurahan Galung, tak ada hal yang terasa mammis. Yang ada bahkan kegetiran, dan amarah yang seketika membuncah: Inikah kondisi yang selalu dibanggakan pemerintah hari ini? Jalanan aspal yang hancur, jalanan cor baru tapi penuh lobang, kerikil tajam diantara jurang dan tebing gunung nyaris tak pernah tersentuh kebijakan. Begitu juga jembatan kayu yang hanya beralaskan belahan bambu untuk bisa tembus dari kampung ke kampung disekitaran gunung Timbogading dan Karappuanna Adolang.

Terlepas dari itu semua, pemerintah sudah saatnya kembali memesrai anak-pedalaman Adolang yang berjalan berkilo-kilo dengan telanjang kaki untuk bisa menyebut mereka sebagai anak sekolahan. Jangan tanya tentang pemukiman dan pola hidup yang mereka lakoni, sebab bagaimana mungkin mereka mampu sejahtera dan hidup bersahaja ditengah miskinnya fasilitas yang bernama pembangunan. Sekolah dari rumahnya harus menempuh perjalanan 1-2 jam untuk sampai kesekolah, jangan tanya dimana mereka menemukan mobil untukmereka tumpangi, sebab motor saja harus dipaksa untuk bisa sampai ke kampung-kampung sekitar . Pun jangan tanya berapa hasil petani dari memanen kebun kacang, bawang, jagung dan sayuran yang mereka hasilkan, sebab biaya transport dari kampungnya ke pasar bisa jadi lebih mahal dari pada barang yang mereka bawa ke pasar.

Ini bukan gugatan, sekedar menggugah pemerintah agar tak hanya asyik maksuk dengan hijau dan bersihnya kota, tapi bagaimana membuat generasi yang masih hijau itu mampu meretas jalan untuk menjadikan mereka sebagai manusia merdeka yang bisa merasakan meratanya konsep pembangunan. Mereka tak harus diajak ke kota untuk karaokean, cukup mereka dibangunkan sekolah, dibuatkan jalan beton, dibukakan akses jaringan baru listrik negara maka disanalah kemerdekaan mereka temukan.


Disepanjang-panjang jalanku, kucoba labuhkan sebuah harapan ketika mendapati sebuah komunitas yang menata dirinya lewat akronim Apatar = Askar Pantai Taraujung, (Rumah Cerdas / Apatar Pustaka). Aku memilih berhenti sejenak sekedar membeberkan pada Apatar yang ternyata telah berdiri sejak 20 Mei 2014. Ada banyak harapan yang coba kupertaruhkan pada semangat anak muda Pamboang. Dan saya tidak harus malu untuk mulai ujur, “ Bantu aku memunguti resah dan gelisah siangku untuk bisa tidur bersama embun dan memcoba menikmati sepoi angin dari bibir-bibir pantai yang rekah.

Melihat dan membaca struktur gemuk APATAR mulai dari Dewan pendiri : Muh Ajyad, S.Hut ; Muh Irhan ; Arfian, S.Or; sampai pada mengenal Direktur : Andi Ahmad Khadafi ; dengan Sekretaris : Wahyu Jalaluddin; Jangan pernah curiga bahwa Bendahara : Andi Dermawan akan memiliki rekening yang juga gendut, sebab Dewan pembina : Camat pamboang ; Lurah lalampanua ; Abdul Watif S.E ; Herni Aswad Dubair ; Nurdin Aco dan Dewan pengawas : Muh Refyal S.pd ; Muh Irdan Mucthtar S.Sos kemungkinan besar juga banyak dipusingkan dengan berbagai urusan pengabdiannya yang tak bisa berkelindan dengan target mereka.

Melalui akun Mursyid Wulandari alias Mursyid Syukri, kucoba merangkul dan melnitipkan sebuah impian pada hijau pegunungan dan birunya lau Pamboang. Status anggota Luar biasanya Apatar ini ternyata mengurai mimpiku dan mengajakku menari bersama ombak di pantai Taraujung. Kucoba meraih tangan Ajyad untuk membagi bara nasib generasi Pamboang. Yah, aku bangga. Ia bahkan tak merasa panas terbakar oleh bara itu. Bara itu justru membakar semangatnya untuk mereview kembali program dan agenda besar yang telah mereka tunaikan. Festival Akustik Taraujung, Gelar buku dipantai Pamboang tiap hari Minggu secara rutin, Pencanangan Kampung Literasi Pemilu kerjasama KPU Kab. Majene cukup memberi spirit betapa indahnya berbagi rasa merdeka.



Lalu tanpa ragu, Ajyad berbisik padaku bahwa masih sederet Rencana Program Kerja yang akan dilaksanakankedepan. Apatar masih harus bertaruh dengan takdirnya untuk bisa mengukir sejarah diajang Kemah wisata, Mengunjungi daerah pedalaman untuk aksi Literasi, Pengembangan Wisata Mangrove, dan Kajian / bedah buku tiap malam sabtu (rutin) yang kerap membuatnya gelisah sebab semua menurutnya harus berjalan bulan depan. Visi untuk pengembangan wisata di Taraujung dan Misi meningkatkan potensi SDA adalah cambuk yang terus melecut jiwanya untuk segera beranjak dari ketertinggalan.

Apatar menurutku mesti terus melangitkan pujian rasa syukur Alhamdulillah, sebab pembelian baju One Person One Book dan kegiatan yang sudah jalan sangat direspon oleh sebagian besar masyarakat yang mendukung gerakan Apatar ini. Meski tentu saja harapan tetap ia bumikan agar kedepannya gerakan literasi ini dapat menyebar kesemua lini, utamanya daerah pedalaman. Pun berharap uluran tangan pihak pemerintah berkonstribusi pada program dan agenda besar Apatar.



Komunitas APATAR kini berpusat di Jl. Ammana Pattolawali, Lingkungan Bulutupang, Kelurahan Lalampanua, Kecamatan Pamboang, Propinsi Sulbar. kode pos 91451. Disinilah mereka membangun asa, mencoba merobohkan dinding lapuk peradaban yang menahun diterlantarkan oleh sistem didaerahnya. Harapan terbesar mereka adalah handphonenya berdering 085342250858 untuk mendengarkan pengakuan yang sama dari penelfon, dan tentunya perhatian dan kerjasama dengan mereka adalah yang terindah.

Saya sekarang merasa lega sebab aku tak lagi sendiri meretas jalan sunyi itu. Aku merasa punya nilai saat mendapati anak-anak dipantai itu riang mengerubuti buku-buku yang sempat kualih tangankan dari Rumpita ke Apatar. Dan sungguh aku begitu sedih ketika mereka menoleh ke kanan dan ke kiri dan mendapati mereka bengong. Ternyata mereka masih ingin lebih banyak lagi pilihan buku bacaan yang mengitari mereka setiap saat. Mereka ingin berteriak... Tapi sayang, teriakannya hanya bisa dilisankan. Dan teriakan mereka kucoba tuliskan, semoga ada yang berkenan memberi mereka rasa bahagia dengan memberi mereka bacaan yang menarik dan berkualitas. Ada yang berminat ?

(Catatan Muhammad Munir)