Oleh: Suyuti Marzuki
Hampir dapat dipastikan
bahwa tujuan pembangunan manusia dari semua paham-paham pembangunan adalah membawa
umat manusia menuju kepada kesejahteraan (Adesina,
Social, & Programme, 2010; Dreher, 2006; Kumlin & Rothstein, 2005;
Midgley, 2006).Bahkan jika ditinjau
dari aspek penegakan hak-hak asasi manusia pun, sesungguhnya pembangunan manusia haruslah dalam rangka pemenuhan unsur-unsur kesejahteraannya (ADB,
2003; Ife, 2007, 2009).
Konsep dan pengukuran
tingkat kesejahteraan masyarakat yang selama ini berkembang dan digunakan oleh beberapa
Negara senantiasa mempergunakan ukuran yang bersifat multi-dimensional. Hal ini
dapat dipahami karena isu kesejahteraan masyarakat memiliki kompleksitas persoalan
yang sangat beragam, yang tidak bias diselesaikan melalui
pendekatan satu dimensi/variabel (single dimension) saja.Berikut terdapat beberapa
konsep pengukuran kesejahteraan yang digunakan oleh negara-negara maju di dunia
hingga saat ini, yakni:
Human Development Index (HDI)
Konsep pengukuran HDI
atau yang dikenal dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dikembangkan oleh UNDP
guna menduukung konsep pembangunan berkelanjutan.Inti dari konsep kesejahteraan
adalah melakukan "social invesment" guna menghasilkan SDM yang
berkualitas sebagai motor penggerak utama pembangunan berkelanjutan. Indeks ini
berfungsi untuk mengukur perkembangan pembangunan manusia di suatu negara,
dengan 4 (empat) indicator utama, yakni: (1) angka melek huruf; (2) angka partisipasi
pendidikan; (3) angka harapan hidup; dan (4) PDB PerKapita (dayabeli). Jadi,
IPM melihat konsep kesejahteraan secara parsial, yakni dari sudut pandang pendidikan,
kesehatan, dan tingkat pengeluaran riil untuk memenuhi kebutuhan per individu (Osberg
& Sharpe, 2003; Setiawan & Hakim, 2013).
Gross National Happiness.
Konsep pengukuran kesejahteraan
masyarakat ini diterapkan di sebuah Negara kecil, Bhutan di dekat negara India,
Asia Tengah. Penggunaan konsep pengukuran "kebahagiaan" (happiness)
menarik perhatian para ilmuwan sosial, ekonomi, maupun statistik. Indikator
yang digunakan sangat "local specific" di sesuaikan dengan kondisi masyarakat
Bhutan, seperti penguasaan bahasa Ibu, partisipasi budaya, ketersediaan terhadap
akses kebutuhan dasar, tingkat partisipasi dalam kegiatan di level komunal (community
vitality) atau kegotong royongan, serta keberlanjutan lingkungan.
Index Quality of Life.
Konsep pengukuran kesejahteraan
ini mulai digunakan pada tahun 2005 dengan memfokuskan pada 9 variabel, yakni;
(1) kesehatan; (2) kehidupan keluarga; (3) kehidupan masyarakat; (4)
kesejahteraan materi; (5) keamanan dan stabilitas politik; (6) iklim dan geografi;
(7) keamanan kerja; (8) kebebasan politik; dan (9) kesetaraan gender. Sumber
data yang digunakan untuk pengukuran indeks ini beragam, mulai dari survei,
sensus, dan laporan-laporan dari Biro Sensus Amerika Serikat atau data dari PBB
(Veenhoven,
2004).
Prosperity Index
Konsep kesejahteraan ini
memiliki 8 indikator, yakni; (1) ekonomi; (2) kesehatan; (3) kewirausahaan; (4)
keamanan dan keselamatan; (5) tata pemerintahan (good governance); (6)
kebebasan individu; (7) pendidikan; dan (8) modal sosial (social capital).
Dalam perhitungannya, kedepalan indicator tersebut dihubungkan dengan peningkatan
income per kapita, selanjutnya pendapatan per kapita ini sangat berpengaruh terhadap
kesejahteraan (wellbeing).
The Better Life Index.
Konsep pengukuran kesejahteraan
ini banyak digunakan oleh negara-negara maju (OECD), dimana memiliki 11
indikator yakni; (1) perumahan; (2) pendapatan; (3) pekerjaan; (4) kemasyarakatan;
(5) pendidikan; (6) lingkungan; (7) keterlibatan publik (civic engagement); (8)
kesehatan; (9) kepuasan hidup (life satisfaction); (10) keamanan/keselamatan;
dan (11) keseimbangan hidup (work-life balance).
The Economic Well-being Index (EWI)
Konsep pengukuran kesejahteraan
ini memiliki 15 indikator dengan 4 dimensi, yakni; (1) dimensi konsumsi; (2)
dimensi ketersediaan modal; (3) dimensi kesetaraan dari sisi pendapatan; dan
(4) dimensi keamanan ekonomi. Adapun 15 indikatornya meliputi; (1) konsumsi per
kapita; (2) angka harapan hidup; (3) pekerjaan yang tidak dinilai dengan upah
(unpaid work); (4) tingkat kesenangan; (5) pengeluaran per kapita; (6)
pengeluaran tidak terduga; (7) capital stock per capita; (8) sumber daya alam
per kapita; (9) sumber daya manusia; (10) tingkat investasi; (11) tingkat kemerataan
pendapatan; (12) tingkat kesenjangan; (13) tingkat pengangguran; (14) risiko sakit;
(15) tingkat kerawanan miskin (Sumner,
2004).
Index of Happiness (Indeks Kebahagiaan)
Indeks kebahagiaan merupakan
rata-rata dari angka indeks yang dimiliki oleh setiap individu. Di Indonesia
pada tahun 2014, Indeks Kebahagiaan sebesar 68,28 pada skala 0–100. Semakin tinggi
nilai indeks menunjukkan tingkat kehidupan yang semakin bahagia, demikian pula
sebaliknya, semakin rendah nilai indeks maka penduduk semakin tidak bahagia.
Indeks kebahagiaan merupakan indeks komposit yang disusun oleh tingkat kepuasan
terhadap 10 aspek kehidupan yang esensial. Kesepuluh aspek tersebut secara substansi
dan bersama-sama merefleksikan tingkat kebahagiaan yang meliputi kepuasan terhadap:
1) kesehatan, 2) pendidikan, 3) pekerjaan, 4) pendapatan rumah tangga, 5)
keharmonisan keluarga, 6) ketersediaan waktu luang, 7) hubungan sosial, 8)
kondisi rumah dan aset, 9) keadaan lingkungan, dan 10) kondisi keamanan.
Human Wellbeing Index (HDI)
Demikian pula,
Prescott-Allen mengatakan bahwa ekosistemdankesejahteraan memiliki keterkaitan lebih
dari konsumsi sumber daya yang rendah (sehingga tidak dapat diukur secara memadai
oleh The Ecological Footprint) serta lebih dari jumlah kebijakan dan praktik
lingkungan suatu negara (yang diukur dengan Kelestarian Lingkungan Indeks).
Ekosistem kesejahteraan, menurut Prescott-Allen, juga memiliki lima dimensi:
1. Menjaga
keragaman dan kualitas ekosistem lahan alami;
2. Menjaga
keragaman dan kualitas ekosistem air;
3. Mengembalikan
keseimbangan kimia atmosfer global dan kualitas udara setempat;
4. Menjaga
spesies liar dan gen dalam spesies domestikasi;
5. Penggunaan
sumber dayaalamdenganmempertimbangkandayadukungekosistem.
Lihat lebih lanjut
di: https://www.wilsoncenter.org/event/the-wellbeing-nations-developing-tools-for-measuring-sustainable-development#sthash.4YQ0gfwt.dpuf
Prescott-Allen telah
menghasilkan empat indeks: yang Wellbeing Index Manusia (HWI); Ekosistem
Wellbeing Index (EWI); Indeks Kesejahteraan (menggabungkan HWI dan EWI, kemudian
mengukur "sustainability"); dan Kesejahteraan / Stres Index (rasio
berapa banyak kerugian pembangunan suatu negara yang tidak pada ekosistem
global). The Wellbeing of Nations peta empat skor masing-masing negara ke
sebuah grafik yang menunjukkan tidak hanya bagaimana negara-negara melakukan
dalam hubungan satu sama lain, tetapi juga seberapa dekat mereka untuk mencapai
titik "keberlanjutan" berdasarkan definisi oleh Prescott-Allen ini maka
skor untuk kesejahteraan manusia dari aspek ekosistem "Keduanya harus
diperlakukan sama sama pentingnya,"
kata Prescott-Allen.
Berikut adalah 180 negara telah disurvey tingkat kesejahteraannya dikaitkan dengan indeks ekosistem.
Ecosystem menurun
(yellow group) = Indek skesejahteraannya cukup (fair Human Wellbeing Index/
HWI)
Human deficit (blue
group) = fair EWI; medium, poor, or bad HWI
Defisit ganda (red
group) = baik WHI dan EWI medium, kategori miskin atau buruk.
Warna abu-abu adalah
Negara yang belum disurvey.
Figure 1.Sumber (Internet)
Social Progress Index (SPI)
Awal mulanya indeks ini berangkat dari pemikiran Simon
Smith Kuznets, yang terkenal atas studinya tentang pendapatan nasional dan
komponen-komponennya. Kuznets adalah guru besar ilmu ekonomi di Universitas Pennsylvania (1930-54), Johns Hopkins (1954-60),
dan Harvard (1960-71).
Ia adalah presiden American Economic Association pada 1954.Kuznets mengubah cara
pengukuran PDB. Dengan karya yang bermula pada 1930-an dan terus-menerus selama beberapa dasawarsa, Kuznets menghitung pendapatan nasional sejak 1869.
Meskipun bukan ekonom pertama yang mencobanya, karya
Kuznets terbilang sempurna dan teliti yang mengatur standar bidang ini.Karyanya
didanai oleh lembaga nirlaba National Bureau of Economic Research, yang telah bermula pada 1920.
Kuznets kemudian membantu U.S. Department of Commerce untuk menstandardisasi pengukuran Produk Nasional Bruto.
Namun di akhir 1940-an, ia berpecah dengan departemen itu
karena menolak menggunakan PDB untuk mengukur pekerjaan rumah tangga karena ini
merupakan komponen produksi yang penting.
Berdasar pemikiran Kuznets ini, Michael Green ( https://www.ted.com/talks/michael_green_what_the_social_progress_index_can_reveal_about_your_country0
mengembangkan model SPI ini. Indeks
Kemajuan Sosial meneliti indikator sosial dan lingkungan dengan tiga dimensi
berbeda kemajuan sosial: 1) Kebutuhan Dasar Manusia, 2) dasar-dasar kebutuhan akan
kesejahteraan manusia, dan 3) Peluang. Michael menjelaskan bahwa kesejahteraan manusia
di abad 21 ini harus diukur dengan Indeks Kemajuan Sosial (Social Progress
index).
Sepertinya indeks ini merupakan rangkuman dari keseluruhan
indeks kesejahteraan yang telah ada sebelumnya. Penulis meyakini bahwa SPI ini cukup
komprehensip dalam menilai tingkat kesejahteraan manusia saat ini.
Figure 2.Sumber Internet
Indeks Kesejahteraan
di Indonesia
Sementara di
Indonesia, Indeks kesejahteraan menggunakan 18 variabel. Badan Pusat Statistik
(BPS) Indonesia,sebagai lembaga pemerintah Badan Pusat Statistik (BPS)
Indonesia,ditugaskan untuk mengadministrasi data dan informasi di Indonesia, mengintroduksi
18 indikator tentang kesejahteraan masyarakat meliputi sebagai berikut:
1. Laju
Pertumbuhan Penduduk (LPP);
2. Kepadatan
Penduduk per km (KPP)
3. Angka
Melek Huruf (AMH);
4. Rata-rata
Lama Sekolah (RLS);
5. Angka
Harapan Hidup (AHH);
6. Pengeluaran
per Kapita (PPK);
7. Persentase
Rata-rata Pengeluaran untuk Konsumsi Makanan (PKM);
8. Persentase
Rumah Tangga yang Memiliki Fasilitas Minum Sendiri (FMS);
9. Persentase
Rumah Tangga dengan Jenis Lantai Bukan Tanah (LBT);
10. Persentase
Rumah Tangga dengan Luas Lantai < 20 M2 (LLK);
11. Persentase
Rumah Tangga dengan Dinding Tembok (RDT);
12. Persentase
Rumah Tangga dengan Sumber Penerangan dari PLN (PLN);
13. Persentase
Rumah Tangga dengan Fasilitas Buang Air Besar Sendiri (BAB);
14. Persentase
Penduduk Miskin (RTM);
15. Jumlah
Pengangguran Terbuka (JPT);
16. Persentase
Penduduk yang Mengalami Keluhan Kesehatan Sebulan yang Lalu (PKK);
17. Persentase
Penduduk Mengalami Keluhan Kesehatan dan Kegiatannya Terganggu (PPB);
18. Jumlah
Penduduk Bekerja (JPB)
------------------------
DAFTARPUSTAKA
ADB.
(2003). Adb and social protection.
Adesina, J. O.,
Social, T., & Programme, P. (2010). Rethinking the Social Protection
Paradigm : Social Policy in Africa ’ s Development. Social Policy, 28–30.
Retrieved from http://erd.eui.eu/media/BackgroundPapers/Adesina.pdf
Dreher, A. (2006).
Does Globalization Affect Growth? Evidence from a New Index of Globalization. Applied
Economics, 38, 1091–1110. https://doi.org/10.1080/00036840500392078
Ife, J. (2007). Human
Rights and Peace. In Handbook of Peace and Conflict Studies (pp. 160–172).
https://doi.org/12.4
Ife, J. (2009). Human
Rights from Below-Achieving rights through community development. The Edinburgh
Building CB2 8RU, Cambridge University Press.
Kumlin, S., &
Rothstein, B. (2005). MAKING AND BREAKING SOCIAL CAPITAL The Impact of
Welfare-State Institutions THE THEORY OF SOCIAL CAPITAL AND THE SCANDINAVIAN
PUZZLE. COMPARATIVE POLITICAL STUDIES, 38(4), 339–365.
https://doi.org/10.1177/0010414004273203
Midgley, J. (2006).
Developmental Social Policy: Theory and Practice. Asian Journal of Social
Policy, 2(1), 1–22. Retrieved from http://scholar.google.com/scholar?hl=en&btnG=Search&q=intitle:Developmental+Social+Policy:+Theory+and+Practice#7
Osberg, L., &
Sharpe, A. (2003). Human well-being and economic well-being: What values are
implicit in current indices. … Inequality, Poverty and Human Well Being, …,
1–60. Retrieved from
http://www.researchgate.net/publication/24130858_Human_Well-being_and_Economic_Well-being_What_Values_Are_Implicit_in_Current_Indices/file/50463519d0bc9e8da5.pdf
Setiawan, M. B.,
& Hakim, A. (2013). Indeks Pembangunan Manusia Indonesia. Jurnal Economia, 9(1),
18–26. https://doi.org/4102002
Sumner, A. (2004).
Economic Well-being and Non-economic Well-being. UNU-WIDER Conference on
Inequality, 4(30), 30–31.
Veenhoven, R. (2004).
Subjective Measures of Well-being Ruut Veenhoven. World Institute for
Development Economics Research.
thanks, sangat membantu menambah pengetahuan, terus berkarya, semoga sehat2 bersama kluarga
BalasHapus