Selasa, 31 Januari 2017
Minggu, 29 Januari 2017
ABM-ENNY DAN PENGUATAN SISTEM KELEMBAGAAN PEMERINTAH
Tulisan ini adalah catatan Bapak Suyuti Marzuki, tokoh ahli dibidang manajemen yang telah menyelesaikan studi masternya bidang
coastal engineering and manajemen
(2005). Berikut catatan singkatnya menyikapi Pelaksanaan Debat Publik Tahap 2 Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Barat 2017, di Ballroom d'Maleo Hotel mamuju, 29 Januari 2017 :
Ada
satu agenda hal yang yg maha penting yang luput dipertajam pada debat Gubernur di
Sulawesi Barat, yaitu
ketika bicara soal pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah, yaitu “SISTEM
KELEMBAGAAN PEMERINTAH” yang oleh pakar Manajemen
Organisasi
kenamaan dunia, Piter Dracker (Drucker, 1954) menempatkan system kelembagaan
sebagai Roh-nya organisasi hidup atau mati, organisasi
belanjut atau mati suri.
Sejalan
dengan ini pakar dan penemu teori manajemen organisasi berbasis balanced scorecard (Kaplan & Nagel, 2004; Kaplan & Norton, 1996)
lantas meletakkan kelembagaan ini dalam sebagai salah pondasi organisasi
pemerintah (Lawrie & Cobbold, 2004) maupun organisasi swasta atau korporat
((Shen, Chen, & Wang, 2016). Prof. Paul S.
Kaplan dan Prof David P Norton, menempatkannya pada perspektif dasar dari empat
perspektif utama dalam teori balanced
scorecard yang telah berkembang di
seluruh belahan dunia yaitu pada “perspective
Learn and Growth” (Persfektif
Pembelajaran dan Pertumbuhan dalam organisasi).
Apa
keempat fondasi itu?
1.
Sistem Pengembangan SDM
2.
Sistem Kelembagaan pemerintah
3.
Sistem data dan informasi
4.
Sistem penganggaran organisasi
Ada apa dan Mengapa Kelambagaan pemerintah?
Kelembagaan
pemerintah itu harus dipahami sebagai suatu hal yang sangat berbeda dengan
kelembagaan dunia bisnis/korporat. Jika kelembagaan swasta dibangun dena tujuan
dan atas dasar mengejar keuntungan/profit, maka dalam hirarki kelembagaan
pemerintah justru Masyarakatlah yang herus menjadi tujuan utama pembangunan.
Sehingga sangat dibutuhkan pemimpin daerah yang benar2 memiliki pengalaman dan kemampuan dalam mengelola organisasi pemerintahan.
Untuk mencari pemimpin seperti ini tidaklah mudah, dibutuhkan sebuah proses panjang dalam pembelajarannya sebagaimana yang telah sy dijelaskan di atas pada perspektif Learn and Growth.
Sehingga sangat dibutuhkan pemimpin daerah yang benar2 memiliki pengalaman dan kemampuan dalam mengelola organisasi pemerintahan.
Untuk mencari pemimpin seperti ini tidaklah mudah, dibutuhkan sebuah proses panjang dalam pembelajarannya sebagaimana yang telah sy dijelaskan di atas pada perspektif Learn and Growth.
Beberapa hal pokok yg dapat dilakukan dalam memperkuat kelembagaan daerah ini menuju Good governace meliputi:
1) Penataan organisasi daerah yang efisien dan efektif secara terintegrasi
2) Meningkatkan dan mengukur kinerja seluruh organisasi daerah
3) Kepala SKPD harus paham betul apa tugas fungsinya masing2 yang tertuang di dalam peta strateginya.
4) SKPD harus fokus membangun sektornya masing2 berdasarkan janji-janji kerja dan indicator kinerja utama (IKU) yang telah dibangun.
5) Program-program dan kegiatan-kegiatan SKPD harus benar2 sinkron dan mendukung Peta Strategi pemerintah daerah (peta strategi Gubernur) dari kelima MISI daerah (Provinsi)
6) harus bisa mencari sumber2 pendanaan dari pusat dan luar, jangan tergantung kepada gubernur saja.
7) Menciptakan birokrasi yang benar2 melayani masyarakat, tiap SKPD ada tim reaksi cepat atas pengaduan masyarakat terkait tugas fungi sektornya masing2 SKPD
Dan seterusnya……..
Di
Provinsi Sulawesi Barat, saya hanya melihat pada sosok ABM, yang sudah sangat
matang dan sarat pengalaman dalam mengelola organisasi pemerintah......
Citation:
Drucker, P. (1954). Peter Drucker on the profession of management. The Journal of Academic Librarianship. https://doi.org/10.1016/S0099-1333(98)90121-5
Kaplan, R. S., & Nagel, M. E. (2004). Improving Corporate Governance with the Balanced Scorecard. NACD Directors Monthly, 28, 6–10.
Kaplan, R. S., & Norton, D. P. (1996). Using the Balanced Scorecard as a Strategic Management System. Harvard Business Review, (October 1993), 75–86. https://doi.org/10.1016/S0840-4704(10)60668-0
Lawrie, G., & Cobbold, I. (2004). Third-generation balanced scorecard: evolution of an effective strategic control tool. International Journal of Productivity and Performance Management, 53(7), 611–623. https://doi.org/10.1108/17410400410561231
Shen, Y.-C., Chen, P.-S., & Wang, C.-H. (2016). A study of enterprise resource planning (ERP) system performance measurement using the quantitative balanced scorecard approach. Computers in Industry, 75, 127–139. https://doi.org/10.1016/j.compind.2015.05.006
.................Cermati pada gambar berikut:
Citation:
Drucker, P. (1954). Peter Drucker on the profession of management. The Journal of Academic Librarianship. https://doi.org/10.1016/S0099-1333(98)90121-5
Kaplan, R. S., & Nagel, M. E. (2004). Improving Corporate Governance with the Balanced Scorecard. NACD Directors Monthly, 28, 6–10.
Kaplan, R. S., & Norton, D. P. (1996). Using the Balanced Scorecard as a Strategic Management System. Harvard Business Review, (October 1993), 75–86. https://doi.org/10.1016/S0840-4704(10)60668-0
Lawrie, G., & Cobbold, I. (2004). Third-generation balanced scorecard: evolution of an effective strategic control tool. International Journal of Productivity and Performance Management, 53(7), 611–623. https://doi.org/10.1108/17410400410561231
Shen, Y.-C., Chen, P.-S., & Wang, C.-H. (2016). A study of enterprise resource planning (ERP) system performance measurement using the quantitative balanced scorecard approach. Computers in Industry, 75, 127–139. https://doi.org/10.1016/j.compind.2015.05.006
.................Cermati pada gambar berikut:
Sabtu, 28 Januari 2017
DARI LAUNCHING RUMAH BUDAYA HUSNI DJAMALUDDIN : “ Kematian Husni dan Air Mata yang Mengairi Tujuh Sungai” (Bagian Kedua)
Oleh
Muhammad Munir
Husni Djamaluddin lahir adalah sosok malaqbiq yang lahir di Tinambung Kab.
Polewali Mandar, Sulawesi Barat pada 10 November 1934. Ia wafat 24 Oktober 2004 tepat 1 bulan setelah
perjuangan Pemebentukan Provinsi Sulawesi Barat ketuk palu di Senayan. Warisan
terbesarnya untuk Mandar adalah Provinsi Sulawesi Barat dan Kata Malaqbiq yang
menjadi ikon Sulawesi Barat. Begitupun ia mewariskan banyak karya besarnya untuk
Indonesia antara lain: Puisi Akhir Tahun (1969), Obsesi (1970), Kau dan Aku
(1973), Anu (1974), Toraja (1979), Sajak-sajak dari Makassar (1974), Bulan Luka
Parah (1986), Berenang-renang ke Tepian, dan antologi Puisi ASEAN Buku III
(1978).
Ia adalah salah satu tokoh besar yang dimiliki
Mandar. Selain penyair ia juga seorang kolumnis, wartawan senior dan politikus.
Jasa-jasanya terhadap pembentukan Provinsi Sulawesi Barat adalah manivestasi
cintanya pada Mandar yang mungkin tak semua orang mampu dan peduli untuk
melakukannya. Bahkan pada saat Sulawesi Barat disahkan dalam rapat paripurna di
DPR RI, ia datang dengan menggunakan kursi roda, sebab saat itu ia dalam
keadaan sakit parah. Dan kata Malaqbiq yang kini menjadi ikon provinsi ini
ternyata lahir dari pemikiran sang beruang dari Mandar ini. Malaqbiq terpancar
jelas pada putra Tinambung yang sempat menjabat Ketua Dewan Pembentukan
Provinsi Sulawesi Barat ini.
Penyair handal yang dijuluki Panglima Puisi ini adalah sosok yang energik
dan mengibaratkan dirinya adalah benang putih. Benang yang ditenun oleh wanita
Mandar dengan sangat sabar hingga menjadi Lipa’
Sa’be yang terkenal ke penjuru
nusantara. Ada keikhlasan dan kesabaran di dalam menenun benang putih yang kemudian lekat menjadi kappung bannang pute. Indi tia to muane bannang pute sarana melo’ di cingga’ melok di
lango-lango. (aku ini pahlawan, adalah benang putih, siap basah dan siap diberi
warna). Penggalan kata “bannang pute” yang berarti benang putih tersebut
sekaligus melekat menjadi julukan buat almarhum Husni Jamaluddin “Sang Bannang
Pute”.
Berbicara pembentukan Sulbar, peran Husni
jelas tak bisa diragukan. Bersama-sama dengan tokoh-tokoh lain, seperti
almarhum Baharuddin Lopa, alm Maraqdia Malik Pattana Endeng, Rachmat
Hasanuddin, Ma’mun Hasanuddin, Naharuddin, Anwar Adnan Saleh dan banyak lagi
yang tak sempat disebut namanya, telah dinobatkan sebagai pejuang-pejuang
Sulbar. Hal ini merupakan pengakuan pada sebuah energi dan prosesi kerja yang
panjang dan tak kenal menyerah.
Catatan ini penulis ambil dari ringkasan
beberapa testimoni dan pernyataan beberapa tokoh yang menulis tentang beliau. 3
buah buku tentang Husni Djamaluddin yang sempat penulis bawa pulang dari acara
Launching Rumah Budaya Husni Djamaluddin kemarin (jumat, 27/01) cukup memberi
informasi bagi penulis untuk disarikan kepada khalayak tentang siapa sosok
Malaqbiq Husni Djamaluddin. Ketiga buku tersebut adalah Husni Djamaluddin Yang Saya Kenal, Adakah Kita Masih Bertanya? dan INDONESIA, Masihkah Kau Tanah Airku?.
Buku “ INDONESIA, Masihkah Kau Tanah Airku ?
“ yang berisi kumpulan puisi Husni Djamaluddin dalam rentang waktu 1934-2004
adalah wisata di tengah alam yang sejuk sembari melintasi sejarah-sejarah yang
pernah ada. Diksi dan kemahirannya memilih metafora sangat dikagumi oleh
penyair nasional lainnya. Dalam sajak-sajak Husni, kita akan menemukan banyak
pencitraan tentang laut, lagi-lagi ini adalah hal yang wajar sebab Husni memang
lahir di Mandar. Mandar adalah peradaban identik dengan dua elemen yang bahan
dasarnya air, yaitu air sungai dan air laut. Mandar adalah pelaut ulung meski
tak harus menyebutnya orang laut, sebab Husni telah menghibahkan dirinya dalam
sajak “Akulah Laut”. Husni Djamaluddin mencoba mengindentifikasikan dirinya
dengan laut yang surut dan yang pasang.
Dalam
pencitraannya tentang laut, tentu saja tidak penting menyebut orang Mandar
sebagai orang laut? Sebab kemudian Husni Djamaluddin tak hanya piawai
membincang laut yang pada akhirnya ia harus menghadapi kenyataan ombak yang
ditolak oleh tepinya. Selain itu, Husni juga adalah sosok yang piawai
membincang budaya pegunungan yang
diusungnya melalui sajak tentang Toraja. Husni berhasil mengabadikan tentang
jenazah yang masih basah, tentang kepala yang tinggal tengkorak, tentang
belulang yang dipeti ukir, tentang gua-gua yang berbukit kapur dan tentang
kerbau, babi dan tuak. Melalui sajak-sajaknya tentang Toraja, tidak saja
memperkaya perpuisian dan kesusastraan Indonesia, tapi sekaligus telah
memperkenalkan suku bangsa dan budaya yang tadinya terpencil itu sekarang
menjadi obyek wisata yang masyhur. Sampai disini penulis ingin menegaskan bahwa Husni Djamaluddin tidak saja merelakan jiwanya diamuk badai, tapi juga mewakafkan fikirannya dikabuti embun pegunungan. Dan hampir seluruh kehidupan yang dimilikinya tak pernah sedikitpun terlewatkan untuk bagaimana bisa menghibahkan dirinya secara utuh buat Mandarnya. Terbukti, setelah segala perjuangannya tentang pembentukan provinsi Sulawesi Barat usai dilembar negarakan di Senayan. Sebulan kemudian ia tersenyum menghadap sang pencipta-Nya. Senyum itu ia bawa pergi dan ribuan orang Sulbar tanpa sadar melelerkan air matanya untuk mengairi 7 sungai dari hulu sampai muara. Itulah Husni Djamaluddin yang hari ini dibincang biasa bersama orang-orang yang luar biasa. (Bersambung)
DARI LAUNCHING RUMAH BUDAYA HUSNI DJAMALUDDIN : “ Husni Djamaluddin, Sang Bannang Pute Itu Masih Hidup” (Bagian Petama)
Oleh
Muhammad Munir[1]
Suatu ketika
dalam sebuah bincang literasi di Rumpita, ada salah seorang peserta yang
bertanya, “Mana yang lebih hebat
Baharuddin Lopa dengan Husni Djamaluddin?”. Mendengar pertanyaan ini,
penulis langsung teringat dengan guruku, Prof. Lamboruso. Menurut Lamboruso,
Lebih hebat Husni Djamaluddin, sebab jika Baharuddin Lopa bisa hebat begitu
karena dia punya jenjang pendidikan tinggi, sementara Husni Djamaluddin hanya
tamatan SMA tapi mampu menembus batas akademik itu. Ia bahkan dijuluki Panglima
Puisi secara nasional .
Membincang
dua tokoh Mandar tersebut, kita mungkin bisa kehabisan kata untuk mengurainya.
Begitupun ceritanya, mungkin seorang penulis akan tersesat di rimba abjat jika
tetap bersikukuh untuk menuliskan semuanya, sebab sampai hari ini, Indonesia
belum pernah melahirkan kembali dua sosok pendekar hukum dan panglima puisi
tersebut. Pun di Mandar sendiri belum ada generasi yang mampu menyamainya.
Itulah Mandar dan dua sosok yang bagai matahari, tak pernah redup. Ia
senantiasa bergerak setia mengikuti perjalanan waktu. Bangkit, tersungkur dan
bangkit lagi. Hingga dalam ketiadaan mereka pun kita tak pernah merasa
kehilangan aura dan aroma kedua sosok malaqbiq
ini.
Entah untuk
kali keberapa, ada beberapa acara yang kerap penulis ikuti ditempat yang sama
dilingkungan Kandeapi Tinambung. Jumat, 27 Januari 2017 tepatnya pukul 16.00
Rumah Adat Husni Djamaluddin, demikian orang menyebutnya. Beberapa orang
terlihat sementara asik diskusi kecil ketika penulis sampai ditempat itu.
Nampak Rektor Unsulbar, Akhsan Jalaluddin, Ketua DPRD Majene, Darmansyah,
Mursalim dan beberapa dari elemen masyarakat, tokoh budaya dan tokoh pemuda,
Kapolres Majene, Kapolres Polman dan seorang Polisi Jepan setingkat Brigjen,
Izawa.
Yuyun
Yundini Husni Djamaluddin, putri sulung almarhum Husni Djamaluddin ini
mengingatkan kita kembali seorang sosok yang memang tak pernah mati. Yuyun,
demikian ia akrab disapa. Ahli Perpolisian masyarakat ini memang tak asing lagi
bagi insan perpolisian. Tak heran jika kedatangannya ke Mandar kita pasti
menemukan banyak polisi yang menyertai dan menyambut beliau. Ia adalah seorang
dosen kepolisian di Jakarta. Grendy TP, Kapolres Majene adalah salah satu yang
pernah diajar oleh Yuyun.
Hari ini,
kristal air mata itu terbentuk bagai kondensasi air hujan. Di mata Yuyun, dan
dimata semua yang hadir, perasaan itu membuncah, menyeruak dan seketika
kerinduan pada sosok almarhum Husni Djamaluddin menyerang begitu kuat saat Yuyun
Yundini memerintahkan salah seorang keluarga untuk membentangkan spanduk
sepanjang 3,5 meter bertuliskan : RUMAH BUDAYA HUSNI DJAMALUDDIN. Yuyun
menangis, dengan tersedu ia mengurai sosok mendiang ayah yang ia sangat kagumi.
“Husni Djamaluddin tidak mati. Ia
masih hidup dan ia hadir disini, ditengah-tegah kita”. Ucap Yuyun
sembari mencoba melawan sesuatu yang hendak menyumpal tenggorokannya. Suaranya
terpatah namun akhirnya tiba pada sebuah kesimpulan bahwa RUMAH BUDAYA HUSNI
DJAMALUDDIN inilah yang ia akan jadikan untuk melahirkan sosok Husni
Djamaluddin pada 10, 20, 50 bahkan 100 tahun kedepan. Rumah almarhum ini
kedepan akan dihibahkan untuk menjadi aula segala bentuk kegiatan budaya. Rumah
Budaya ini nantinya akan secara berkala mengelar “Workshop Budaya” yang setiap
angkatannya akan mengikuti rangkaian kegiatan selama 3 hari 3 malam.
Workshop ini
nantinya akan menyuguhkan materi-materi tentang esensi Malaqbiq. Malaqbiq adalah
kata yang dipopulerkan oleh Husni Djamaluddin dalam mengawal proses perjuangan
Sulbar. Materi kedua adalah tentang apa dan siapa Husni Djamaluddin. Pada
segmen ini, peserta akan mendapatkan informasi tentang Husni, tentang proses
kreatifnya hingga dijuluki Panglima Puisi, tentang inisiatif Husni menyiasati berbagai persoalan hidup
untuk menjadi seorang pemenang hinga dijuluki Sang Bannang Pute To Mandar.
Materi ketiga, peserta akan diperkenalkan pada sosok inspiratif yang berhasil
menenun nasibnya dari kelas teri menjadi materi yang dilisan-tuliskan. Sda
banyak sosok generasi Mandar dari berbagai latar belakang akan dihadirkan untuk
membakar semangat para peserta Workshop.
”Husni bukan hanya tokoh budaya, tapi ia adalah sosok pejuang yang
bisa mewujudkan mimpinya lewat perjuangan Sulbar. Dahulu perjuangan Sulbar dengan
keterbatasan, tapi mampu dilakukan
karena Malaqbiq adalah spirit untuk
menjadikan Mandar dan Sulbar sebagai sebuah wilayah. Dan mimpi Husni
Djalamluddin itu telah kita nikmati selama 12 tahun”. Demikian
Yuyun mengulas singkat sepak terjang ayahnya yang melatari mengapa Rumah Budaya
Husni Djamaluddin hadir pertama kali di Sulbar.
Sebelum ia
menutup kata sambutannya, ia menyampaikan 3 komitmen dasar yang menjadi
prasyarat untuk bisa disebut Sulbar Malaqbiq, yaitu Malaqbiq DPR-nya, Malaqbiq
Pemerintahnya dan Malaqbiq Rakyatnya. Pertanyaannya adalah “Sudah Malaqbiq kah kita hari ini?”. Pungkas wanita cantik
berkacamata yang kabarnya akan menjadi pemandu dalam Debat Publik Tahap II
Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Barat, 29 Januari 2017. (Bersambung)
BAYI LANGIT : Bayi Yang Lahir Dari Gua Garba Syuman Saeha
Judul Buku
Bayi Langit (Antologi Puisi)
Penulis
Syuman Saeha
Penerbit
Interlude Yogyakarta, 2016
Cetakan Pertama
Pengantar :
Iman Budhi Santosa
Harga Buku Rp. 50.000,-
Pembelian Bisa melalui Rumpita dan Jaringan Rumah Baca di Majene, Tappalang, Mamuju dan Pasangkayu
SYUMAN SAEHA, Lahir 17 Agustus 1975. Di Lelupang Desa Lampoko Kecamatan
Campalagian. Tempat kelahirannya itu selayaknya disebut rantuan belaka, seperti
hanya disinggahi selama kurang lebih 15 Tahun. Sebab Tahun 1990, kemudian
ditinggalkan. Lalu hijrah dan bermukim di Bala (desa) Kecamatan Balanipa,
Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat sampai sekarang. Menikah dengan gadis
Galeso, Nurhani Nurdin 2014, dan dikaruniai anak Pangrita Palogai.
Pada Tahun 1984, hanya karena sebuah
kenakalan yang melibatkan perkelahian sesama kelas di Sekolah Dasar (SD),
Membuat dia bersitegas untuk keluar dari sekolah, itupun karna menghindari
hukuman. Anak kelima dari sebelas bersaudara ini kemudian mengambil keputusan
untuk belajar mengembala sapi dan menggarap sawah sampai Tahun 1988 di tanah
Bugis (Pinrang). Niat itu diluluskan semata ingin membantu penghasilan Ibunya
(PASA) sebagai penenun sutra dan Bapaknya (SAEHA) yang tukang photo.
Bukan hanya itu, sepulang dari rantauan
sebagai pengembala, alih alih melanjutkan sekolahnya yang tertunda di kelas III
SD. Ia malah asyik menjadi peladang, menanam jagung, mangga dan kakao walau itu
tak berlangsung lama. Sebab kemarau panjang kemudian menyeretnya untuk turun ke
laut menjala ikan sebagai nelayan. Semua itu pernah dijadikan pekerjaan,
sebagaimana juga buruh bangunan hingga tukang batu.
Sebenarnyalah kalau ditarik garis batas
antara hidup berdaya jadi, dengan berdaya asal jadi, tak susah sangat. Sebab
yang terpenting dalam hal ini adalah tindakan. Sebuah keputusan untuk memilih
arah hidup, dan itu terjadi Tahun 2003. Setelah mengenal dunia seni panggung.
(teater) berkat kelembutan tangan Muh. Radi Rahman, Syuman remaja bermain drama
untuk kali pertama bersama kelompok RAMESWARPOL yang dipimpinnya Tahun 1998.
Pada Tahun yang sama (1998) Adil Tambono,
mengajaknya bergabung di Sanggar Layonga Mandar yang diasuh Duddin Dower. Tak
cukup hanya dengan itu, Tahun 1999 mengembangkan bakat seninya bersama Amru
Sa’dong di Teater Flamboyant selama kurang lebih dua Tahun. Ia dengan
teman-teman sejawat mendirikan Organisasi BONEK (bondo nekat) di desanya (Bala)
Tahun 2000. Semua itu dia jalani demi untuk bermain teater.
Tahun 2006-2009 menjadi salah seorang
penggiat Komunitas Sastra dan Teater (kosaster) SIIN di Unasman. Setahun
kemudian (2010) Bersama Azikin Noer, Abdul Hakim Pariwalino dan Hendra Djafar,
mendirikan Padepokan Sastra Mpu Tantular di Polewali dan Pendopo Sastra Kappoeng
Jawa di Wonomulyo, dan Azhim Ghafur-lah kemudian yang terpilih sebagai Lurahnya
(ketua). Bersama Hendra Djafar, mendirikan Teater Palatto Tahun (2003) yang
kemudian melibatkan Abdul Hakim Pariwalino sebagai orang penting di komunitas
ini sampai sekarang.
Di Tahun 2003, dia jatuh cinta pada teater
bukan alang kepalang, hingga dengan sangat tegas meninggalkan banyak aktifitas
yang menghidupinya demi dunia kesenian yang satu ini. Tak ketinggalan dunia
tulis menulis juga turut dirambah secara serius. Bukan hanya puisi, tapi juga
mulai menulis cerita pendek dan naskah lakon, antara lain Kembali, Mejitta,
Anos dll.
Dan media cetak Radar Sulbar juga Rakyat
Sulbar dan SulbarDOTcom untuk publikasi puisi dan cerita pendek. Karyanya yang
sudah dibukukan. INTEROGASI, Kumpulan Cerpen. Oase Pustaka. Surakarta, 2015.
REQUIEM TERAKHIR Kumpulan Puisi Terbaik Oase Pustaka. Surakarta, 2016. Tim
Penyusun KUMPULAN CERITA RAKYAT, SELAWESI BARAT, Interlude. Yogyakarta, 2016.
Adapun acara yang pernah diikuti adalah Palu
Indonesia Dance Forum (2001) Stigma dan Workshop Keaktoran bersama Putu Wijaya (2009)
Sita dan Workshop Teater bersama Imam Saleh dan Asmadi Alimuddin (2010) Dan
menyutradarai banyak pertunjukan antara lain, MATA RANTAI, Syuman Saeha,
adaptasi TRANSISI karya Duddin Dower, pentas tunggal Sanggar Layonga
(Tinambung, 1999) AWAL DARI SEBUAH AKHIR, yang ditulis bersama Hendra Djafar,
malam sejuta aspirasi Bonek (Bala, 2000) KEMBALI, Syuman Saeha, panggung
demokrasi (Wonomulyo, 2003) SKETSA MANDAR, Nur Dahlan Jirana, pentas keliling
Kosaster SIIN (Majene, Campalagian, Polewali, 2006) PERKAWINAN, Nicolas Gogolk,
FTMI (Makassar, 2006) PETANG DI TAMAN, Iwan Simatupang, Temu teater lima group
(Mamuju, 2007) BUNGA DESA, R. Suradji D. FTMI (Palopo, 2009) DEMOKRASI, (monolog) Putu
Wijaya, (Makassar, 2009) KOAYANG, Amru Sa’dong. Gedung Kesenian Jakarta dan
satu panggung Kenduri Cinta, Emha Ainun Najib (Taman Ismail Marsuki, 2014)
Tahun 2011 hal kedua yang terpenting selama
perantauannya di muka bumi. Karna di Tahun ini dia banyak bertemu orang orang
bijak, terutama dengan penyair Riki
Dhamparan Putra. Persuaannya, meski sangat singkat dengan penyair Riki
Dhamparan Putra. Membuat dia seperti melahirkan dirinya kembali dalam rahim
perpuisian. Boleh dibilang sesingkat
mempertemukan dua jenis kelamin yang berbeda namun sanggup membuahkan benih.[1]
Jumat, 27 Januari 2017
Kamis, 26 Januari 2017
Puisi : Syair Perang Balanipa
Oleh Adi Arwan Alimin
Maut mengapung dari Selatan
pada mula, ketika sena memanggul bedil, bertandang mengusung dendam jenggala, di mana para bangsawan linglung sendiri, inikah senjakala. Itu rasa tamak kuasa yang memendar dari ubun-ubun. Selaksa joaq jannangan menanam betis.
pada mula, ketika sena memanggul bedil, bertandang mengusung dendam jenggala, di mana para bangsawan linglung sendiri, inikah senjakala. Itu rasa tamak kuasa yang memendar dari ubun-ubun. Selaksa joaq jannangan menanam betis.
Siapa berani menantang dadanya, pada hunus segala serdadu,
yang membakar Soreang, hingga Arajang melayang titah, siapa berani, akan
menuai, siapa sanggup majulah, siapa pantas maka, datanglah lelaki itu di bawah
cemooh, para pemangku tertawa meski tangan mereka diketiak, lelaki itu terus
saja, tak peduli sebab cintanya.
Ia membakar rasa malu, tak sanggup berkalang kekalahan,
inikah kecamuk paling akbar di tanah ini, apakah akan menyudahi garis nasab,
inikah akhir masa lalu, lelaki itu tak pernah mundur setapak, ia terus saja
menjejak lututnya. Sebab mair, akan menghapus seluruh jejak moyang. Dari jauh
senja menganvaskan titimangsa.
Tarrauwe kerap kuyup berdarah. Diterpa serbu seribu bendera,
dari laut, dari tapak, dari tebing, dari ambisi, dari khianat, dari lolong
tangis, dari cemas, dari dendam, dari mati, dari apapun. Lelaki itu tetap
mengapung di pucuk-pucuk senjata, ia menerima wasiat dari Lapuang. Genta yang
membuatnya tiada terjamah.
Ketika senjakala berganti, sambolangiq itu menampuk kuasa,
sepotong kadar memantik cemburu, tangannya getar, tetumbuhan kembali hijau,
namun syair merayunya galau, kalindaqdaq membuatnya limbung, kekerabatan pesai
diamuk kasmaran, tetapi ini bukan cinta. I Pura Paraqbueq menampik mahkota.
Ini bukan wasiat, hanya kabar purba. Bagimu mengeja laku
yang sudah, agar tak ajal setiap hitungan. Dalam getir Daeng Rioso, I Sorai
menagihmu pedih. Melampau syair perang...
Mamuju, 27 Januari 2017
Minggu, 22 Januari 2017
Video: KACAPING MANDAR ALA BAMBA TIPALAYO
Kacaping atau pakkacaping adalah salah satu
pertunjukan kesenian tradisional Mandar yang kerap ditampilkan pada acara
perkawinan, khitanan dan acara adat atau oleh seseorang yang mempunyai nadzar atau tinja’. Kesenian
yang satu ini sejak era 2000-an telah mengalami kelangkaan pertunjukan karena
tergerus oleh pengaruh budaya modern dan kurangnya perhatian
generasi muda dalam mendalami dan meneruskan kesenian ini. Bisa jadi juga
karena tingkat kesulitannya terlalu tinggi bagi seorang seniman untuk memainkan
jenis kesenian ini.
Dalam setiap acara, pakkacaping
dibarengi dengan menampilkan pi’oro yang
terdiri dari kumpulan gadis-gadis cantik yang duduk di depan (jarak 3-4 meter)
dari pakkacaping. Pakkacaping memainkan
alat musik ini, dan mattedze (lagu
yang dilantunkan secara spontan oleh pakkacaping
yang banyak memuat sanjungan kepada gadis-gadis cantik di hadapannya). Lagu yang
dinyanyikan dengan gaya khas tuturan ini juga menyindir penonton (para pemuda,
tokoh masyarakat, tokoh adat atau pejabat pemerintah) untuk mappa’macco’ (saweran
dengan uang tunai, kadang berupa barang dan diletakkan di hadapan pi’oro.
Gadis gadis pi’oro tersebut
menjadi sumber inspirasi bagi pakkacaping
dalam melantunkan lagu-lagunya yang menggoda dan menyindir penonton/tokoh yang hadir.
Para penonton yang kena sindiran (di tedze)
akan berlomba mendatangi gadis untuk mappa’macco’. Untuk pa’macco’, selain
untuk gadis-gadis pi’oro, para
penonton juga tidak lupa meletakkan uang ditempat yang sudah disiapkan oleh
tuan rumah/panitia (biasanya baki besar).
Para pa’macco’ akan
bersaing untuk membuat pi’oro yang
didukung, sehingga pada saman dahulu, kadang terjadi persaingan ketat antar pappa’macco’ dan tidak
jarang ada keributan mana kala ada yang saling mengejek karena gadis
dukungannya kurang sawerannya. Hasil saweran didepan gadis pi’oro menjadi hak
pi’oro, dan yang
di baki besar menjadi hak penyelenggara atau tuan rumah.
Para pakkacaping selain mattedze gadis pi’oro, kadang
juga membuat satu segmen lagu untuk mattolo’. Materi tolo’ diambil dari cerita rakyat, cerita jenaka, cerita para pejuang dan
pahlawan yang mappatumballe’
lita’ Mandar.
Alat musik yang di pakai dalam pertunjukan ini adalah kacaping (kecapi) yang bentuknya seperti
gitar tapi agak panjang dan ramping serta talinya hanya dua. Personilnya minimal 4 orang yang terdiri dari 2 orang bagian alat
musik (sound) dan 2 orang lainnya
sebagai penyanyi. Adapun busana yang digunakan untuk pemain dan penyanyinyi
adalah baju, celana panjang (kadang sarung sa’be
Mandar),
kopiah (kadang juga pengikat kepala). Sedangkan bagi gadis-gadis pi’oro didandani secantik mungkin dengan memakai pakaian adat, baju pokko, sarung sa’be dan
aksesoris lain yang dianggap perlu dengan tetap bernuansa budaya Mandar.
Langganan:
Postingan (Atom)