Minggu, 29 Januari 2017

ABM-ENNY DAN PENGUATAN SISTEM KELEMBAGAAN PEMERINTAH

Tulisan ini adalah catatan Bapak Suyuti Marzuki, tokoh ahli dibidang manajemen yang telah menyelesaikan studi masternya bidang coastal engineering and manajemen (2005). Berikut catatan singkatnya menyikapi Pelaksanaan Debat Publik Tahap 2 Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Barat 2017, di Ballroom d'Maleo Hotel mamuju, 29 Januari 2017 : 

Ada satu agenda hal yang yg maha penting yang luput dipertajam pada debat Gubernur di Sulawesi Barat, yaitu ketika bicara soal pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah, yaitu “SISTEM KELEMBAGAAN PEMERINTAH” yang oleh pakar Manajemen Organisasi kenamaan dunia, Piter Dracker (Drucker, 1954) menempatkan system kelembagaan sebagai Roh-nya organisasi hidup atau mati, organisasi belanjut atau mati suri.

Sejalan dengan ini pakar dan penemu teori manajemen organisasi berbasis balanced scorecard (Kaplan & Nagel, 2004; Kaplan & Norton, 1996) lantas meletakkan kelembagaan ini dalam sebagai salah pondasi organisasi pemerintah (Lawrie & Cobbold, 2004) maupun organisasi swasta atau korporat ((Shen, Chen, & Wang, 2016). Prof. Paul S. Kaplan dan Prof David P Norton, menempatkannya pada perspektif dasar dari empat perspektif utama dalam teori balanced scorecard yang telah berkembang di seluruh belahan dunia yaitu pada “perspective Learn and Growth” (Persfektif Pembelajaran dan Pertumbuhan dalam organisasi).

Apa keempat fondasi itu?
1. Sistem Pengembangan SDM
2. Sistem Kelembagaan pemerintah
3. Sistem data dan informasi
4. Sistem penganggaran organisasi

Ada apa dan Mengapa Kelambagaan pemerintah?

Kelembagaan pemerintah itu harus dipahami sebagai suatu hal yang sangat berbeda dengan kelembagaan dunia bisnis/korporat. Jika kelembagaan swasta dibangun dena tujuan dan atas dasar mengejar keuntungan/profit, maka dalam hirarki kelembagaan pemerintah justru Masyarakatlah yang herus menjadi tujuan utama pembangunan.


Sehingga sangat dibutuhkan pemimpin daerah yang benar2 memiliki pengalaman dan kemampuan dalam mengelola organisasi pemerintahan.
Untuk mencari pemimpin seperti ini tidaklah mudah, dibutuhkan sebuah proses panjang dalam pembelajarannya sebagaimana yang telah sy dijelaskan di atas pada perspektif Learn and Growth.

INGAT, sekali lagi bahwa seseorang yang sukses dalam dunia bisnis/korporat, belum tentu akan bisa mengelola lembaga pemerintah. karena tujuan dan filosofinya serta hirarki bekernya kedua organisasi ini sangatlah bertolak belakang. Swasta mengejar keuntungan, sedangkan pemerintah menekankan Stakeholders menuju kesejahteraan masyarakatnya.

Beberapa hal pokok yg dapat dilakukan dalam memperkuat kelembagaan daerah ini menuju Good governace meliputi:
1) Penataan organisasi daerah yang efisien dan efektif secara terintegrasi
2) Meningkatkan dan mengukur kinerja seluruh organisasi daerah
3) Kepala SKPD harus paham betul apa tugas fungsinya masing2 yang tertuang di dalam peta strateginya.
4) SKPD harus fokus membangun sektornya masing2 berdasarkan janji-janji kerja dan indicator kinerja utama (IKU) yang telah dibangun.
5) Program-program dan kegiatan-kegiatan SKPD harus benar2 sinkron dan mendukung Peta Strategi pemerintah daerah (peta strategi Gubernur) dari kelima MISI daerah (Provinsi)
6) harus bisa mencari sumber2 pendanaan dari pusat dan luar, jangan tergantung kepada gubernur saja.
7) Menciptakan birokrasi yang benar2 melayani masyarakat, tiap SKPD ada tim reaksi cepat atas pengaduan masyarakat terkait tugas fungi sektornya masing2 SKPD
😎Dan seterusnya……..


Di Provinsi Sulawesi Barat, saya hanya melihat pada sosok ABM, yang sudah sangat matang dan sarat pengalaman dalam mengelola organisasi pemerintah......

Citation:
Drucker, P. (1954). Peter Drucker on the profession of management. The Journal of Academic Librarianship. https://doi.org/10.1016/S0099-1333(98)90121-5
Kaplan, R. S., & Nagel, M. E. (2004). Improving Corporate Governance with the Balanced Scorecard. NACD Directors Monthly, 28, 6–10.
Kaplan, R. S., & Norton, D. P. (1996). Using the Balanced Scorecard as a Strategic Management System. Harvard Business Review, (October 1993), 75–86. https://doi.org/10.1016/S0840-4704(10)60668-0
Lawrie, G., & Cobbold, I. (2004). Third-generation balanced scorecard: evolution of an effective strategic control tool. International Journal of Productivity and Performance Management, 53(7), 611–623. https://doi.org/10.1108/17410400410561231
Shen, Y.-C., Chen, P.-S., & Wang, C.-H. (2016). A study of enterprise resource planning (ERP) system performance measurement using the quantitative balanced scorecard approach. Computers in Industry, 75, 127–139. https://doi.org/10.1016/j.compind.2015.05.006

.................Cermati pada gambar berikut
:

Sabtu, 28 Januari 2017

VISI MISI ABM-ENNY Calon Gunernur & Wakil Gubernur Sulawesi Barat Periode 2017-2022 Nomor Urut 3

VISI MISI 
ALI BAAL MASDAR - ENNY ANGRAENI ANWAR
NOMOR URUT 3
PILKADA SULAWESI BARAT 
2017-2022














DARI LAUNCHING RUMAH BUDAYA HUSNI DJAMALUDDIN : “ Kematian Husni dan Air Mata yang Mengairi Tujuh Sungai” (Bagian Kedua)




Oleh Muhammad Munir
  
Husni Djamaluddin lahir adalah sosok malaqbiq yang lahir di Tinambung Kab. Polewali Mandar, Sulawesi Barat pada 10 November 1934. Ia wafat  24 Oktober 2004 tepat 1 bulan setelah perjuangan Pemebentukan Provinsi Sulawesi Barat ketuk palu di Senayan. Warisan terbesarnya untuk Mandar adalah Provinsi Sulawesi Barat dan Kata Malaqbiq yang menjadi ikon Sulawesi Barat. Begitupun ia mewariskan banyak karya besarnya untuk Indonesia antara lain: Puisi Akhir Tahun (1969), Obsesi (1970), Kau dan Aku (1973), Anu (1974), Toraja (1979), Sajak-sajak dari Makassar (1974), Bulan Luka Parah (1986), Berenang-renang ke Tepian, dan antologi Puisi ASEAN Buku III (1978).
Ia adalah salah satu tokoh besar yang dimiliki Mandar. Selain penyair ia juga seorang kolumnis, wartawan senior dan politikus. Jasa-jasanya terhadap pembentukan Provinsi Sulawesi Barat adalah manivestasi cintanya pada Mandar yang mungkin tak semua orang mampu dan peduli untuk melakukannya. Bahkan pada saat Sulawesi Barat disahkan dalam rapat paripurna di DPR RI, ia datang dengan menggunakan kursi roda, sebab saat itu ia dalam keadaan sakit parah. Dan kata Malaqbiq yang kini menjadi ikon provinsi ini ternyata lahir dari pemikiran sang beruang dari Mandar ini. Malaqbiq terpancar jelas pada putra Tinambung yang sempat menjabat Ketua Dewan Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat ini.
Penyair handal yang dijuluki  Panglima Puisi ini adalah sosok yang energik dan mengibaratkan dirinya adalah benang putih. Benang yang ditenun oleh wanita Mandar dengan sangat sabar hingga menjadi Lipa’ Sa’be yang terkenal ke penjuru nusantara. Ada keikhlasan dan kesabaran di dalam menenun benang putih yang  kemudian lekat menjadi kappung bannang pute. Indi tia to muane bannang pute sarana melo’ di cingga’ melok di lango-lango. (aku ini pahlawan, adalah benang putih, siap basah dan siap diberi warna). Penggalan kata “bannang pute” yang berarti benang putih tersebut sekaligus melekat menjadi julukan buat almarhum Husni Jamaluddin “Sang Bannang Pute”.
Berbicara pembentukan Sulbar, peran Husni jelas tak bisa diragukan. Bersama-sama dengan tokoh-tokoh lain, seperti almarhum Baharuddin Lopa, alm Maraqdia Malik Pattana Endeng, Rachmat Hasanuddin, Ma’mun Hasanuddin, Naharuddin, Anwar Adnan Saleh dan banyak lagi yang tak sempat disebut namanya, telah dinobatkan sebagai pejuang-pejuang Sulbar. Hal ini merupakan pengakuan pada sebuah energi dan prosesi kerja yang panjang dan tak kenal menyerah.
Catatan ini penulis ambil dari ringkasan beberapa testimoni dan pernyataan beberapa tokoh yang menulis tentang beliau. 3 buah buku tentang Husni Djamaluddin yang sempat penulis bawa pulang dari acara Launching Rumah Budaya Husni Djamaluddin kemarin (jumat, 27/01) cukup memberi informasi bagi penulis untuk disarikan kepada khalayak tentang siapa sosok Malaqbiq Husni Djamaluddin. Ketiga buku tersebut adalah Husni Djamaluddin Yang Saya Kenal, Adakah Kita Masih Bertanya? dan INDONESIA, Masihkah Kau Tanah Airku?.
Buku “ INDONESIA, Masihkah Kau Tanah Airku ? “ yang berisi kumpulan puisi Husni Djamaluddin dalam rentang waktu 1934-2004 adalah wisata di tengah alam yang sejuk sembari melintasi sejarah-sejarah yang pernah ada. Diksi dan kemahirannya memilih metafora sangat dikagumi oleh penyair nasional lainnya. Dalam sajak-sajak Husni, kita akan menemukan banyak pencitraan tentang laut, lagi-lagi ini adalah hal yang wajar sebab Husni memang lahir di Mandar. Mandar adalah peradaban identik dengan dua elemen yang bahan dasarnya air, yaitu air sungai dan air laut. Mandar adalah pelaut ulung meski tak harus menyebutnya orang laut, sebab Husni telah menghibahkan dirinya dalam sajak “Akulah Laut”. Husni Djamaluddin mencoba mengindentifikasikan dirinya dengan laut yang surut dan yang pasang.
Dalam pencitraannya tentang laut, tentu saja tidak penting menyebut orang Mandar sebagai orang laut? Sebab kemudian Husni Djamaluddin tak hanya piawai membincang laut yang pada akhirnya ia harus menghadapi kenyataan ombak yang ditolak oleh tepinya. Selain itu, Husni juga adalah sosok yang piawai membincang budaya pegunungan  yang diusungnya melalui sajak tentang Toraja. Husni berhasil mengabadikan tentang jenazah yang masih basah, tentang kepala yang tinggal tengkorak, tentang belulang yang dipeti ukir, tentang gua-gua yang berbukit kapur dan tentang kerbau, babi dan tuak. Melalui sajak-sajaknya tentang Toraja, tidak saja memperkaya perpuisian dan kesusastraan Indonesia, tapi sekaligus telah memperkenalkan suku bangsa dan budaya yang tadinya terpencil itu sekarang menjadi obyek wisata yang masyhur.  
            Sampai disini penulis ingin menegaskan bahwa Husni Djamaluddin tidak saja merelakan jiwanya diamuk badai, tapi juga mewakafkan fikirannya dikabuti embun pegunungan. Dan hampir seluruh kehidupan yang dimilikinya tak pernah sedikitpun terlewatkan untuk bagaimana bisa menghibahkan dirinya secara utuh buat Mandarnya. Terbukti, setelah segala perjuangannya tentang pembentukan provinsi Sulawesi Barat usai dilembar negarakan di Senayan. Sebulan kemudian ia tersenyum menghadap sang pencipta-Nya. Senyum itu ia bawa pergi dan ribuan orang Sulbar tanpa sadar melelerkan air matanya untuk mengairi 7 sungai dari hulu sampai muara. Itulah Husni Djamaluddin yang hari ini dibincang biasa bersama orang-orang yang luar biasa. (Bersambung)

DARI LAUNCHING RUMAH BUDAYA HUSNI DJAMALUDDIN : “ Husni Djamaluddin, Sang Bannang Pute Itu Masih Hidup” (Bagian Petama)




                                                                 Oleh Muhammad Munir[1]

Suatu ketika dalam sebuah bincang literasi di Rumpita, ada salah seorang peserta yang bertanya, “Mana yang lebih hebat Baharuddin Lopa dengan Husni Djamaluddin?”. Mendengar pertanyaan ini, penulis langsung teringat dengan guruku, Prof. Lamboruso. Menurut Lamboruso, Lebih hebat Husni Djamaluddin, sebab jika Baharuddin Lopa bisa hebat begitu karena dia punya jenjang pendidikan tinggi, sementara Husni Djamaluddin hanya tamatan SMA tapi mampu menembus batas akademik itu. Ia bahkan dijuluki Panglima Puisi secara nasional .

Membincang dua tokoh Mandar tersebut, kita mungkin bisa kehabisan kata untuk mengurainya. Begitupun ceritanya, mungkin seorang penulis akan tersesat di rimba abjat jika tetap bersikukuh untuk menuliskan semuanya, sebab sampai hari ini, Indonesia belum pernah melahirkan kembali dua sosok pendekar hukum dan panglima puisi tersebut. Pun di Mandar sendiri belum ada generasi yang mampu menyamainya. Itulah Mandar dan dua sosok yang bagai matahari, tak pernah redup. Ia senantiasa bergerak setia mengikuti perjalanan waktu. Bangkit, tersungkur dan bangkit lagi. Hingga dalam ketiadaan mereka pun kita tak pernah merasa kehilangan aura dan aroma kedua sosok malaqbiq ini.
 
Entah untuk kali keberapa, ada beberapa acara yang kerap penulis ikuti ditempat yang sama dilingkungan Kandeapi Tinambung. Jumat, 27 Januari 2017 tepatnya pukul 16.00 Rumah Adat Husni Djamaluddin, demikian orang menyebutnya. Beberapa orang terlihat sementara asik diskusi kecil ketika penulis sampai ditempat itu. Nampak Rektor Unsulbar, Akhsan Jalaluddin, Ketua DPRD Majene, Darmansyah, Mursalim dan beberapa dari elemen masyarakat, tokoh budaya dan tokoh pemuda, Kapolres Majene, Kapolres Polman dan seorang Polisi Jepan setingkat Brigjen, Izawa.
 
Yuyun Yundini Husni Djamaluddin, putri sulung almarhum Husni Djamaluddin ini mengingatkan kita kembali seorang sosok yang memang tak pernah mati. Yuyun, demikian ia akrab disapa. Ahli Perpolisian masyarakat ini memang tak asing lagi bagi insan perpolisian. Tak heran jika kedatangannya ke Mandar kita pasti menemukan banyak polisi yang menyertai dan menyambut beliau. Ia adalah seorang dosen kepolisian di Jakarta. Grendy TP, Kapolres Majene adalah salah satu yang pernah diajar oleh Yuyun.

Hari ini, kristal air mata itu terbentuk bagai kondensasi air hujan. Di mata Yuyun, dan dimata semua yang hadir, perasaan itu membuncah, menyeruak dan seketika kerinduan pada sosok almarhum Husni Djamaluddin menyerang begitu kuat saat Yuyun Yundini memerintahkan salah seorang keluarga untuk membentangkan spanduk sepanjang 3,5 meter bertuliskan : RUMAH BUDAYA HUSNI DJAMALUDDIN. Yuyun menangis, dengan tersedu ia mengurai sosok mendiang ayah yang ia sangat kagumi.

“Husni Djamaluddin tidak mati. Ia masih hidup dan ia hadir disini, ditengah-tegah kita”. Ucap Yuyun sembari mencoba melawan sesuatu yang hendak menyumpal tenggorokannya. Suaranya terpatah namun akhirnya tiba pada sebuah kesimpulan bahwa RUMAH BUDAYA HUSNI DJAMALUDDIN inilah yang ia akan jadikan untuk melahirkan sosok Husni Djamaluddin pada 10, 20, 50 bahkan 100 tahun kedepan. Rumah almarhum ini kedepan akan dihibahkan untuk menjadi aula segala bentuk kegiatan budaya. Rumah Budaya ini nantinya akan secara berkala mengelar “Workshop Budaya” yang setiap angkatannya akan mengikuti rangkaian kegiatan selama 3 hari 3 malam.

Workshop ini nantinya akan menyuguhkan materi-materi tentang esensi Malaqbiq. Malaqbiq adalah kata yang dipopulerkan oleh Husni Djamaluddin dalam mengawal proses perjuangan Sulbar. Materi kedua adalah tentang apa dan siapa Husni Djamaluddin. Pada segmen ini, peserta akan mendapatkan informasi tentang Husni, tentang proses kreatifnya hingga dijuluki Panglima Puisi, tentang inisiatif  Husni menyiasati berbagai persoalan hidup untuk menjadi seorang pemenang hinga dijuluki Sang Bannang Pute To Mandar. Materi ketiga, peserta akan diperkenalkan pada sosok inspiratif yang berhasil menenun nasibnya dari kelas teri menjadi materi yang dilisan-tuliskan. Sda banyak sosok generasi Mandar dari berbagai latar belakang akan dihadirkan untuk membakar semangat para peserta Workshop.         

”Husni bukan hanya tokoh budaya, tapi ia adalah sosok pejuang yang bisa mewujudkan mimpinya lewat perjuangan Sulbar. Dahulu perjuangan Sulbar dengan  keterbatasan, tapi mampu dilakukan karena  Malaqbiq adalah spirit untuk menjadikan Mandar dan Sulbar sebagai sebuah wilayah. Dan mimpi Husni Djalamluddin itu telah kita nikmati selama 12 tahun”. Demikian Yuyun mengulas singkat sepak terjang ayahnya yang melatari mengapa Rumah Budaya Husni Djamaluddin hadir pertama kali di Sulbar.

Sebelum ia menutup kata sambutannya, ia menyampaikan 3 komitmen dasar yang menjadi prasyarat untuk bisa disebut Sulbar Malaqbiq, yaitu Malaqbiq DPR-nya, Malaqbiq Pemerintahnya dan Malaqbiq Rakyatnya. Pertanyaannya adalah “Sudah Malaqbiq kah kita hari ini?”. Pungkas wanita cantik berkacamata yang kabarnya akan menjadi pemandu dalam Debat Publik Tahap II Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Barat, 29 Januari 2017. (Bersambung)



[1] Penulis adalah pengurus Masayarakat Sejarawan Indonesia Cabang Sulbar

BAYI LANGIT : Bayi Yang Lahir Dari Gua Garba Syuman Saeha

Judul Buku 
Bayi Langit (Antologi Puisi)

Penulis        
Syuman Saeha

Penerbit     
Interlude Yogyakarta, 2016
Cetakan Pertama

Pengantar :
Iman Budhi Santosa


Harga Buku Rp. 50.000,-
Pembelian Bisa melalui Rumpita dan Jaringan Rumah Baca di Majene, Tappalang, Mamuju               dan Pasangkayu

SYUMAN SAEHA, Lahir 17 Agustus 1975. Di Lelupang Desa Lampoko Kecamatan Campalagian. Tempat kelahirannya itu selayaknya disebut rantuan belaka, seperti hanya disinggahi selama kurang lebih 15 Tahun. Sebab Tahun 1990, kemudian ditinggalkan. Lalu hijrah dan bermukim di Bala (desa) Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat sampai sekarang. Menikah dengan gadis Galeso, Nurhani Nurdin 2014, dan dikaruniai anak Pangrita Palogai.
Pada Tahun 1984, hanya karena sebuah kenakalan yang melibatkan perkelahian sesama kelas di Sekolah Dasar (SD), Membuat dia bersitegas untuk keluar dari sekolah, itupun karna menghindari hukuman. Anak kelima dari sebelas bersaudara ini kemudian mengambil keputusan untuk belajar mengembala sapi dan menggarap sawah sampai Tahun 1988 di tanah Bugis (Pinrang). Niat itu diluluskan semata ingin membantu penghasilan Ibunya (PASA) sebagai penenun sutra dan Bapaknya (SAEHA) yang tukang photo.
Bukan hanya itu, sepulang dari rantauan sebagai pengembala, alih alih melanjutkan sekolahnya yang tertunda di kelas III SD. Ia malah asyik menjadi peladang, menanam jagung, mangga dan kakao walau itu tak berlangsung lama. Sebab kemarau panjang kemudian menyeretnya untuk turun ke laut menjala ikan sebagai nelayan. Semua itu pernah dijadikan pekerjaan, sebagaimana juga buruh bangunan hingga tukang batu.
Sebenarnyalah kalau ditarik garis batas antara hidup berdaya jadi, dengan berdaya asal jadi, tak susah sangat. Sebab yang terpenting dalam hal ini adalah tindakan. Sebuah keputusan untuk memilih arah hidup, dan itu terjadi Tahun 2003. Setelah mengenal dunia seni panggung. (teater) berkat kelembutan tangan Muh. Radi Rahman, Syuman remaja bermain drama untuk kali pertama bersama kelompok RAMESWARPOL yang dipimpinnya Tahun 1998.
Pada Tahun yang sama (1998) Adil Tambono, mengajaknya bergabung di Sanggar Layonga Mandar yang diasuh Duddin Dower. Tak cukup hanya dengan itu, Tahun 1999 mengembangkan bakat seninya bersama Amru Sa’dong di Teater Flamboyant selama kurang lebih dua Tahun. Ia dengan teman-teman sejawat mendirikan Organisasi BONEK (bondo nekat) di desanya (Bala) Tahun 2000. Semua itu dia jalani demi untuk bermain teater.
Tahun 2006-2009 menjadi salah seorang penggiat Komunitas Sastra dan Teater (kosaster) SIIN di Unasman. Setahun kemudian (2010) Bersama Azikin Noer, Abdul Hakim Pariwalino dan Hendra Djafar, mendirikan Padepokan Sastra Mpu Tantular di Polewali dan Pendopo Sastra Kappoeng Jawa di Wonomulyo, dan Azhim Ghafur-lah kemudian yang terpilih sebagai Lurahnya (ketua). Bersama Hendra Djafar, mendirikan Teater Palatto Tahun (2003) yang kemudian melibatkan Abdul Hakim Pariwalino sebagai orang penting di komunitas ini sampai sekarang.
Di Tahun 2003, dia jatuh cinta pada teater bukan alang kepalang, hingga dengan sangat tegas meninggalkan banyak aktifitas yang menghidupinya demi dunia kesenian yang satu ini. Tak ketinggalan dunia tulis menulis juga turut dirambah secara serius. Bukan hanya puisi, tapi juga mulai menulis cerita pendek dan naskah lakon, antara lain Kembali, Mejitta, Anos dll.
Dan media cetak Radar Sulbar juga Rakyat Sulbar dan SulbarDOTcom untuk publikasi puisi dan cerita pendek. Karyanya yang sudah dibukukan. INTEROGASI, Kumpulan Cerpen. Oase Pustaka. Surakarta, 2015. REQUIEM TERAKHIR Kumpulan Puisi Terbaik Oase Pustaka. Surakarta, 2016. Tim Penyusun KUMPULAN CERITA RAKYAT, SELAWESI BARAT, Interlude. Yogyakarta, 2016.
Adapun acara yang pernah diikuti adalah Palu Indonesia Dance Forum (2001) Stigma dan Workshop Keaktoran bersama Putu Wijaya (2009) Sita dan Workshop Teater bersama Imam Saleh dan Asmadi Alimuddin (2010) Dan menyutradarai banyak pertunjukan antara lain, MATA RANTAI, Syuman Saeha, adaptasi TRANSISI karya Duddin Dower, pentas tunggal Sanggar Layonga (Tinambung, 1999) AWAL DARI SEBUAH AKHIR, yang ditulis bersama Hendra Djafar, malam sejuta aspirasi Bonek (Bala, 2000) KEMBALI, Syuman Saeha, panggung demokrasi (Wonomulyo, 2003) SKETSA MANDAR, Nur Dahlan Jirana, pentas keliling Kosaster SIIN (Majene, Campalagian, Polewali, 2006) PERKAWINAN, Nicolas Gogolk, FTMI (Makassar, 2006) PETANG DI TAMAN, Iwan Simatupang, Temu teater lima group (Mamuju, 2007) BUNGA DESA, R. Suradji D. FTMI (Palopo, 2009) DEMOKRASI, (monolog) Putu Wijaya, (Makassar, 2009) KOAYANG, Amru Sa’dong. Gedung Kesenian Jakarta dan satu panggung Kenduri Cinta, Emha Ainun Najib (Taman Ismail Marsuki, 2014)
Tahun 2011 hal kedua yang terpenting selama perantauannya di muka bumi. Karna di Tahun ini dia banyak bertemu orang orang bijak, terutama  dengan penyair Riki Dhamparan Putra. Persuaannya, meski sangat singkat dengan penyair Riki Dhamparan Putra. Membuat dia seperti melahirkan dirinya kembali dalam rahim perpuisian. Boleh dibilang  sesingkat mempertemukan dua jenis kelamin yang berbeda namun sanggup membuahkan benih.[1]



[1] Syuman Saeha, 2016. Antologi Puisi Bayi Langit. Yogyakarta: Interlude

Kamis, 26 Januari 2017

Puisi : Syair Perang Balanipa

Oleh Adi Arwan Alimin

Maut mengapung dari Selatan
pada mula, ketika sena memanggul bedil, bertandang mengusung dendam jenggala, di mana para bangsawan linglung sendiri, inikah senjakala. Itu rasa tamak kuasa yang memendar dari ubun-ubun. Selaksa joaq jannangan menanam betis.

Siapa berani menantang dadanya, pada hunus segala serdadu, yang membakar Soreang, hingga Arajang melayang titah, siapa berani, akan menuai, siapa sanggup majulah, siapa pantas maka, datanglah lelaki itu di bawah cemooh, para pemangku tertawa meski tangan mereka diketiak, lelaki itu terus saja, tak peduli sebab cintanya.

Ia membakar rasa malu, tak sanggup berkalang kekalahan, inikah kecamuk paling akbar di tanah ini, apakah akan menyudahi garis nasab, inikah akhir masa lalu, lelaki itu tak pernah mundur setapak, ia terus saja menjejak lututnya. Sebab mair, akan menghapus seluruh jejak moyang. Dari jauh senja menganvaskan titimangsa.

Tarrauwe kerap kuyup berdarah. Diterpa serbu seribu bendera, dari laut, dari tapak, dari tebing, dari ambisi, dari khianat, dari lolong tangis, dari cemas, dari dendam, dari mati, dari apapun. Lelaki itu tetap mengapung di pucuk-pucuk senjata, ia menerima wasiat dari Lapuang. Genta yang membuatnya tiada terjamah.

Ketika senjakala berganti, sambolangiq itu menampuk kuasa, sepotong kadar memantik cemburu, tangannya getar, tetumbuhan kembali hijau, namun syair merayunya galau, kalindaqdaq membuatnya limbung, kekerabatan pesai diamuk kasmaran, tetapi ini bukan cinta. I Pura Paraqbueq menampik mahkota.

Ini bukan wasiat, hanya kabar purba. Bagimu mengeja laku yang sudah, agar tak ajal setiap hitungan. Dalam getir Daeng Rioso, I Sorai menagihmu pedih. Melampau syair perang...

Mamuju, 27 Januari 2017



Minggu, 22 Januari 2017

VIDEO : Orasi Kebudayaan Drs. Darmansyah

Apresiasi Siswa Siswi SMA Neg.1 Tappalang buat RUMPITA

Video: KACAPING MANDAR ALA BAMBA TIPALAYO





Kacaping atau pakkacaping adalah salah satu pertunjukan kesenian tradisional Mandar yang kerap ditampilkan pada acara perkawinan, khitanan dan acara adat atau oleh seseorang yang mempunyai nadzar atau tinja. Kesenian yang satu ini sejak era 2000-an telah mengalami kelangkaan pertunjukan karena tergerus oleh pengaruh budaya modern dan kurangnya perhatian generasi muda dalam mendalami dan meneruskan kesenian ini. Bisa jadi juga karena tingkat kesulitannya terlalu tinggi bagi seorang seniman untuk memainkan jenis kesenian ini.
Dalam setiap acara, pakkacaping dibarengi dengan menampilkan pioro yang terdiri dari kumpulan gadis-gadis cantik yang duduk di depan (jarak 3-4 meter) dari pakkacaping. Pakkacaping memainkan alat musik ini, dan mattedze (lagu yang dilantunkan secara spontan oleh pakkacaping yang banyak memuat sanjungan kepada gadis-gadis cantik di hadapannya). Lagu yang dinyanyikan dengan gaya khas tuturan ini juga menyindir penonton (para pemuda, tokoh masyarakat, tokoh adat atau pejabat pemerintah) untuk mappamacco (saweran dengan uang tunai, kadang berupa barang dan diletakkan di hadapan pioro.
Gadis gadis pioro tersebut menjadi sumber inspirasi bagi pakkacaping dalam melantunkan lagu-lagunya yang menggoda dan menyindir penonton/tokoh yang hadir. Para penonton yang kena sindiran (di tedze) akan berlomba mendatangi gadis untuk mappamacco. Untuk pamacco, selain untuk gadis-gadis pioro, para penonton juga tidak lupa meletakkan uang ditempat yang sudah disiapkan oleh tuan rumah/panitia (biasanya baki besar).
Para pamacco akan bersaing untuk membuat pioro yang didukung, sehingga pada saman dahulu, kadang terjadi persaingan ketat antar pappamacco dan tidak jarang ada keributan mana kala ada yang saling mengejek karena gadis dukungannya kurang sawerannya. Hasil saweran didepan gadis pioro menjadi hak pioro, dan yang di baki besar menjadi hak penyelenggara atau tuan rumah.
Para pakkacaping selain mattedze gadis pioro, kadang juga membuat satu segmen lagu untuk mattolo. Materi tolodiambil dari cerita rakyat, cerita jenaka, cerita para pejuang dan pahlawan yang mappatumballe lita Mandar.
Alat musik yang di pakai dalam pertunjukan ini adalah kacaping (kecapi) yang bentuknya seperti gitar tapi agak panjang dan ramping serta talinya hanya dua. Personilnya minimal 4 orang yang terdiri dari 2 orang bagian alat musik (sound) dan 2 orang lainnya sebagai penyanyi. Adapun busana yang digunakan untuk pemain dan penyanyinyi adalah baju, celana panjang (kadang sarung sabe Mandar), kopiah (kadang juga pengikat kepala). Sedangkan bagi gadis-gadis pioro didandani secantik mungkin dengan memakai pakaian adat, baju pokko, sarung sabe dan aksesoris lain yang dianggap perlu dengan tetap bernuansa budaya Mandar.