Oleh: Muhammad Munir
Uwake Cultur Fondation. Demikian
Muhammad Rahmat Muchtar menata diri dan membuka ruang bagi aktifis, budayawan,
seniman dan sejarawan untuk berkumpul mengumpul kata banyolan. Ia tak ubahnya
seperti sejarah yang selalu siap mencatat kebudayaan yang lahir sebagai
peradaban. Saya sendiri tidak mengetahui asbab dari sebuah sebab yang membuat
mereka berkumpul pada jam yang tak mau dicheklist dalam rangkaian agenda.
Berkumpulnya tak kenal waktu, pagi bisa, siang boleh, sore juga ok.Apalagi jika
malam hari, sampai larut malam bahkan shubuhpun sudah biasa suntuk tak terasa
kantuk.
Bukan hanya Tammalele yang kerap
datang menyentil lalu hilang, bukan hanya Adil Tambono yang kadang memekik
tawanya ketika sampai pada titik klimaks diskusi, bukan juga hanya Muhammad
Ishaq, Sahabuddin Mahaganna, Ahmad Asdy, Bakri Latief, Hardi Jamal, Abdul
Rahman Epo, Abdul Rahman Baas, Dalif, yang dengan berbagai model teori dan materi
terkupas terbelah liar. Bahkan Darmansyah, Syamsul Samad, Ajbar Abd. Kadir,
Nurdin Hamma, Suradi Yasil,Hamzah Ismail, M. Asri Abdullah, Saharuddin Madju,
Ramli Rusli dan Muhammad Ridwan Alimuddin-pun bukan orang asing dalam sebuah acara
bertopik Cakrawala Budaya, Mimbar Puisi dan diskusi buku.
Kebiasaan yang mungkin biasa dan
terbiasa saya ikuti itu ternyata bukan persoalan biasa. Persoalan yang
dimunculkan juga bukan topik yang biasa-biasa saja. Ada hal yang begitu luar
biasa ketika banyolan-banyolan itu sampai pada sebuah persoalan yang mesti
diseriusi. Berkaca pada gerakan tambang sungai Mandar, membaca fenomena alam
yang menggurita pada eksistensi lembaga yang bernama Flamboyant Mandar, Taman
Budaya, Literasi, Festival Sungai Mandar, Perpustakaan Rakyat Sepekan sampai
pada persoalan poltik dan suksesi 2017 pun diurai dengan sangat luar biasa.
Katakanlah Tammalele yang dengan
santainya mengatakan “Budayawan bukanlah satu-satunya orang yang berbudaya”.
Ini tentu menjadi sebuah renungan yang tak biasa. Sebab hari ini, pembacaan
pada persoalan kebudayaan, terutama pemerintah kadang jauh panggang dari api.
Lihatlah ketika pemerintah membincang kebudayaan, bukankah kita hanya menemukan
mereka terpenjara sebatas mengapresiasi budayawan dan seniman. Tidakkah Sandeq,
Pakkacaping, Passayang-sayang, dan kesenian tradisional menjadi arti dan
pemaknaan pada kebudayaan diantara mereka?. Inilah yang mesti kita refly dan
sasar untuk menjadi bagian dalam menentukan kajian dan pembacaan kita pada
Sulbar secara makro.
Tentu tak elegan lagi membincang
Sulbar secara mikro, sebab bagaimanapun, Sulbar adalah ruang dialektika yang
tentu menuntut siapapun untuk menjadikannya malaqbiq tidak sebatas jargon.
Agama Islam adalah agama yang tidak hanya mengatur hubungan antar manusia
dengan Tuhan, akan tetapi juga mengatur hubungan antara manusia dengan manusia
lainnya, antara masyarakat dengan masyarakat lainnya, dari yang paling kecil
sampai kepada yang lebih besar. Islam juga berisi peraturan-peraturan dan
tuntunan-tuntunan untuk segala siklus kehidupan. Dengan keberadaannya seperti
itu, Islam bisa dikatakan selain sebagai agama juga bisa disebut satu
kebudayaan yang sempurna yang tidak timbul dari hasil pergaulan masyarakat,
bukan hasil ciptaan masyarakat, tapi merupakan kebudayaan yang diturunkan
Tuhan, langsung kepada masyarakat Arab dan juga berlaku untuk seluruh dunia.
Adanya bermacam-macam bangsa yang
berbeda-beda masyarakatnya, yang tergantung pada faktor-faktor alam, kebiasaan
dan lain-lain, maka kebudayaan Islam hendaknya menjadi dapat diselaraskan
dengan masing-masing masyarakat itu. Dalam masyarakat, segala sesuatu saling
mempengaruhi, manusia mempengaruhi manusia lain, masyarakat dipengaruhi oleh
manusia dan sebaliknya. Begitu pula hasil kebudayaan (cultur product), yang
satu mempengaruhi yang lain selanjutnya mempengaruhi masyarakat yang lain. Dari
sinilah kita mengenal Peradaban Masyarakat (Lafran Pane).
Menarik dan sungguh sebuah
keberuntungan bisa mengenal teman-teman diskusi yang dengan apa adanya
menyuguhkan berbagai pengalaman untuk pengembangan cakrawala berfikir.
Menyuguhkan sederet pengetahuan umum, pengetahuan agama yang kuselami menjadi
ilmu serta membedah persoalan dengan cara kiri dan cara kanan. Ternyata saya
baru sadar bahwa situasi ini adalah sebuah bentuk membangun peradaban secara
alami. Untuk menguatkan pernyataan tersebut, mari kita telisik dengan
menggunakan teori Ibnu Khaldun. Beliau menjelaskan, tanda wujudnya peradaban
adalah berkembangnya ilmu pengetahuan seperti fisika, kimia, geometri, aritmetik,
astronomi, optik, kedokteran, dan lain sebagainya. Dalam teori Ibnu Khaldun
ini, substansi dari sebuah kemajuan-kemunduran suatu peradaban kuncinya di ilmu
pengetahuan. Namun ilmu pengetahuan tentu tidak akan bisa berkembang tanpa
adanya komunitas yang aktif mengembangkannya.
Saya sangat yakin, bahwa komunitas
dan diskusi-diskusi inilah yang membuat Alisyahbana dan Flamboyant begitu
mengakar dan fenomenal. Dalam sejarah peradaban dunia, kita mengetahui sebuah
peradaban besar ternyata dimulai dari komunitas kecil, yang kemudian berkembang
menjadi sebuah peradaban besar. Dalam perjalanan sejarah, komunitas itu umumnya
lahir di perkotaan dan bahkan membentuk suatu kota. Dari kota itulah, terbentuk
masyarakat yang memiliki berrbagai kegiatan kehidupan yang darinya timbul suatu
sistem kemasyarakatan dan akhirnya lahirlah suatu negara. Kota Madinah,
Kordova, Baghdad, Samara, Kairo dan lain-lain adalah sedikit contoh dari kota
yang berasal dari komunitas yang kemudian melahirkan negara.
Ibnu Khaldun bahkan memberikan
gambaran lebih spesifik dengan tanda-tanda hidupnya sebuah peradaban yaitu
dengan berkembangnya teknologi (tekstil, pangan, dan papan/arsitektur),
kegiatan ekonomi, tumbuhnya praktik kedokteran, kesenian (kaligrafi, musik,
sastra, seni rupa, dll.). Dan dari balik tanda-tanda lahirnya sebuah peradaban
itu terdapat komunitas yang aktif dan kreatif menghasilkan ilmu pengetahuan
(Hariqo Wibawa Satri).
Selain Ibnu Khaldun dengan teori dan
tanda-tanda peradaban, sayyid Qutub beserta para sarjana Muslim kontemporer
memasukkan agama, spiritual atau kepercayaan sebagai sumber peradaban. Beliau
menyatakan bahwa, keimanan adalah sumber peradaban. Peradaban Islam misalnya,
meski struktur organisasi dan bentuknya secara material berbeda-beda, namun
prinsip-prinsip dan nilai-nilai asasinya adalah satu dan permanen. Prinsip itu
adalah keyakinan dan ketakwaan kepada Tuhan, supremasi kemanusiaan diatas
segala yang bersifat material, pengembangan nilai-nilai kemanusiaan dan
penjagaan dari keinginan hewani, penghormatan terhadap keluarga, kesemuanya
akan menyadarkan kita pada fungsi sebagai khalifatan fil ardh.
Dari dua konsep tersebut muncul
sebuah korelasi bahwa agama-agama samawi, Tuhan disimbolkan sebagai cahaya oleh
para rasul melalui ajaran kitabnya. Dan tentu kita tahu teori gerak benda
dengan kecepatan tertentu akan menghasilkan energi, energi dengan kecepatan
tertentu akan menhgasilkan cahaya. Ini rumus pengetahuan dan tentu saja ilmu
harus kita sepakati sebagai Cahaya, Nur. Dari kesepakatan itulah kita sejatinya
menjadikan ilmu pengetahuan sebahai sebuah proses untuk mensifati sifat Tuhan.
Dari sini kemudian menjadi menarik untuk kita simak pengakuan, Arnold Toynbee
bahwa kekuatan spiritual (bathiniyah) adalah kekuatan yang memungkinkan
seseorang melahirkan manifestasi lahiriyah yang kemudian disebut peradaban.
Bahkan Syaih Muhammad Abduh menekankan sebuah penegasan bahwa agama atau
keyakinamn adalah asas segala peradaban, entah itu peradaban purba seperti
Yunani, Mesir, India maupun peradaban moderen, agama, keyakinan atau
kepercayaan mutlak harus dilibatkan dalam membangun sebuah peradaban. Sampai
disini, terdapat 3 point penting yang menopang sebuah peradaban, yakni ilmu
pengetahuan, komunitas yang mengembangkannya serta keyakinan atau agama sebagai
asas peradaban.
Dalam konteks ber-Indonesia, hal ini
sdah berjalan ratusan tahun silam. Sebut saja zaman Syailendra, Sriwijaya,
Majapahit, termasuk Sulawesi dan tentu saja didalamnya ada Mandar, selain
Bugis, Makassar, Luwu, Bone, Tator. Tapi kita tak akan masuk dalam membincang
persoalan ratusan tahun lalu itu. Cukup hari ini kita menyadari, betapa
pertukaran energi dari sebuah diskusi adalah hal yang paling urgen dan terbukti
menjaga kesehatan dan memanjangkan umur. Demikian Pak Nurdin Hamma memberikan
spirit untuk tetap membangun budaya diskusi yang tidak saja menjadi esensi bagi
terbangunnya peradaban, sekaligus sebagai bentuk pertukaran energi untuk
memanjangkan umur secara fisik dan memanjangkan umur sebagai manusia yang
menyejarah dan namanya kerap dilisankan meski ketiadaan melingkupi usia
kemanusiaan kita.
Tinambung, 19 Februari 2016