Rabu, 06 Juli 2016

Mengenal RIRI AMIN DAUD



Riri Amin Daud dilahirkan pada 13 Juni 1927 di Kampung Biring Lembang Balanipa Mandar, sebuah wilayah yang dalam sejarahnya senantiasa mereproduksi pejuang sejak periode kolonial sampai perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Ayahnya bernama Muhammad Daud Puangnga I Lotong dan ibu bernama Sitti Sa’diayah. Tradisi dan karakter pejuang Riri Amin Daud diwariskan secara turun temurun melalui pendidikan keluarga yang berbasis adat dan nilai moral orang Mandar.
Sebagai keluarga yang cukup mapan, Riri Amin Daud dapat menempuh pendidikan formal dan pendidikan islam. Riri Amin Daud merupakan anak ke-2 dari 6 bersaudara, Riri Amin Daud menikah dengan Rosmani, dan memiliki 10 orang anak, di antaranya Muhammad Yus Mustari, Yunus Mustari, Kahar Mustari, Jabir Mustari, Myea Mustari, Khaidir Amin Daud, Itji Diana Daud, Fenti Daud, Ronggur Daud, Buyung wijaya kusuma (Muhammad Ronggur Amin Daud, wawancara 23 Mei 2014).
Di usia mudanya Riri Amin Daud sering di datangi oleh neneknya yaitu Puang Junnia dan Puang Yatia, mereka menceritakan bahwa ayah ibunya (kakek Riri Amin Daud ditangkap oleh Belanda, karena melawan Belanda), bahkan kakek Riri Amin Daud meninggal dalam pembuangan. Riri Amin Daud masih mengingat pada saat kakeknya meninggal dia melihat raja membawa pengikat kain kafan, karena pada waktu itu jika ada yang meninggal maka kain pengikat kain kafan dikirim ke keluarganya sebagai bukti bahwa yang bersangkutan sudah meninggal. Jadi dendam orang-orang terdahulu dari keluarganya yang meninggal akibat kekejaman Belanda (Fatmawati, 2002:9).
Pada tahun 1932 sampai tahun 1937, Riri Amin Daud menempuh pendidikan di vervolschool di Campalagian. Di samping menempuh pendidikan formal, Riri Amin Daud juga memperoleh pendidikan agama islam pada sore hari atau pesantren sore. Setelah menempuh pendidikan di vervolschool, Riri Amin Daud kemudian melanjutkan pendidikan di sekolah rakyat kecil klas vi merupakan lanjutan sekolah di Majene.
Selepas itu dilanjutkan di Makassar di normal school 4 tahun. Selama penempuh pendidikan formal di Makassar, ia juga mengikuti kursus-kursus kegamaan (islam)
Sampai tahun 1942. Hal ini memperlihatkan bahwa ririn amin daud di samping memperkuat intelektualitasnya melalui pendidikan formal, ia juga memperdalam ilmu-ilmu agama sebagai unsur penting dalam membangun moralitaS. Perpaduan antara pendidikan formal dan ilmu agama inilah yang menjadikan Riri Amin Daud sebagai tokoh berdedikasi, jujur, dan tegas (Fatmawati,2002:1). Pada masa pendudukan Jepang, Riri Amin Daud mengawali karier politik sebagai wakil sudanco boei teisin tai untuk daerah Campalagian, kenje, dan tenggelang, dia juga merangkap sebagai wakil danco seinendan dan Campalagian gun pada 1944-1945. Berbekal pengetahuan yang diperoleh dan jiwa kepeminpinan serta sikap patriotisme untuk memperjuangkan daerahnya, Riri Amin Daud menjadi salah seorang yang memprakarsai berdirinya organisasi api berpusat di Campalagian, sebuah organisasi ilegal pada masa pemerintahan Jepang. Pada waktu yang sama ia juga menjadi anggota pucuk pimpinan organisasi ilegal islam muda dan organisasi api yang berpusat di Campalagian (inventarisasi arsip koleksi Pribadi Riri Amin Daud, 1996:4).
Dengan berdirinya organisasi api memperlihatkan bahwa Riri Amin Daud telah mengerti dan memahami perlunya wadah organisasi modern dalam perjuangan. Pada periode mempertahankan kemerdekaan, api kemudian berubah menjadi kris muda Mandar. Riri Amin Daud menjadi penasehat utama penglima/strategi dalam badan perjuangan kris muda Mandar. Sebuah posisi yang sangat penting dalam menentukan arah perjuangan. Perkembangan berikutnya, perjuangan Riri Amin Daud tidak hanya diwilayah Mandar. Perjuangan Riri Amin Daud sampai ke Sulawesi Selatan, bahkan ia menjadi wakil dari KRIS Muda Mandar ketika bergabung dalam perjuanganLAPRIS.

Perjuangan Riri Amin Daud
Ketika berita tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia telah diketahui oleh rakyat di Sulawesi Selatan pada umumnya dan daerah Mandar pada khususnya, mereka menyambut dengan suka cita tidak hanya yang berada di perkotaan, tetapi di pelosok juga sangat antusias dengan berita proklamasi ini. Khusus di daerah Mandar berita ini juga disambut dengan gembira. Selanjutnya rakyat Mandar dengan sepenuh hati mendukung proklamasi itu. Hal ini tidak lepas dari peran AndiDepu dan
Tokoh pejuang lainnya yang menyebarluaskan berita proklamasi sampai ke pelosok pedesaan.
Untuk itu diadakan suatu pertemuan atau rapat di gedung sekolah rakyat perempuan di Majene pada 23 September 1945. Hadir dalam pertemuan ini adalah semua pabbicara atau kepala distrik di Majene, para pendidik, pejabat pemerintah, pemuka masyarakat dan tokoh pemuda. Dalam pertemuan ini hadir pula Abd. Rahman tamma dan Abd. Rauf dari TinambungBalanipa. Pertemuan ini dipimpin oleh a. Tonra, yaitu tokoh terkemuka dari dari kerajaan Banggae, Majene dan sekitarnya. Pada pertemuanitu diputuskan penggunaan pekik (teriakan “merdeka”, penyematan lambang “merah putih”) di dada sebagai pertanda dukungan terhadap proklamasi kemerdekaan serta menyatakan diri sebagai pemuda merah putih (amir, 2010:134).
Selain itu pada bulan yang sama para kepala pemerintah lokal, tokoh masyarakat dan pemuda mengadakan suatu rapat atau pertemuan rahasia di maSDjid Polewali sesudah salat isya yang dihadiri sekitar 40 orang. Pertemuan tersebut bertujuan untuk memberikan penjelasan kepada pemuda-pemuda pejuang tentang arti proklamasi kemerdekaan, di samping untuk menyusun langkah-langkah yang strategi dalam perjuangan menegakkan, membela, dan mempertahankan proklamasi kemerdekaan yang isinya antara lain: menyatakan diri sebagai pemuda merah putih (amir, 2010:134). Dua hari kemudian setelah rapat atau pertemuan rahasia di maSDjid Polewali, dibentuk suatu organisasi koperasi, yaitu salah satu cara untuk membantu para pejuang dan juga salah satu strategi untuk mengelabui mata penjajah dengan antek-antek atau kaki tangannya.Koperasi tersebut kemudian dikenal dengan nama sadar, untuk menyadarkan semua rakyat, terutama pemuda-pemuda (fatmawati, 2002:1-2).
Perjuangan mempertahankan kemerdekaan di daerah Mandar tidak terlepas dari peran Andi Depu, Riri Amin Daud, dan Abd. Rahman Tamma yang senantiasa mengorganisir kekuatan rakyat. Dari kegiatan ini didirikan organisasi perjuangan kris muda Mandar. Organisasi ini merupakan tindak lanjut dari organisasi islam api yang didirikan pada April 1945 (pada masa Jepang) oleh Andi Depu, Riri Amin Daud, M. Masud Rachman, Mahmud Syarif, Lappas Bali, Ahmad Badawie, dan Musdalifah. KRIS Muda Mandar yang dalam perkembangan selanjutnya menggalang kekuatan mempertahankan kemerdekaan yang mulai dinodai oleh pihak Nica.
Kegiatan mereka mendapat
dukungan dari Andi Depu yang pada waktu itu berkedudukan sebagai maradia Balanipa. Pengaruh dan perjuangan yang dicanangkan oleh KRIS Muda Mandar berakibat pihak Nica berusaha menangkap dan melawan seluruh anggota pengurusnya (Kadir, dkk, 1984:164).
Riri Amin Daud segera melakukan konsolidasi kekuatan Mandar dalam dua minggu pertama November 1945. Sementara AndiDepu menemui M. Saleh Puangna Sudding di Mambi Allu menjelaskan tingkat kesibukan dalam menegakkan, membela, dan mempertahankan kemerdekaan RI yang telah diproklamasikan. M. Saleh Puangna Sudding terkesan atas kunjungan dari Andi Depu dan tanpa ragu-ragu ia berikrar untuk tampil bahu membahu. Demikian pula perjalanan keliling yang dilakukan oleh Abd. Malik yang didampingi oleh Abd. Rauf ke daerah pedalaman untuk memantapkan massa. Tema pidatonya di mana-mana, yaitu kemerdekaan kebebasan beragama, kemajuan kebudayaan, dan peradaban sendiri, alam kemerdekaan menjamin semua yang tersebut di atas.
Organisasi KRIS Muda Mandar, mempunyai arti, yaitu: kebaktian, mengandung makna bahwa mempertahankan proklamasi kemerdekaan 1945 dari penjajahan kolonial adalah suatu kebaktian terhadap bangsa; rahasia, memberi arti bahwa suatu organisasi KRIS Muda Mandar bersifat rahasia; islam, sebagai asas perjuangan; muda, karena perjuangan ini diperlukan semangat muda. Adapun susunan struktur organisasi perjuangan KRIS Muda Mandar pada saat pembentukannya pada 19 Oktober 1945 adalah sebagai berikut:
Panglima: Andi Depu;
Wakil Panglima: Abd. Malik;
Kepala Staf: Abd. Rahman Tamma;
Anggota Staf: Lappas Bali, Abd. Razak,
Pembantu utama panglima/strategi: Riri Amin Daud;
Pendamping Panglima: Abd. Rauf, dan Sitti Ruaidah;
Komandan Pasukan:
Andi parenrengi;
Komandan Pertempuran: Muh. Saleh Puangna I Sudding;
Komandan Pasukan I: Mahmud Saal; Komandan Pasukan II: Mahmudy Syarif;
Komandan Pasukan III: M. Amin Badawie (Amir, 2014:119; Pawiloy, 1987:189-190; Pabittei, 1991: 51).
Rangkaian peristiwa itu, antara lain atas perintah Andi Depu terjadi peristiwa merah putih di Pambusuang oleh 400 orang anggota yang dipimpin H. Ahmad, M. Idrus dan L.A. Latif. Pada Oktober 1945 turut aktif pula dalam peristiwa ini murid-murid Sekolah Rakyat Pambusuang dan guru-gurunya yang siap menentang Belanda dengan segenap kemampuan yang tersedia. Selain itu dilakukan pengibaran bendera merah putih, Andi Depu juga memerintahkan kepada penduduk pengibaran bendera merah putih, dan atas perintah Andi Tonra mereka kemudian mengepung tangsi tempat pembesar Nica.
Perjuangan di Mandar terus berlanjut, atas perintah Riri Amin Daud pada November 1945 dilakukan sebuah gerakan di passaerang, Campalagian oleh 5 orang anggota, di bawah pimpinan M. Amin Badawie. Adapun yang menjadi sasaran dari gerakan ini adalah untuk merampas senjata Jepang di daerah Mamuju. Aksi pengibaran bendera merah putih dan penyebaran pamflet di daerah Mandar juga dilakukan atas  perintah Riri Amin Daud dan Abd. Rahman Tamma (koleksi arsip Riri Amin Daud No. Reg. 15).
Organisasi-organisasi perjuangan yang telah dipersiapkan mulai dari September 1945 hingga pada awal Januari, dianggap sudah mantap dan siap untuk membela tanah air Indonesia. Jumlahnya anggotanya sekitar 800 orang tersebar di seluruh wilayah Polewali dan sekitarnya yang meliputi kurang lebih 10 daerah, yaitu: Polewali, Tonyaman, Takatidung, Anreapi atau Kelapa Dua, Darma, Madatte, Binuang, Kanan, Paku, Patampanua, Matangnga, dan Messawa yang mencakup daerah pegunungan lembang. Selain itu para pejuang juga melakukan aksiaksi pengrusakan kawat telepon, pengrusakan mesin listrik, pengrusakan jembatan, dan lain sebagainya. Oleh karena rentetan peristiwa penyerangan dan penghadangan serta aksi-aksi sabotase tersebut, tentara koninklijk nederlandschindische leger (KNIL) dan polisi Nicasemakin meningkatkanoperasi-operasi penangkapan terhadap para pejuang. Dari operasi-operasi yang dilakukan oleh serdadu Belanda itu, tertangkaplah antara lain: Andi
Hasan Mangga, Alex Pattola, Pene Daeng Pasanre, H. Ummarang, La Hamma, Pangiu, Tammalino, Nongngo, Salempang, Pinnikai, Pama, dan Kati.
Para pejuang yang terdiri atas para pemimpin dan anggota pasukan laskar pejuang yang tertangkap tersebut, sebagian besar dipenjarakan dan bahkan ada yang ditembak mati. Meskipun demikian, Andi Depu, Riri Amin Daud dan para pejuang lainnya dengan semboyang bahwa sekali berjuang tetap berjuang dan merdeka atau mati demi bangsaku yang telah meresap dalam jiwa sanubari mereka.
Terpaksa Mengundurkan diri masuk hutan sehingga aktivitas gerakan Laskar KRIS Muda Mandar tetap berjalan menurut rencana. Termasuk mengutus pengurus organisasi, misalnya Abd. Malik dan seorang pengikutnya untuk ke Kalimantan dan selanjutnya ke Jawa untuk mengadakan hubungan dan permintaan bantuan berupa senjata.
Dengan adanya jalinan kerjasama antara pemimpin gerakan perlawanan suatu daerah dengan daerah lainnya, bahkan seluruh Indonesia (Mandar, Kalimantan, Jawa, dan Sulawesi pada umumnya), maka terbukalah kesempatan perlawanan rakyat secara menyeluruh. Umpamanya pada Februari 1946, berangkatlah perutusan Abd. Rahman Tamma menuju Makassar dan pada 12 April 1046, Abd. Malik dan Abd. Rauf menuju Yogyakarta. Kepada perutusannya ini Andi Depu menugaskan untuk:
1. Aktif mengambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan RI.
2. Bekerjasama dengan kelaskaran atau badan badan perjuangan lainnya untuk mencapai suatu kesatuan komando.
3. Mengembangkan dan meningkatkan gerakan KRIS Muda di luar daerah Mandar.
4. Secara periodik mengadakan hubungan dengan pemimpin pusat KRIS Muda di daerah Mandar (Amir, 2011:60).
Perlawanan para pemuda pejuang yang ditampilkan melalui wadah perjuangan atau organisasi kelaskaran KRIS Muda Mandar di bawah pimpinan Andi Depu, tetap tidak memudarkan keinginan Nica untuk memulihkan kembali kedudukan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda di daerah Mandar. Itulah sebabnya berbagi usaha dilakukan untuk mematahkan dan memudarkan perlawanan rakyat.
Namun kenyataannya bahwa usaha perlawanan rakyat bukan hanya semakin berapi-api, tetapi juga laskar KRIS Muda semakin berkembang dan meluas di berbagai daerah di luar Mandar, seperti Makassar, Bantaeng, Bulukumba, Sinjai, Bone, Pinrang, dan sebagainya. Bahkan laskar KRIS Muda menjadi salah satu prakarsa penyatuan langkah perjuangan organisasi-organisasi kelaskaran ke dalam suatu wadah komando yang kemudian dikenal denganLAPRIS pada Juli 1946. Wadah komando yang dipusatkan di polongbangkeng ini, dimaksudkan agar langkah perjuangan lebih terorganisir dan kuat dalam menghadapi Nica.
Sementara sumber lain menyebutkan bahwa untuk mewujudkan rencana menyatukan kelaskaran kelaskaran yang tersebar di setiap daerah dalam satu wadah, maka diusahakan satu pertemuan pimpinan-pimpinan kelaskaran. Pertemuan pertama dilakukan di komara pada 15 Juli 1946. Hadir pada pertemuan ini pimpinan kris muda Mandar, Riri Amin Daud dari pusat pemuda nasional Indonesia (ppPNI) Makassarhadir aminuddin muchlis dari harimau Indonesia hadir bahang; dari angkatan muda Republik Indonesia selayar (amris) selayar hadir daeng bonto, dan dari gerakan tanete Soppeng diwakili oleh ali malaka.
Dari pertemuan ini dicapai kata sepakat membentuk organisasi gabungan kelaskaran. Keesokan harinya mereka berangkat menuju markas lipan bajeng. Berhubung karena rencana itu merupakan inisiatif dari endang, maka pada pertemuan itu ia tampil sebagai pimpinan sidang. Selain dihadiri oleh tokoh-tokoh yang hadir pada pertemuan 15 Juli 1946 hadir pula pada pertemuan ini ranggong daeng romo, Karaeng ana bajeng, Karaeng loloa, Karaeng djarung, Karaeng cadi, Karaeng palli, Karaeng sidja, Karaeng temba, emmy saelan, maulwi saelan, dan lain-lain. Pertemuan ini merupakan pertemuan pembentukan wadah kesatuan organisasi kelaskaran yang dinamakanLAPRIS. Dari hasil pertemuan ini maka pada 17 Juli 1946 dilakukan upacara pengresmian berdirinya yang ditandai dengan pengibaran bendera merah putih, diiringi lagu kebangsaan Indonesia raya yang dipimpin oleh M. Yusuf di ranaya, upacara ini dilakukan pada jam 09.00 dan dihadiri sekitar 100 orang (kadir, dkk, 1984:163).
Adapun susunan kepengurusan LAPRIS yang diumumkan pada upacara peresmian itu belum lengkap karena beberapa jabatan yang perlu ditempatkan orang dipercayakan untuk tugas itu belum dapat ditentukan, kepengurusan LAPRIS adalah sebagai berikut:
Pelindung: Padjonga Daeng Ngalle (Karae Ana Bajeng);
Bagian organisasi (administrasi),
Ketua: Makkaraeng Daeng Mandjarungi,
Wakil Ketua: belum terisi;
Sekretaris I: R.W. Monginsidi;
Sekretaris II: belum terisi;
Bagian ketentaraan,
Ketua: Ranggong Daeng Romo,
Wakil Ketua: R. Endang;
Sekretaris: Baso Lanto;
Orgaan adviseurs (badan penasehat): Abd. Rachmann (pak Jawa), Daeng Tjando, Daeng Sila Karaeng Loloa;
Badan penyelenggara,
Ketua Muda: Abd. Rachman (Hamang), Ali Malaka;
Sekretaris: belum terisi;
Bendahara: Mappaselleng Daeng Sija;
Bagian penerangan: Riri Amin Daud;
Bagian inlichtingsdienst: Bonto;
Bagian Perhubungan: Ali Malaka;
Bagian Ketentaraan: R. Endang;
Bagian Palang Merah: Emmy Saelan (Kadir, Dkk, 1984:
162).
Tanggal 1 Oktober 1946 diselenggarakan rapat, meskipun susunan pengurusnya belum
Lengkap dan menetapkan beberapa keputusankeputusan. Keputusan-keputusan ini belum terlaksana, kecuali keputusan no. 2 dalam bentuk latihan militer kepada sekitar 1000 orang pejuang pembela RI dari berbagai kelaskaran. Kemudian upaya peningkatan serangan militer terhadap Nicaternyata dihambat oleh pembunuhan massal yang dilakukan oleh Westerling. Aksi pembunuhan tersebut mempersempit ruang gerak para pejuang pembela kemerdekaan (Poelinggomang, dkk, 2005:155).
Kenyataan itulah yang menyebabkan pihak Nica harus melakukan penangkapan terhadap tokoh pejuang termasuk pejuang-pejuang dari Mandar seperti Andi Depu, Riri Amin Daud, Abd. Rahman tamma. Dalam operasi penangkapan yang dilakukan oleh Nica terhadap para tokoh KRIS Muda, baik di Makassar maupun di daerah Mandar, tercatat 36 orang pimpinan dan anggota KRIS Muda Mandar berhasil ditangkap, termasuk Andi Depu yang ditangkap pada November 1946, serta Riri Amin Daud dan Abd. Rahman tamma pada November 1946. Mereka ditangkap ketika sedang dalam penyamarannya untuk berkeliling melakukan kontak dengan para pejuang lainnya
Guna menyusun strategi perlawanan (arsip nit, no. 139). AndiDepu kemudian dimasukkan ke dalam penjara Majene, sementara Riri Amin Daud dan Abd. Rahman tamma dipenjarakan hogepad Makassar. Mereka seharusnya termasuk tawanan politik atau tawanan perang, tetapi kenyataannya mereka diadili seperti penjahat kriminal (chaniago, 2002:578).
Daftar nama-nama anggota kris muda Mandar yang ditawan Belanda: AndiDepu,Riri Amin Daud, Abd. Rahman tamma, lappas bali, arimin Muhammad, Mahmudy syArif, H.Abd. Razak, masud rahman, Hasan mangga, iskandar, M. Amin badawie, juoma laboe brp, ruwaeda, ummi hani, sahide, a. Mappewa, a. Lelang, nuraini ahmad, Abd. AziS. M, Andi takka, badolo waris, Abd. Rahman. M, saal daud, ahmad tabus, Mustari, badau, aminuddin, kating, yengga, Abd. Rahman, Abd. Madjid, pua madjid, sakia, Abd djalil, supue, H. Baddu (arsip Riri Amin Daud, reg no. 17).
Selama berlangsung kmb, pemerintah Belanda membebaskan sekitar 12.000 orang tahanan antara Agustussampai dengan Desember 1949 (chanigo, 2002:577).4 mereka yang ditahan itu, bukan hanya karena berjuang mempertahankan proklamasi kemerdekaan, tetapi juga karena mereka menentang pemerintah Belanda yang hendak memulihkan kembali pengaruh dan kedudukan kekuasaan kolonialnya di Indonesia. Para tahanan yang dipenjarakan di kota Makassar (hogepad, lajang, tellokamp) misalnya jumlahnya diperkirakan lebih dari 500 orang, di Bulukumba berjumlah 762 orang dan 618 orang diantaranya dibebaskan pada awal Januari 1948, dan panitia ini melaporkan telah menampung sebanyak 1410 orang tawanan, dan sebagian dibantu mengembalikan ke Sulawesi Selatan. Sebagian dari para tahanan itu adalah para raja atau keluarga kerajaan dan pejuang yang anti Belanda (arsip, no. 82; arsip nit, no. 141 dan 142).
Adapun susunan kepengurusan panitianya sebagai berikut:
Sebagai pelindung: makKaraeng daeng. Mandjarungi,
Ketua: f. Pondaag, wakil
Ketua: j. Kamalirang,
Penulis i: Riri Amin Daud,
Penulis ii: Abd.Rahman Tamma, dan
Pembantupembantu:
M.J. Unjung, R. Sukarto dan Ismail A.P.
Panitia yang dibentuk untuk membebaskan semua tawanan politik dan memperjuangkan tercapainya kemerdekaan seratus persen. (Poelinggomang, dkk, 2005:258). Kenyataan ini menyebabkan panitia bekas tahanan politik selanjutnya membentuk panitia penyelenggara konferensi seluruh pejuang Indonesia timur pada awal Januari 1950.
Adapun panitia penyelenggara itu diketuai oleh Makkaraeng Daeng Mandjarungi; Yusuf Bauty sebagai wakil Ketua; F. Pondaag sebagai sekretaris; dan Riri Amin Daud sebagai wakil sekretaris. Konferensi ini bertujuan untuk mempertemukan organisasi-organisasi perjuangan dan kelaskaran atau kelompok-kelompok perjuangan rakyat (Gerilya) dan mantan tahanan politik atau tawanan perang yang telah mengambil bagian dalam perjuangan mempertahankan proklamasi kemerdekaan. Selain itu, konferensi ini juga dimaksudkan untuk merumuskan keinginan mereka kembali yang telah mendasari perjuangannya, melanjutkan perjuangan, menyusun pedoman kerja. Panitia konferensi kemudian mengeluarkan pernyataan pada 4 Januari 1950, agar pemerintah memperhatikan resolusi yang telah dikeluarkan sebelumnya (poelinggomang, dkk, 2005:260; arsip tator, no. 771).
Panitia memutuskan, konferensi perjuangan Indonesia timur akan di selenggarakan di polongbangkeng, pusat perlawanan republik paling kuat dan yang paling bertahan di Sulawesi Selatan, Markas Laskar Lipan Bajeng dan LAPRIS. Wilayah yang terletak di sebelah selatan kota Makassar di bawah kekuasaan Karaeng Polongbangkeng Padjonga Daeng Ngalle, yang setelah proklamasi kemerdekaan menyatakan bahwa wilayah kekuasaannya menjadi bagian dari RI. Padjonga Daeng. Ngalle menjadi pelindung dari gerakan rakyat yang bernama Gerakan Muda Bajeng yang kemudian berubah menjadi Laskar Lipan Bajeng, dan Mobil Batalyon Ratulangi (MBR).
Panitia konferensi mengeluarkan pengumuman pada 10 Januari 1950, disebutkan bahwa pertemuan terdiri dari dua jenis, yaitu rapat terbuka dan tertutup. Rapat terbuka dapat dihadiri oleh semua wakil-wakil kelompok pejuang, semua mantan tahanan, dan para pembesar yang diundang, sedangkan rapat tertutup hanya dihadiri oleh wakil-wakil kelompok pejuang yang mempunyai mandat dan mantan tahanan. Panitia konferensi menyebarkan tenaga ke pedalaman. Tokoh terkemuka seperti yusuf bauty dan Riri Amin Daud misalnya, sejak 18 Januari berkeliling sambil menggalang massa di Enrekang, Makale, dan Rantepao di tanah Toraja. Pada 20 Januari, kembali lewat Rappang, Parepare, Pinrang, dan membelok ke kotakota di pantai barat di wilayah Mandar.
Dalam perjalanan itu, di samping membangun hubungan dengan para mantan tahanan politik atau perang, juga menerima informasi dari masyarakat pada rapat-rapat umum yang diselenggarakan. Pada umumnya masyarakat meminta agar TNI di datangkan ke Sulawesi Selatan. Perjalanan semacam ini juga dilakukan oleh tokoh-tokoh yang lainnya. Menurut laporan panitia menjelang konferensi dimulai, sudah 27 kota-kota di pedalaman Sulawesi Selatan yang didatangi (Poelinggomang, 2005: 261; arsip Abd. Rahman tamma, no. 13; arsip Tator, no. 144 dan 659).
Hasil dari konferensi disepakati pembentukan suatu badan yang disebut Biro Pejuang Pengikut Republik (BPPRI), dalam konferensi ini juga dihasilkan suatu pernyataan
Yang berbunyi:
1.    Kami bekas pemberontak dan bekas tawanan politik dulu dikatakan perampok, pengacau, pembunuh, dan sebagainya dan kini digelar pahlawan-pahlawan danprajurit perjuangan.
2.    Yakin, bahwa tidak ada buat seorangpun dari kami menjadikan nama atau gelarsebagai soal utama.
3.    3. Bahwa yang kami ketahui adalah kami cinta ibu pertiwai dan dengan sadarpada waktu yang sudah kami melakukan siasat destruktif keluar menerjang segalaperkosaan atas proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai suatu ledakan keinginan dan hasrat bangsa Indonesia yang sudah berabadabad hidup dijajah, ingin hidup bernegara sendiri dan dapat menyumbangkan kebangsaannya untuk ikut serta dalam pembinaan perikemanusiaan dan keadilan diantar bangsa-bangsa didunia.
4.    Bahwa sesungguhnya lahirnya ris dan negara Indonesia timur (nit) itu, karenaBelanda semata-mata dan pula didorong oleh cara-cara bapak-bapak kita yangtidak mengikuti jiwa dan para pemuda, lekas-lekas bermalino dan berdenpasar,sehingga lahirnya ris dan nit sebenarnya sedikitpun tidak mengganggu hasrat dan
Keinginan seluruh bangsa Indonesia yang pada Prinsipnya tetap berpegang pada
Proklamasi 17 Agustus 1945 baik yang telah berpenjara atau berhutan.
5. Bahwa masih banyak pula rakyat di nit yang tidak atau belum ri, mendapat
Kesempatan mengembangkan keinginan itu, bahwa dalam banyak hal kita di nit banyak ketinggalan (poelinggomang, 2005: 296).
Berpendapat: bahwa untuk mengembalikan ris sekarang menjadi ri, sesuai dengan hasrat rakyat, maka perlu seluruh tenaga warga negara dikerahkan dalam segala lapangan dan tetap berpegang teguh pada pancasila. Pernyataan ini dikeluarkan di polongbangkeng, tempat berlangsungnya konferensi pada 7 Februari 1950, yang ditandatangani oleh badan pimpinan pusat bpRRI, yusuf bauty, makKaraeng daengmandjarungi, Riri Amin Daud, f. Pondaag, Abd. Rahman tamma, r. Sukarto, hamang, aminuddin muchlis, dan S. Sunari. Inti dari pernyatan itu merupakan tujuan organisasi bpRRI dalam melakukan perjuangan politik untuk membubarkan nit.
Di samping itu mereka juga mengirim utusan ke Yogyakarta untuk melaporkan kegiatan dan perkembangan yang ada di Sulawesi Selatan. Pada 23 Februari 1950 berangkat makKaraeng daeng mandjarungi dan Riri Amin Daud sebagai wakil BPPRI ke Yogyakarta untuk menemui pemerintah ris dan ri. Tepat pada hari yang telah ditentukan, 17 Maret 1950, ribuan rakyat kota Makassar dan pendudukan di
Sekitarnya melakukan demonstran mengelilingi wilayah kota, dan kemudian berkumpul di depan kantor parlemen nit. Diperkirakan jumlah demonstran mencapai 2000 orang.
Demonstran ini merupakan demonstran terbesar yang menggoncang kota Makassar (kadir, dkk, 1984:246). Ketika semua demonstran telah berkumpul di depan parlemen nit, a.n. Hadjarati, aktor intelektual dari aksi demonstran itu tampil menemui Ketua parlemen nit, husain puang limboro untuk menyampaikan tuntutan itu diteruskan kepada pemerintah ris, dan mendesak segera membubarkan nit (poelinggomang, 2005: 297; patang, 1974:141).

Akhir perjuangan Riri Amin Daud
BPRRI yang didirikan pada Februari 1950, pada BPRRI ini Riri Amin Daud juga terlibatdi dalamnya. BPRRI yang berjiwa pancasila, mempunyai tugas bekerja secara efektif dan dengan penuh tanggung Jawab kepada seluruh bangsa Indonesia dengan program perjuangan tertentu. Badan pimpinan pusat BPPRI:  dewan pimpinan umum: yusuf bauty, makKaraeng daeng manjarungi, Riri Amin Daud, f. Pondaag, Abd. Rahman Tamma, R. Sukarto, Hamang, Aminuddin Muchlis, S. Sunari (djarwadi, dkk, 1972:45).
Kemudian mengeluarkan resolusi yang berbunyi: memperhatikan larangan demonstrasi pemerintah nit dan rapat raksasa, resolusi panitia demonstrasi keinginan rakyat 9 Maret 1950 yang menuntut pencabutan larangan tersebut. Demonstrasi yang diadakan 17 Maret 1950 yang menuntut pembubaran nit berlangsung sesuai dengan rencana dan berjalan secara tertib. Sedangkan pihak non republik/kaum kooperator juga berusaha mengorganisir demonstrasi untuk mempertahankan nit, tetapi gagal, bahkan orang-orangnya berobah menjadi memihak ri.
Menjelang meletusnya peristiwa Andiazis, markas bpRRI digerebek oleh pasukan kepolisian nit, tetapi tidak berhasil menangkap para pemimpinnya. Sementara itu makKaraeng daeng mandjarungi dan Riri Amin Daud yang telah kembali ke Yogyakarta, yang memprakarsai konferensi polongbangkeng, dan Riri Amin Daud menjadi salah seorang anggota presidium BPPRI (fatmawati, 2002:5).
Keinginan rakyat Indonesia di Sulawesi untuk melepaskan diri dari nit tak dapat ditahantahan lagi. Sebelum pemerintah ris dengan resmi membubarkan nit, terlebih dahulu mereka telah melepaskan diri dari ikatan nit dan langsung menggabungkan diri dengan ri. Pada 17 April 1950 di polongbangkeng, yang merupakan daerah pusat perjuangan rakyat Indonesia di Sulawesi pada masa revolusi. Di daerah ini telah diumumkan suatu proklamasi yang disebut proklamasi polongbangkeng, isinya sebagai berikut:
Atas nama seluruh rakyat pengikut Republik Indonesia di seluruh Indonesia timur:
a.     Atas nama susunan pemangku-pemangku jabatan pemerintah sipil berdiri di seluruh bahagian daerah di Indonesia timur;
b.    Dengan bentuk angkatan pertahanan gerilya kami;
c.     Dengan bentuk daerah-daerah yang dikuasai angkatan gerilya kami.
Dengan ini memproklamirkan, bahwa:
Kami seluruhnya dengan daerah-daerah yang di bawah kekuasaan kami melepaskan diri dari kekuasaan Undang-Undung dan pemerintah negara Indonesia timur dan
Akan mempertahankan daerah-daerah kami sebagai daerah bahagian ri, serta akan mempertahankan diri sebagai warga negara yang terikat oleh Undang-Undung dan tunduk di bawah pemerintah ri diibukota Yogyakarta. Polongbangkeng, 17 April 1950
Pemangku jabatan gubernur provinsi Sulawesiprovinsi maluku
Provinsi sunda kecil makKaraeng daeng manjarungi wakil Riri Amin Daud Basis komando markas besar kesatuan Gerilya territorium Sulawesi Pemangku jabatan komandan A. Djalal Daeng Leo, Andi Selle (djarwadi, dkk, 1972:70; kempen. 1953:167).
Selang beberapa hari kemudian sikap yang sama ditampilkan oleh Hadat Tinggi Sulawesi Selatan (HTSS) yang merupakan pimpinan pemerintahan Sulawesi Selatan dan dewan Sulawesi Selatan memproklamasikan gagasan yang sama pada 26 April 1950 di Makassar, yang isinya sebagai berikut:
Sesuai dengan keinginan sebahagian besar dari seluruh rakyat Sulawesi Selatan yang dilahirkan dengan demonstran, mosi-mosi, statemen tanggal 20 Maret 1950 dari panitia penegak RI yang meliputi lebih dari 50 partaipartai politik dan organisasi, maka mulai hari ini 26 April 1950 pemerintah daerah Sulawesi Selatan menyatakan Sulawesi Selatan lepas dari nit dan masuk dalam ri sebagai satu provinsi (poelinggomang, dkk, 2005:299).
Pergolakan-pergolakan yang terjadi di Sulawesi Selatan pada khususnya dan nitpada umumnya sangat berpengaruh terhadap perundingan-perundingan yang dilakukan oleh Presiden NIT, Soekawati. Wakil dari negara Sumatera Timur dengan Wakil Presiden RIS, Muhammad Hatta pada 3-5 Mei 1950, pada pertemuan ini dicapai kata sepakat untuk menetapkan satu negara kesatuan. Pada 9 Mei 1950 Wakil Presiden RIS, Muhammad Hatta menjelaskan dalam pidato radio bahwa negara kesatuan harus dibentuk melalui cara-cara legal, dan bukan melalui tindakan-tindakan yang bersifat
sepihak, dipaksakan (kadir, dkk, 1984:248).
Terbentuknya negara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang- Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950 yang disahkan pada 15 Agustus 1950 dan diumumkan ke seluruh pelosok tanah air pada peringatan proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1950 merupakan keberhasilan perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang dicanangkan oleh rakyat Sulawesi Selatan adalah untuk mewujudkan kembali keutuhan dan identitas bangsa yang terpatri pada proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 1945. Mereka tetap berjuang hingga terwujudnya kembali keutuhan dan identitas bangsa Indonesia dalan negara kesatuan Republik Indonesia (kadir, dkk, 1984:249).
Meskipun demikian persoalan gerilya di Sulawesi Selatan mendapat perhatian serius dari pemerintah. Itulah sebabnya pemerintah mengumumkan pemanggilan kembali para pejuang gerilya pada 9 Desember 1950. Kemudian disusul penetapan daerah untuk mengumpulkan pasukan yang hendak diselesaikan. Masa pemanggilan diberi waktu antara 15 Desember 1950 sampai dengan 30 Desember 1950. Karena mengalami banyak kesulitan diperpanjang lagi hingga 6 Januari 1951.
Kesulitan yang dihadapi sebenarnya adalah di kalangan pasukan gerilya sendiri, karena sampai saat terakhir habisnya jangka waktu pemanggilan, Kahar Muzakkar masih bersikap diam. Bahkan kemudian menyerahkan pimpinan kepada M. Saleh Syahban selaku kepala stafnya. Kahar Muzakkar sendiri terus menuju ke kampung halamannya dengan tujuan istirahat.
Dalam pelaksanaan keputusan pemerintah untuk memanggil pejuang gerilya, maka dibentuklah panitia dengan susunan dan tugasnya adalah:
Ketua: I.A. Saleh Daeng Tompo,
Wakil Ketua: Mayor L. Mochtar;
Anggota: Abbas Daeng Malewa, Nyonya Salawati Daud, Makkaraeng Daeng Mandjarungi, Aminuddin Mukhlis, Riri Amin Daud, M. Yosef, M. Yunus Mile.
Terhadap masalah gerilya tugasnya untuk mengadakan pemisahan antara anggota gerilya dalam penggolongan:
A. Yang berhasrat masuk dalam angkatan perang;
B. Yang hendak masuk kepolisian,
C. Yang hendak kembali ke masyarakat
(djarwadi, dkk, 1972:68-69).
Di samping kelompok yang di prakarsai Partai Kedaulatan Rakyat (PKR), sejumlah pemuda merasa khawatir mengenai situasi saat itu, dan dimulai dengan pertemuan Kongres Pelajar Mahasiswa korban kekacauan Juli 1956, kelompok-kelompok pemuda banyak terbentuk untuk mendiskusikan masalah daerah mereka, dan apa yang mungkin mereka perbuat mengenai hal itu. Dalam pertemuan 3 Februari 1957, sebanyak 77 orang pemuda dengan dukungan 47 kelompok pemuda, membentuk Dewan Pemuda Sulawesi.
Dewan ini mencakup anggota-anggota secara perorangan, serta organisasi-organisasi yang berdasarkan afiliasi kesukuan dan keagamaanmaupun afiliasi kepartaian. Di antara yang tersebut belakangan termasuk gerakan pemuda sosialisasi, Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), dan Pemuda Rakyat (organisasi pemuda
PKI).
Pada organisasi ini ditunjuk sebagai Ketua adalah Nurdin Djohan, seorang veteran muda tanpa afiliasi kepartaian dan teman Mayor Yusuf, Riri Amin Daud dar iLAPRIS dan BPPRI menjadi sekretaris jenderal; para angoota lain termasuk Mattulada, yang pernah menjadi juru bicara bagi para siswa di kongres pelajar mengenai Komando Daerah Pertempuran Sulawesi Selatan Tenggara (KODPSST); Indra Chandra dan Husain Achmad dari Gerakan Pemuda Sosialis (GPS); dan Ismail Habi dari pemuda prograsif (tanpa afiliasi partai). (harvey, 1989:255).
Memasuki tahun 1950 Riri Amin Daud masih aktif dalam perjuangannya, tepatnya tahun
1950 sampai 1951 ia ditunjuk sebagai sekretaris panitia negara penyelesaian masalah gerilya Sulawesi Selatan sampai dengan terbentuknya afwikkelings Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS). Riri Amin Daud yang dalam hidupnya memang tidak mau diam, selalu diwarnai dengan kegiatan-kegiatan yang dapat bermanfaat untuk orang banyak, seperti ia juga aktif di bidang pendidikan dan sosial kemasyarakatan, yaitu menjadi guru vervolschool di Sumpang Binangae (Kabupaten Barru) dan di Campalagian (Mandar). Riri Amin Daud kembali menempuh pendidikan kursus kerja sosial pada RC. Dr. R. Suharso di Solo, Jawa Tengah, tahun 1951-1952. Selain dunia politik dan pendidikan dan kemasyarakatan Riri Amin Daud juga bergelut di dunia pers, ini mulai dirambah dari tahun 1953 dan dilakukan sampai tiga tahun.
Karier Riri Amin Daud didunia pers ini menjadi pimpinan umum mingguan “Jakarta Raya” dan sekaligus wartawan surat kabar “Pembela Proklamasi” di Jakarta. Riri Amin Daud juga anggota redaksi SKH “Tinjauan Makassar”. Riri Amin Daud dalam mengisi kehidupannya, beragam kegiatan dilakukan ia juga pernah menjadi penanggung jawab kegiatan persuteraan rakyat Indonesia (ISRI) di wilayah Sulawesi Tenggara. Pada tahun 1954, setelah menyelesaikan pendidikan di solo, Riri Amin Daud melanjutkan pendidikan di SMA C Pengasan Timur (fatmawati, 2002:2). Riri Amin Daud tidak berhenti menempuh pendidikan, ia kemudian kembali ke Makassar, dan mengikuti kuliah selama dua tahun (1956- 1958) di Fakultas Teknik Publik Administration Universitas 17 Agustus 1945 (inventarisasi arsip koleksi Pribadi Riri Amin Daud, 1996: 5).
Selepas itu, kegiatan Riri Amin Daud terus berlangsung dari tahun 1957 sampai dengan 1959 pada saat itu ia menjadi anggota penasehat pemerintah militer TT VI/Wirabuana yang berkedudukan di Makassar (inventarisasi koleksi arsip Pribadi Riri Amin Daud, 1996: 30). Riri Amin Daud menjadi anggota Legiun Veteran RI, kemudian menjadi anggota Koperasi Legiun Veteran RI. Tanda penghargaan yang diperoleh Riri Amin Daud diantaranya: Bintang Gerilya Kelas 1, Bintang Gerilya Kelas 2, Bintang Gerilya 50 Tahun, dan Bintang Purna Veteran RI (Fatmawati, 2002:7). Demikian perjalanan perjuangan Riri Amin Daud dalam mempertahankan kemerdekaan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat yang dapat memberikan inspirasi bagi orang lain. (Bahtiar, Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar: WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 299—313).