Sabtu, 25 Juni 2016

ABSTRAK MAKALAH DRS. DARMANSYAH KE KONFERENSI NASIONAL SEJARAH X

“ORANG MANDAR PELAUT ULUNG”
Oleh: Drs. Darmansyah
Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Sulawesi Barat
Ketua DPRD Kabupaten Majene


ABSTRAK

Jauh sebelum konsep Tanah Air yang tertuang dalam naskah Sumpah Pemuda tahun 1928, di sebuah wilayah konfederasi bagian Sulawesi bagian barat sudah berbentuk negara, yaitu Pitu Ulunna Salu – Pitu Ba’bana Binang. Sejak tahun 1580, wilayah ini sudah dikenal lita’ Mandar yang mempunyai pengertian “Tanah Air“. Dari sini, sebuah peradaban Mandar terbentuk sebagai wilayah dan sebagai suku bangsa. Suku bangsa Mandar yang terdiri dari tujuh wilayah adat yang berada di daratan dan tujuh wilayah adat yang berada di pantai. Tujuh wilayah adat ini menjadi negara konfederasi Mandar adalah yang notabene wilayah pantainya adalah kerajaan bahari (berhadapan langsung dengan laut lepas) sementara dari pegunungan menguatkannya dengan adanya aliran sungai yang semuanya bermuara ke teluk Mandar. Alasan inilah barangkali yang membuat Kristian Pelras, penulis buku “The Bugis” menyebutkan bahwa bukan orang Bugis atau orang Makassar pelaut ulung, tapi orang Mandarlah yang lebih tepatnya disebut pelaut ulung.
Adanya ritual pelantuikan Raja-raja di Mandar yang dilantik diatas punggung penyu adalah simbol kepemimpinan yang letak geografisnya berhadapan langsung dengan laut, dituntut memiliki karakter seperti penyu.  Pannu (Panynyu) adalah jenis hewan laut yang dalam bahasa Indonesia disebut Penyu. Secara Filosofi mengandung makna yang dalam tentang penyu yaitu: (1) Penyu dapat bertahan hidup sampai 500 tahun, dan diharapkan raja dapat bertahan lama pada jabatannya dengan mendapat dukungan dari rakyat; (2) Penyu mencari makanan di laut dan bertelur di darat. Inilah salah satu bukti bahwa orang Mandar itu adalah orang laut yang sumber penghidupannya berada di laut namun peradabannya besar di daratan; (3) Penyu punya karakter pendiam tapi dalam hal mencari rejeki ia pantang menyerah pada keadaan (ombak besar). Penyu juga mempunyai jumlah telur yang banyak.
Filosofi penyu bagi orang Mandar terlakonkan dengan kepiawaiannya mengarungi laut dengan perahu “Sande’-nya” untuk mencari rejeki. Orang Mandar dengan gagah-berani mempertaruhkan hidupnya siang dan malam, berminggu-minggu diatas rumpon untuk mencari nafkah pada laut yang dalam. Hal paling inti dari filosofi penyu terletak pada kulitnya yang tebal yang mempunyai fungsi melindungi tubuhnya dari peredator. Ini menjadi sebuah harapan kepada raja untuk dapat melindungi rakyat dan negerinya dari ancaman luar. Kesemuanya itulah sehingga tidak berlebihan jika orang Mandar mengabadikan nama penyu melalui kue tradisional yang disebut “Tallo Pannu”.
Terkait keberanian orang-orang Mandar dalam menyeberangi laut lepas dengan perahu tradisional sande’ dapat dibuktikan melalui leluhur Komjen Pol. Drs. H Syafruddin Kambo, M.Si (Kalemdikpol RI) yang menunaikan ibadah haji ke Mekah pada tahun 1889. Perahu tradisional “ sande’ “ hari ini telah menjadi warisan budaya nasional yang dibuktikan dengan sertifikasi dari Kementerian Pendidikan Nasional RI, dengan nomor registrasi : 154004 B/MPK.A/DO/2014. Selain itu, di kepulauan nusantara ini, kita bisa menemkan beberapa jejek perkampungan orang Mandar di pesisir pulau jawa dan Bali, termasuk di Nusa Tenggara dan Kepulauan Bangka Belitung.
PENDAHULUAN
Indonesia dalah negara kepulauan terbesar di dunia. Dari data Kementerian Kelautan dan Perikanan RI tahun 2010, jumlah pulau di Indonesia sebanyak 13,000 pulau, luas daratan 1.922.570 km2 dan luas laut mencapai 3.257.483 km2 dan jika ditambah dengan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) seluas 200 mil laut, maka luas perairan laut Indonesia sebesar 7. 900. 000 km2 atau 81% dari luas keseluruhan wilayah Indonesia. Dengan luas daratan dan lautan yang seperti itu, tentunya kekayaan alam Indonesia beraneka ragam, seperti migas, pertambangan, kekayaan laut, kekayaan flora dan faunanya.
Dengan kondisi seperti itu, maka tak berlebihan jika Indonesia ini disebut bumi maritim. Indonesia menjadi bagian terpenting dari sistem planet bumi yang merupakan satu kesatuan alami antara darat dan laut di atasnya tertata secara unik, menampilkan ciri-ciri negara dengan karakteristik sendiri yang menjadi wilayah yurisdiksi Negara Republik Indonesia. Hal inilah yang kemudian jadi acuan dalam menggagas sebuah Negara Maritim Indonesia sebagai aktualisasi wawasan nusantara untuk memberi gerak pada pola pikir, pola sikap dan pola tindak bangsa Indonesia secara bulat dalam aktualisasi wawasan nusantara.
Nusantara, sebagaimana disebutkan dalam negarakertagama, terbayang sebagai kesatuan maritim yang saling terhubung oleh air. Interaksi antar pulau dalam bentang Sabang hingga Merauke seyogyanya tidak bisa dipisahkan dari laut, termasuk daratannya juga tak bisa dipisahkan dari alur sungai yang bermuara ke laut. Di Jawa, kota-kota besar, Surabaya, Semarang dan Jakarta, terbentuk oleh kehadiran pelabuhan-pelabuhan. Demikian pula di Sulawesi, peradaban bahari bertaut erat dengan relasi dagang antara kesultanan besar sejak dahulu kala.  
Hari ini, Indonesia mempunyai sumber daya manusia sebesar 250 juta orang penduduk. Angka terbesar keempat di dunia setelah Tiongkok, India, dan AS. Jumlah penduduk usia produktif lebih banyak ketimbang yang berusia tidak produktif (bonus demografi), dengan jumlah kelas menengah yang terus meningkat dari tahun ke tahun, dan juga modal kekayaan alam yang melimpah dan beragam baik di darat ataupun lautan, serta posisi geoekonomi yang sangat strategis di jantung pusat perdagangan global. Ada sekitar 45% dari seluruh komoditas dan barang yang diperdagangkan di dunia dengan nilai US$1.500 triliun per tahun diangkut melalui laut Indonesia (UNCTAD, 2010).
Selama ini ada sebuah yang ironi, bahwa filosofi yang mendasari setiap kebijakan nasional kita selama ini selalu bertumpu pada paradigma “daratan”. Di sinilah letak ironinya, negara kita yang sejak dahulu tersohor dengan negara maritim dengan wilayah yang 75% lautan, namun kita sama sekali mengabaikan bahkan “memunggunginya”. Tidak mengherankan bila sampai saat ini, negara-negara lainnya yang justru menangguk keuntungan dari semua kekayaan laut kita.
Sampai saat ini, pencapaian hasil pembangunan maritim Indonesia masih menyisakan begitu banyak persoalan dan pekerjaan rumah bagi pemerintah. Salah satu buktinya adalah hingga kini kontribusi seluruh sektor maritim terhadap PDB hanya sekitar 20%. Padahal, pada Negara-negara dengan potensi kekayaan laut yang lebih kecil ketimbang Indonesia, seperti Islandia, Norwegia, Jepang, Korea Selatan, Tiongkok dan Thailand, kontribusi bidang maritimnya rata-rata telah mencapai di atas 30% dari PDB.
Hal lain yang perlu diingat, peradaban sungai adalah peradaban yang menyangga teritori daratan dan laut. Peradaban yang menjadi pintu keluar masuk bagi pertukaran budaya daratan dan budaya pesisir. Artinya, jika upaya mewujudkan poros maritim hanya bertumpu pada paradigm “kelautan” semata, maka sudah bisa dipastikan kesenjangan atau ketimpangan pembangunan pasti akan terjadi seperti pada masa Orde Baru, namun dalam wujud yang berbeda. Untuk itu diperlukan sebuah cara berpikir dan bertindak baru untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.


ORANG MANDAR PELAUT ULUNG...............................................................................
...........................................................................................................................................................dst. 
Inilah Makalah yang akan dikirimkan ke Kongres Sejarah Indonesia, 7-10 November 2016 di Jakarta.