“ORANG MANDAR PELAUT ULUNG”
Oleh: Drs. Darmansyah
Ketua Masyarakat
Sejarawan Indonesia Cabang Sulawesi Barat
Ketua DPRD Kabupaten
Majene
ABSTRAK
Jauh sebelum konsep Tanah Air yang tertuang
dalam naskah Sumpah Pemuda tahun
1928, di sebuah wilayah konfederasi bagian Sulawesi bagian barat sudah berbentuk
negara, yaitu Pitu Ulunna
Salu – Pitu Ba’bana Binang. Sejak tahun 1580, wilayah ini sudah dikenal lita’ Mandar yang mempunyai pengertian “Tanah Air“. Dari sini,
sebuah peradaban Mandar terbentuk sebagai wilayah dan sebagai suku bangsa. Suku
bangsa Mandar yang terdiri dari tujuh wilayah adat yang berada di daratan
dan tujuh wilayah adat yang berada di pantai. Tujuh wilayah adat ini menjadi negara konfederasi
Mandar adalah yang notabene wilayah pantainya adalah kerajaan
bahari (berhadapan langsung dengan laut lepas) sementara
dari pegunungan menguatkannya dengan adanya aliran sungai yang semuanya
bermuara ke teluk Mandar. Alasan inilah barangkali yang membuat Kristian Pelras, penulis buku “The Bugis” menyebutkan bahwa bukan
orang Bugis atau orang Makassar pelaut ulung, tapi orang Mandarlah yang lebih tepatnya disebut pelaut ulung.
Adanya ritual pelantuikan Raja-raja di Mandar yang dilantik diatas punggung penyu adalah simbol kepemimpinan yang letak geografisnya
berhadapan langsung dengan laut, dituntut memiliki karakter seperti penyu. Pannu (Panynyu) adalah
jenis hewan laut yang dalam bahasa Indonesia disebut Penyu. Secara Filosofi
mengandung makna yang dalam tentang penyu yaitu:
(1) Penyu dapat bertahan hidup sampai 500 tahun, dan diharapkan raja dapat
bertahan lama pada jabatannya dengan mendapat dukungan dari rakyat; (2) Penyu
mencari makanan di laut dan bertelur di darat. Inilah salah satu bukti bahwa
orang Mandar itu adalah orang laut yang
sumber penghidupannya berada di laut namun
peradabannya besar di daratan; (3) Penyu punya karakter pendiam tapi dalam hal mencari rejeki ia pantang
menyerah pada keadaan (ombak
besar). Penyu juga mempunyai jumlah telur yang banyak.
Filosofi penyu bagi orang
Mandar terlakonkan dengan
kepiawaiannya mengarungi laut dengan perahu
“Sande’-nya” untuk mencari rejeki. Orang Mandar dengan
gagah-berani mempertaruhkan
hidupnya siang dan malam, berminggu-minggu diatas rumpon untuk mencari nafkah
pada laut yang dalam. Hal paling inti
dari filosofi penyu terletak pada kulitnya yang tebal yang mempunyai fungsi melindungi
tubuhnya dari peredator. Ini menjadi sebuah
harapan kepada raja untuk dapat
melindungi rakyat dan negerinya dari ancaman luar. Kesemuanya itulah sehingga tidak berlebihan jika orang
Mandar mengabadikan nama
penyu melalui kue tradisional yang
disebut “Tallo Pannu”.
Terkait keberanian orang-orang Mandar dalam menyeberangi laut lepas dengan
perahu tradisional sande’ dapat dibuktikan melalui leluhur
Komjen Pol. Drs. H Syafruddin Kambo, M.Si (Kalemdikpol
RI) yang menunaikan ibadah haji ke Mekah pada tahun 1889. Perahu
tradisional “ sande’ “ hari ini telah menjadi warisan budaya nasional yang
dibuktikan dengan sertifikasi dari Kementerian Pendidikan Nasional RI, dengan nomor
registrasi : 154004 B/MPK.A/DO/2014. Selain itu, di kepulauan
nusantara ini, kita bisa menemkan beberapa jejek perkampungan orang Mandar di
pesisir pulau jawa dan Bali, termasuk di Nusa Tenggara dan Kepulauan Bangka
Belitung.
PENDAHULUAN
Indonesia
dalah negara kepulauan terbesar di dunia. Dari data Kementerian Kelautan dan
Perikanan RI tahun 2010, jumlah pulau di Indonesia sebanyak 13,000 pulau, luas
daratan 1.922.570 km2 dan luas laut mencapai 3.257.483 km2 dan jika ditambah
dengan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) seluas 200 mil laut, maka luas perairan laut
Indonesia sebesar 7. 900. 000 km2 atau 81% dari luas keseluruhan wilayah Indonesia. Dengan
luas daratan dan lautan yang seperti itu, tentunya kekayaan alam Indonesia
beraneka ragam, seperti migas, pertambangan, kekayaan laut, kekayaan flora dan
faunanya.
Dengan
kondisi seperti itu, maka tak berlebihan jika Indonesia ini disebut bumi
maritim. Indonesia menjadi bagian terpenting dari sistem planet bumi yang
merupakan satu kesatuan alami antara darat dan laut di atasnya tertata secara
unik, menampilkan ciri-ciri negara dengan karakteristik sendiri yang menjadi
wilayah yurisdiksi Negara Republik Indonesia. Hal inilah yang kemudian jadi
acuan dalam menggagas sebuah Negara Maritim Indonesia sebagai aktualisasi
wawasan nusantara untuk memberi gerak pada pola pikir, pola sikap dan pola
tindak bangsa Indonesia secara bulat dalam aktualisasi wawasan nusantara.
Nusantara, sebagaimana disebutkan dalam negarakertagama,
terbayang sebagai kesatuan maritim yang saling terhubung oleh air. Interaksi
antar pulau dalam bentang Sabang hingga Merauke seyogyanya tidak bisa
dipisahkan dari laut, termasuk daratannya juga tak bisa dipisahkan dari alur
sungai yang bermuara ke laut. Di Jawa, kota-kota besar, Surabaya, Semarang dan
Jakarta, terbentuk oleh kehadiran pelabuhan-pelabuhan. Demikian pula di
Sulawesi, peradaban bahari bertaut erat dengan relasi dagang antara kesultanan
besar sejak dahulu kala.
Hari ini, Indonesia mempunyai sumber daya
manusia sebesar 250 juta orang penduduk. Angka terbesar keempat di dunia
setelah Tiongkok, India, dan AS. Jumlah penduduk usia produktif lebih banyak
ketimbang yang berusia tidak produktif (bonus demografi), dengan jumlah kelas
menengah yang terus meningkat dari tahun ke tahun, dan juga modal kekayaan alam
yang melimpah dan beragam baik di darat ataupun lautan, serta posisi geoekonomi
yang sangat strategis di jantung pusat perdagangan global. Ada sekitar 45% dari
seluruh komoditas dan barang yang diperdagangkan di dunia dengan nilai US$1.500
triliun per tahun diangkut melalui laut Indonesia (UNCTAD, 2010).
Selama ini ada sebuah yang ironi, bahwa
filosofi yang mendasari setiap kebijakan nasional kita selama ini selalu
bertumpu pada paradigma “daratan”. Di sinilah letak ironinya, negara kita yang
sejak dahulu tersohor dengan negara maritim dengan wilayah yang 75% lautan,
namun kita sama sekali mengabaikan bahkan “memunggunginya”. Tidak mengherankan
bila sampai saat ini, negara-negara lainnya yang justru menangguk keuntungan
dari semua kekayaan laut kita.
Sampai saat ini, pencapaian hasil pembangunan
maritim Indonesia masih menyisakan begitu banyak persoalan dan pekerjaan rumah
bagi pemerintah. Salah satu buktinya adalah hingga kini kontribusi seluruh
sektor maritim terhadap PDB hanya sekitar 20%. Padahal, pada Negara-negara
dengan potensi kekayaan laut yang lebih kecil ketimbang Indonesia, seperti
Islandia, Norwegia, Jepang, Korea Selatan, Tiongkok dan Thailand, kontribusi
bidang maritimnya rata-rata telah mencapai di atas 30% dari PDB.
Hal lain yang perlu diingat, peradaban
sungai adalah peradaban yang menyangga teritori daratan dan laut. Peradaban
yang menjadi pintu keluar masuk bagi pertukaran budaya daratan dan budaya
pesisir. Artinya, jika upaya mewujudkan poros maritim hanya bertumpu pada
paradigm “kelautan” semata, maka sudah bisa dipastikan kesenjangan atau
ketimpangan pembangunan pasti akan terjadi seperti pada masa Orde Baru, namun
dalam wujud yang berbeda. Untuk itu diperlukan sebuah cara berpikir dan
bertindak baru untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
ORANG MANDAR PELAUT ULUNG...............................................................................
...........................................................................................................................................................dst.
Inilah Makalah yang akan dikirimkan ke Kongres Sejarah Indonesia, 7-10 November 2016 di Jakarta.