Jumat, 20 Mei 2016

SEJARAH PERGERAKAN DAN PENDIDIKAN DI MANDAR

Diajang Teluk Mandar Art Festival Majene, tiba-tiba saja penulis menemukan sebuah buku  Mandar dalam Arus Revolusi, yang ditulis oleh H. Abd. Rachman, MS. BBA, S.Pd. Dalam buku tersebut penulis menemukan sesuatu yang penting untuk dishare ke pengunjung Blog Rumpita (galerikopicoqboq.blogspot.com). Catatan tersebut adalah sebagai berikut:
 
Pada tahun 1670 Syekh Yusuf mengirim utusan ke Campalagian bernama Abdul Rahman Kamaluddin. Di Mandar Syekh Kamaluddin mengenalkan dan menyebarkan ajaran Islam, mendirikan Surau, sekaligus memberikan pengajian. Ia dikenal dengan nama Tuan di Binuang. Pendidikan agama disurau dikenal dengan nama mukim yang berpusat di Campalagian dan beberapa daerah disekitarnya. 

Pendidikan yang diberikan ialah petuah-petuah keagamaan yang berdasarkan Al Qur'an dan Hadits Rasulullah. Tahun 1913 Pengajian asuhan H. Maddappungan dibuka saat ia kembali dari Makkah. Ia banyak memiliki murid disekitaran Pinrang, Rappang, Soppeng, Wajo dll. Para murid tersebut berdatangan ke Campalagian dan merupakan pusat pembinaan kader muballigh Islam Sulawesi Selatan dan yang masuk belajar tak mengenal umur. Baca tulis Al Qur'an dilaksanakan di rumah-rumah penduduk. Perkembangan selanjutnya, Surau menjadi Madrasah/Pesantren yang dipelopori para ulama seperti Nuhiyah Pambusuang, BPI Majene, DDI Campalgian dan Tinambung serta ada juga yang didirikan oleh organisasi Muhammadiah. 

Tahun 1903 Belanda mendirikan sekolah Volk School disingkat VS atau Sekolah Rakyat. VS berdiri di Majene pada tahun 1907 dan pada tahun 1910 nama VS dirubah menjadi VVS (Ver Volg School atau sekalah Melayu yang dipelopri olehputra-putra terbaik Mandar. Alhasil Majene menjadi kota pendidikan sejak zaman Belanda yakni Afdeling Mandar yang ibukotanya di Majene. Paeduduk di Mandar mayoritas beragama Islam, maka pergerakan kebangsaan di tanah Mandar bernaung dibawah partai-partai panji Islam seperti PSII, Masyumi, Nahdhatul Ulama (NU) dan Ormas Muhammadiyah. Pendidikan lanjutan pada Zaman Belanda dan dipusatkan di Makassar yaitu MULO, HIS, OSVIA dengan persyaratan keturunan bangsawan/adat serta kaya/hidup berkecukupan. 

Sumber: Mandar dalam Arus Revolusi, H. Abd. Rachman, MS. BBA, S.Pd.:Dinas Pariwisata, Informasi dan Komunikasi Kab. Majene 2008

Panggung Teluk Mandar Art Festival digoyang seniman handal

Tak terasa waktu terus berderai. Di malam ketiga, panggung Teluk Mandar Art Festival digoyang oleh para seniman dan komunitas seni ternama dari Polewali Mandar, Majene dan Mamuj. Sure'  Bolong pimpinan Muhammad Ishaq mengusung tema Ole-Ole atau Lupa. Sebuah refleksi ke-Indonesia-an dan ke-Mandar-an kita. Kita adalah bangsa yang suka menggendong lupa. Mungkin itu yang hendak disampaikan oleh Ishaq Janggo. Bakri Latief, salah satu seniman, penulis dan budayawan Balanipa yang tinggal di Makassar juga tampil mengocok perut penonton dengan puisinya Puaji, Tongguru. Bakri Latief memang salah satu aset Mandar yang jarang menyamai talentanya. !0 Bahkan 50 tahun kedepan tak ada jaminan akan lahir manusia yang mampu menandinginya.

Tak ketinggalan pula, Lingkar Musik Uwake juga tak mau kalah. Ia bahkan mengusung persembahan musik tradisi dengan mengangkat isu kliterasi yang menjadikan berita sebagai musik. Uwake' memang punya keunggulan dalam pemilihan tema yang diusung. Komunitas dari Mamuj-pun tak ketinggalan memukau para pengunjung yang memadati Taman Kota Majene. Hal yang juga spektakuler adalah penampilan Sanggar Tari Labada dengan mengusung Cinna, Gassing anna Nawang. Selain itu, ia mendapuk Samurai sebagai simbol kelembutan. ternyata, kekuatan yang sejati adalah kelembutan itu sendiri. Demikian sedikit gambaran tentang tema yang disampaikan oleh Sanggar Tari Labada ini.

Adi Arwan Alimin, penulis, sastrawan, mantan jurnalis yang kini menjadi Komisioner KPU Sulbar ini juga menyempatkan diri untuk memberikan apresiasi atas pelaksanaan ajang Teluk Mandar Art Festival ini. Untuk menikmati pertunjukan tidak boleh bercerita kiri kanan, tapi masuk dalam bagian terdepan dalam pertunjukan. Demikian opening beliau sebelum membaca puisi yang berjudul "Apa Kabar Perempuan Mandar". Usai membacakan puisinya ia sedikit memberikan gambaran bagaimana kondisi literasi di Sulawesi dan Kalimantan. Dikatakannya, sebuah penelitian yang diakui oleh Unesco,  bahwa masyarakat Sulawesi dan Kalimantan mempunyai tingkat kecepatan membaca 45-75 kata per menit. Ditambahkannya, dari 1.000 orang di Indonesia, hanya 1 orang yang serius membaca buku. Dan orang Indonesia rata-rata hanya mampu membaca 1 buku setiap tahun. Ini tentu sangat memprihatinkan jika dibandingkan dengan masyarakat Amerika yang mampu menyelesaikan 20-30 buku pertahun. 

Komunitas lain yang sekaligus menutup pegelaran pada malam ketiga ini adalah Sanggar Layonga binaan Sahabuddin Mahaganna. Tinggal satu malam lagi, arena panggung laut akan berlalu, yang tersisa hanyalah tulisan dan hasil jepretan yang diabadikan oleh para penonton di media sosial. (Muhammad Munir)