Oleh: Muhammad Munir - Tinambung
Kehadiran
Cak Nun ditengah-tengah masyarakat Mandar tidak sebatas kata. Kepada Cak Nun,
Masyarakat Mandar selalu berupaya mappasippappas
loa anna liq-a (sesuai antara ucapan dan langkah-nya). Bukan hanya Cak Nun
yang mengaku sebagai orang Mandar, namun sebaliknya orang Mandar memberi
penghargaan kepada Cak Nun sebabagi warga Mandar Kehormatan. Melalui
kesepakatan tokoh-tokoh Mandar antara lain, Husni Djamaluddin (penyair),
Baharuddin Lopa (Dirjen LP & Sekjen Komnas HAM era Orde Baru), Andi
Mappatunru Sompawali (tokoh Adat, Mantan Anggota DPR), S. Mengga (Mantan Bupati
Polewali Mamasa), dan sejumlah tokoh lainnya melalui acara halal bihalal
Yayasan Sipamandar Cak Nun disemati peniti emas. Peristiwa itu terjadi pada
tahun 1999. Tentu saja penyematan peniti emas itu tidaklah seharga dengan apa
yang Cak Nun lakukan demi Mandar.
Sejak tahun
1987, Cak Nun kerap datang ke Mandar dengan membawa serta teman-teman seniman,
penulis, aktor, aktris semisal WS. Rendra, Eko Tunas, Cicic Paramida, Haddad
Alwi, Imam Budi Santoso, dll untuk membina dan mengembangkan kretifitas Pemuda
Mandar yang tergabung dalam Jamaah Maiyah Papperandang Ate. Dalam
tulisan-tulisan Cak Nun juga banyak memperkenalkan Mandar dipentas Nasional,
binaan-binaannya di Flamboyant kerap diboyong ke Jogyakarta, Jakarta, Surabaya
dll untuk sekedar ditampilkan dan diperkenalkan. Mak Cammana menjadi Maestro
Parrawana Towaine juga tidak lepas dari peran Cak Nun. Dalam proses apapun,
orang Mandar selalu menjadikan Cak Nun sebagai sosok yang pantas dan layak dimintai
pertolongan. Termasuk dalam hal perjuangan pemebentuka Sulawesi Barat,
keberadaan Cak Nun tak bisa dinafikan. Singkat kata, Cak Nun tak mengenal kata
tidak demi Mandar-nya.
Totalitas
seorang Cak Nun membuat Mandar sebagai kebanggaan itulah, tak heran kemudian
jika Cak Nun diposisikan sebagai sosok yang patut untuk dipatuhi dalam segala
hal. Kepedulian dan pengorbanan Cak Nun di Mandar memang sangatlah patut
diacungi jempol. Ditengah keras dan ektrimnya rezim Soeharto mengawasi dan
mencekal Cak Nun untuk tampil berbicara didaerah manapun di Indonesia, ia tak
pernah mengenal kata tidak. Termasuk peristiwa tahun 1997 ketika Teater
Flamboyant menghelat seminar bertajuk
“Kebebasan Berekspresi, Dalam Pengembangan Sumber Daya Manusia” yang
menyandingkan Cak Nun dengan Baharuddin Lopa. Cak Nun tahu resiko yang akan ia
hadapi ketika tampil dalam seminar itu. Flamboyant sebagai penyelenggara juga
sudah siap dengan resiko apapun yang menimpanya, tapi demi cintanya pada Cak
Nun maka semuanya terasa indah.
Pada saat acara digelar, aparat kepolisian
dipimpin Wakapolres Polewali Mamasa (sekarang Polewali Mandar) bersikeras tidak
memperkenankan Emha Ainun Nadjib berbicara. Tentu, panitia panik, termasuk
Barlop, pak Husni Djamaluddin dan Andi Mappatunru. Bahkan Hamzah Ismail sebagai
ketua Flamboyant saat itu menjadi tumbal bagi sosok Cak Nun. Tumbal dalam
artian, jika Cak Nun berbicara pada seminar itu, maka penjara adalah tempatnya
menginap. Menyerahkah panitia Flamboyant dan tokoh-tokoh Mandar saat itu ? Ternyata
tidak. Orang Mandar Tinambung tidak kehabisan akal. Dalam kondisi daruratpun,
selalu ada uapaya kreatif untuk mengelabui aparat keamanan. Acara Seminar tetap
berjalan. Barlop bicara sepatah kata, Cak Nun hanya hadir dan tidak berbicara
di tempat acara.
Seminar
langsung ditutup karena aparat kepolisian tetap berjaga. Setelah ditutup
peserta seminar langsung diarahkan ke rumah Andi Mappatunru, sesepuh masyarakat
Mandar. Disanalah Cak Nun berbicara pada peserta seminar. Petugas tak bisa
berbuat apa-apa, sebab secara hukum ia hanya punya hak untuk mencekal di tempat
acara seminar, tapi didalam rumah tadak ada aturan yang mengatkan mereka
mencekal Cak Nun untuk berbicara.Inilah siasat perlawanan Mandar pada rezim
Soeharto yang tak lain merupakan siasat Baharuddin Lopa, Husni Djamaluddin,
Zubair Rukkawali, Alisjahbana, bersama puluhan anak muda Tinambung. Dengan
demikian Hamzah Ismail bisa bernafas lega, sebab bayang-bayang penjara terlepas
dari hidupnya.
Jejak Cak
Nun di Mandar akan terus terlukiskan dan terpateri dihati. Jamaah Maiyah
Papperandang Ate dan Mak Cammana adalah keabadian Cak Nun, Cammana adalah
kekasih sekaligus ibundanya di Mandar. Sosok Cammana adalah wanita yang luar
biasa bagi Cak Nun. Wanita yang piawai memainkan rebana sambil melantunkan lagu
dengan nada yang tinggi. Dan bagi Cammana, nada tinggi tak membuat mimiknya
berubah. Ia tetap santai melangitkan untaian kalindaqdaq sebagai shalwat kepada
kekasihnya Rasulullah. Cinta Rasul telah mentautkan jiwa Cak Nun dan Cammana
menikmati wajah Tuhan yang Maha rahman dan rahim. Cinta keduanya bertemu
memesrai Mandar dan Tuhannya.
Akhirnya,
penulis menyampaikan ribuan rasa, jutaan asa pada sosok Cak Nun, pada
Flamboyant, pada Cammana dan pada semua generasi Mandar. Semoga rasa, asa itu
mengantar kita pada masa dimana kita mampu menemukan jati diri untuk membangun
cusuar mimpi untuk tak lagi sanksi pada eksistensi cinta. Mandar adalah
refleksi kemanusiaan kita untuk menuju kepada terminal akhir perjalanan usia
kita. Jangan lagi kita menghujat setiap hajatan yang melibatkan insan untuk
bercinta dengan Rasul dan Tuhannya, sebab Cak Nun tak pernah mengajarkan
kebencian pada sosok manapun, melainkan menjadi insan yang bermanfaat pada
sesama dan mati menyejarah. Terima kasih Cak Nun, semoga pertemuan kita kali
ini bukanlah yang terakhir, tapi menjadi awal pertemuan kita selanjutnya.
(Selesai)