Selasa, 10 Mei 2016

SIMPUL SEJARAH FLAMBOYANT, CAK NUN DAN MANDAR (Bagian 6) “ Jejak Maiyah Mandar, Cak Nun dan Cammana "



Oleh: Muhammad Munir - Tinambung

Kehadiran Cak Nun ditengah-tengah masyarakat Mandar tidak sebatas kata. Kepada Cak Nun, Masyarakat Mandar selalu berupaya mappasippappas loa anna liq-a (sesuai antara ucapan dan langkah-nya). Bukan hanya Cak Nun yang mengaku sebagai orang Mandar, namun sebaliknya orang Mandar memberi penghargaan kepada Cak Nun sebabagi warga Mandar Kehormatan. Melalui kesepakatan tokoh-tokoh Mandar antara lain, Husni Djamaluddin (penyair), Baharuddin Lopa (Dirjen LP & Sekjen Komnas HAM era Orde Baru), Andi Mappatunru Sompawali (tokoh Adat, Mantan Anggota DPR), S. Mengga (Mantan Bupati Polewali Mamasa), dan sejumlah tokoh lainnya melalui acara halal bihalal Yayasan Sipamandar Cak Nun disemati peniti emas. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1999. Tentu saja penyematan peniti emas itu tidaklah seharga dengan apa yang Cak Nun lakukan demi Mandar.
Sejak tahun 1987, Cak Nun kerap datang ke Mandar dengan membawa serta teman-teman seniman, penulis, aktor, aktris semisal WS. Rendra, Eko Tunas, Cicic Paramida, Haddad Alwi, Imam Budi Santoso, dll untuk membina dan mengembangkan kretifitas Pemuda Mandar yang tergabung dalam Jamaah Maiyah Papperandang Ate. Dalam tulisan-tulisan Cak Nun juga banyak memperkenalkan Mandar dipentas Nasional, binaan-binaannya di Flamboyant kerap diboyong ke Jogyakarta, Jakarta, Surabaya dll untuk sekedar ditampilkan dan diperkenalkan. Mak Cammana menjadi Maestro Parrawana Towaine juga tidak lepas dari peran Cak Nun. Dalam proses apapun, orang Mandar selalu menjadikan Cak Nun sebagai sosok yang pantas dan layak dimintai pertolongan. Termasuk dalam hal perjuangan pemebentuka Sulawesi Barat, keberadaan Cak Nun tak bisa dinafikan. Singkat kata, Cak Nun tak mengenal kata tidak demi Mandar-nya.
Totalitas seorang Cak Nun membuat Mandar sebagai kebanggaan itulah, tak heran kemudian jika Cak Nun diposisikan sebagai sosok yang patut untuk dipatuhi dalam segala hal. Kepedulian dan pengorbanan Cak Nun di Mandar memang sangatlah patut diacungi jempol. Ditengah keras dan ektrimnya rezim Soeharto mengawasi dan mencekal Cak Nun untuk tampil berbicara didaerah manapun di Indonesia, ia tak pernah mengenal kata tidak. Termasuk peristiwa tahun 1997 ketika Teater Flamboyant menghelat seminar  bertajuk “Kebebasan Berekspresi, Dalam Pengembangan Sumber Daya Manusia” yang menyandingkan Cak Nun dengan Baharuddin Lopa. Cak Nun tahu resiko yang akan ia hadapi ketika tampil dalam seminar itu. Flamboyant sebagai penyelenggara juga sudah siap dengan resiko apapun yang menimpanya, tapi demi cintanya pada Cak Nun maka semuanya terasa indah.
 Pada saat acara digelar, aparat kepolisian dipimpin Wakapolres Polewali Mamasa (sekarang Polewali Mandar) bersikeras tidak memperkenankan Emha Ainun Nadjib berbicara. Tentu, panitia panik, termasuk Barlop, pak Husni Djamaluddin dan Andi Mappatunru. Bahkan Hamzah Ismail sebagai ketua Flamboyant saat itu menjadi tumbal bagi sosok Cak Nun. Tumbal dalam artian, jika Cak Nun berbicara pada seminar itu, maka penjara adalah tempatnya menginap. Menyerahkah panitia Flamboyant dan tokoh-tokoh Mandar saat itu ? Ternyata tidak. Orang Mandar Tinambung tidak kehabisan akal. Dalam kondisi daruratpun, selalu ada uapaya kreatif untuk mengelabui aparat keamanan. Acara Seminar tetap berjalan. Barlop bicara sepatah kata, Cak Nun hanya hadir dan tidak berbicara di tempat acara.
Seminar langsung ditutup karena aparat kepolisian tetap berjaga. Setelah ditutup peserta seminar langsung diarahkan ke rumah Andi Mappatunru, sesepuh masyarakat Mandar. Disanalah Cak Nun berbicara pada peserta seminar. Petugas tak bisa berbuat apa-apa, sebab secara hukum ia hanya punya hak untuk mencekal di tempat acara seminar, tapi didalam rumah tadak ada aturan yang mengatkan mereka mencekal Cak Nun untuk berbicara.Inilah siasat perlawanan Mandar pada rezim Soeharto yang tak lain merupakan siasat Baharuddin Lopa, Husni Djamaluddin, Zubair Rukkawali, Alisjahbana, bersama puluhan anak muda Tinambung. Dengan demikian Hamzah Ismail bisa bernafas lega, sebab bayang-bayang penjara terlepas dari hidupnya.
Jejak Cak Nun di Mandar akan terus terlukiskan dan terpateri dihati. Jamaah Maiyah Papperandang Ate dan Mak Cammana adalah keabadian Cak Nun, Cammana adalah kekasih sekaligus ibundanya di Mandar. Sosok Cammana adalah wanita yang luar biasa bagi Cak Nun. Wanita yang piawai memainkan rebana sambil melantunkan lagu dengan nada yang tinggi. Dan bagi Cammana, nada tinggi tak membuat mimiknya berubah. Ia tetap santai melangitkan untaian kalindaqdaq sebagai shalwat kepada kekasihnya Rasulullah. Cinta Rasul telah mentautkan jiwa Cak Nun dan Cammana menikmati wajah Tuhan yang Maha rahman dan rahim. Cinta keduanya bertemu memesrai Mandar dan Tuhannya.

Akhirnya, penulis menyampaikan ribuan rasa, jutaan asa pada sosok Cak Nun, pada Flamboyant, pada Cammana dan pada semua generasi Mandar. Semoga rasa, asa itu mengantar kita pada masa dimana kita mampu menemukan jati diri untuk membangun cusuar mimpi untuk tak lagi sanksi pada eksistensi cinta. Mandar adalah refleksi kemanusiaan kita untuk menuju kepada terminal akhir perjalanan usia kita. Jangan lagi kita menghujat setiap hajatan yang melibatkan insan untuk bercinta dengan Rasul dan Tuhannya, sebab Cak Nun tak pernah mengajarkan kebencian pada sosok manapun, melainkan menjadi insan yang bermanfaat pada sesama dan mati menyejarah. Terima kasih Cak Nun, semoga pertemuan kita kali ini bukanlah yang terakhir, tapi menjadi awal pertemuan kita selanjutnya. (Selesai)