Oleh:
Muhammad Munir - Tinambung
Sabtu, 30 April 2016 pukul 14.00 siang menjadi jawaban
dari semua do’a-do’a dan keinginan penulis untuk bertatap muka dan berdiskusi
dengan Cak Nun. Cak Nun adalah sosok yang seandainya periode kenabian masih
ada, maka bagi orang Flamboyant dan jamaah maiyah Mandar, Cak Nun adalah Nabi.
Betapa tidak, setahun penulis berdomisili di Tinambung, tak pernah sekalipun
dan tak satupun orang yang pernah bercerita miring tentang Cak Nun. Cak Nun
lebih diposisikan sebagai sosok panrita, annagguru yang malaqbiq-nya setingkat
tosalama, ia dirindukan, ditiru, dicinta dan menjadi sosok yang senantiasa
dinanti kehadirannya. Dan Villa Bogor Majene menjadi awal bagi penulis untuk
bersentuhan langsung dengan Cak Nun. Dan dari pertemuan itu, penulis menemukan
jawaban mengapa suami Novia Kolopaking ini begitu dirindukan oleh orang Mandar,
khususnya Jamaah Maiyah Mandar.
Bagi penulis, ia memang sosok yang komunikasinya dengan
Allah SWT. Hal itu jelas terlukis dari wajahnya yang bercahaya, mendengar
suaranya yang teduh dan merdu menjadi penannda betapa dalam jiwa itu tersimpan
niat yang begitu tulus dan ikhlash membangun kepribadian bangsai ini menjadi
lebih baik, tidak saja sebagai manusia, juga memanusiakan manusia. Cak nun
tidak saja mampu membaca Al-Qur’an dengan fasih tapi juga memahami
simpul-simpul Al-Qur’an yang membuatnya dahsyat. Dengan ditemani Khalid Rasyid,
Firman Syahrial dan Ilham Chaidir Jalil, penulis menemukan sesuatu yang
tersirat dari sosok yang wajahnya tak termakan usia dan tak pernah sakit itu.
Bagi penulis ini adalah salah satu rahmat yang juga banyak dimiliki para
Tosalama di Mandar. Cak Nun memang sejak tahun 1987 telah sampai pada pembacaan
Mandar-nya secara kualitas, kuantitas maupun nilai. Hal itulah yang kemudian
membuatnya mendeklarasikan dirinya sebagai orang Mandar yang lahir di Jombang.
Mandar dalam pandangan Cak Nun bahkan menolak ketika
Khalid Rasyid menyebut pesan-pesan luhur Mandar itu dengan sebuatan kearifan
lokal (local wisdom), ia membantah dan menegaskan bahwa Mandar bukan saja
kearifan lokal, tapi Mandar adalah ajaran yang universal bahkan sebelum
Nusantara berwujud Indonesia, di Mandar telah lahir Indonesia lebih dahulu.
Sebelum agama Islam masuk, di Mandar telah memfaktualkan substansi dari
ajaran-ajaran kenabian sepanjang zaman. Mandar dari dulu telah mempunyai ajaran
kebenaran dan konsep kenegaraan yang hari ini tidak dimilki oleh Indonesia.
Indonesia dalam pandangan Cak Nun ini adalah negara yang salah asuh, lebih
diperparah lagi setelah era reformasi bergulir. Demikian sekelumit cerita yang
penulis gambarkan dari bersentuhan langsung denga Cak Nun.
Untuk
kesekian kalinya, Cak Nun kembali ke negerinya yang pada tahun 1987 mulai ia
temu kenali. Ada banyak cerita tentang Cak Nun yang penulis dengar dari Nurdin
Hamma, Hamzah Ismail, Abdul Rahmana Karim, M.Sukhri Dahlan, Haidir Jamal dan
senior-senior Flamboyant entah di Rumpita, Uwake, Bantaran Sungai dan di
Barung-Barung tentang bagiman Cak Nun pertama kali menginjakkan kakinya ke
Mandar. Nurdin Hamma, salah satu budayawan dan tokoh sejarah di Tinambung
pernah bercerita khusus tentang bagaiman Cak Nun pertama kali datang ke Mandar.
Menurut Nurdin Hamma, ongkos mendatangkan Cak Nun dari Jogya ke Mandar saat itu
senilai Rp.300.000,-. Untuk menyediakan dana sejumlah itu, harus kerja urunan.
Menurut Hamzah Ismail dalam tulisannya," Jejak Ratu Sepuh Nusantara Di Bhumi Mandar”
dengan gamblang menjelaskan bahwa hasil kerja urunan itu akhirnya terkumpul dana yang cukup
untuk menerbangkan Cak Nun dari tanah Jawa ke Mandar.
Dengan dana itu, maka
Alisjahbana
menyampaikan ke Emha (atau Cak Nun). Emha menyetujui untuk datang ke Mandar.
Teater Flamboyantpun memebentuk panitia kecil untuk mengurusi kedatangannya, sebahagian yang lain mulai aktif latihan
musik, yang akan dipertunjukkan ke khalayak bersama Emha Ainun Nadjib. Tiba pada waktu
yang ditentukan, Emha bergerak dari Jawa ke Mandar melalui Makassar. Dari Makassar Emha mengendarai bus
menuju Mandar. Saat tiba di depan rumah yang dijadikan sebagai sekretariat
panitia sekaligus menjadi tempat hunian Emha saat berada di Mandar, ia disambut
dengan penuh kegembiraan. “Emha datang!”, beberapa dari anak-anak Muda
Flamboyant berteriak-teriak.
Mereka berdiri di sepanjang jalan dalam
jejeran panjang. Bagai prajurit yang menantikan datangnya panglima yang
dihormatinya. Setelah turun dari bus yang ditumpanginya, berdesak-desakkan
orang-orang mendatanginya, memeluknya dan menciumi tangannya. Lucunya, beberapa
orang yang tidak mengenali sebelumnya, menganggap bahwa sosok Emha Ainun
Nadjib, adalah sosok kiyai, seorang tua yang mengenakan gamis dan surban. Tapi
saat turun dari bus, ia mengenakan jaket kulit dan berambut gondrong serta
melangkah dengan gagah, pupuslah bayangan awal itu. Ternyata Emha seorang muda,
jauh dari sosok seorang kiyai.
Selama di Mandar, Emha Ainun Nadjib melakukan
aktifitas. Memimpin langsung workshop, memandu anak-anak muda dalam diskusi
dengan aneka topik, mandi ke sungai Mandar, sambil menantang anak-anak Mandar
berlomba menyelam. Disamping itu Emha Ainun Nadjib harus rela menerima daulat
masyarakat Mandar, khususnya kaum ibu, yang beramai-ramai dating membawa
sebotol dua botol air mineral, meminta keberkatan dari doa-doanya. Ada beragam
topik masalah yang diajukan mereka ke Cak Nun; penyembuhan, pengasihan, dan
soal rejeki. Demikian sekelumit
jejak-jejak Cak Nun di Mandar. Kedatangan Cak Nun ternyata menjadi berkah,
sebab bukan hanya Cak Nun yang datang tapi juga beberapa aktor seni, aktris dan
penulis yang hari ini telah menjadi tokoh nasional. (Bersambung)