Sabtu, 07 Mei 2016

YANG CREATIF DARI RUMPITA, JURAGAN PASAR DAN APPEQ JANNANGANG


RUMPITA atau RUMAH KOPI DAN PERPUSTAKAAN adalah wadah para penggiat literasi di Mandar yang lahirdengan konep Rumah Buku dan Cafe Baca. Cafe Baca didesain dengan menyediakan fasilitas buku bacaan, jaringan internet dan ruang diskusi budaya, politik, sejarah, seni, bimbingan belajar baca lontaraq dan desain blog versi web dan android. Dalam kegiatan literasinya, RUMPITA tidak menggunakan APBD dari instnsi manapun. Untuk menunjang operasional kegiatan literasi maka cafe atau RUMAH KOPI menyediakan berbagai menu minuman dan makanan khas antara lain, kopi doang, kopi susu, teh susu, sara’ba, ubi, bakwan, binte’, mie rebus, mie goreng an pisang goreng nugget dan macam-macam cemilan. Semua menu tersebut dapat dinikmati oleh pengunjung dengan harga yang terjangkau. RUMAH KOPI DAN PERPUSTAKAAN ini beralamat di Jalan Trans Sulawesi Depan Masjid Nurul Amin Kandemeng Desa Batulaya Kec. Tinambung Kab. Polewali Mandar.

RUMPITA adalah gagasan yang memadukan budaya literasi dengan entrepreneur yang mencari keuntungan dengan cara bermartabat, mencerdaskan. Bendera JURAGAN PASAR Abdul Rasyid Ruslan adalah konsultan dan sponsor tunggal dalam pematangan strategi konsep dan gerakan. Kedepan, RUMPITA mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk mencetak generasi cerdas, mandiri dan visioner.

Berberapa program utama RUMPITA adalah sebagai berikut;
1.       GELAR BUKU atau Gerakan Literasi dengan membaca buku. Kegiatan ini dilaksanakan dibeberapa tempat yang berbeda. Sasaran utamanya adalah wilayah-wilayah pelosok dan terpencil serta mengunjungi sekolah-sekolah tingkat SD,SMP dan SMA serta UNIVERITAS.
2.      BILIK BACA RUMPITA atau PERPUSTAKAAN MINI yang dibentuk oleh relawan Rumpita. Relawan RUMPITA ini menyediakan tempat atau ruang baca dan rak buku serta pengelola perpustakaan. Buku disediakan oleh Pihak Manajemen RUMPITA.
3.       PENULISAN BUKU. Program ini merupakan program khusus yang diperuntukkan bagi para penulis yang berkeinginan menerbitkan buku. Desain Sampul, tata letak, lay out sampai percetakan dikelola oleh RUMPITA.
4.       BIMBINGAN BELAJAR meliputi kegiatan belajar membaca aksara lontaraq, desain blog versi web dan android. Kegiatan ini dipandu langsung oleh instruktur berpengalaman, ZULFIHADI atau ZUL ELANG BIRU. Bimbingan MENULIS juga tersedia dan dipandu langsung oleh Drs. DARMANSYAH, MUHAMMAD MUNIR, HENDRA DJAFAR, RUSNAIM SUNUSI, SYUMAN SAEHA dll.

5.       LOMBA MENULIS adalah program tahunan yang digagas untuk meningkatkan minat menulis generasi muda agar beranjak dari budaya tutur lisan menjadi tulisan. Lomba menulis hanya dibuka untuk usia SMP, SMA dan MAHASISWA.  

SIMPUL SEJARAH FLAMBOYANT, CAK NUN DAN MANDAR (Bagian 5) “ Jejak-jejak Cak Nun di Mandar ”


 
Oleh: Muhammad Munir - Tinambung
Sabtu, 30 April 2016 pukul 14.00 siang menjadi jawaban dari semua do’a-do’a dan keinginan penulis untuk bertatap muka dan berdiskusi dengan Cak Nun. Cak Nun adalah sosok yang seandainya periode kenabian masih ada, maka bagi orang Flamboyant dan jamaah maiyah Mandar, Cak Nun adalah Nabi. Betapa tidak, setahun penulis berdomisili di Tinambung, tak pernah sekalipun dan tak satupun orang yang pernah bercerita miring tentang Cak Nun. Cak Nun lebih diposisikan sebagai sosok panrita, annagguru yang malaqbiq-nya setingkat tosalama, ia dirindukan, ditiru, dicinta dan menjadi sosok yang senantiasa dinanti kehadirannya. Dan Villa Bogor Majene menjadi awal bagi penulis untuk bersentuhan langsung dengan Cak Nun. Dan dari pertemuan itu, penulis menemukan jawaban mengapa suami Novia Kolopaking ini begitu dirindukan oleh orang Mandar, khususnya Jamaah Maiyah Mandar.

Bagi penulis, ia memang sosok yang komunikasinya dengan Allah SWT. Hal itu jelas terlukis dari wajahnya yang bercahaya, mendengar suaranya yang teduh dan merdu menjadi penannda betapa dalam jiwa itu tersimpan niat yang begitu tulus dan ikhlash membangun kepribadian bangsai ini menjadi lebih baik, tidak saja sebagai manusia, juga memanusiakan manusia. Cak nun tidak saja mampu membaca Al-Qur’an dengan fasih tapi juga memahami simpul-simpul Al-Qur’an yang membuatnya dahsyat. Dengan ditemani Khalid Rasyid, Firman Syahrial dan Ilham Chaidir Jalil, penulis menemukan sesuatu yang tersirat dari sosok yang wajahnya tak termakan usia dan tak pernah sakit itu. Bagi penulis ini adalah salah satu rahmat yang juga banyak dimiliki para Tosalama di Mandar. Cak Nun memang sejak tahun 1987 telah sampai pada pembacaan Mandar-nya secara kualitas, kuantitas maupun nilai. Hal itulah yang kemudian membuatnya mendeklarasikan dirinya sebagai orang Mandar yang lahir di Jombang.

Mandar dalam pandangan Cak Nun bahkan menolak ketika Khalid Rasyid menyebut pesan-pesan luhur Mandar itu dengan sebuatan kearifan lokal (local wisdom), ia membantah dan menegaskan bahwa Mandar bukan saja kearifan lokal, tapi Mandar adalah ajaran yang universal bahkan sebelum Nusantara berwujud Indonesia, di Mandar telah lahir Indonesia lebih dahulu. Sebelum agama Islam masuk, di Mandar telah memfaktualkan substansi dari ajaran-ajaran kenabian sepanjang zaman. Mandar dari dulu telah mempunyai ajaran kebenaran dan konsep kenegaraan yang hari ini tidak dimilki oleh Indonesia. Indonesia dalam pandangan Cak Nun ini adalah negara yang salah asuh, lebih diperparah lagi setelah era reformasi bergulir. Demikian sekelumit cerita yang penulis gambarkan dari bersentuhan langsung denga Cak Nun.    
Untuk kesekian kalinya, Cak Nun kembali ke negerinya yang pada tahun 1987 mulai ia temu kenali. Ada banyak cerita tentang Cak Nun yang penulis dengar dari Nurdin Hamma, Hamzah Ismail, Abdul Rahmana Karim, M.Sukhri Dahlan, Haidir Jamal dan senior-senior Flamboyant entah di Rumpita, Uwake, Bantaran Sungai dan di Barung-Barung tentang bagiman Cak Nun pertama kali menginjakkan kakinya ke Mandar. Nurdin Hamma, salah satu budayawan dan tokoh sejarah di Tinambung pernah bercerita khusus tentang bagaiman Cak Nun pertama kali datang ke Mandar. Menurut Nurdin Hamma, ongkos mendatangkan Cak Nun dari Jogya ke Mandar saat itu senilai Rp.300.000,-. Untuk menyediakan dana sejumlah itu, harus kerja urunan. Menurut Hamzah Ismail dalam tulisannya," Jejak Ratu Sepuh Nusantara Di Bhumi Mandar” dengan gamblang menjelaskan bahwa hasil kerja urunan itu akhirnya terkumpul dana yang cukup untuk menerbangkan Cak Nun dari tanah Jawa ke Mandar.
Dengan dana itu, maka Alisjahbana menyampaikan ke Emha (atau Cak Nun). Emha menyetujui untuk datang ke Mandar. Teater Flamboyantpun memebentuk panitia kecil untuk mengurusi kedatangannya, sebahagian yang lain mulai aktif latihan musik, yang akan dipertunjukkan ke khalayak bersama Emha Ainun Nadjib. Tiba pada waktu yang ditentukan, Emha bergerak dari Jawa ke Mandar melalui Makassar. Dari Makassar Emha mengendarai bus menuju Mandar. Saat tiba di depan rumah yang dijadikan sebagai sekretariat panitia sekaligus menjadi tempat hunian Emha saat berada di Mandar, ia disambut dengan penuh kegembiraan. “Emha datang!”, beberapa dari anak-anak Muda Flamboyant berteriak-teriak.
Mereka berdiri di sepanjang jalan dalam jejeran panjang. Bagai prajurit yang menantikan datangnya panglima yang dihormatinya. Setelah turun dari bus yang ditumpanginya, berdesak-desakkan orang-orang mendatanginya, memeluknya dan menciumi tangannya. Lucunya, beberapa orang yang tidak mengenali sebelumnya, menganggap bahwa sosok Emha Ainun Nadjib, adalah sosok kiyai, seorang tua yang mengenakan gamis dan surban. Tapi saat turun dari bus, ia mengenakan jaket kulit dan berambut gondrong serta melangkah dengan gagah, pupuslah bayangan awal itu. Ternyata Emha seorang muda, jauh dari sosok seorang kiyai.
Selama di Mandar, Emha Ainun Nadjib melakukan aktifitas. Memimpin langsung workshop, memandu anak-anak muda dalam diskusi dengan aneka topik, mandi ke sungai Mandar, sambil menantang anak-anak Mandar berlomba menyelam. Disamping itu Emha Ainun Nadjib harus rela menerima daulat masyarakat Mandar, khususnya kaum ibu, yang beramai-ramai dating membawa sebotol dua botol air mineral, meminta keberkatan dari doa-doanya. Ada beragam topik masalah yang diajukan mereka ke Cak Nun; penyembuhan, pengasihan, dan soal rejeki. Demikian sekelumit jejak-jejak Cak Nun di Mandar. Kedatangan Cak Nun ternyata menjadi berkah, sebab bukan hanya Cak Nun yang datang tapi juga beberapa aktor seni, aktris dan penulis yang hari ini telah menjadi tokoh nasional. (Bersambung)