Oleh: Muhammad Munir-Tinambung
Emha Ainun Nadjib
dan Alisjahbana
berhasil melakonkan kesejatiannya mementaskan Mandar tidak saja lewat gumamnya,
tapi sekaligus diteriakkan di rimba belantara kota Jakarta. Tahun 2001 Muhammad
Syariat Tajuddin memegang kendali kepengurusan di generasi keempat. TF terus
mengepakkan sayap dengan membangun jejaring diberbagai penjuru nusantara,
seperti: Bantaya Palu, Yayasan Kelola Solo, Komunitas Musik Puisi Se-Nusantara
via FMPI 2003 dan Artis Network Asia (ANA) yang berkantor di Singapura, juga
tercatat dalam direktori TIM Jakarta sebagai salah satu teater rakyat di
Indonesia. Sampai disini, TF berhasil memperkenalkan manajemen kerja kebudayaan
dan kesenian yang ilmiah dan modern, tanpa mentercerabutkan akar cultural dan
sejarahnya sebagai Terater Rakyat.
Dari Bung Ali,
Emha, Amru, Hamzah Ismail, Evo dan Syariat, TF berhasil melahirkan beragam arus
pemikiran, yang terkadang memilih menjadi oposan dan radikal humanis dalam
kacamata kebudayaan. Utamanya dengan persinggungannya dengan beragam kepentingan politik.
Untuk wilayah satu ini, TF sebagai teater rakyat, justru lebih memilih berdiri
pada garis tak berpijak alias netral (independen). TF lebih memilih hidup
inklusif ditengah-tengah perjumudan dengan masyarakatnya, seraya menggenggam
tekad perjuangan kebudayaan dan kemanusiaan. Dan tetap berupaya melakukan
penambalan-penambalan kegelisahan ditingkat pemula dengan menyulut proses
kerja-kerja kreatif dan metode arus lalu lintas pemikiran kebudayaan ditingkat
yang lebih dewasa (Muhammad Syariat Tajuddin).
Pendek kata, Teater
Flamboyant yang memiliki anggota terdaftar sekitar 50-an ini tetap lahir dan
berada dalam leburan masyarakatnya, bersama bergenggaman dalam membangun
kebudayaan yang lebih manusiawi dan memanusiakan. Kendati tanpa harus lepas dan
tersobek dari realitas kesejatian tradisi masa lalu. Hal ini mudah difahami,
sebab sebagian personilnya, adalah juga bekerja sebagai pedagang, pelajar,
mahasiswa, PNS (guru) bahkan ada juga yang pengangguran yang mentafsir denyut
kehidupan dibopong keatas panggung pementasan. Karena buat teater yang satu
ini, kesenian tidak lantas harus difahami seni untuk seni, tetapi kesenian
adalah upaya melembagakan manusia dalam tatanan estetika kemanusiaan yang
berbudaya dan memahami konteks dan konsep kebudayaannya yang lalu dapat
diejawantahkan dalam ruang kehidupan kehidupan kesenian masyarakatnya.
Sampai pada
generasi keempat ini, TF berhasil dan sukses memanusiakan manusia, terutama
penyelamatan generasi dalam pemahamannya atas kerja kreatif yang lebih santun.
Maka tidak heran, jika dalam beragam lontaran statemen dan kerja kreatifnya TF
selalu memilih untuk hadir sebagai komunitas yang lebih mengedepankan
kebersamaan dan konsep keilahiaan, kemanusiaan dan kebudayaan yang berbudaya. Capaian tersebut tentulah tidak diraih dengan
instant melainkan lahir dari sebuah proses panjang. Bung Alisjahbana adalah
sosok yang tak akan lapuk termakan rayap waktu dari setiap jengkal langkah TF
yang terlakonkan. Ia punya ide dan terobosan yang mungkin hari ini susah dicari
tandingannya tentang obsesinya membangun kepribadian masa depan kampung
kelahirannya. Ia tak pernah kehabisan cara untuk menjadikan Mandarnya dikenal
diluar Sulawesi.
Salah satu cara Alisjahbana membangun mimpi anak-anak asuhannya, sebagaimana
tulisan Hamzah Ismail (Majalah Sastra Sabana, Yogyakarta 2005) adalah dengan mengenalkan
beberapa orang pintarnya Indonesia ke meraka. Salah satunya adalah Emha Ainun
Nadjib. Setiap tulisan Emha Ainun Nadjib yang terbit di Majalah Panjimas dan
Tempo, difotokopi sebanyak mungkin kemudian dibagikan kepada anak-anaknya, lalu
malamnya tulisan itu didiskusikan sampai suntuk. Diam-diam tumbuh rasa cinta
anak-anak muda itu ke Emha Ainun Nadjib. Tidak satupun tulisannya yang
dilewatkan, yang ada di sejumlah media. Diam-diam pula ada desakan dari hati
setiap individu anak-anak muda itu hendak bertemu langsung dengan Emha Ainun
Nadjib, sosok yang mulai dirindukan dalam waktu relatif lama, sekira empat
tahun.
Disadari atau tidak, sosok Emha Ainun Nadjib dalam fikiran yang sangat berperan
mendinamisasi proses berpikir kirtis dan proses kreatif masyarakat Mandar. Cak
Nun jua yang begitu banyak mendatangkan perubahan demi perubahan dalam semua
aspek kehidupan, entah itu politik, ekonomi, sosial budaya dan tentunya dalam
hal agama dan keberagamaan. Bahkan dalam
proses perjuangan pembentukan Provinsi Sulawesi Barat-pun, peran seorang Cak
Nun tak bisa dinafikan. Jembatan yang terus dibangun, jalan-jalan yang makin
diperlebar, mobil ukuran raksasa yang melintas, mengantar pulaukan aneka produk
pertanian di Sulbar hari ini adalah fakta-fakta
sejarah yang pada tahun 1987 telah ia sampaikan dalam berbagai kesempatan
ketika berada di Mandar. (Bersambung).
|
Rabu, 04 Mei 2016
SIMPUL SEJARAH FLAMBOYANT, CAK NUN DAN MANDAR (Bagian 3) “ Alisjahbana dan Kesejatian Mandarnya ”
SIMPUL SEJARAH FLAMBOYANT, CAK NUN DAN MANDAR (Bagian 2) “ M. Takbir, Camping dan Lahirnya Flamboyant ”
Oleh Muhammad Munir-Tinambung
Pada menjelang
akhir era 70-an sampai 80-an juga terbentuk komunitas seni yang dibina oleh
Amru Sa'dong yang diberi nama "MEKAR". Komunitas Mekar besutan Amru
di Tinggas- Tinggas ini kurang melejit tapi mampu menjadi bagian penting yang
menanamkan bakat seni budaya ke personilnya. Hingga pada suatu ketika (1981)
alm. M.Takbir menemui M. Sukhri Dahlan dan menyampaikan keinginannya untuk
berkemah (Camping). Pada saat yang sama, Bung Ali Syahbana mudik berlibur di
Tinambung. Keinginan M. Takbir itu disampaikannya ke Bung Ali. Bung Ali
merespon baik rencana itu dan menetapkan lokasi campingnya yaitu di Salarri'
kampung leluhurnya.
M. Sukhri Dahlan
menyampaikan respon Bung Ali ke M. Takbir. Informasi itu kemudian ditindak lanjuti oleh M.
Takbir bersama Amru Sa'dong sehingga disepakatilah untuk pergi Camping dengan cara
patungan (masing-asing peserta harus bayar Rp.1000). Peserta Camping antara
lain Bung Ali Syahbana, M. Takbir, M. Sukhri Dahlan, Amru Sa’dong, Haidir, Abd. Manaf Baas, Abd. Rahman Karim atau
Epo', Bahmid, Mujahid, Amril, Firdaus, Badawi Nur, Pudding, Khaerul (Labaco)
dan lain-lain (peserta sekitar 18 orang). Banyak cerita dan kenangan yang terlukiskan dari lokasi Camping
tersebut. Ada semangat yang tiba-tiba melecut mereka untuk kerap bersama-sama
dalam situasi dan kondisi apapun. Semangat inilah yang kemudian membuat mereka
berfikir keras untuk menata diri. Satu-satunya yang bisa membuat mereka tetap
bercengkrama adalah dengan membentuk komunitas.
Pasca Camping
tersebut, pertemuan dan diskusi intensif dilakukan. Dari diskusi itulah lahir sebuah komitmen bersama untuk
medirikan sebuah komunitas. Untuk upaya itu, pertemuan demi pertemuan semakin gencar dilakukan.
Tempat pertemuan disepakati diadakan dikediaman M. Sukhri Dahlan, kadang juga di rumah Bu Kumala (saudara
Khairul atau Labaco).
Kesimpulannya adalah kesepakatan untuk mendirikan komunitas. Diskusi kecil dan
pertemuan itu rupanya membuat semakin banyaknya para
pemuda yang tertarik. Hal tersebut ditandai dengan bergabungnya Tappa, Hamzah Ismail, dan
lain-lainnya. Tindak lanjutnya adalah rapat
untuk menyapakati nama komunitas. Dalam rapat muncul beberapa usulan nama,
antara lain mawar, melati dan flamboyant. Forum kemudian sepakat memberi nama komunitasnya dengan nama
Teater Flamboyant - Mandar dan secara aklamasi menunjuk Amru Sa'dong sebagai Ketua dan M.
Sukhri Dahlan sebagai Sekretaris (belakangan sekretaris dijabat oleh Hamzah
Ismail).
Demikianlah
kronologis lahirnya sebuah komunitas besar yang digagas kurang lebih 1 tahun
itu. Perjalanan sejarah kemudian mencatat komunitas Teater Flamboyant Mandar (TF) ini didirikan
sebagai Lembaga pada tanggal 5 September 1983 dan diresmikan pada tanggal 15
September 1984. Dalam proses itulah Bung Ali Syahbana merasa bertanggung jawab
atas pengembangan Teater Flamboyant tersebut. Ali Syahbana
kemudian memboyong Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) ke Mandar. Cak Nun melecut
semangat berkesenian mereka. Berlatih dan merekrut pemuda-pemuda lain untuk
berkarya. Tak heran jika kemudian pada tahun-tahun selanjutnya TF sudah merambah dunia
jejaringnya dengan komunitas serupa diberbagai penjuru nusantara. Hal itu diawali dengan
keterlibatannya di beberapa kegiatan, antara lain: mengikuti Pentas Seni Musik
di Polmas 1984; Pentas Tradisional "Pencari Rezeki" di Polmas tahun
1985; Pentas Teater "Perahu Nuh" di Polmas tahun 1986; Pentas Drama
"Terjebak" dan Pentas Teater "Cahaya Maha Cahaya" di Polmas
pada tahun yang sama 1987.
Demikian juga tahun
1988, TF mulai merambah wilayah luar Polmas yaitu Pentas Teater Keliling
"Lautan Jilbab" di Sulsel Pada tahun 1990 kembali TF mengikuti
Pertunjukan Rakyat "Kerikil Tajam" di Makassar dan Pertunjukkan
Rakyat "Dibalik Batu" di Pinrang tahun 1992. Tahun 1993 kembali ikut
Pertunjukan Rakyat "Kaca Mata" di Polmas. Lalu pada tahun 1995, TF
kemudian tampil lagi di Pertunjukkan Rakyat "Kauseng" di Makassar.
Tahun 1997 menjadi penanda semakin eksistnya Flamboyant dengan ikutnya di
Pentas Teater yang mengangkat "Koa-Koayang" di IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta. Berikut mendapat kesempatan di Pentas Musik Puisi di Jombang dan
pada tahun 1999 Mementaskan lagi Teater "Koa-Koayang" di beberapa
tempat di Yogyakarta. Setelah dari Jawa, TF merambah ke Sulawesi Tengah pada
tahun 2001 di ajang Indonesia Dance Forum di Palu. Naskah "Kauseng"
ditampilkan dengan sutradara Amru Sa'dong.
Kisah sukses TF
tersebut diatas terlakonkan seiring pergantian demi pergantian kepengurusan
dari Amru Sa'dong ke Hamzah Ismail hingga ke Abdul Rahman Karim. Ketiga sosok
yang pernah menjadi Ketua TF ini merupakan sebuah proses yang luar biasa.
Betapa tidak, tiga generasi tersebut melintasi era Orde Baru pemerintahan
Soeharto ke Era Reformasi. Perjalanan sejarah itulah yang membuat TF semakin
memposisikan dirinya sebagai satu-satunya komunitas seni budaya yang tak pernah
lekang dan lapuk, baik secara kualitas maupun nilai. Bung Ali Syahbana dan Emha
Ainun Nadjib serta Nurdahlan Jirana berhasil meretas jalan generasi generasi
kreatif dan cemerlang dari Tinambung dan berkarya entah di Mandar maupun di
Luar Mandar, termasuk mampu mengambil bagian dari sebuah proses lahirnya
Provinsi Sulawesi Barat. (Bersambung)
| |||||||
M. Sukhri Dahlan: Bahasa Cinta pada Cak Nun, Masyarakat dan Pemerintah Sulawesi Barat !
Emha Ainun Nadjib biasa dipanggil Emha atau Cak Nun adalah “Idola” bagi masyarakat Mandar. Ia selalu ditunggu kedatangannya. Dan bila ia datang, maka masyarakat akan menyambutnya dengan luapan gembira yang tak bisa digambarkan. Cak Nun dan masyarakat Mandar seakan telah menyatu dalam sosok Cak Nun. Hal itu tergambar dari kedatangannya pada Minggu, 30 April di Lapangan Sepak Bola Desa Bala Kec. Balanipa. Manusia berbondong-bondong,menyemut memenuhi lapangan tersebut. Entah ia petani, nelayan, pelajar, mahasiswa, anak-anak, remaja sampai orang tua. Bahkan pejabat dan Wakil rakyat sekalipun tak mau ketinggalan momentun untuk menyaksikan penampilan Kyai Kanjeng dan siraman rohani dari Emha Ainun Nadjib.
Tak terasa, emapat tahun setelah kedatangannya di Mandar.
Tahun ini Cak Nun menyambangi Jamaah Maiyah Mandar dengan mengusung topik “RISALAH
CINTA DI JAZIRAH MANDAR”. Meski kedatangannya atas inisiatif dan prakarsa dari
Dinas Pemuda, Olahraga dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Barat melalui jasa
aspirasi Syamsul Samad, Anggota DPRD Provinsi, namun tak menyurutkan niat untuk
bahu-membahu menyambut dan menyaksikan sosok idaman yang kerap dirindukan itu.
Masyarakat dan Flamboyant ikut menjadi penyaksi atas kedatangan Maha Guru itu
di Mandar. Cak Nun dan Flamboyant adalah sebuah kesatuan yang utuh dan
integral. Tak bisa dipisahkan dan tak seorangpun mampu mengubah keutuhan cinta
tersebut.
Cak Nun tampil memukau dan menggugah lewat ceramah berisi guyonan
yang masuk akal. Sehingga guyonan tersebut tidak sekedar menjadi
banyolan-banyolan liar, namun sangat
inspiratif serta menjadi spirit yang menancap ke hati. Cak Nun dengan piawai
menguasai ribuan manusia tanpa sekat, menyatu dengan penonton tanpa jarak.
Sangat kontras ketika menyaksikan konser-konser artis papan atas. Siapa yang
tak kenal dengan sosok Cak Nun, siapa yang tak mengakui bahwa Cak Nun lebih
populer dibanding artis selebriti nasional?. Cak Nun adalah fenomena zaman yang
mungkin setelahnya tak akan lahir sosok yang multi talenta ini.
Atas nama penulis, saya ingin menghaturkan ribuan rasa
terima kasih kepada Cak Nun, kepada masyarakat, kepada pemerintah, wabilkhusus
kepada panitia dan Syamsul Samad atas segala bentuk upaya dan perhatian untuk
memenuhi keinginan kami bertemu dengan sosok yang kami cintai dan kami
rindukan. Kepada Cak Nun yang mendaulat Cammana sebagai kekasih Cammanallah,
menjadikan Flamboyant sebagai rumahnya di Mandar. Sebegitu dalam keinginan kami
menggambarkan kecintaan kami lewat narasi cinta, namun bahasa saja tak mampu
mewakili rasa itu, akhirnya kami mewakili segenap masyarakat Mandar, Sulawesi Barat
memohon maaf atas ketidak mampuan kami menarasikan cinta lewat kata. Namun yang
pasti, setelah Allah dan Rasul-Nya, maka engkaulah muara dari Cinta dan
kerinduan kami.
Wassalam bilmaaf dari Luluare Mandar-mu,
M. SUKHRI DAHLAN (Dewan Kehormatan Flamboyant Mandar)
Mengenang Prof. Dr. H. Baharuddin Lopa, SH (Dari Patung Hingga Gerbang)
·
(Pernah dimuat di Media Seputar Sulawesi Barat)
Berawal dari sebuah status yang saya posting di media sosial facebook, tentang keinginan membuat patung Baharuddin Lopa, I Maqga Daeng Riosoq dan I Calo Ammana Wewang yang terinspirasi dari Patung Sultan Hasanuddin yang berdiri megah di halaman depan Bandara Hasanuddin Makassar.
Dari postingan yang saya upload di group Appeq Jannangang itu, kemudian ditangagapi oleh sebagian member Appeq Jannangang yang intens membincang soal kerja-kerja budaya Mandar; Seni, kuliner, wisata, sejarah dan kearifan lokal. Dan diantara beberapa komentar yang masuk itu, Abdul Rasyid Ruslan (salah satu member Appeq Jannangang yang lagi berthalibul ilmi di Makassar), secara spontan memberi dukungan penuh dan siap membantu mewujudkan impian itu.
Sontak teman-teman mahasiswa di Makassar semua bersuara dan langsung membuat rencana kerja tindak lanjut dengan membentuk Tim Kreatif Appeq Jannangang reg Makassar dan meminta saya jadi punggawa dalam program pembangunan Patung Pahlawan dan Pejuang dari Mandar.
Setelah terbentuk personil melalui rapat online yang kemudian disepakati bahwa langkah pertama untuk program ini adalah Pembuatan Patung Baharuddin Lopa dengan menggunakan donasi. Maka dibuatlah selebaran/poster " Mandar Berbisik ! GERAKAN DONASI Rp.10.000, untuk pembuatan Patung Pahlawan dan Pejuang dari Tanah Mandar ". Desain posternya kemudian diposting keberbagai group di medsos. Dukungan mengalir dan mereka rata-rata siap berdonasi.
Melihat animo masyarakat Mandar diluar Sulbar yang begitu antusias itu, kami kemudian membuat Rapat Pelaksana Program di RM. Pondok Kelapa Campalagian (08/04) dengan mengundang langsung salah satu Putra almarhum Baharuddin Lopa, yaitu Iskandar Muda Barlop, anggota DPD RI untuk hadir bersama kami dengan Tim Kreatif Appeq Jannangang selaku inisiator dan Tim pelaksana kegiatan.
Dari pertemuan di Pondok Kelapa ini, setelah melalui diskusi panjang lebar tentang program ini, oleh pihak keluarga kurang respek jika almarhum dibuatkan patung sebab patung menurutnya kurang islami, sementara almarhum dikenal sebagai tokoh pendekar hukum yang sangat kental agamanya (islam). Dan dari diskusi ini kemudian lahir kesepakatan untuk membuat Gerbang Barlop yang disepakati di depan Ponpes Nuhiyah, Pambusuang.
Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan di Campalagian, saya kemudian menggelar rapat lagi di Ponpes Nuhiyah Pambusuang. Dari Rapat ini rencana awal gerbang akan di bangun di depan Ponpes Nuhiyah harus dibatalkan dan mufakat Gebang Barlop akan dibangun di Palippis dan di batas Desa Sabang-Subik dengan Desa Galung Tulu. Alasannya karna sebagian masyarakat Bala dan Sabang Subik komplain jika Gerbang di tempatkan di Pambusuang. Mereka mengklaim diri sebagai orang Pambusuang, tentu punya hak untuk masuk dalam kawasan ini. Mengantisipasi polemik di masyarakat itulah sehingga dibuat kesepakatan untuk membuat Gerbang didua titik tersebut.
Sampai disini, sebuah rencana telah mempunyai dasar pijiakan menjadi perencanaan untuk masuk dalam tahapan pelaksanaan. Dan dengan dasar itu pula, kemudian Gerakan Donasi di lauching pertama kali di Makassar.
SaliliMANDAR
Acara SaliliMANDAR (15/04) adalah acara Kopdar (kopi darat) yang diselenggarakan oleh Komunitas Appeq Jannangang reg. Makassar bekerjasama dengan KPM-PM Makassar. Yang disamping sebagai ajang silaturrahmi antar mahasiswa Mandar di Makassar, juga digelar untuk malam donasi Gerbang Barlop.
Cafe TOM-TOM di Jalan Emy Saelan Makassar ini menjadi saksi sejarah tak terlupakan bagi mahasiswa-mahasiwi Mandar di Makassar. Betapa tidak, malam itu, acara kopdar yang berdasarkan undangan hanya akan diikuti oleh sekira 30-50an orang, Tumpah ruah mejadi ratusan orang yang tentu saja harus berdiri karna tidak kebagian tempat duduk. Mereka berdatangan dari berbagai penjuru dibelantara gedung kota Makassar. Hujan malam itu ternyata hanya sekedar membasahi mereka tapi tidak sampai menghalangi untuk sampai di tempat acara malam itu.
Sekitar jam 20.00 malam itu mulai dengan penampilan musik akuistik Mandar, Passayang-Sayang, lagu Titi-Titing Balao memukau hadirin. Semua terhanyut dalam nuansa kerinduannya pada tanamandar. Sebuah kesadaran membuncah akan histori masa lampau Mandar yang betul-betul bernilai, tak lapuk dimakan rayap waktu. Segumpal gumam yang selama ini membuatnya hanya sugiging ditempat seketika menjadi teriakan ketika petikan kacaping Mandar dari Tajriani Talib yang sungguh diluar dugaan. Tajriani melagukan syair pujian khas kacaping yang diiringi tepuk tangan. Pada detik yang sama panitia menyiapkan Kappar (baki besar) dihadapan Tajriani Talib sebagai pertanda bahwa saatnya Paqmaccoq (saweran) dimulai. Saya dan panitia menjadi pappaqmaccoq pertama yang diikuti dengan hadirin yang hadir malam itu. Paqmaccoq itulah yang menjadi awal pertanda bahwa Gerakan Donasi Untuk Pembangunan Gerbang Barlop telah resmi dibuka.
Uang kertas nominal mulai 5 ribu-an sampai 50 ribu-an memadati kappar malam itu. Sebuah wujud kepedulian dan rasa cinta pada sosok Baharuddin Lopa, Pendekar Hukum dari Mandar. Sosok beliau tidak saja menjadi kebanggaan Mandar, tapi sekaligus satu-satunya manusia Indonesia yang concern dan fokus pada penegakan supremasi hukum di Indonesia. Beliau menjadi inspirasi bagi setiap generasi Mandar. Sosok beliau tidak saja dilisan tuliskan oleh orang Mandar, tapi Indonesia.
Acara SaliliMANDAR malam itu benar-benar menjadi bara dan membakar semangat sipamandar dan melecut jiwa untuk satu dalam ikatan buhul passemandaran. Hal itu terbaca dalam sesi acara beatle kalindaqdaq dan deklamasi puisi Mandar berjudul "Masih adakah Mandarku" Karya Nur Dahlan Jirana (almarhum adalah Penulis dan Sastrawan Mandar, Pendiri dan Pembina komunitas sastra Todilaling Campalagian).
GERAKAN DONASI
Setelah malam SaliliMANDAR di Makassar itu, gerakan donasi terus digalakkan oleh teman-teman mahasiswa di Makassar, ratusan bahkan jutaan telah berhasil kami kumpulkan dari program ini. Lokasi dan pelaksana kegiatan telah mantap, calon donastur masih sangat banyak untuk kami ajak menjadikan gerbang ini sebagai ladang amal, termasuk Darmansyah, Ketua DPRD Majene yang tidak saja berdonasi tapi sekaligus siap menjadi penanggung jawab penggalangan dana di lingkup Kabupaten Majene, karena menurut beliau, Pak Barlop adalah Tokoh nasional yang sekaligus menjadi Bupati pertama yang dicatat dalam sejarah Kabupaten Majene. Desain Gerbang juga sudah ada dan kami posting di media sosial. Tinggal pelaksanaannya saja yang mau ditentukan. Kepada para pembaca dapat menyampaikan informasi, saran dan kritiknya kepada kami. Begitu juga jika ingin berdonasi untuk Gerbang ini bisa langsung menghubungi kami via Facebook: Muhammad Munir ToMandar. PIN BB 2653FE37 atau
email: galerikopicoqboq@gmail.com Blog: galerikopicoqboq.blogspot.com.
(Penulis adalah Joaq Appeq Jannangang dan Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Provinsi Sulawesi Barat).
Gerbang Barlop di Palippis sangkah lagi akan terwujud !
Dalam Kelompok Diskusi terarah atau Focus Group Discussion (FGD) Disbudpar Polewali Mandar
di Ruang Pertemuan Café dan Resto Beruq-Beruq Polewali, 03 Mei 2016
yang mengangkat topik "Refresentasi Tokoh atau Simbol Pada Tugu Kota
Polewali" sempat terungkap adanya usulan untuk pembuatan patung Barlop
dan beberapa usulana naman pejuang yang sempat mengemuka.
Khusus Patung Barlop, saya yang kebetulan didaulat kedalam tim Perumus menyampaikan kepada Ka. Disbudpar Polewali Mandar bahwa keluarga Patung Barlop tidak akan pernah diizinkan oleh keluarga almarhum untuk dibuatkan patung. Pengakuan saya tersebut didasarkan pada apa yang disampaikan oleh Iskandar Muda Baharuddin Lopa dalam diskusi "Barlop dari Patung Hingga Gerbang" di RM. Pondok Kelapa Campalagian.
Khusus Patung Barlop, saya yang kebetulan didaulat kedalam tim Perumus menyampaikan kepada Ka. Disbudpar Polewali Mandar bahwa keluarga Patung Barlop tidak akan pernah diizinkan oleh keluarga almarhum untuk dibuatkan patung. Pengakuan saya tersebut didasarkan pada apa yang disampaikan oleh Iskandar Muda Baharuddin Lopa dalam diskusi "Barlop dari Patung Hingga Gerbang" di RM. Pondok Kelapa Campalagian.
Pada kesempatan yang sama saya mengutarakan rencana pembangunan Gerbang
Barlop di Palippis. Kepada Kadis Andi Nursami Masdar saya menyampaikan
kiranya Disbudpar Polewali Mandar
membantu urusan perizinan agar gerbang Barlop bisa dilaksanakan. Gayung
bersambut dan berkelindan dengan apa yang diharapkan sebab pihak Tarkim
yang kebetulan hadir juga menyampaikan langsung tehnis pengurusan izin
gerbang.
Pihak Disbudpar Polewali Mandar melalui Kadis dan pihak terkait berjanji akan mengawal dan membantu proses itu. Kepada Kadis dan peserta FGD saya sampaikan bahwa Donasi Gerbang Barlop sampai saat ini sudah berkisar 20-an juta.
Semoga keinginan pemerintah merefresentasi tokoh dan simbol kota Polewali ini semakin mempertegas bahwa Pemerintah kita saat ini, selangkah lebih maju dalam urusan identitas kita sebagai Mandar.
dengan demikian rencana untuk mewujudkan Gerbang Barlop akan sedikit meringankan beban kami dalam mewujudkan impian tersebut. Selamat Datang di Kampung Kelahiran Pendekar Hukum Baharuddin Lopa.
Pihak Disbudpar Polewali Mandar melalui Kadis dan pihak terkait berjanji akan mengawal dan membantu proses itu. Kepada Kadis dan peserta FGD saya sampaikan bahwa Donasi Gerbang Barlop sampai saat ini sudah berkisar 20-an juta.
Semoga keinginan pemerintah merefresentasi tokoh dan simbol kota Polewali ini semakin mempertegas bahwa Pemerintah kita saat ini, selangkah lebih maju dalam urusan identitas kita sebagai Mandar.
dengan demikian rencana untuk mewujudkan Gerbang Barlop akan sedikit meringankan beban kami dalam mewujudkan impian tersebut. Selamat Datang di Kampung Kelahiran Pendekar Hukum Baharuddin Lopa.
NAPAK TILAS SEJARAH KERAJAAN SENDANA (Bagian 6) " Persekutuan Bocco Tallu Adalah Kerjasama Pertahanan dan Ekonomi "
0leh: Muhammad Munir-Tinambung
Pada
mulanya, semua kerajaan yang ada di Mandar belum terjalin dalam satu
persekutuan atau kerjasama antar kerajaan. Masing-masing kerajaan sendiri dan memerintah serta berdaulat penuh
diwilayah kerajaannya sendiri
tanpa ada hubungan kerjasama dengan
kerajaan lain, baik yang ada di kawasan Mandar, terlebih kerajaan yang ada di
luar wilayah Mandar. Masing-masing
kerajaan berusaha memperluas wilayah kekuasaan, sehingga sering terjadi
perselisihan yang berlanjut pada perang
antara kerajaan. Upaya menghancurkan kerajaan lain dengan tujuan menjadi
terkuat dan terbesar adalah kejadian rutin pada saat itu. Puncak kekacauan terjadi ketika munculnya peralihan kekuasaan melalui kudeta di kerajaan
Passokkorang. Passokkorang dengan kekuatan militer dan kekayaan
yang melimpah membuat keonaran hampir disetiap kerajaan yang ada di Mandar.
Salah satu wilayah yang tak
mampu ditaklukkan oleh Pasokkorang adalah wilayah persekutuan Bocco Tallu,
yaitu Sendana, Alu dan Taramanu. Salah satu strategi yang bisa membentengi wilayah
ini adalah kekuatan persekutuan yang tercermin dalam ikrar puraloa di
Sibunoang. Ikrar Bocco Tallu itu begitu mengakar dan disakralkan oleh
masyarakat yang ada diwilayah tersebut. Bahkan perjalanan sejarah keruntuhan
Passokkorang oleh Sekutu Balanipa tidak terlepas dari campur tangan Alu yang
berhasil menyusup masuk ke wilayah Passokkorang dan menjadi duri dalam daging,
sehingga Raja Passokkorang tidak menyadari bahwa orang yang masuk sebagai dukun
sakti itulah yang mengantarnya menemukan takdirnya untuk berakhir dalam
kebesaran dan keberlimpahannya.
Tak dapat disangkal, apa yang
tertuang dalam ikrar puraloa itu bukan saja sebentuk kalimat yang terdiri dari
susunan kata biasa, tapi ia adalah akumulasi dari mantra, sumpah yang kerap
dibathinkan oleh semua warga yang berada di garis batas Bocco Tallu itu. Untuk
tidak membuat tulisan ini sekedar menjadi bacaan yang lumrah, menarik kita
telisik kembali bunyi yang terkadung dalam perjanjian di Sibunoang itu. Ini
penting, agar kita semakin yakin bahwa sesungguhnya leleuhur kita bukanlah
sekumpulan manusia yang tak tahu apa-apa, disamping itu, ikrar tersebut
diharapkan bisa menjadi spirit bagi kita menemukenali kesejatian Mandar yang
kita jadikan sebagai identitas.
Inilah ikrar puraloa di
Sibunoang yang dikenal dengan Assitalliang Bocco Tallu Pertama: Madzondong duang bongi anna
dziang mappasisala Pattallumboccoang, ongani balimbunganna baoangi arianna.
Iya-iyannamo tau mambueq puraloa meppondoq diallewuang di Pattallumboccoang
mendaung raqbas, mettaqe sapeq, pappang naola pappang raqba, buttu naola buttu
latta, puppus sorokawu mangandeapi dipennannaranna tomamboeq pura loa.
“Besok lusa bila ada yang memecah belah
persekutuan Bocco Tallu, Balikkan bubungan rumahnya kebawah dan tiangnya
keatas. Barang siapa diantara kita mengingkari perjanjian dan membelakangi
kesepakatan dalam persekutuan Bocco Tallu, berdaun gugur bertangkai jatuh, lembah diallui lembag runtuh, gunung dilalui
gunung terpotong. Hidupnya terkutuk bagai api membakar turun temurun yang
ingkar pada perjanjian” .
Adapun butir
butir perjanjian yang disepakati dalam pertemuan
ini merupakan hasil pemikiran Puatta di Saragiang dan Daeng Palulung yang
tertulis dalam lontar Sendana Mandar sebagai berikut :
Nauamo Daeng Palulung: “Tallumi tau
anna mesa, mesami anna tallu, Sendana, Alu, Taramanuq. Litaq silambang
tassipomalla, tassitundang matadzang tassiroyong masandeq, tautta sisolong
tassisawaq, mesa balami tanni atonang, Sendana,
Alu, Taramanuq di Puang di Kondo Budata, mate simateang tuo situoang”.
Berkatalah Daeng Palulung: ”Kita adalah
tiga menjadi satu, satu tapi tiga. Sendana, Alu, Taramanuq. Pemimpin saling
menyebrang tak keberata, tak saling mengingatkan dengan keras apalagi kasar,
rakyat saling mengunjungi dengan aman. Kitasudah satu pagar tak berbatas,
Sendana, Alu, Taramanuqbagi pemimpin dan bagi rakyat. Mati satu mati semua
hidup satu hidup semua”.
Nauamo Puatta di Saragiang: “Mammesa
puammi tau mammesa tau, maqjuluq sara maqjuluq rio, mammesa pattuju dilatte
sallambar siola paqdisang. Daqdua memmata di Sawa, mesa memmata di mangiwang,
monasisaraq tubhu anna nyawa tassisaraqi Alu, Taramanuq, Sendana. Tassipaoro di
adzaq, sipalete di rapang, padza nipeadzaq adzaqta, padza niperapangi rapattaq,
tasibore-boreang gauq tassipolong tanjeng,tassiraqba tanang-tanang, sitaiang
apiangan tassitaiang adzaeang”.
Berkatalah Puatta I Saragian:
“Bangsawan kita sudah menyatu rakyat juga jadi satu menghadapi kesusahan dan
kebahagiaan, menyatukan keinginan diatas tikar selembar sebantal bersama. Dua
mengawasi ular satu mengawasi ikan hiu. Walau terpisah tubuh dengan nyawa, Alu,
Taramanuq dan Sendana tidak akan terpisahkan. Tidak saling mencampuri urusan
adat dan aturan masing-masing, menjalankan adat dan kebiasaan serta hukum dan
peraturan masing-masing, tidak saling keras mengerasi, tidak salingmerusak
tanaman, saling membawa pada kebaikan, saling menghindarkan dari keburukan”.
“Nauwa
bomo Daeng Palulung: “Mate arawiang Alu Taramanuq, mate di baya-bayai Sendana.
Sara pole sara nisolai, leboq tanni joriq, uwai tanni latta, buttu tanni polong
dilalanna Bocco Tallu”.
Berkata Daeng Palulung: “Bila Alu dan
Taramanuq mati diwaktu sore, Sendana mati diwaktu pagi. Kesusahan yang
datangkesusahan yang dibagi, kebahagiaan yang datang kebahagiaan yang kita
bagi. Laut tidak kita garis, gunung tidak kita potong di wilayah Bocco Tallu”.
Melihat latar belakang pembentukan serta butir kesepkatan yang ada di dalamnya, dapat
disimpulkan bahwa Perjanjian Bocco Tallu pertama dibentuk untuk membangun satu
kekuatan dengan melihat situasi dan kondisi di Mandar pada saat itu. Sangat jelas dalam butir kesepakatan bahwa pertahanan dan
keamanan merupakan prioritas utama disamping kerjasama pada bidang ekonomi. Ini
merupakan salah satu upaya untuk mencegah terjadinya perang saudara antara
Sendana, Alu dan Taramanuq yang bisa saja terjadi akibat hasutan dan strategi
adu domba yang dijalankan oleh orang-orang Passokkorang pada saat itu.
Kalimat daqdua memmata
disawa mesa memmata di mangiwang adalah kalimat kiasan yang memiliki makna;
Dua kerajaan (Alu dan Taramanuq) yang menjaga dan mengawasi musuh dari arah
gunung atau hutan, dan satu kerajaan (Sendana)yang mengawasi musuh yang datang
dari laut atau pesisir. Kesepakatan
ini lahir dengan melihat letak geografis wilayah masing-masing, dimana Alu dan
Taramanuq merupakan kerajaan yang ada dipegunungan dan Sendana adalah kerajaan
yang berada di daerah pesisir atau pantai.
Ini berarti, keamanan atas ancaman musuh yang datang dari arah hutan
menjadi tanggung jawab kerajaan Alu dan kerajaan Taramanuq sementara musuh yang
datang dari arah laut atau pesisir menjadi tanggung jawab kerajaan Sendana.
Persekutuan
Bocco Tallu bertahan sampai pada abad XV masehi dan baru mulai memudar
seiringdengan terbentuknya persekutuan Pitu Baqbana Binanga.
Langganan:
Postingan (Atom)