Selasa, 03 Mei 2016

NAPAK TILAS SEJARAH KERAJAAN SENDANA (Bagian3) " Sa'Adawang dalam imperium Sejarah Kerajaan Sendana "


0leh: Muhammad Munir-Tinambung

Desa Putta'da adalah salah satu desa yang masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Sendana Kabupaten Majene. Drs. Darmansyah adalah salah satu orang yang pernah menjadi Kepala Desa sebelum memilih masuk jalur politik untuk menjadi anggota DPRD Majene. Berawal dari sebuah aktifitas pemerhati lingkungan, Darmansyah berhasil menjadi Kepala Desa Putta'da. Desa Putta'da dan masyarakatnya menjadi bagian dari investasi pilitik yang mengantarnya menjadi Anggota DPRD sampai sekarang mempertemukan takdirnya sebagai Ketua DPRD Majene.
Di DPRD, Darmansyah membuat Putta'da tidak saja menjadi sebuah desa yang sedikit maju dibanding desa pegunungan yang lain, tapi ia juga berhasil memperjuangkan semua dusun di wilayah Desa Putta'da menjadi sebuah Desa. Diantara Dusun yang berhasil ia perjuangkan menjadi desa tersebut adalah Lalattedong, Binanga, Leppangan, Pundau dan Paminggalan. Saat ini Darmansyah lagi mengawal sebuah perda tentang Pelestarian Cagar Budaya di Kab. Majene. Ini adalah salah satu diantara obsesi besar yang akan ia wujudkan selama ia menjabat jadi Ketua DPRD.
Darmansyah juga menginginkan jejak sejarah peradaban di Mandar tidak sekedar menjadi sejarah tutur dan mitos, melainkan bisa dibuktikan dengan keberadaan situs yang kelak bisa lebih benar dan ilmiah. Kedepan ilmu sejarah dibutuhkan lebih tangguh untuk merekonstruksi apa saja yang sudah di fikirkan, di kerjakan, di katakan dan di alami oleh orang terdahulu. Namun, bukan untuk kepentingan masa lalu itu sendiri, sebab sejarah mempunyai kepentingan masa kini dan bukan untuk masa yang akan datang. Olehnya itu, perkembangan ilmu sejarah dituntut konstribusinya menuju hal yang lebih benar, rasional, obyektif dan ilmiah. Jika ilmu sejarah tidak tangguh untuk itu, maka kemajuan-kemajuan zaman seperti sekarang ini justru akan menghilangkan kesadaran penghuni zamannya sendiri. Ketika masa lalu tidak lagi bisa di tengok, apalagi pada masa berikutnya, maka generasi akan rusak. Kedepan sejarah dibutuhkan sebagai pengawal setiap idea of progres.
Membincang sejarah Kerajaan Sendana tak bisa dilepaskan dari sebuah nama Kampung yang bernama Sa'Adawang yang konon ditemukan oleh Daeng Tumana (Dettumana/Demmangana) salah satu keturunan dari Tomakaka Tabulahan di Pitu Ulunna Salu. Suatu ketika Tomakaka Tabulahan turun gunung bersama pengikutnya untuk mencari keperluan kebutuhan hidup digunung seperti ikan, garam dll. Dalam perjalanan mereka menemukan kawasan yang panorama alamnya sangat indah. Hal ini membuat Tomakaka tertarik untuk menjadikan wilayah itu sebagai tempat peristirahatan saat turun dari gunung ke pantai. Dalam perjalanan sejarah, wilayah ini tidak saja menjadi persinggahan tapi sebagian dari orang Tabulahan dijadikan sebagai tempat bermukim secara tetap.
Kondisi alam dan kontur tanah memang sangat mendukung sebagai hunian baru, sebab selain bukit dan gunung yang hijau subur, juga terdapat luasan tanah datar yang cocok dijadikan tanah persawahan. Wilayah Sa'Adawang kian hari kian bertambah perduduk yang mendiaminya, sehingga terbentuk sebuah komunitas masyarakat yang berkoloni itu mendaulat Daeng Tumana sebagai orang yang dipertuan atau tomakaka yang kepemimpinan awalnya disebut sebagai "Bawa Tau". Kepemimpinan Daeng Tumana belumlah memenuhi persyaratan sebagai sebuah kerajaan selain hanya sebuah komunitas atau banua.
Hingga pada suatu hari Daeng Palulung datang bersama Istrinya yang bernama Tomesaraung Bulawang. Daeng Palulung sebagaimana disebutkan dalam lontar adalah adalah keturunan bangsawan kerajaan Luwu dan Tomesaraung Bulawang adalah salah satu putri dari Arung Pone (Bone). Seperti yang dikisahkan dalam lontaraq yang dikutip oleh Darmansyah menyebutkan, Daeng Palulung sampai ke Sa'Adawang adalah proses akhir dalam perjalannya mencari adiknya Daeng Sirua yang meninggalkan Luwu menuju Timpuru-Donggala. Daeng Sirua sendiri dikisahkan berangkat dari Donngala menuju Labuan Rano (Tappalang sekarang).
Di Labuang Rano tersebut ia memerintahkan pengawalnya kedarat untuk mencari kayu bakar. Didarat, pengawalnya tadi dikejar oleh bara api yang membuatnya harus lari ke pantai dan melapor ke tuannya. Berdasarkan laporan itulah, I Daeng Sirua memerintahkan pengawalnya naik kedarat menangkap bara api itu. Ternyata setelah bara itu ditangkap oleh pengawal dan diserahkan ke Tuannya adalah penjelmaan dari sebuah keris yang diberi nama I Jarra atau Ijarre dan lebih dikenal dengan nama I Po’ga. Daeng Sirua kemudian menuju ke arah selatan dan tiba di Parrassangan. Di Parrassangan mereka menebas hutan sampai ke sungai Mosso.
Saat yang sama Daeng Palulung juga tiba ditempat itu. Sebuah pertemuan dari hampir sepuluh tahun pencariannya terhadap adiknya, Daeng Sirua. Pertemuan yang membahagiakan itu kemudian membuatnya mencari tempat dan tiba disebuah wilayah yang bernama Lakkading.Sebulan lebih ia tinggal di Lakkading. Dari Lakkading, Daeng Palulung dan Daeng Sirua kemudian menuju sebuah gunung yang disana telah dihuni oleh keturunan dari Tabulahang yaitu Sa'Adawang. Proses kepemimpinan Bawa Tau dilanjutkan oleh Daeng Palulung. Daeng Palulung inilah yang mengubah konsep kepemimpinan Bawa tau menjadi Memmara-Mara'dia sebab ia lebih memilki pengalaman dalam menata pemerintahan lantaran berasal dari Luwu dan Bone.(Bersambung)