0leh: Muhammad Munir-Tinambung
Turun dari puncak Buttu Suso dengan
ketinggian diatas 700 meter dari permukaan laut, penelusuran dilanjutkan dengan
mencari keberadaan Makam Daeng Palullung. Dengan diantar oleh I Tangka, salah
satu petani sawah di areal perkapungan Sa'Adawang kami berjalan meniti pematang
sawah. Setelah itu menembus semak belukar ke sebuah bukit yang berada pas di
kaki gunung Buttu Bulidzo. Buttu Bulidzo ini memiliki situs berupa Gua Bulidzo.
Gua yang memiliki panjang sekitar 10 meter dengan lebar 4,5 cm dan tinggi ruang
kurang lebih 1,5 meter. Menurut pengakuan Jahar dan I Tangka, gua tersebut
memiliki sejarah yang panjang sepanjang sejarah peradaban masyarakat Kerajaan
Sendana. Gua ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan barang berharga. Dalam
perjuangan melawan penjajah, gua inipun berperan sebagai pusat persembunyian
para pemimpin pasukan untuk memantau lawan.
Dari balik semak belukar tepat di
lereng gunung Bulidzo tersebut, terdapat 2 buah makam yang diyakini sebagai
makam Topapo atau Daeng Palulung, suami dari Tomesaraung Bulawang. Entah
pertimbangan apa, sehingga makamnya harus terpisah dari istri tercintanya,
Tomesaraung Bulawang. Justru disekitar makamnya terdapat makam Daeng Sirua.
Makam Daeng Sirua ini ditandai dengan batu yang bentuknya sangat sederhana.
Daeng Sirua dan Daeng Palulung adalah bersaudara. Daeng Sirua inilah yang
menikah dengan putri Mara'dia Alu (Puatta Di Saragiang) yang kemudian menjadi
awal pertalian dalam membentuk persekutuan Bocco Tallu, yaitu Alu, Sendana dan
Taramanu. Kedua makam tersebut juga tak luput dari penggalian dan penjarahan
benda-benda purbakala pada tahun 1971-1973. Hanya saja, menurut informasi dari
I Tangka, di situs ini, tak banyak harta kekayaan yang berhasil didapatkan oleh
para penjarah. Bekas galiannya masih nampak dan membuat kondisi situs ini
dangat memprihatinkan. Penggalian dan penjarahan kubuuran tua oleh masyarakat
sekitar inilah yang menghilangkan jejak kepurbakalaannya.
Penggalian situs purbakala yang
dilakukan oleh masyarakat Putta’da Sendana ini adalah bentuk kejahatan yang
lebih kejam dari penjajah Belanda. Penjajah Belanda, meski mengambil untung
dari aset bangsa ini, tapi tetap menjaga kelestarian cagar budaya dan menyimpan
banyak arsif tentang sejarah lampau kerajaan ini. Yang ironi kemudian, karena
jusru warga peribumi yang nota bene keturunan dari Topapo atau Daeng Palulung
ini justru rela dan tak merasa berdosa menjarah kekayaan yang dimiliki oleh
leluhur mereka. Peristiwa penjarahan benda-benda purbakala dari tahun 1971
sampai hari inipun terus dilakukan oleh masyarakat. Tak terkecuali pemerintah
juga sudah seenaknya merubah, merusak, memindahkan situs-situs budaya yang
merupakan jejak nenek moyang.
Sejatinya, situs sejarah dan artefak
tersebut dijaga, dipelihara olen masyarakat dan pemerintah, bukan malah menjadi
pelaku dari proses itu. Apapun alasannya, jika menyangkut benda-benda
purbakala, itu tak bisa ditolerir. Meski dengan alasan pembangunan sekalipun
semestinya tidak dilakukan, sebab benda atau situs tersebut adalah cagar budaya
yang sekaligus menjadi sumber informasi untuk penelitian membuktikan eksistensi
mereka pada masa lalu itu ke generasi selanjutnya. Situs tersebutlah yang akan
menerangkan bahwa pernah di Sa'Adawang ini,
terbangun sebuah peradaban, sebuah kampung tua yang didalamnya
pemerintahan dalam bentuk tomakaka sampai bentuk kerajaan (Mara'dia) pernah
terlakonkan.
Merusak, memindahkan dan
menghilangkan situs-situs tersebut adalah kejahatan kemanusiaan yang tidak
hanya terhadap masyarakat hari ini, tapi menjadi sebuah proyek pengkaburan yang
berimbas pada pengibulan sejarah kedepan. Dan tindakan ini tentu saja harus
difahami sebagai dosa turunan dari masyarakat pelaku penjarahan maupun
pemerintah yang melakukannya atas dasar apapun. Pemerintah seharusnya menjadi
pelestari dari semua situs yang terdapat dalam peta wilayah pemerintahannya.
Masyarakat juga seharusnya merasa malu ketika didaulat dalam acara upacara adat
sebagai Puang, Daeng tapi disatu sisi ia melupakan dan menjadi pelaku dari
proses penjarahan atas aset kekayaan leluhurnya.
Saatnya keturunan adat tidak saja
bangga karena dipanggil Puang, Daeng tapi mesti merasa bertanggung jawab
terhadap situs sejarah perru'dusang. Tomesaraung Bulawang dan Daeng Palulunglah
yang membuat mereka jadi terhormat, kaya dan dipanggil Puang, Daeng tapi ketika
melihat kondisi makam leluhur mereka justru berbanding terbalik dengan
kehormatan yang membuatnya merasa bangga. Malulah kita hari ini yang punya
strata Puang dan Daeng tapi tak mengetahui atau membiarkan situs sejarah
leluhur dijarah, dirusak, dipindahkan, dihilangkan. Lalu dimana letak Puang dan
Daeng akan dialamatkan andai kata tak ada leluhur ? Masihkan gelar itu pantas
disematkan pada mereka yang tak peduli dengan leluhur yang membuatnya punya
kedudukan terhormat?