MERANCANG GRAND DESAIN CAGAR BUDAYA DI POLEWALI MANDAR
“LANDASAN YURIDIS PEMETAAN CAGAR BUDAYA” (Bagian 2)
OLEH : MUHAMMAD MUNIR
(Tinambung)
Dalam
salah satu sidang SEAMEO-SPAFA “Southeast Asian Ministers of Education
Organization Project of Archaeology and Fine Art”’sangat jelas terurai “Mengelola
sumber daya budaya adalah seperti mengelola sebuah usaha ekonomi layaknya. Pada
awalnya harus mempunyai konsep yang jelas. Tanpa konsep yang jelas, kita tidak dapat menerangkan ruang lingkup
pekerjaan. Tanpa proses dan teknik kita tidak dapat mendefinisikan langkah untuk mencapai tujuan yang
berkualitas. Kebudayaan yang tidak berkualitas tidak dapat terlihat arah perkembangannya. Dan jika pengelolaannya
tanpa indikator kita tidak dapat mencapai standar pekerjaan sehingga keberlanjutannya (sustainability) tidak dapat dipertanggungjawabkan”.
UNESCO dalam “Convention Concerning the Protection of the
World Cultural and Natural Heritage” 1987, menjelaskan sebagai “Group of
buildings : Group of separate or connected buildings, which because of their
architecture, their homogeneity ar their place in landscape, are of outstanding
universal value from the point of view of history, art or science”.
Dan dalam GBHN 1999-2004, aspek pembangunan kebudayaan
dijelaskan antara lain (a) “mengembangkan
dan membina kebudayaan nasional bangsa Indonesia yang bersumber dari warisan
budaya leluhur bangsa, budaya nasional yang mengandung nilai-nilai universal
termasuk kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam rangka mendukung
terpeliharanya kerukunan hidup bermasyarakat dan membangun peradaban bangsa”.
Selanjutnya pada point (h) dijelaskan “mengembangkan
pariwisata melalui pendekatan system yang utuh dan terpadu dengan pendekatan
interdisipliner dan partisipatoris, dengan menggunakan criteria ekonomis,
teknis, ekonomis, sosial budaya, hemat energy, melestarikan alam dan tidak
merusak lingkungan”.
Mengacu pada ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 dan beberapa
landasan yuridis, termasuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar
Budaya yang berkaitan erat dengan penguasaan, pemilikan, penemuan, pencarian,
perlindungan dan pemeliharaan, pengelolaan, pemanfaatan dan pengawasan terhadap
benda cagar budaya. Begitu pula dengan keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 10
tahun 1993, tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor5 Tahun 1992, Keputusan
Menteri Kepmen Dikbud 063/U/1995 tentang perlindungan dan pemeliharaan benda
cagar budaya tahun 1993, tentang Pendaftaran Benda Cagar Budaya.
Selain landasan yuridis yang terkait pendaftaran dan
penetapan cagar budaya, lahirnya produk Undang-Undang anatar lain Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2004 tentang Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat (Lembaran
Negara Republik Indinesia Tahun 2004 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4422); Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan (Lembaranb Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966); Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5168) semakin
mengukuhkan betapa peninggalan sejarah dan atau cagar budaya menjadi sesutu
yang mendesak untuk dilakukan.
Dasar-dasar itulah yang melatar belakangi Pemerintah
Kabupaten Polewali Mandar sehingga Dinas Kebudayaan dan Pariwisata bekerjasama
dengan kantor Balai Pelestarian Purbakala Makassar wilayah Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tenggara, Tengah melaksanakan Pendataan/Inventarisasi situs
peninggalan purbakala di Kabupaten Polewali Mandar. Kegiatan tersebut
dilaksanakan berdasarkan Surat Keputusan Bupati Polewali Mandar, Nomor 219 Tahun 2016 Tentang Pembentukan Tim
Pendaftaran dan Pendataan Cagar Budaya di Kabupaten Polewali Mandar. Dalam
rangka pendataan dan pendaftaran benda cagar budaya, maka pada tanggal 04
Oktober 2016, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata mengeluarkan Surat Tugas
Nomor B-818/Disbudpar/B.Budaya/090/10/2016 untuk kembali melakukan pendataan
dan pendaftaran cagara budaya di wilayah kabupaten Polewali Mandar dan penulis
menjadi salah satu dari tim pendata tersebut.
Sampai disini jelas menjadi sangat jelas defenisi dan
landasan yuridis untuk melakukan pendataan, pendaftaran, pemeliharaan,
pelesatarian serta pemetaan sebuah Kawasan Cagar Budaya. Kawasan Cagar Budaya
yang dimaksud dapat berupa suatu situs lansekap dengan monumen benda bersejarah
tapi juga dapat berupa sekumpulan bangunan. Sekumpulan bangunan ini dapat
berupa kompleks dengan fungsi beragam atau sejenis. Kawasan pemugaran dapat
berupa juga perumahan maupun kawasan dengan tipologi fungsi lain seperti kawasan
perkantoran dan perdagangan, kawasan pergudangan dan kawasan campuran lainnya.
Dengan demikian pelestarian cagar budaya adalah sebuah upaya
dinamis untuk mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara
melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya (Lihat: Undang-Undang RI No.11
2010).Ini sekaligus menjadi upaya terpadu untuk melindungi, mengembangkan, dan
memanfaatkan Cagar Budaya melalui kebijakan pengaturan perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.(Bersambung)