Rabu, 19 Oktober 2016

MERANCANG GRAND DESAIN CAGAR BUDAYA DI POLEWALI MANDAR “LANDASAN YURIDIS PEMETAAN CAGAR BUDAYA” (Bagian 2)

MERANCANG GRAND DESAIN CAGAR BUDAYA DI POLEWALI MANDAR
LANDASAN YURIDIS PEMETAAN CAGAR BUDAYA” (Bagian 2)
OLEH : MUHAMMAD MUNIR (Tinambung)
Dalam salah satu sidang SEAMEO-SPAFA “Southeast Asian Ministers of Education Organization Project of Archaeology and Fine Art”’sangat jelas terurai “Mengelola sumber daya budaya adalah seperti mengelola sebuah usaha ekonomi layaknya. Pada awalnya harus mempunyai konsep yang jelas. Tanpa konsep yang jelas, kita  tidak dapat menerangkan ruang lingkup pekerjaan. Tanpa proses dan teknik kita tidak dapat mendefinisikan  langkah untuk mencapai tujuan yang berkualitas. Kebudayaan yang tidak berkualitas tidak dapat terlihat arah  perkembangannya. Dan jika pengelolaannya tanpa indikator kita tidak dapat mencapai standar pekerjaan  sehingga keberlanjutannya  (sustainability)  tidak dapat dipertanggungjawabkan”.
UNESCO dalam “Convention Concerning the Protection of the World Cultural and Natural Heritage” 1987, menjelaskan sebagai “Group of buildings : Group of separate or connected buildings, which because of their architecture, their homogeneity ar their place in landscape, are of outstanding universal value from the point of view of history, art or science”.
Dan dalam GBHN 1999-2004, aspek pembangunan kebudayaan dijelaskan antara lain (a) “mengembangkan dan membina kebudayaan nasional bangsa Indonesia yang bersumber dari warisan budaya leluhur bangsa, budaya nasional yang mengandung nilai-nilai universal termasuk kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam rangka mendukung terpeliharanya kerukunan hidup bermasyarakat dan membangun peradaban bangsa”. Selanjutnya pada point (h) dijelaskan “mengembangkan pariwisata melalui pendekatan system yang utuh dan terpadu dengan pendekatan interdisipliner dan partisipatoris, dengan menggunakan criteria ekonomis, teknis, ekonomis, sosial budaya, hemat energy, melestarikan alam dan tidak merusak lingkungan”.
Mengacu pada ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 dan beberapa landasan yuridis, termasuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yang berkaitan erat dengan penguasaan, pemilikan, penemuan, pencarian, perlindungan dan pemeliharaan, pengelolaan, pemanfaatan dan pengawasan terhadap benda cagar budaya. Begitu pula dengan keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1993, tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor5 Tahun 1992, Keputusan Menteri Kepmen Dikbud 063/U/1995 tentang perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya tahun 1993, tentang Pendaftaran Benda Cagar Budaya.
Selain landasan yuridis yang terkait pendaftaran dan penetapan cagar budaya, lahirnya produk Undang-Undang anatar lain Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2004 tentang Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat (Lembaran Negara Republik Indinesia Tahun 2004 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4422); Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaranb Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966); Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5168) semakin mengukuhkan betapa peninggalan sejarah dan atau cagar budaya menjadi sesutu yang mendesak untuk dilakukan.
Dasar-dasar itulah yang melatar belakangi Pemerintah Kabupaten Polewali Mandar sehingga Dinas Kebudayaan dan Pariwisata bekerjasama dengan kantor Balai Pelestarian Purbakala Makassar wilayah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Tengah melaksanakan Pendataan/Inventarisasi situs peninggalan purbakala di Kabupaten Polewali Mandar. Kegiatan tersebut dilaksanakan berdasarkan Surat Keputusan Bupati Polewali Mandar, Nomor 219 Tahun 2016 Tentang Pembentukan Tim Pendaftaran dan Pendataan Cagar Budaya di Kabupaten Polewali Mandar. Dalam rangka pendataan dan pendaftaran benda cagar budaya, maka pada tanggal 04 Oktober 2016, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata mengeluarkan Surat Tugas Nomor B-818/Disbudpar/B.Budaya/090/10/2016 untuk kembali melakukan pendataan dan pendaftaran cagara budaya di wilayah kabupaten Polewali Mandar dan penulis menjadi salah satu dari tim pendata tersebut.
Sampai disini jelas menjadi sangat jelas defenisi dan landasan yuridis untuk melakukan pendataan, pendaftaran, pemeliharaan, pelesatarian serta pemetaan sebuah Kawasan Cagar Budaya. Kawasan Cagar Budaya yang dimaksud dapat berupa suatu situs lansekap dengan monumen benda bersejarah tapi juga dapat berupa sekumpulan bangunan. Sekumpulan bangunan ini dapat berupa kompleks dengan fungsi beragam atau sejenis. Kawasan pemugaran dapat berupa juga perumahan maupun kawasan dengan tipologi fungsi lain seperti kawasan perkantoran dan perdagangan, kawasan pergudangan dan kawasan campuran lainnya.

Dengan demikian pelestarian cagar budaya adalah sebuah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya (Lihat: Undang-Undang RI No.11 2010).Ini sekaligus menjadi upaya terpadu untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan Cagar Budaya melalui kebijakan pengaturan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.(Bersambung)

MERANCANG GRAND DESAIN CAGAR BUDAYA DI POLEWALI MANDAR “Cagar Dan Akar Sejarah Yang Tercakar” (Bagian I)

MERANCANG GRAND DESAIN CAGAR BUDAYA DI POLEWALI MANDAR
Cagar Dan Akar Sejarah Yang Tercakar” (Bagian I)
OLEH : MUHAMMAD MUNIR (Tinambung)
Beberapa hari terakhir ini masyarakat kita di Mandar seakan dilanda gempa peradaban, tidak hanya di media sosial, Koran harian bahkan para pejabat dan masyarakat awam pun ikut berkomentar. Trending topic itu berputar pada kata “Cagar Budaya” yang dipicu oleh pembongkaran situs masjid tertua di Mandar, Masjid Haqqul Yakin (berubah menjadi Masjid Abadan) Desa Lambanan Kec. Balanipa. Masjid yang selama ini dijadikan petanda dan penanda peradaban islam abad ke-16 kini rata dengan tanah. Yang tersisa hanya puing-puing berserakan dan kubah masjid yang tergolek diantara 4 buah tiang penyanggah bangunan masjid.
Penulis yang kebetulan ikut bersama rombongan BPCB Makassar dan Tim Disbudpar Polewali Mandar memang sempat terkejut ketika tiba di lokasi Masjid dan mendapati bangunan masjid yang tinggal rangka berupa 4 buah tiang. Masjid yang dahulu berbentuk bujur sangkar yang dikelilingi batu padas berlapis kapur itu tak lagi bisa ditemui di lokasi berukuran 30 X 30 meter itu. Atap masjid berbentuk limasan bertingkat tiga itu tak ada lagi. Hanya puing-puing berserakan dan makam-makam kuno di sebelah barat yang menjadi penyaksi sejarah betapa tangan-tangan manusia begitu kekar mencakar cagar tinggalan sejarah dititik koordinat S3 29 15.7 E119 04 28.7 itu.
Haerullah, Kepala Desa Lambanan yang penulis temui untuk klarifikasipun tak mampu menolong dan menyelamatkan situasi dan kondisi yang menimpah situs penanda kejayaan islam pada masa pemerintahan Kanne Cunang, Mara’dia Pallis dan Arajang Balanipa ke-4 yang kesohor dengan gelar Daetta Tommuane ini. Daetta Tommuane atau Tandibella Kakanna I Pattang dan Abdurrachim Kamaluddin adalah sosok yang begitu lekat dalam pembacaan kita pada situs, pada ritus dan pada setiap manuskrip dan lontaraq pattodioloang.    
Ada sejumput perih dan leleran duka yang mengalir dalam benak penulis. Rasa dongkol dan marah menyeruak dan membuncah. Tapi untuk apa? Untuk siapa? Sebab kemudian rimba dunia maya yang terselip dikantongku hanya berdetak bordering bersama derai semak amarah, belantara cibiran dari pelampiasan kekecewaan atas peristiwa ini begitu jelas terbaca digenggaman tanganku. Postingan Zulfihadilewat status “Situs tua, masjid pertama di Mandar telah dibantai oleh politisi yang katanya intelek”. Belum lagi Muhammad Ridwan Alimuddin dengan lugas menulis di blog pribadinya dengan opening judul “ Bencana Nasional…..”. Like dislike bertaburan, komentar demi komentar ikut berserakan seakan menjadi copy-an gambar di lokasi Masjid Abadan Desa Lambanan.
Tak berhenti sampai disitu, nama politisi muda Sulbar, Muhammad Asri Anas ikut terseret sebagai biangnya. Anggaran 1,2 M yang siap diluncurkan untuk membangun ulang Masjid Abadan ini ditengarai menjadi alasan utama mengapa Kepala Desa dan warga Lambanan ikut menjadi bagian dalam proyek tega-tegaan itu. Dilokasi masjid tersebut setelah dibangun akan menjadi pusat tahfidz Qur’an dan pusat pengajian tradisional mambaca kittaq, mattaleq kitta dan mukim patappulo di Mandar. Alasan-alasan itu menjadi jawaban pamungkas untuk membuat siapapun akan bungkam dan berhenti menulis.
Sesungguhnya letak masalahnya bukan pada siapa melakukan apa, tapi terletak pada persoalan kata yang bernama “Cagar Budaya”. Masjid Abadan Lambanan telah didaftar sebagai salah satu bangunan cagar tinggalan sejarah purbakala di Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar sejak tahun lalu. Cagar budaya adalah salah satu yang menjadi prioritas pembangunan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, adalah pembangunan kebudayaan. Hal itu dapat dilihat dalam pasal 32 yang berbunyi: “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia”. Dalam pasal tersebut dikemukakan bahwa kebudayaan bangsa Indonesia ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia. 
Sampai disini kita mesti sadar bahwa Masalah Lambanan bukan masalah biasa, bukan persoalan politik kepentingan, bukan ajang klaim mengklaim tapi sebuah proses kesadaran istilah Cagar Budaya, Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya. Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Dan ini diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Tulisan ini tidak dalam posisi menyalahkan siap-siapa, sebab akan sangat susah untuk menentukan siapa yang salah.  Yang terpenting adalah membangun kesadaran terhadap pentingnya menjaga peninggalan sejarah, lalu kita bangun kesepakatan dan kespahaman untuk menata dan memetakan cagar budaya dan peninggalan sejarah di di daerah ini. (Bersambung)