Kamis, 29 September 2016

Mengenal Ibu ENNY ANGRAENI ANWAR

ENNY ANGRAENI ANWAR

Di kota kelahiran Presiden RI yang ke-tiga, tangis pertama keluar dari bayi perempuan yang memecah kesunyian malam. Di tengah haru bahagia keluarga yang menanti beraduk rasa gelisah namun berujung kegembiraan dengan lahirnya seorang bayi perempuan yang kelak menjadi tokoh perempuan. Dialah yang kemudian oleh ayahnya seorang panglima TNI memberinya nama “Enny Anggraeni”.

Tak pernah terduga sebelumnya, di detak-detik awal kisah hidupnya dimulai, ternyata Tuhan mempunyai rencana yang luar biasa. Berselang waktu kemudian hingga masa ideal menikah, rupanya rencana Tuhan itu adalah sosok Enny kelak menjadi pendamping setia seorang Gubernur Sulawesi Barat yang tidak saja sebagai gubernur pertama, namun juga gubernur yang sebagai tokoh visioner dan bapak pembangunan H. Anwar Adnan Saleh.

Tak terhapus masa, dialah Hj. Enny Anggraeni Anwar seorang ibu yang lahir di Pare-pare, saat almanak waktu menunjukkan angka 9 April 1956. Dedikasinya tak hanya menjadi seorang istri, tetapi mendampingi Anwar dalam meniti perjuangan pembentukan Sulawesi Barat hingga pada proses membangunnya. Dedikasi ini pun tak hanya di rumah tangga dan seabrek tugas kedinasan dalam mendampingi seorang gubernur, tetapi dia pun mengambil peran publik sebagai Anggota Komis IX DPR-RI Periode 2014-2019 dari Partai Golongan Karya mewakili Daerah Pemilihan Provinsi Sulawesi Barat.

Jika berbicara rentetan karirnya, sangatlah sederhana. Memimpin beberapa organ-organ komoditi dan kemasyarakatan adalah kiprah dari sosok Enny Anggraeni Anwar, sebut saja Direktur PT Bina Karya Persada, Direktur Keuangan Persada Group dan kini sebagai Anggota DPR RI (2014-Sekarang).

Kepiawaian Enny sudah tidak diragukan lagi, tak cukup hanya sekedar menghitung banyaknya aktivitas sosial yang bergerak membantu masyarakat, diantaranya Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Provinsi Sulawesi Barat periode 2013-2018, Ketua Dewan Kesenian Nasional Daerah (Dekranasda) tahun 2011-2016, Ketua Tim Penggerak Pembinaan Keluarga Sejahtera (TP PKK) tahun 2006-2016 yang diganjar dengan mendapatkan penghargaan di Bidang Kesehatan dari Menteri Kesehatan Republik Indonesia Prof. Dr. Nila F. Moeloek SP.M (K) pada tahun 2015 di Jakarta.

Bukan tanpa alasan, Bunda Enny, sapaan akrabnya, sosoknya sebagai istri dari Gubernur Sulawesi Barat, Anwar Adnan Saleh yang telah dikarunia dua orang anak yaitu Deti Damayanti Anwar dan Raditya Adimas Anwar. Sebagai seorang ibu, dia senantiasa membumikan petuah Mandar menjadi motivasi gagasan dan nilai-nilai akhlak terhadap semua orang, termasuk petuah yang mengatakan bahwa “Innai-inna mandundu uwainna To Mandar, Mandar mi tu’u”(Maka Mandarlah).

Meskipun dirinya tak lahir di Mandar, namun dia melakoni peran dan tanggung jawab istri terhadap suami dengan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai Mandar dalam bersikap dan bertindak sebagai seorang perempuan Mandar Malaqbiq sehingga dia disegani oleh setiap orang dan rekan-rekannya.
Sebagai seorang istri yang taat dan patuh, Bunda Enny selalu setia mendampingi sang suami dalam setiap proses perjuangannya dalam mengabdikan diri di masyarakat termasuk ketika ikut serta bersama suami dalam memperjuangkan pembentukan Provinsi Sulawesi Barat.

Perlu dipahami secara mendalam, sedikit banyaknya ibu dalam keluarga yang memikul sejuta peran penting yang tidak dapat dianggap remeh. Dengan penuh cinta yang digenggamnya, sederet pekerjaan rumah tangga/peran domestic dan peran public dalam mendampingi suami menjadikannya sebagai sosok perempuan tangguh. Dalam memenuhi kebutuhan keluarga, seorang ibu mengemban tugas sebagai manajer, guru, perawat, akuntan, desain interior, chef dan lain-lain. Dengan demikian, ibu mempunyai multi peran yang mengintegrasikan berbagai karakter dalam keluarga untuk membentuk keutuhan keluarga yang sakinah.

Ibu sebagai pendidik dalam keluarga, mengajarkan hal-hal rumit dengan cara kesederhanaan, melatih, membimbing, dan memberikan teladan yang akan membentuk karakter anak-anaknya. Tentu saja konsep Siwali Parriq di tanah Mandar tak akan lengkap tanpa seorang ibu. Artinya bahwa, bukan lagi sebuah rahasia, sosok Enny telah mampu memapah tanggung jawabnya itu. Bunda Enny adalah sosok perempuan hebat di belakang sang suami yang turut memberikan semangat, saran dan motivasi dari manis pahitnya perjuangan seorang Anwar.

Hingga, rasanya memang tidak berlebihan jika pepatah bijak mendendangkan bahwa dibalik kesuksesan Anwar Adnan Saleh dalam memimpin Sulawesi Barat, terdapat sosok Enny Anggraeni di belakangnya. Bahkan tak segan, BJ. Habibie mengatakan “Di balik kesuksesan seorang tokoh, selalu tersembunyi peran dua perempuan, yaitu ibu dan istri”. Para ulama bahkan memberi khias bahwa “kesuksesan seorang suami karena ada seorang istri yang membantunya menapaki jalan kesuksesan itu”. Majunya pembangunan Provinsi Sulawesi Barat saat ini tentunya tidak lepas dari motivasi Enny terhadap suaminya (Anwar) dalam upaya membangun kesejahteraan masyarakat Sulawesi Barat.


Hal itu terbukti atas keberhasilan suaminya menjabat Gubernur Sulawesi Barat hingga dua periode. Enny begitu paham bagaimana manis pahitnya perjuangan Anwar, hingga perjuangannya kemudian tak cukup sampai di sini, perjuangan itu harus dilanjutkan, cita-cita luhur pembentukan Sulawesi Barat sewajarnya diteruskan oleh sosok yang memahami dan berperan serta dalam proses-proses pembentukan provinsi ini. Sumber: www.sulbar.com/news-563-segenggam-cinta-dari-ibu-mengenal-lebih-dekat-enny-an...

Rabu, 28 September 2016

Darmansyah: Siap Meletakkan Jabatan, Jika Sport Center di Paksakan


Rencana Pemda Majene untuk membangun Fasilitas Olahraga Gedung Sport Center dengan menggunakan dana pinjaman senilai 50 miliar terus bergulir. Pro kontra atas sikap penolakan Ketua DPRD semakin mengemuka di media sosial. Banyak yang setuju dan mendukung sikap Ketua DPRD Majene tersebut, tapi tak sedikit yang juga menentang dan menyesalkan keputusan tersebut. Menanggapi itu, Darmansyah saat dikonfirmasi kembali menegaskan bahwa dirinya bahkan rela dan ikhlas meletakkan jabatan selaku ketua DPRD bila dipaksakan menandatangani persetujuan pinjaman daerah sebesar 50 Miliar untuk digunakan pembangunan gedung spot center" Demikian Darmansyah menegaskan kepada media ini.

Pernyataan keras itu bukan tanpa alasan, Sebagaimana yang sering beliau sampaikan baik melalui rapat di kantor DPRD maupun melalui diskusi menyatakan bahwa kondisi keuangan daerah tidak memungkinkan, terlebih setiap tahun Majene mengalami deficit anggaran. PAD (Pendapatan Asli Daerah) Kabupaten Majene juga sangat rendah, tidak mencapai 50 M. Bilamana PAD dinaikkan, temtu akan berimbas kepada buruknya perekonomian pedagang kecil. Alasan lain ia kemukakan bahwa dirinya menolak berutang sebab utang yang ada di lingkup Pemda Majene saja semisal 'uang lauk pauk PNS 2 tahun terahir belum jelas sumber pembayarannya, terus mau tambah lagi utang lagi. Logikanya dimana. Seandainya pinjaman untuk digunakan pada pembangunan pertumbuhan ekonomi masyarakat, mungkin bisa dipertimbangkan untuk disetujui.

Terkait Pekan Olahraga Provinsi yang rencananya akan dipusatkan di Majene, beliau tetap mendukung itu, tapi tidak harus memaksakan untuk membangun sarana/prasarana olahraga seperti Sport Center. Sebab sarana dan prasarana yang ada di Majene masih bisa digunakan dan hanya butuh rehabilitasi gedung olahraga yang ada. Untuk Sport Center beliau menyarankan sebaiknya bermohon ke pusat atau di provinsi dengan melalui APBN/APBD.
Terakhir kepada media ini, ketua DPRD yang juga Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Sulbar ini kembali mengaskan bahwa keputusannya sudah final menolak pinjaman untuk pembangunan sport center, jika tetap dipaksakan maka beliau tidak akan mau bertanda tangan. (Muhammad Munir)



Senin, 26 September 2016

Mengenal MAYJEN TNI (PURN) SALIM S. MENGGA, Calon Gubernur Sulbar 2017-2022


JSM atau Jendral SALIM MENGGA, demikian ia kerap dipanggil. Lahir di Pambusuang, 24 Agustus 1951, Kampung Para Ulama dan Tokoh Nasional, seperti ulama tersohor KH. Muhammad Saleh dan KH. Muhammad Tahir Imam Lapeo, dan juga Prof. DR. Baharuddin Lopa, SH.
Salim S. Mengga adalah anak dari Kolonel Purnawirawan S. Mengga, yang merupakan Tokoh Militer dan Tokoh Pejuang di Tanah Mandar dan ibunya bernama Hj. Nyilang., putra kedua dari tiga bersaudara, yaitu: Syarifah Asia S. Mengga (Almarhumah Istri Prof. DR. Umar Shihab, MA); Ir. Aladin S. Mengga (Wakil Gubernur Sulawesi Barat).
Salim S. Mengga mempunyai 3 (tiga) orang anak dari hasil pernikahannya dengan Hj. Fatmawaty, sosok wanita yang sederhana dan murah senyum merupakan cucu tokoh terpandang dari daerah Bone Soppeng H. Beddu Solo. Yaitu:
Mega Kamila
, Erfan Kamil, Amira Kamila.

Keluarga Salim S. Mengga Al-Attas

Darah pejuang yang mengalir deras diurat nadinya, berasal dari Kolonel S. Mengga, Tokoh Militer dan Tokoh Pejuang di Tanah Mandar ini serta “THE FOUNDING FATHER IN POLMAS, Peletak Dasar Pembangunan di Polmas” dan Peraih PRASAMYA PURNA KARYA NUGRAHA.
Ketaatan beragama, kewibawaan sikap mandiri dan merakyat, adalah perpaduan dari garis keturunan sang kakek (Bapak dan Ibu S. Mengga), bernama Sayyid Muhsin Al-Attas dan neneknya Hj. Cilla, seorang bangsawan Mandar dari keturunan Arajang Balanipa ke-12 Pammarica. Sehingga Salim S. Mengga begitu fasih melantunkan ayat-ayat Al-Quran dan taat menjalankan ibadah shalat lima waktu, dibanyak tempat sering memberikan cerama-ceramah agama.

Khutbah Shalat IED di Simpang Lima SemarangTahun 2005
Sikap merakyat dan rendah hati, itulah yang menonjol dalam sikap keseharian Salim S, Mengga, senantiasa mendengarkan keluh kesah para anak buah, serta bergaul danbermasyarakat dimanapun dia bertugas.Maka tidak heran disaat akan meninggalkan pos jabatannya di tempat tertentu (baik sebagai DanYot Kavaleri Ambarawa, Dandim Demak dll) sangat dielu-elukan dan di iringi oleh isak tangis para bawahan yang beliau tinggalkan.

Memimpin Latihan bersama Kavaleri se-Asia
Bahkan ketika Salim S. Mengga menjabat Kasdam IVDiponegoro, para Ulama se-Jawa Tengah menghadapPanglima, meminta beliau untuk menduduki jabatan Pangdam IV Diponegoro, hal itu membuktikan bahwa Mayor Jenderal Salim S . Mengga sangat disenangi oleh masyarakat Jawa Tengah khususnya para Kyai disana, karena beliau orang yang dianggap JUJUR DAN MERAKYAT.

Riwayat Pendidikan
SD: Tahun 1964, SMP: Tahun 1967, SMA: Tahun 1970.

Riwayat Pendidikan Militer
AKABRI: Tahun 1974, SUSSAARCAB KAVALERI: Tahun 1975, SUSSPAHARSAT: tahun 1977, TARDANKI: Tahun 1979, TARKORBANTEM: Tahun 1981, SUSLAPA KAVALERI: Tahun 1984, SUSGUKIL : Tahun 1985, SESKOAD: Tahun 1990, SUSGATI SUSPOL: Tahun 1995, LEMHANAS: Tahun 2001

Riwayat Kepangkatan
Letnan Dua ; 01 12 1974 ; KEP/152/ABRI/1974 Letnan Satu ; 01 04 1977 ; SKEP/398/IV/1977
Kapten ; 01 10 1980 ; SKEP/649/X/1980
Mayor ; 01 04 1985 ; SKEP/420/V/1985
Letnan Kolonel ; 01 04 1991 ; SKEP/116/III/1991
Kolonel ; 01 04 1996 ; KEPRES NO.17/ABRI/1996
Brigadir Jenderal ; 15 03 2001 ; KEPRES RI NO.18/TNI/2001
Mayor Jendral ; 24 10 2003 ; SKEP Pang. TNI NO.SKEP/342/X/2003

Riwayat Jabatan
Dantor Denkaves DAM XIV Hasanuddin 01-07 1975 SKEP/546/VII/1975
Dantor IKI 101 Yonkav 10 DAM XIV Hasanuddin 01-10978 SKEP/183/X/1978
Dankima Yonkav 10 DAM XIV Hasanuddin 01-01 1981 SKEP/OL/I/1981
Kasi 4 Log Yonkav 10 DAM XIV Hasanuddin 01-06 1983 SKEP/232/VI/1983
Gumil Gol IV Pusdikkav 01-05 1984 SKEP/216/IV/1984
Kasi Trakor Dirbinsen Pussenkav 01-09 1985 SPIRIN/711/X/1985
Wadan Yonkav 2 Serbu DAM IV Diponegoro 01-01 1986 SKEP/199/III/1986
Kasdim 0711/REM/ 071 DAM IV Diponegoro 01-02 1984 SKEP/216/IV/1989
Gumil Gol V Pusdikkav 01-06 1990 SKEP/203/V/1990
Dan Yonkav 2 Serbu DAM IV Diponegoro 01-08 1991 SKEP/320/VIII/1991
Dandim 0716 Demak REM 073 DAM IV Diponegoro 12-06 1993 SPRIN/811/VI/1993
WAAS Sospol Kodam IV Diponegoro 01-10 1994 SKEP/390/X/1994
Assospol Kodam IV Diponegoro 06-12 1995 SKEP/462/XII/1995
Danrem 141/Toddopuli DAM VII Wirabuana 15-08 1997 SKEP/459/VII/1997
DAN Pussenkev 15-02 2001 SKEP/99/II/2001
Kasdam IV Diponegoro 01-02 2003 SKEP/30/II/2003
Wadan Kodiklat TNI AD 30-10 2003 SPRIN/1669/X/2003
Pangdam XVI Pattimura

Tanda Penghargaan
Satya Lencana Kesetiaan VIII TH
Satya Lencana Kesetiaan XVI TH
Satya Lencana Kesetiaan XXIV TH
Bintang Kartika Eka Paksi Nararya
Satya Lencana Dwidya Sistha
Bintang Yudha Dharma Nararya
Sekarang beliau adalah Ketua Umum Kerukunan Keluarga Mandar Sulawesi Barat (KKMSB) dan Anggota DPR-RI (mewakili daerah pemilihan Sulawesi Barat).[1]





[1]Dari Blog Aniesh Mahdi Sahl)


Pinjaman Dana Untuk Pembangunan Sport Center ditolak Ketua DPRD Majene

Ada yang seru dalam sidang di DPRD Majene siang tadi (Senin, 26 September 2016). Sidang yang dipimpin oleh Drs Darmansyah selaku ketua DPRD ini membuka sidang dengan sebuah pernyataan tegas yang intinya:
" Jika yang dibahas adalah pinjaman 50 miliar untuk membangun fasilitas Gedung Olahraga Sport Centre Majene, maka selaku pimpinan saya akan meninggalkan ruangan ini, dan silahkan lanjutkan sidang dengan menunjuk pimpinan sidang yang lain" Kata Darmansyah.


Hal menarik yang perlu disikapi dari persoalan ini, bahwa Majene sebagai kota pendidikan belum saatnya mempunyai fasilitas olahraga mewah apalagi jika harus dibangun dengan mengandalkan pinjaman. Darmansyah menambahkan pinjaman 50 M ini akan membebani APBD Majene sebab bunga pinjaman saja harus dibayar 10 M pertahun. Pemda mau pake apa membayar bunga pinjaman sebesar itu, sementara gedung yang dibangun tak menjanjikan prospek yang cerah terhadap peningkatan PAD Majene.


Sidang pembahasan yang sempat deadlock ini menjadi tema diskusi menarik tentang gedung Sport Centre yang tentu saja seperti diungkapkan oleh Drs. Marzuki, saat diskusi di ruang ketua usai sidang, ia mengatakan bahwa keputusan "Pak Ketua sudah benar, mesti ada ketegasan dalam menghadapi rencana seperti ini" ungkapnya.


Darmansyah juga menambahkan bahwa rencana pembangunan sport centre ini sarat dengan resiko yang tidak saja membebani APBD tapi sekaligus berpotensi menjadi sebuah keputusan yang 5 sampai 10 tahun kedepan bisa menjeratnya dalam jeruji besi.


Meski ia pribadi sebagai ketua DPRD menolak keras rencana PEMDA tersebut, tapi jika tetap dipertahankan untuk bisa menjadikan rencana itu terwujud, ia menyarankan supaya dirinya diusulkan untuk tidak ketua DPRD Majene, atau membentuk Pansus terkait rencana itu.
"Sepanjang saya masih ketua DPRD, sampai dimanapun saya tidak pernah menyetujui program ini berjalan di majene". Tegas Ketua MSI Sulbar ini.

Terkait rencana pembangunan gedung Sport Center bisa dibaca disini:
www.kilassulbar.com › > › MAJENE
www.fokusmetrosulbar.com/2016/09/pembangunan-sport-center-terancam-gagal.html
fajaronline.com/2016/09/.../bangun-sport-center-pemkab-majene-pinjam-rp50-miliar/
rakyatsulbar.co › MAJENE


Mengenal Lebih Dekat ANDI ALI BAAL MASDAR (ABM)


Andi Ali Baal Masdar adalah putra HM. Masdar Pasmar, salah satu pejabat kepala badan pemerintahan Provinsi Sulawesi Selatan yang tinggal di bilangan Jl. Cendrawasih, Makassar. HM. Masdar kerap dipindah tugaskan ke Polmas untuk menjabat Camat Campalagian, Camat Polewali.  HM. Masdar tinggal di rumah dinas pemda di kawasan kompleks Pekkabata.

Ketika Ali masih kecil, ia dimasukkan ke Sekolah Dasar (SD) bertingkat dua di Pekkabata, tapi hanya sampai kelas empat saja karena mulai kelas 5 sampai selesai ia tempuh di SD Lantora dekat rumah kediaman pribadi keluarga HM. Masdar Pasmar.

Jika dilihat dari tempat dimana ia tinggal, mulai dari Pekkabata dan Lantora,  ali pasti adalah sosok yang hidup ekslusif tapi ternyata tidak. Ia bahkan bergaul umum dengan anak kecil dilingkungannya. Ia ikut bermain kelereng, main bola. Tak ada gambaran hidup mewah-mewahan apalagi membatasi diri dalam pergaulan.
Di sekolah ia diberi kepercayaan oleh guru dan teman-temannya sebagai pemimpin. Setiap kali ada masalah yang menimpa temannya, maka Ali lah yang menjadi pihak menengahi persoalan tersebut. 

Ali melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri 1 Polewali. Meski termasuk siswa yang rata-rata dalam hal pelajaran di sekolah, tapi dari segi olahraga ia termasuk jago, terutama dibidang olahraga renang dan polo air. Khusus olahraga ini, ia tak hanya jago kandang tapi ditingkat provinsi ia pernah mendapat penghargaan pada tahun 1976 sebagai perenang dengan spesifikasi jarak jauh dalam pelbagai gaya renang, mulai dari gaya bebas, gaya kupu-kupu sampai gaya punggung ia kuasai. Selain olahraga, ia juga aktif di pramuka. Dari kegiatan pramukalah Ali ditempa mengenai kedisiplinan.
               
Pendidikan ditingkat atas ia tempuh di SMA Polewali. Dari segi pelajaran, yang menonjol dari Ali adalah bidang ilmu biologi. Selain ilmu ini, ia hanya bisa menyelesaikan sebatas pekerjaan rumah. Mungkin karena itulah sehingga ia tidak lulus pada saat mendaftar di perguruan Negeri. Namun demikian, ia bisa masuk di Fakultas Ekonomi UMI Makassar.
               
Suatu ketika, H. Baharuddin Lopa bertandan kerumah ayahnya HM. Masdar Pasmar yang memang masih punya kekerabatan. Saat itu Barlop menawarkan pada Ali untuk kuliah di Jakarta. Ia tak pikir panjang langsung setuju dan berkemas untuk berangkat ke Jakarta. Tiba di Jakarta, ia mencoba mendaftar di ITB dan UNPAD Bandung, namun lagi-lagi tidak lulus.
                Kondisi tersebut tak membuatnya putus asa, sebab di Jakarta banyak pilihan untuk bisa kuliah terutama di perguruan tinggi swasta yang juga tak kalah favoritnya. Ali memiilih masuk ke Universitas 17 Agustus Jakarta. Hanya tiga semester yang ia ikuti sebab lebih tertarik mengambil mata kuliah jurusan ilmu politik di Universitas Nasional yang kampusnya di bilangan pasar minggu Jakarta Selatan.

                Hidup dan kuliah di Jakarta ternyata membuatnya tidak betah. Kerinduan akan kampung halaman kerap menghantuinya. Rasa rindu itu begitu kuat menderanya sehingga pada tahun 1985 ia memutuskan untuk pulang kampung dan memilih masuk Pegawai Negeri Sipil. Menjadi PNS bagi dia memang tak begitu sulit sebab ayahnya adalah salah satu dari tokoh dan pejabat teras.
                Pada tahun 1989, Ali menikahi Andi Ruskati, seorang putri bangsawan Majene. Setelah menikah itulah, Ali konsentrasi mengelola harta kekayaan orang tuanya disamping sebagai PNS. Bersama istri tercinta, ia terjun langsung ke tambaknya untuk mengisi waktu luang sepulang kantor. Dari mengelola tambak itu, ia bisa mempekerjakan banyak orang, termasuk memotivasi adik-adiknya untuk giat berusaha.

                Setelah dirasa cukup penghasilan dari PNS dan tambak, ia kemudian menyelesaikan studi. Bukan hanya S1-nya yang ia selesaikan, tapi sekaligus menempuh S2-nya di UNHAS Makassar. Dua tahun ia di Makassar menyelesaikan kuliahnya. Setelah itu ia kembali ke kampung dan langsung bertugas di Tapango, kampung leluhur ayahnya. Di Tapango, ia diberi amanah untuk menjadi Kepala Pemerintahan Persiapan Kecamatan Tapango.

                Ali Baal termasuk sukses menjadi kepala pemerintahan di Tapango, sehingga pada dinaikkan menjadi Sekretaris Bappedalda Kabupaten Polmas. Menjadi Sekretaris Bappedalda memang  tidak lama sebab kemudian Ali Baal menuju tangga puncak yang mungkin tak pernah dibayangkan akan semudah dan semuda itu menjadi bupati. Tahun 2003 melalui pemilihan di DPRD Polmas, Ali Baal terpilih menjadi bupati termuda di Polmas saat itu.

                Cerita tentang Ali Baal menuju kursi bupati berawal dari tawaran Fraksi PDI-P untuk menjadi bupati dengan menawarkan kadernya sebagai wakil bupati, namun tak ada kespakatan yang terbangun sebab fraksi Golkar juga mengusung ayahnya HM. Masdar yang menjabat sebagai Ketua DPD Partai Golkar. Hal yang tak mungkin bisa dilakukan oleh Ali Baal, sebab akan bertarung dengan ayahnya sendiri.

                Kondisi kesehatan ayahnya cenderung memburuk saat itu  membuat konstelasi politik diinternal Golkar mulai menggadang-gadang untuk mengusung Ali Baal sebagai bupati dukungan fraksi Golkar. Setelah melalui proses negisisasi akhirnya disepakati Ali Baal berpasangan dengan M. Yusuf Tuali. Pasangan ini resmi setelah syarat Ali Baal diterima oleh Fraksi Golkar.

                Persyaratan yang diminta oleh Ali Baal adalah: pertama, ia tak ingin diintervensi oleh partai yang mengusungnya, termasuk intervensi dari pihak keluarga. Kedua, ia tak mau ada keluarga yang sombong lantaran ia menjadi bupati. Dan yang ketiga ia tak ingin dijadikan mesin pencari uang oleh partai yang mencalonkannya. Partai Golkar ternyata siap dan sepakat dengan persyaratan dari Ali Baal.

Pada saat menjelang pemilihan, HM. Masdar dipanggil yang kuasa. Dalam keadaan berduka yang dalam itu, proses pemilihan bupati membuatnya jadi pemenang dan resmi menjadi Bupati Polmas periode 2003-2008.

Saat menjadi Bupati Polmas, ia mengkampanyekan untuk menjalin kebersamaan. Tak hanya dikalangan birokrasi, tapi juga dengan masyarakat. Dan itu dibuktikan diusia kepemimpinannya yang 6 bulan hampir seluruh wilayah kecamatannya ia sambangi. Kesempatan berkunjung ke masyarakatnya itu menjadi wahana untuk menggali keinginan dan harapan-harapan masyarakat pada pemimpinnya. Masyarakat memang bergairah dengan kepemimpinannya.

Ali Baal dalam kepemimpinannya ia menggenjot PAD yang hanya 5 miliar menjadi 11 miliar saat memimpin ditahun pertama. Manajemen birokrasi ia benahi. SDM dibangun dengan cara menyekolahkan pegawainya yang berprestasi demi menunjang tugas-tugasnya. Dari segi stereotip keunggulan daerah, Polmas memiliki keunggulan dari segi potensi pertanian sehungan SDM untuk mengelola potensi pertanian juga ia genjot habis-habisan.

Semua ia genjot hingga merubah tampilan Polmas menjadi lebih baik dan membanggakan. Sektor ekonomi, SDM, SDA, agama, seni dan budaya tak ketinggalan ia sentuh dengan sangat profesional sehingga tak heran ketika periode kedua melalui pemilihan langsung pun ia tetap mampu menjadi pemenang ditengah gempuran lawan-lawan politiknya.

Yang menarik dari periode kepemimpinannya terletak ketika periode pertama masih Polewali Mamasa tapi periode keduanya telah berubah menjadi Polewali Mandar. Termasuk sistem pemilihan pada peride pertam ia dipilih oleh Anggota DPRD Polmas, tapi pada periode keduanya dipilih secara langsung oleh seluruh rakyat Polewali Mandar. Dan pada periode keduanya juga melekat sebuah inisial yang begitu populer yaitu ABM.


ABM kian populer ketika tampil menjadi kandidat 01 di pilgub Sulbar 2011. Meski kemudian pilgub dimenangi oleh AAS (Anwar Adnan Saleh) tapi ABM tetap menjadi tokoh sentral yang layak diperhitungkan untuk memimpin banua malaqbiq yang bernama  Sulawesi Barat. (diramu dari buku “Dalam Sejarah Akan Dikenang” Sarman Sahuding, 2006)

Sabtu, 17 September 2016

Catatan Kebudayaan: GERAKAN INDONESIA MEMBACA DAN KAMPUNG LITERASI: Krisis Minat Baca di Indonesia dan Peran Penting Kaum Literat (Bagian


Oleh: Muhammad Munir-Tinambung

Gerakan Indonesia Membaca (GIM) ini dicanangkan dalam bentuk deklarasi dihadapan 1000 masyarakat pemerhati dan pelaku literasi di Sulawesi Barat pada tanggal 17 September 2016. Pencanangan dalam bentuk deklarasi ini bertujuan untuk memberi respon kepada bangsa ini bahwa minat baca masyarakat Sulbar itu sebenarnya tinggi, hanya saja kadang pemerintah dalam merumuskan kebijakannya masih kurang memberi ruang untuk berkreasi dalam mengelola perpustakaan. Di Sulbar ini, banyak bertumbuh komunitas penggiat literasi, tapi mereka berserakan dan tidak tertata keorganisasiannya. Disisi lain, pemerintah juga masih sangat mengandalkan TBM dan PKBM yang berserakan dan menjamur di daerah ini. Sejatinya memang, TBM dan atau PKBM itu juga keberadaannya sangatlah dibutuhkan, tapi melihat grafik perkembangan pendidikan luar sekolah (PLS) sesungguhnya masih jauh panggang dari pada api.

Kendati demikian, TBM dan PKBM yang disuplai dana dari pemerintah tersebut mesti terlecut semangatnya untuk bisa menjadi media partner pemerintah dalam pelaksanaan program pembangunan sumber daya manusia. Mereka (pelaku TBM) tidak harus terkalahkan dengan peran-peran dari komunitas penggiat literasi yang hanya mengandalkan donasi buku yang miskin anggaran operasional. Pencanangan GIM ini berorientasi kepada bagaimana memberi moral kepada semua lapisan masyarakat untuk tidak lagi hanya menghitung sembilan bahan pokok (sembako) tapi sudah saatnya menjadi sepuluh bahan pokok, yaitu buku untuk kebutuhan memnbaca. Buku mesti dihadirkan sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan ruhani dan membaca mesti menjadi proses yang melingkupinya.

Dalam beberapa informasi yang dilansir oleh media nasional, Indonesia kita ini berada pada titik Krisis Minat baca. Jika berdasarkan data yang dirilis oleh BPS (Badan Pusat Statistik) dan UNESCO (The United National Education Scuentific and Cultural) pada tahun 2012, indeks minat baca masyarakat Indonesia baru mencapai angka 0,001. Itu artinya, dari 1000 orang Indonesia, yang mempunyai minat baca hanya satu orang saja. Selain data tersebut, laporan Bank Dunia No. 16369 menyebutkan, tingkat membaca pada usia kelas VI Sekolah Dasar (SD) di Indonesia hanya mampu meraih skor 51.7 dibawah Filipina (52,6), Thailand (65,1) dan Singapura (74,0). Kemudian berdasarkan penelitian yang sama, Indeks Pembangunan manusia (IPM) Indonesia berada pada posisi 121 dari 187 negara di dunia. IPM sendiri adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk semua negara di seluruh dunia. Parahnya, BPS menyebutkan, anak usia 10 tahun di Indonesia 91,68 persen menggunakan waktunya untuk menonton televisi dibandingkan dengan membaca (Fajar. 31 Agustus 2016)
      
Berangkat dari data-data tersebutlah Gerakan Indonesia membaca digaungkan untuk memberi moral kepada siapapun agar bisa merefleksi diri tentang kemampuan membaca kita selama ini? Sulawesi Barat pada bulan ini telah memasuki usia ke-12 tahun. Seharusnya sudah mengalami peningkatan dari segi minat baca, tapi ternyata masih berbanding terbalik, jangankankan minat bacanya, angka buta aksara saja masih menjadi sebuah problem yang belum ditemukan solusi penanganannya.Lalu bagaimana mempola gerakan untuk sampai pada target yang ingin dicapai dari program GIM ini?

Mulailah dengan penguatan literasi dalam lingkup tujuh dimensi seperti yang ditulis oleh Muhammad Haedar Ali dalam haidarism.wordpress.com, yaitu: pertama, Dimensi geografis meliputi daerah lokal, nasional, regional, dan internasional. Literasi ini bergantung pada tingkat pendidikan dan jejaring sosial. Kedua, Dimensi bidang meliputi pendidikan, komunikasi, administrasi, hiburan, militer, dan lain sebagainya. Literasi ini mencirikan tingkat kualitas bangsa dibidang pendidikan, komunikasi, militer, dan lain sebagainya. Ketiga, Dimensi ketrampilan meliputi membaca, menulis, menghitung, dan berbicara. Literasi ini bersifat individu dilihat dari tampaknya kegiatan membaca, menulis, menghitung, dan berbicara. Dalam teradisi orang barat, ada tiga ketrampilan 3R yang lazim diutamakan seperti reading, writing, dan arithmetic. Keempat, Dimensi fungsi, literasi untuk memecahkan persoalan, mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan, dan mengembangkan potensi diri. Kelima, Dimensi media, (teks, cetak, visual, digital) sesuai dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat, begitu juga teknologi dalam media literasi. Keenam, Dimensi jumlah, kemampuan ini tumbuh karena proses pendidikanyang berkualitas tinggi. literasi seperti halnya kemampuan berkomunikasi bersifat relative. Dan terakhir yang ketujuh, Dimensi bahasa, (etnis, lokal, internasional) literasi singular dan plural, hal ini yang nenjadikan monolingual, bilingual, dan multilingual. Ketika seseorang menulias dan berlitersi dengan bahasa derah, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, maka ia disebut seseorang yang multilingual (Bersambung).


Catatan Kebudayaan: GERAKAN INDONESIA MEMBACA DAN KAMPUNG LITERASI: Membangun Sinergitas Kaum Literat dengan Lingkungan (Bagian 2)

Oleh: Muhammad Munir

Membincang Literasi, adalah membincang Balanipa dan Tinambung. Pernyataan ini mungkin mengandung nilai subyektifitas yang tinggi. Tapi jika mau jujur, jauh sebelum kata literasi semakin populer dikalangan masyarakat kita dengan menjamurnya kegiatan literasi yang tidak saja ada di kampong-kampung tapi sekaligus menjadi menu tontonan di beberapa stasiun TV yang tentunya menjadi objek persaingan dalam dunia pertelevisian khususnya perebutan rating. Tak salah memang jika dunia literasi menjadi isu nasional bahkan mendunia, namun harus diimbangi dengan upaya menciptakan lingkungan literasi yang kondusif guna melahirkan generasi literat yang ideal dengan mensinergikan literasi anak, keluarga, sekolah dan masyarakat. Tidak semua harus berfikir untuk bisa diliput dan tampil di TV, pun tak bisa hanya berfikir mendulang dukungan dan donasi untuk mendapatkan keuntungan.

Salah satu item acara dalam Pencanangan GIM dan Kampung Literasi di Desa Bala Kec. Balanipa adalah SEMINAR LITERASI yang menghadirkan pembicara nasional Dr. Firman Venayaksa (Ketua Forum TBM RI), Adi Arwan Alimin, Cerpenis yang juga Komisioner KPU Sulawesi Barat serta Bustan Basir Maras, penulis produktif yang juga Chief Editor Annora Media Group Jogyakarta. Hasil Seminar menunjukkan bahwa GIM ini adalah cara untuk mendorong keluarga terlibat secara dominan dalam penguatan literasi terhadap anak. Seminar yang mendapuk Tammalele sebagai moderator ini memgungkap beberapa hasil riset yang menunjukkan bahwa umumnya anak mulai belajar membaca dan menulis dari orang tua di rumah. Mereka akan membaca jika orang tuanya member contoh. Jika orang tua membaca, besar kemungkinan seorang anak akan ikut membaca meski tanpa disuruh. Anak sebenarnya sudah bisa dirangsang untuk gemar membaca bahkan kata Bustan Basir Maras, ketika masih dalam kandungan ibunya. Riset juga menunjukan bahwa wanita hamil yang sering membacakan buku bagi janinnya yang dikandung cenderung melahirkan anak gemar membaca.

Hasil seminar nantinya akan menjadi acuan untuk rekomendasi ke pemerintah agar program PLS (Pendidikan Luar Sekolah) lebih fokus membidik penggiat literasi dalam menyelenggarakan proses mencerdaskan kehidupan bangsa. Anak usia dini juga hendaknya digarap lebih serius untuk meningkatkan minat baca anak. Mungkin bisa diwali dengan kegiatan reading aloud atau membaca nyaring. Hal ini bisa mengganti kegiatan mendongeng sebelum tidur yang sudah menjadi tradisi orang tua di masyarakat kita sejak dulu. Seorang ibu juga bisa menumbuhkan kegemaran membaca anaknya dengan mengajak anak melakukan kegiatan yang melibatkan aktivitas membaca seperti membaca resep masakan, sering menulis pesan buat anak dan meminta balasan tertulis, serta meminta anak meminjam buku dari perpustakaan sekolah. Kegiatan ini adalah langkah awal peralihan dari budaya orasi melalui dongeng ke budaya membaca (buka link: iproudbemuslim.blogspot.co.id/).

Jika dunia literasi dan kaum literat kita di Mandar semakin memahami makna kedalaman kata literasi, besar kemungkinan kita akan menjumpai daerah kita kembali menjadi pusat peradaban besar sebagaimana yang mampu diraih oleh peradaban Passokkorang (Tahun 1300-1400), Balanipa, Sendana, Banggae dan Pamboang (1750-1870). Kerajaan Passokkorang adalah salah satu kerajaan  yang berhasil menarik minat penduduk dunia khususnya Cina untuk menyuplai hasil industry keramik mereka. Termasuk Passokkorang juga menjadi salah satu kerajaan selain Palopo yang paling banyak menyuplai pasokan besi ke kerajaan Majapahit. Demikian juga di pesisir pantai wilayah konfederasi Pitu Baqbana Binanga pada sekitar tahun 1750-1870 berhasil menjadi pusat niaga, pusat perdagangan dunia dengan tersedianya beberapa pelabuhan yang ramai dikunjungi para saudagar, termasuk Belanda yang ikut menjajah dan menguasai daerah ini pada puncaknya dimulai pada tahun 1900-an.
Runtuhnya beberapa kerajaan besar yang berdaulat pada masa lalu itu lebih disebabkan oleh kurangnya perhatian masyarakat pada dunia literasi sehingga generasi setelahnya menjadi generasi yang bodoh dan gampang diadu domba oleh Belanda.. Keruntuhan peradaban besar di Mandar itu tentu saja bukan dipengaruhi oleh kondisi lemahnya masyarakat Mandar secara ekonomi. Justru daerah kita pada saat itu menjadi pusat perekonomian dunia, khususnya komoditas Kopi dan Kelapa (kopra) atau bokaq. Pada tahun 1819 perdagangan dunia mulai mapan. Singapura adalah pusat perdagangan dunia. Orang Mandar sebelumnya telah banyak melakukan transaksi penjualan disana. Itu bisa dilihat dari catatan lontaraq tentang Pattumasik (orang Mandar yang berlayar untuk berdagang ke Singapura). Dengan kata lain, Mandar pada tahun-tahun itu telah terlibat dalam perdagangan internasional. Dan sekitar tahun 1850, perdagangan antara orang Mandar dengan orang Eropa juga  mulai marak.

Menurut catatan Belanda, seperti yang dikutip oleh Muhammad Ridwan Alimuddinpada tahun 1860, jumlah pohon kelapa di Sulawesi Selatan sekitar 407.279 pohon (Mandar 16.502 pohon). Dan berkembang pesat pada 1875, di saat pohon kelapa mencapai 755.500 pohon.
Perdagangan dunia semakin marak semenjak dibukanya terusan Suez di Mesir pada tahun 1869. Kemudian booming perdagangan kopi pada tahun 1870. Pada tahun yang sama, para maraqdia di Mandar mengadakan perjanjian politik dengan Hindia-Belanda yang membuat Belanda juga bisa seenaknya membeli kopra dari pekebun Mandar dengan harga yang sangat rendah dan hanya orang Belanda-lah (VOC) yang boleh membeli kopra. Di pihak lain, para pedagang (umumnya dari kalangan bangsawan sendiri) mengetahui harga kopra sangat tinggi di Singapura.


Catatn sejarah dalam lontaraq tersebut mengambarkan betapa masyarakat kita yang saat itu menguasai perdagangan dunia harus jatuh dalam kungkungan penjajah Belanda itu lebih disebabkan oleh kurangnya samangat literasi dikalangan pemerintahan yang otomatis membuat masyarakat hanya berfikir bagaimana bisa menghasilkan uang sebanyak-banyaknya tanpa pernah mempertimbangkan kualitas kemampuan mereka untuk bersaing dengan para pendatang dari Negara luar yang saat itu banyak berdatangan di wilayah Mandar. (Bersambung)

Catatan Kebudayaan: GERAKAN INDONESIA MEMBACA DAN KAMPUNG LITERASI: Membaca Mandar, Mandar Membaca (Bagian 1)

 OLEH: MUHAMMAD MUNIR

Tanggal 16-17 September 2016, sebuah peristiwa kebudayaan telah usai  dihelat di Negeri Pusaka, Tanah Pustaka Balanipa. Lapangan Bala Desa Bala Kecamatan Balanipa Kab. Polewali Mandar menjadi saksi ketika bunyi Gong dipukul dan bunyinya menandai dicanangkannya Gerakan Indonesia Membaca (GIM) dan Kampung Literasi. Kegiatan yang mengusung tema Mandar Membaca, Membaca Mandar yang digawangi oleh Muhammad Adil Tambono, putra Balanipa yang selama ini eksis dalam dunia pembangunan sumber daya manusia khususnya penguatan literasi di tanah Mandar lewat TBM Kakanna yang sudah menahun mengambil bagian mencerdaskan kehidupan bangsa dan Negara.

Kegiatan GIM dan Kampung Literasi ini menjadi sebuah peristiwa yang patut diapresiasi sebab selama ini gaung literasi di tanah Mandar kerap kita saksikan melalui tayangan televisi swasta, tapi masih belum menunjukkan penguatan dan gregetnya dimasyarakat Mandar. Penguatan yang dimaksud adalah terciptanya virus literasi di setiap titik di daerah ini. Kendati demikian, apa yang telah dilakukan oleh beberapa penggiat literasi di Mandar patut kita acungi jempol sebab upaya untuk meningkatkan kemampuan membaca sudah ada tinggal memoles gerakan untuk mengasah kemampuan menulis dimasyarakat. Hal terakhir ini yang penulis maksudkan belum adanya penguatan literasi.

Literasi sendiri mempunyai pemaknaan sebagai ruang untuk menumbuh kembangkan dan menebar virus membaca dan menulis dimasyarakat. Literasi dimaksudkan untuk melakukan kebiasaan berfikir yang diikuti oleh sebuah proses membaca dan menulis. Dr, Herman Venayaksa (Ketua Forum TBM RI) saat berbicara dihadapan pesrta seminar literasi di lapangan Bala memaknai literasi sebagai proses melahirkan dan menciptakan karya. Jika kita merujuk pada penyampaian Firman, maka pada tahap ini jelas bahwa penguatan literasi kita masih belum maksimal. Kondisi ini melatari Adil Tambono mencari cara untuk bisa membuat sebuah kegiatan dengan skala lebih besar dan melibatkan insan-insan literasi dan pelaku TBM di Sulbar.

Pencanangan Gerakan Indonesia Membaca dan Kampung Literasi inilah jawabannya. Di ajang ini, masyarakat kita akan terpola gerakan penguatan literasinya sebab melibatkan ratusan pelaku TBM dan Penggiat Literasi. Bukan hanya itu, masyarakat umumpun dilbatkan dalam proses kegiatan lomba mulai dari lomba menulis cerpen, menulis surat kepada menteri, membaca puisi, mewarnai gambar, mancing literasi, laying-layang literasi, lomba fotografi, sampai kepada kegiatan pengumpulan arsip kampung tertua, seminar literasi dan puncaknya adalah Pencanangan Gerakan Indonesia Membaca yang rencananya dihadiri oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Dr. Muhajir Effendy, M.Ap. Kegiatan pencanangan GIM ini akan diikuti oleh 1000 orang yang terdiri dari pemerhati, penggiat, pelaku TBM dan masyarakat umum dirangkaikan dengan launching Kampung Literasi serta penghargaan dan pemberian bantuan pada 10 komunitas penggiat literasi dan pelaku TBM di Sulbar.  
Muhammad Adil Tambono, Pendiri TBM Kakanna yang menjadi Ketua Panitia pada kegiatan ini berharap, kedepan kegiatan semacam ini diharapkan bisa menjadi stimulan dan memberi spirit bagi komunitas lain untuk mengambil bagian dalam upaya menebarkan virus literasi dikalangan masyarakat Mandar pada umumnya dan Polewali Mandar pada khususnya. Kepada penulis ia membeberkan bahwa melalui kegiatan ini diharpkan menjadi ruang konsolidasi untuk membentuk kesepahaman dalam hal pemaknaan terhadapliterasi. Literasi mesti menjadi sebuah gerakan kolektif untuk menggali kemampuan membaca, menulis atau melek aksara.

Sampai disini, kita berharap keberadaan komunitas penggiat literasi seperti Nusa Pustaka (Muhammad Ridwan Alimuddin dkk), Rumah Pustaka (Ramli Rusli dkk) Rumah baca I Manggewilu Teppo (Thamrin dkk) Rumah Kopi Sendana (St. Mutmainnah Syamsu dkk) serta RUMPITA (Rumah Kopi dan Perpustakaan) ditambah ketersediaan TBM-TBM yang difasilitasi oleh pemerintah menjadi sentra penguatan dalam meredefenisi pemaknaan literasi. Sudah saatnya Literasi berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis, dan peka terhadap lingkungan sekitar.

Kirsch dan Jungeblut dalam buku Literacy: Profile of America’s Young Adult seperti yang ditulis dalam iproudbemuslim.blogspot.co.id, mendefinisikan literasi kontemporer sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Lebih jauh, seorang baru bisa dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman bacaannya.


Sekarang ini, generasi literat mutlak dibutuhkan agar bangsa kita bisa bangkit dari keterpurukan bahkan bersaing dan hidup sejajar dengan bangsa lain. Wagner (2000) menegaskan bahwa tingkat literasi yang rendah berkaitan erat dengan tingginya tingkat drop-out sekolah, kemiskinan, dan pengangguran. Ketiga kriteria tersebut adalah sebagian dari indikator rendahnya indeks pembangunan manusia. Menciptakan generasi literat merupakan jembatan menuju masyarakat makmur yang kritis dan peduli. Kritis terhadap segala informasi yang diterima sehingga tidak bereaksi secara emosional dan peduli terhadap lingkungan sekitar. (Bersambung)