Rabu, 17 Agustus 2016

MEMBANGUN RUMAH PAN YANG MAPAN

OLEH: MUHAMMAD MUNIR (Wakil Ketua DPD PAN Polewali Mandar) 


Musda PAN IV yang digelar Sabtu, 14 Mei 2016 lalu di Hotel Ratih menghasilkan empat orang tim formatur. Tim formatur tersebut antara lain menetapkan Ajbar Abd. Kadir, Nahar Bakri, Jamar Jasin Badu dan Efendy S. Singkarru. Setelah melalui proses diskusi akhirnya disepakati bersama DPW PAN Sulbar member amanah kepada Ajbar Abd. Kadir sebagai Ketua, Jamar Jasin Badu didapuk sebagai sekretaris dan Nahar Bakri diplot menjadi bendahara DPD PAN untuk periode 2016-2021.


Keputusan menunjuk Ajbar sebagai ketua DPD PAN bukanlah sebuah persoalan kebetulan tapi sebuah kesadaran yang didasari niat dan kesungguhan untuk membangun image partai dalam bingkai saudaraku (panggilan/sapaan akrab sesama kader PAN). Ajbar yang kini menjadi Ketua Komisi 4 ini menjadi muara dari sebentuk arus perubahan dalam menata masa depan partai berlambang matahari ini. Betapa tidak, terpilihnya Ajbar sebagai ketua DPD mutlak menjadi spectrum untuk member spirit perubahan.

Benar saja, ditangan politisi PBR yang melebur ke PAN ini langsung tancap gas dan mengubah tampilan partai ini selangkah lebih maju dari kepemimpinan periode sebelumnya. Langkah pertama yang dilakukan adalah membangun rumah PAN. Rumah PAN yang dibangun ini bukan sekedar tempat ngumpul sebagai kantor/secretariat. Ia menjadi rumah yang mapan untuk sebuah proses perubahan. Perubahan yang dimaksud tersebut dapat dilihat dari formasi kepengurusan yang 60 persen terdiri dari kader muda berkarakter.

Hasil Musda PAN IV kali ini setidaknya menjadi ruang konsolidasi bagi kader PAN di Polewali Mandar. Tulisan berjudul “Membangun Rumah PAN yang Mapan” ini mencoba mengapresiasi kinerja kader PAN yang dinakhodai oleh Ajbar ini. Apresiasi dimaksudkan untuk memberi moril pada sebuah agenda politik yang tiap tahun akan digelar di Polewali Mandar ini. Agenda politik yang dimaksudkan adalah Pilgub 2017, Pilkada Polman 2018 untuk selanjutnya menghadapi Pemilu 2019.

Berbagai agenda politik tersebut menuntuk konsentrasi dan konstribusi pada partai untuk mengkalkulasi kemenangan pada setiap perhelatan demokrasi di daerah ini. Olehnya, kedepan tugas pertama yang harus dilakukan oleh Ajbar dan jajaran pengurusnya adalah: Pertama: mengelaborasi makana kader. Siapa mereka? Kemana harapan mereka akan dibawa? Dalam lingkungan pergaulan partai, istilah ‘kader’ adalah kosa kata yang setiap saat kita sebuttapi tidak terlalu banyak yang mencoba mengelaborasi makna kedalamannya. Kader ada dua macam yaitu “Kader formalitas” dan “kader esensial”. Kader formalitas adalah sebutan bagi siapapun pengurus struktural partai dan pernah mengikuti pelatihan kader. Sementara kader esensial adalah penjumlahan kualitas yang terdapat dalam diri seseorang tanpa melihat apakah orang itu berada dalam struktur partai atau tidak.

Kualitas yang dimaksud meliputi bentuk immaterial seperti cita-cita, angan-angan, niat baik, sifat ikhlash, tulus dll. Hingga bentuk material yang dapat dilihat dalam konstribusi pemikiran, tenaga, dana dll. Pada pengertian kader formalitas yang tidak memiliki kualitas kader esensial, cenderung akan menjadi beban dan penghalang untuk menang, bahkan mungkin tepat disebut “benalu partai”.

Partai mesti menjadi ruang akademis dan hati nurani, dan politik sebagai lapangan kompetisi sekaligus sportifitas. Karenanya, penyelewengan, pembiaran dan apapun bentuknya adalah sebuah kesalahan fatal yang yang tidak bisa di tolerir. Saatnya kita tinggalkan dandanan-dandanan politik yang sifatnya menina bobokan kader. Partai harus dijadikan seragam kolektif untuk mengakomodasi keinginan masyarakat, karena atas nama demokrasilah partai politik menemui takdirnya untuk dilahirkan dengan fungsi utama sebagai rumah aspirasi rakyat.Jangan lagi mengeja konsep politik Belanda yang ketika ada segolongan yang tidak pro atau menentang maka jalan satu-satunya adalah disingkirkan.

Lembaga partai politik dan DPR adalah wadah aspirasi dan aksentasi konstituen dan masyarakat secara umum. Karenanya, pengurus partai dan anggota dewan seharus memposisikan diri sebagai aspirator, inisiator dan mediator bagi kebutuhan masyarakat secara umum dan konstituen secara khusus. Apabila aspirasi tidak mampu diakomodir secara baik dan benar, maka itu akan dilarikan dalam bentuk demonstrasi, kritik, opini, mosi tidak percaya dan jangan salahkan apabila dibumbuhi makian dan sumpah serapah.

Kedua: Ajbar dan jajarannya mesti membuat sebuah perubahan yang signifikan. Perubahan yang dimaksud terutama pada peran intitusional dari pengurus partai, anggota legislative dan institusi kampanye lainnya sebagai prasyarat untuk menjemput prestasi kerja yang lebih membanggakan. Pengurus partai disebut berprestasi jika memiliki kinerja yang baik dalam tiga hal yakni: Pertama, Kemampuan pengurus dalam meningkatkan jumlah rekruitmen anggota partai atau kader. Tentu dalam hal ini tidak berhenti pada terdaftarnya anggota saja, akan tetapi sampai pada bentuk mempertahankan anggota melalui berbagai program yang riil dan dirasakan manfaatnya oleh anggota. Peningkatan jumlah anggota secara tidak langsung dilakukan dengan meningkatkan leverage partai ditengah kehidupan sosial masyarakat. Leverage maksudnya adalah kemampuan pengurus partai memberi reaksi atau kemampuan pengurus dalam menjamah problem sosial maupun kebijakan pemerintah yang muncul.

Kedua, adalah kemampuan pengurus dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) dari partai. Disini yang ditekankan adalah ketersediaan fasilitas program pengembangan SDM baik dalam bentuk training maupun dalam bentuk kegiatan keorganisasian yang pada gilirannya dapat meningkatkan kemampuan pengurus dan anggota. Yang tak kalah pentingnya adalah yang Ketiga, yakni pengurus yang menjadi anggota dewan seharusnya lebih dekat dengan kader dan konstituennya serta memanfaatkan media massa seoptimal mungkin. Dalam artian mereka hendaknya mampu menyuarakan kepentingan-kepentingan rakyat secara menyeluruh dalam rangka mengelaborasi pemikiran dan yang terakhir ini hanya dapat dilakukan dalam wujud masukan, kritikan, gagasan atau opini.

Mereka harus mampu memosisikan diri sebagai bagian dari solusi setiap masalah bukan malah menjadi bagian dari masalah. Masyarakat ketika mendapat masalah sejatinya menjadikan anggota dewan sebagai pelarian untuk mencari solusi, tapi faktanya anggota dewan kita belumlah bisa diharapkan untuk menjadi partner dalam memecahan persoalan.