Sabtu, 25 Juni 2016

ABSTRAK MAKALAH DRS. DARMANSYAH KE KONFERENSI NASIONAL SEJARAH X

“ORANG MANDAR PELAUT ULUNG”
Oleh: Drs. Darmansyah
Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Sulawesi Barat
Ketua DPRD Kabupaten Majene


ABSTRAK

Jauh sebelum konsep Tanah Air yang tertuang dalam naskah Sumpah Pemuda tahun 1928, di sebuah wilayah konfederasi bagian Sulawesi bagian barat sudah berbentuk negara, yaitu Pitu Ulunna Salu – Pitu Ba’bana Binang. Sejak tahun 1580, wilayah ini sudah dikenal lita’ Mandar yang mempunyai pengertian “Tanah Air“. Dari sini, sebuah peradaban Mandar terbentuk sebagai wilayah dan sebagai suku bangsa. Suku bangsa Mandar yang terdiri dari tujuh wilayah adat yang berada di daratan dan tujuh wilayah adat yang berada di pantai. Tujuh wilayah adat ini menjadi negara konfederasi Mandar adalah yang notabene wilayah pantainya adalah kerajaan bahari (berhadapan langsung dengan laut lepas) sementara dari pegunungan menguatkannya dengan adanya aliran sungai yang semuanya bermuara ke teluk Mandar. Alasan inilah barangkali yang membuat Kristian Pelras, penulis buku “The Bugis” menyebutkan bahwa bukan orang Bugis atau orang Makassar pelaut ulung, tapi orang Mandarlah yang lebih tepatnya disebut pelaut ulung.
Adanya ritual pelantuikan Raja-raja di Mandar yang dilantik diatas punggung penyu adalah simbol kepemimpinan yang letak geografisnya berhadapan langsung dengan laut, dituntut memiliki karakter seperti penyu.  Pannu (Panynyu) adalah jenis hewan laut yang dalam bahasa Indonesia disebut Penyu. Secara Filosofi mengandung makna yang dalam tentang penyu yaitu: (1) Penyu dapat bertahan hidup sampai 500 tahun, dan diharapkan raja dapat bertahan lama pada jabatannya dengan mendapat dukungan dari rakyat; (2) Penyu mencari makanan di laut dan bertelur di darat. Inilah salah satu bukti bahwa orang Mandar itu adalah orang laut yang sumber penghidupannya berada di laut namun peradabannya besar di daratan; (3) Penyu punya karakter pendiam tapi dalam hal mencari rejeki ia pantang menyerah pada keadaan (ombak besar). Penyu juga mempunyai jumlah telur yang banyak.
Filosofi penyu bagi orang Mandar terlakonkan dengan kepiawaiannya mengarungi laut dengan perahu “Sande’-nya” untuk mencari rejeki. Orang Mandar dengan gagah-berani mempertaruhkan hidupnya siang dan malam, berminggu-minggu diatas rumpon untuk mencari nafkah pada laut yang dalam. Hal paling inti dari filosofi penyu terletak pada kulitnya yang tebal yang mempunyai fungsi melindungi tubuhnya dari peredator. Ini menjadi sebuah harapan kepada raja untuk dapat melindungi rakyat dan negerinya dari ancaman luar. Kesemuanya itulah sehingga tidak berlebihan jika orang Mandar mengabadikan nama penyu melalui kue tradisional yang disebut “Tallo Pannu”.
Terkait keberanian orang-orang Mandar dalam menyeberangi laut lepas dengan perahu tradisional sande’ dapat dibuktikan melalui leluhur Komjen Pol. Drs. H Syafruddin Kambo, M.Si (Kalemdikpol RI) yang menunaikan ibadah haji ke Mekah pada tahun 1889. Perahu tradisional “ sande’ “ hari ini telah menjadi warisan budaya nasional yang dibuktikan dengan sertifikasi dari Kementerian Pendidikan Nasional RI, dengan nomor registrasi : 154004 B/MPK.A/DO/2014. Selain itu, di kepulauan nusantara ini, kita bisa menemkan beberapa jejek perkampungan orang Mandar di pesisir pulau jawa dan Bali, termasuk di Nusa Tenggara dan Kepulauan Bangka Belitung.
PENDAHULUAN
Indonesia dalah negara kepulauan terbesar di dunia. Dari data Kementerian Kelautan dan Perikanan RI tahun 2010, jumlah pulau di Indonesia sebanyak 13,000 pulau, luas daratan 1.922.570 km2 dan luas laut mencapai 3.257.483 km2 dan jika ditambah dengan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) seluas 200 mil laut, maka luas perairan laut Indonesia sebesar 7. 900. 000 km2 atau 81% dari luas keseluruhan wilayah Indonesia. Dengan luas daratan dan lautan yang seperti itu, tentunya kekayaan alam Indonesia beraneka ragam, seperti migas, pertambangan, kekayaan laut, kekayaan flora dan faunanya.
Dengan kondisi seperti itu, maka tak berlebihan jika Indonesia ini disebut bumi maritim. Indonesia menjadi bagian terpenting dari sistem planet bumi yang merupakan satu kesatuan alami antara darat dan laut di atasnya tertata secara unik, menampilkan ciri-ciri negara dengan karakteristik sendiri yang menjadi wilayah yurisdiksi Negara Republik Indonesia. Hal inilah yang kemudian jadi acuan dalam menggagas sebuah Negara Maritim Indonesia sebagai aktualisasi wawasan nusantara untuk memberi gerak pada pola pikir, pola sikap dan pola tindak bangsa Indonesia secara bulat dalam aktualisasi wawasan nusantara.
Nusantara, sebagaimana disebutkan dalam negarakertagama, terbayang sebagai kesatuan maritim yang saling terhubung oleh air. Interaksi antar pulau dalam bentang Sabang hingga Merauke seyogyanya tidak bisa dipisahkan dari laut, termasuk daratannya juga tak bisa dipisahkan dari alur sungai yang bermuara ke laut. Di Jawa, kota-kota besar, Surabaya, Semarang dan Jakarta, terbentuk oleh kehadiran pelabuhan-pelabuhan. Demikian pula di Sulawesi, peradaban bahari bertaut erat dengan relasi dagang antara kesultanan besar sejak dahulu kala.  
Hari ini, Indonesia mempunyai sumber daya manusia sebesar 250 juta orang penduduk. Angka terbesar keempat di dunia setelah Tiongkok, India, dan AS. Jumlah penduduk usia produktif lebih banyak ketimbang yang berusia tidak produktif (bonus demografi), dengan jumlah kelas menengah yang terus meningkat dari tahun ke tahun, dan juga modal kekayaan alam yang melimpah dan beragam baik di darat ataupun lautan, serta posisi geoekonomi yang sangat strategis di jantung pusat perdagangan global. Ada sekitar 45% dari seluruh komoditas dan barang yang diperdagangkan di dunia dengan nilai US$1.500 triliun per tahun diangkut melalui laut Indonesia (UNCTAD, 2010).
Selama ini ada sebuah yang ironi, bahwa filosofi yang mendasari setiap kebijakan nasional kita selama ini selalu bertumpu pada paradigma “daratan”. Di sinilah letak ironinya, negara kita yang sejak dahulu tersohor dengan negara maritim dengan wilayah yang 75% lautan, namun kita sama sekali mengabaikan bahkan “memunggunginya”. Tidak mengherankan bila sampai saat ini, negara-negara lainnya yang justru menangguk keuntungan dari semua kekayaan laut kita.
Sampai saat ini, pencapaian hasil pembangunan maritim Indonesia masih menyisakan begitu banyak persoalan dan pekerjaan rumah bagi pemerintah. Salah satu buktinya adalah hingga kini kontribusi seluruh sektor maritim terhadap PDB hanya sekitar 20%. Padahal, pada Negara-negara dengan potensi kekayaan laut yang lebih kecil ketimbang Indonesia, seperti Islandia, Norwegia, Jepang, Korea Selatan, Tiongkok dan Thailand, kontribusi bidang maritimnya rata-rata telah mencapai di atas 30% dari PDB.
Hal lain yang perlu diingat, peradaban sungai adalah peradaban yang menyangga teritori daratan dan laut. Peradaban yang menjadi pintu keluar masuk bagi pertukaran budaya daratan dan budaya pesisir. Artinya, jika upaya mewujudkan poros maritim hanya bertumpu pada paradigm “kelautan” semata, maka sudah bisa dipastikan kesenjangan atau ketimpangan pembangunan pasti akan terjadi seperti pada masa Orde Baru, namun dalam wujud yang berbeda. Untuk itu diperlukan sebuah cara berpikir dan bertindak baru untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.


ORANG MANDAR PELAUT ULUNG...............................................................................
...........................................................................................................................................................dst. 
Inilah Makalah yang akan dikirimkan ke Kongres Sejarah Indonesia, 7-10 November 2016 di Jakarta.

Rabu, 15 Juni 2016

CV. JURAGAN PASAR GROUP GARAP KELOR DI SULBAR

Kalau di Sulsel Musawwir Muchtar berhasil mempresentasekan kelebihan daun kelor dihadapan Presiden Barack Obama (Baca: Fajar, 15 Juni 2016), maka di Sulbar ada Abdul Rasyid Ruslan yang saat ini intens dalam pembelian biji kelor dan penanaman Pohon Kelor sebagai komoditas yang insyaallah mampu mengubah persentasi angka kemiskinan dan pengangguran di Sulbar. Baik Musawwir maupun Abdul Rasyid, keduanya adalah sosok pemuda yang punya perhatian besar terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
Keduanya berhasil membuktikan bahwa dunia memang tak selebar daun kelor. Persoalannya adalah, maukah masyarakat kita berubah? Sebab sangat susah memang untuk mengajak masyarakat berubah jika masyarakatnya sendiri tidak ada keinginan untuk berubah. Kondisi ini sama persis dengan mengajari kambing bernyanyi.
Sekarang peluang itu telah terbuka. Dibawah panji CV.Juragan Pasar dan CV. Kenduri Cinta Indonesia siap menjadi mitra anda untuk meraih masa depan yang lebih baik dengan budidaya kelor. Untuk informasi lebih lanjut mengenai penjualan dan penanaman kelor silahkan menghubungi kami di RUMAH KOPI DAN PERPUSTAKAAN (RUMPITA) TINAMBUNG.


Kami perusahaan yang bergerak sebagai suppliers comodity membutuhkan biji kelor dalam jumlah banyak.
Silahkan menghubungi kami :
085230663104 (ABD RASYID / Direc. 
Juragan Pasar)
082113008787 (
Muhammad Munir / Manaj. Rumpita)
PIN BB: 59991E5D
WA/LINE/WeChat : 081242705488

Selasa, 14 Juni 2016

Mengenang Kolonel Abdul Rauf, Mantan Bupati Majene 1965-1967


Desa Samasundu adalah sebuah perkampungan tua yang dulu masuk dalam wilayah adat pemerintah kerajaan Balanipa, yaitu Appeq Banua Kayyang. Disana tinggal sepasang suami istri yang kukuh mempertahankan cintanya dalam ikatan rumah tangga. Namanya H. Tanggo Daengna I Saniasa dengan Sinna yang melahirkan enam orang anak, salah satunya adalah Abdul Rauf yang lahir bertepatan dengan hari Jumat tanggal 17 Agustus 1923.
Sinna, ibu dari Abdul Rauf masih tercatat sebagai keturunan langsung pappuangan. Meski begitu, gaya hidupnya tak pernah menampakkan sifat-sifat feodal. Demikian juga ayahnya, H. Tanggo Daengna I Saniasa, juga dari keturunan adat Banua Samasundu-Napo dan keturunan adat kerajaan Pambauang. Jadi dalam darah ayahnya, mengalir cera’ puang yaitu Balanipa dan Pamboang.
Dari pasangan inilah tumbuh dan berkembang seorang anak yang bernama Abdul Rauf. Rauf menempuh pendidikan sekolah dasarnya dengan berjalan kaki dengan jarak tempuh yang lumayan jauh. Pendidikan sekolah dasarnya ia jalani di HIS selama enam tahun. HIS saat itu hanya ada di Majene, Ibukota Afdeling Mandar. Bisa dibayangkan jarak tempuh  antara Samasundu dan Majene sejauh 15 kilometer.
Tapi bukan Rauf kalau tak bisa menyiasati kasulitan dalam perjalanan ke sekolah ini. Pada awalnya ia menempuh dengan jalan kaki mulai dari rumahnya hingga sejauh 5 kilometer hingga tiba Tinambung. Di Tinambung lalu dilanjutkan naik bendi-kendaraan tradisional Mandar- yang ditarik seekor kuda di Majene. Sitti Alawiah termasuk yang berjasa menunggunya dalam perjalanan sejauh 10 kilometer. Rutinitas ini berlangsung selama empat tahun berturut-turut. Pada tahun kelima dan keenam di HIS, strategi perjalanan pun berubah dan ini akan menjadi sebuah kisah yang tak pernah dilupakan oleh Abdul Rauf semasa hidupnya.
Begitu dalam kumpulan naskah ‘’Kenanganku’’ yang disusun sendiri oleh Abdul Rauf, di akhir tulisan tertanggal 26 Mei 1984, sebagai kado ulang tahun perkawinannya yang ke 37. Ceritanya begini. Seorang teman kelasnya bernama
Sitti Alwiah, Seorang anak dari jalur Pappuangan Biring Lembang. Sitti Alawiah tinggal di kampung Tangnga-tangnga, samping masjid kerajaan Balanipa, 10 kilometer dari Majene. Jadi ketika Abdul Rauf usai menempuh jalan kaki 5 kilometer, maka tibalah di tempat Sitti
Perempuan ini memiliki sebuah sepeda hasil pemberian kakaknya, Muhammad Taufik. Tapi sayang Sitti Alawiah tak bisa mengayuh sepeda. Untungnya Abdul Rauf lincah naik sepeda tapi ia tak punya sepeda. Nah dua kesulitan ini pun berkumpul menjadi satu. Seseorang punya sepeda dan yang satu tak punya sepeda, tapi terampil besepeda.
Melanjutkan perjalanan ke sekolah HIS di Majene, mereka pun bersepakat berboncengan, Abdul Rauf di depan mengayuh pedal  dan Sitti Alawiah duduk dibangku boncengan. Untungnya bagi Abdul Rauf, ketika pulang sekolah, saat Sitti Alawiah sudah tiba di rumahnya sepeda pun dilanjutkan ke rumah Abdul Rauf, hingga malam. Begitulah seterusnya.
Rupanya masih ada kesepakatan dari keduanya mengenai sepeda. Dan hal ini tak boleh dilanggar. Kalau kelak ban sepeda rusak di bagian depan maka Abdul Rauflah yang akan menanggungnya. Dan kalau ban belakang yang rusak maka Sitti Alawiah pulahlah yang menanggungnya.
 Di masa kanak-kanaknya itu, Abdul Rauf kerap bermain-main mattaru, ma’gasing, siseppa, silanja, dan mallayang. Di bidang seni ia gemar memainkan kecapi, gambus, rebana, dan permainan pencat silat.
Untuk pertama kalinya Abdul Rauf ke Makassar, tepatnya 26 Juni 1937. Bila saja ia lulus masuk di Normal School maka nasibnya menjadi guru akan tercapai. Tapi ia tak beruntung. Seiring saat itu pula pecah perang Asia Timur Raya, dan Abdul Rauf pun dengan tujuan melamar di sekolah Putsu Cu Gakko, tapi itu pun belum bisa masuk dikarenakan ia tiba ketika penerimaan siswa sudah ditutup.
Meski begitu Abdul Rauf tak pulang kampung, ia harus sabar menunggu penerimaan tahun depan di sekolah yang sama.  Alhasil, ditahun berikutnya ia diterima di Putsu Cu Gakko. Sekolah di Makassar tak lama sebab ketika tentara sekutu mengadakan serangan balik terhadap pendudukan Jepang, kota Makassar pun porak-poranda terpaksa proses belajar mengajar di sekolah Abdul Rauf di pindahkan ke Sinjai.
Disamping ia menimbah ilmu ilmiah, juga mulai diperkenalkan perjuangan untuk merdeka: semangat, disiplin dan latihan militer. Pada tahun 1945 pihak pimpinan sekolah meliburkan siswanya, dan Abdul Rauf memilih pulang kampung yaitu Tinambung. Ia menunggu kabar dibukanya kembali hari sekolah, ternyata yang datang adalah menyerahnya Jepang terhadap sekutu. Ambang kemerdekaan Indonesia pun tinggal menghitung hari untuk tiba.
Di Mandar. Dibawah komando Andi Depu atas restu K. H. Muhammad Tahir (Imam Lapeo) mengorganisir pemuda-pemuda pejuang untuk bersama-sama mempertahankan kemerdekaan republik yang telah di proklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta di Jakarta pada 17 Agustus 1945.
Dengan berhimpunnya pemuda-pemuda pejuang itu, maka dibentuklah sebuah wadah perjuangan yang disebut Kris Muda Mandar. Keterlibatan Abdul Rauf juga sangat berarti, terutama ketika sekutu hendak menjajah kembali. Begitu banyak  hal yang ia  lakukan untuk perjuangan perlawan tersebut.
Suatu ketika, dari banyak momen keaktifan sebelumnya di tanun 1946, Abdul Rauf menemani pimpinan perjuangan Mandar, H. Abdul Malik ke daerah Matangnga. Tujuannya untuk menyampaikan pesan bahwa kelak ketika pasukan NICA hendak menangkap H. Abdul Malik, maka pasukan perlawanan akan bergerak dan berkonsentrasi di daerah Matangnga. Kalau-kalau NICA lebih jauh bisa menduduki Majene dan Polewali.
Tapi rupanya NICA licik sekali, dan telah menyiapkan hari-hari naas bagi H. Abdul Malik, Abdul Rauf dkk. Abdul Rauf tak punya pilihan selain mengantisipasi kelicikan Belanda dengan menghindar. Keputusan untuk ke daerah seberang adalah satu-satunya pilihan untuk menghindari maut dan perang yang tak imbang. Pilihan sulit itu terasa meradang, sebab itu berarti tokoh pejuang Mandar ini harus berpisah dengan kampung yang amat dicintainya, termasuk sekian banyak rakyat yang mendukungnya harus ia tinggalkan dalam waktu yang agak lama.
Pada jumat, 12 April 1946 sekitar pukul 12 malam, H. Abdul Malik, Abdul Rauf dengan perlahan beranjak dari rumah dengan tujuan ke Jawa. Di malam yang gelap, di tengah ramainya bunyi jangkrik dan gulita malam. Mereka melangkah perlahan agar tak membuat rakyat panik sebab kalau rakyat tahu betapa sedihnya mereka bila ditinggal pergi oleh pimpinanannya. Tak cukup selusin orang yang menyaksikan kepergian itu: dan hanya do’a dan air mata mengiringnya pergi.
Sekitar pukul dua dinihari, sebuah perahu sampan mengantar mereka menuju Balikpapan, Kalimantan Timur. Untuk bisa sampai di Balikpapan mereka membutuhkan waktu tak kurang dua minggu berlayar dilaut lepas. Di Makassar, rupanya NICA mengetahui kalau pimpinan perjuangan rakyat Mandar, H. Abdul Malik dkk. tengah dalam perjalanan menuju pulau Jawa.
Lewat siaran radio NICA, penguasa Belanda di tanah Mandar diinstruksikan untuk menangkap mereka. Kalau ada yang berhasil menangkap Mara’dia dan rombongan maka akan diberi hadiah Rp 5000. Tapi H. Abdul Malik dkk. punya strategi dalam perjalanan untuk mengantisipasi instruksi Belanda itu, sehingga rintangan cukup pelik dalam perjalanan mampu mengantarnya sampai di tempat tujuan, Pulau Jawa.
Tepat 9 Juli 1946, rombongan Abdul Malik dan Abdul Rauf tiba di Jepara. Untuk pertama kalinya mereka menginjakkan kaki di pulau Jawa. Mereka terus berpindah-pindah sampai pada akhir Juli 1946 mereka tiba di Yogyakarta, ibukota pemerintahan Republik Indonesia. Di Jogya mereka berjumpa B. Ratulangi, ketua Lasykar Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (Kris). Berkat pertemuan inilah H. Abdul Malik dan Abdul Rauf dimasukkan dalam Asrama Republik Indonesia (ASRI), kemudian diberangkatkan ke Solo untuk mengikuti pendidikan dan latihan. Di sinilah mereka mulai terdaftar sebagai bagian dari militer Indonesia.
Pada November 1946, lewat sebuah kereta api, tibalah ia di kota Cirebon. H. Abdul Malik sudah Kapten dan menjabat wakil kepala inspektorat BPD 31. Sementara Abdul Rauf sudah Letnan Muda.
Ketika di Cirebon, Abdul Rauf menemukan tambatan hatinya. Roro Suharti, Seorang perempuan Jawa keturunan bangsawan yang hendak diperjodohkan. Ia berkirim surat untuk saling kenal dan yakin akan hidup bersama seumur hidupnya.
Kamis 26 Mei 1947 di rumah Raden Kadio Singohadimulyo, Abdul Rauf resmi resmi mengucapkan ijab Kabul untuk mempersunting Roro Suharti. Abdul Rauf sebagai pihak laki-laki di dampingi oleh H. Abdul Malik.
Tahun 1947 terjadi pergeseran dilingkungan inspektorat perjuangan daerah 31. Kapten H. Abdul Malik menjadi kepala inspektorat perjuangan Kabupaten Majalengka, dan Letnan Muda Abdul Rauf  menjabat kepala keuangan insp. BPD 31, atau menggantikan posisi Kapten Abdul  Malik.
Dalam menjalankan tugas, duka menyapa pasangan muda ini. Ketika tentara Belanda menduduki Jogyakarta, Abdul Rauf harus berpisah dengan istrinya, Roro Suharti. Selama perpisahan itu, Abdul Rauf berkeliling di banyak tempat dan kadang masuk hutan. Bahkan beredar kabar kalau suaminya sudah meninggal, tapi sang istri selalu yakin kalau suaminya masih hidup.
Ternyata Suharti benar, sebab setahun kemudian mereka bertemu kembali setelah perpisahan dimulai 29 Juli 1947 berpisah di Cirebon, tepat pukul tiga sore sampai jumat 30 Juli 1948  tepat pukul 7.30 malam bertemu di Yogyakarta.
Dalam catatan selanjutnya, Abdul Rauf menulis. Pada sabtu, 18 Sebtember 1948 PKI dibawah pimpinan MUSO mengadakan pemberontakan di kota Madium. Muso dibantu dukungan Letkol Adam-TNI B 29 berhasil mengusai kota Madium  dan sekitarnya.
Atas perampasan kekuasaan dan pemerintahan yang digerakkan oleh PKI, Presiden RI Soekarno melalui RRI, mengumumkan bahwa semua anggota TNI yang turut terlibat menjadi kaki tangan Muso dipecat. Berkat kerja sama pasukan Siliwangi dengan pasukan Jawa Timur, pada jumat 15 0ktober 1948 Kota Madium kembali di rebut oleh TNI.  Pengejaran dilakukan terhadap Muso dan akhirnya berhasil ditembak mati.
Januari 1950, Abdul Rauf mendapat tugas mengantar surat ke Makassar. Pada 20 Februari 1950 kapal yang ditumpanginya merapat dipelabuhan Makassar. Saat itulah Abdul Rauf bertemu kembali kawan-kawannya:  M. R. Amin Daud, Abdul Rahman Tamma, Lappasbali, Andi Parenrengi.
Sekembali Rauf ke Yogyakarta. Ia hanya tinggal sebentar saja, sebab pada 22 Mei 1950, bersama keluarganya meniggalkan Yogyakarta menuju Makassar untuk tugas dan pengabdian di Sulawesi.
Sebelum kapalnya merapat ke pelabuhan Makassar, Abdul Rauf bertemu dengan Mayor M. Saleh Lahade.  Lahade menawarkan agar Rauf tak usah terus ke Mandar dan bergabung di staf teritorial Kodam 14 Hasanudin, Makassar. Tapi di Makassar tak lama, sebab pada 1 januari 1950, Abdul Rauf dan keluarga berangkat ke Mandar untuk tugas baru di tengah-tengah keluarga dan kawan-kawan sepejuangannya di Tinambung.
Tahun 1965, Abdul Rauf di angkat menjadi Bupati Majene menggantikan  Abdul Rachman Tamma. Menjadi bupati pada saat itu bukanlah perkara mudah. Selain karena waktu  itu terjadi G.30 S PKI yang di mulai dijantung Ibukota Jakarta.  Di Mandar juga gerombolan pemberontak masih merajalela. Kondisi inilah yang akan membuat hari-hari Abdul Rauf tak akan tenang dalam memimpin Kabupaten Majene.
Hanya dua tahun lebih memimpin Kabupaten Majene. Dalam ukuran masa jabatan formal seorang Bupati dimasa kini memang tidaklah lama. Tapi sungguh sebuah proses yang luar biasa, dalam suasana republik yang masih transisi oleh pecahnya pemberontakan PKI tahun 1965. Di Majene juga ada beberapa oknum tentara dan kepolisian yang membelok masuk mendukung gerakan PKI, belum lagi aksi gerombolan dari sisa-sisa pasukan DI /TII juga kerap mamanfaatkan keadaan.
Dalam suasana seperti itu, sebagai bupati, Abdul Rauf tetap bisa mengendalikan pemerintahan dan pembangunan di kabupaten yang ia pimpin. Pembangunan dalam tanda petik pembangunan fisik yang mercusuar, sebab selain karena situasi keamanan yang sangat tak konduktif juga dana pembangunan masih sangat minim sekali, terlebih saat itu belum dikenal dengan pembangunan Renacana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).
Meski minim dana, pembangunan masih tetap bisa dimaksimalkan oleh Abdul Rauf. Bahkan seandainya semua unsur yang tergabung dalam pasca tunggal (sekarang muspida) bisa kompak, arah dan konsep pembangunan pasti bisa  dijalankan. Namun yang terjadi, justeru  unsur pasca tunggal masing-masing jalan sendiri. Bahkan ada segelintir petinggi di Kabupaten Majene yang hendak memonopoli perdagangan kopra.
Sebagai bupati, Abdul Rauf tentu tidak sepakat dengan cara seperti itu. Ia mau perdagangan terus berjalan normal, tanpa ada monopoli segelintir pihak. Sebab monopoli adalah cara buruk dalam perputaran ekonomi di daerah.
 Sebagai tentara, Abdul Rauf tentu sangat menyadari bahwa menjadi bupati adalah proses pengabdian pada bangsa dan negara, bukan mengabdian kepada segelintir tokoh. Dan semangat itulah yang kokoh ia perjuangkan dan diperlihatkan pada masyarakat Majene.
Komitmen dan prinsipnya yang teguh itu memunculkan ketidaksukaan segelintir elit di Majene atas kepemimpinan Abdul Rauf. Ia dianggap terlalu disiplin dalam tugas dan tak mau neko-neko. Kondisi itu tak membuat Abdul Rauf goyah. Ia tak bergeming dengan sikapnya, sebab ia harus tunduk pada komitmennya ketika ia diserahi jabatan sebagai Bupati Majene. Ia pantang menyalahgunakan jabatan hanya karena desakan segelintir pihak untuk berbuat serong.
Suatu waktu di awal tahun 1967 beberapa tokoh yang tak sependapat dengan bupati Abdul Rauf memprovokasi warga. Mobilisasi sejumlah warga ini berkedok kerja bakti. Warga diperintahkan membawa parang. Hal Ini sesungguhnya lebih nampak demonstrasi kepada bupati.
Bupati Abdul Rauf pun sadar bahwa kolega koleganya, bahkan ada juga kerabatnya yang sekian lama bermain bisnis di rumah jabatan pun tampil mendemonya. Di benak Abdul Rauf, hal ini adalah wajar. Baginya, kalau memang ada tokoh-tokoh yang tak suka lagi padanya, itu bukan masalah. Pada akhirnya, rakyat akan  sadar sendiri bahwa kita hanyalah korban dari egoisme segelintir elit di Kabupaten Majene ini. Dengan berbagai pertimbangan atas kondisi yang ada, berakhirlah masa kepemimpinan Abdul Rauf sebagai Bupati Majene.
Meski tak lagi menjabat sebagai bupati Majene, tapi sebagai seorang perwira menengah di Angkatan Darat, Abdul Rauf tak sepi dari jabatan. Usai jabatan bupati, ia langsung diposisikan di Makassar. Dan ketika usai Pemilu 1971, pemilu pertama di masa orde baru, Abdul Rauf diangkat sebagai Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan.
Banyak kenangan ketika menjadi anggota dewan. Masa aktifnya di TNI juga telah berakhir dengan penghargaan khusus: Kolonel (Purn.) Abdul Rauf.
Biduk rumah tangga yang dibangun dengan kesetian bersama Roro Suharti ini dikaruniai 13 anak, 7 perempuan dan 6 laki-laki. Selama hidup Abdul Rauf tampil sangat sederhana. Jujur dan tak pernah tertarik yang disebut KKN. Padahal bila diukur dari jabatan yang pernah ia pegang terutama ketika menjadi Bupati Majene dan Anggota DPRD SulSel peluang itu terbentang luas.
Integritas dan pendirian yang teguh itulah yang selalu ia pertahankan, sehingga dalam perjalanan hidupnya tak memiliki rekening gendut selain hanya memiliki rumah seadanya di jalan Sawerigading 14 Makassar, itupun nanti setelah dekat dekat pensiun baru disertifikatkan. Kalau pun Abdul Rauf memiliki sebuah mobil Datsun, itu berkat hadiah dari seorang Tokoh Mandar yang diserahkan kepada Abdul Rauf masyarakat Mandar.
Cerita Suharti, istrinya, tanah dan rumah itu disertifikatkan karena berkat dorongan istrinya. Ketika Abdul Rauf masih menjadi anggota DPRD SulSel, suatu waktu ia akan menghadiri sebuah pertemuan di Jakarta. Saat itulah istrinya berpesan, “Pak kalau balik ke Makassar tak usah di belikan ole-ole, kalau ada uang uruskanlah sertifikat tanah dan rumah ini, biar kalau bapak meninggal ada kenang-kenangan buat aku dan anak-anak kita, “. Kenang Roro Suharti.
Dirumah kenangan yang sederhana itulah, Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun sering datang dan menginap di situ. Emha sudah menganggap Abdul Rauf sebagai guru sekaligus orang tuanya.
Bahkan Baharuddin Lopa ketika masih di Makassar kerap menemui Abdul Rauf. Disitu ia mengobrol hingga larut malam. Di masa tuanya, atau ketika Abdul Rauf sudah benar-benar tak lagi berkecimpung di segala aktifitas, datanglah suatu momen yang sangat penuh arti. Saat itu Andi Lantara meninggal dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, Panaikang, Makassar. Di pemakaman itu hadir pula kawannya, Andi Tau.
Ketika acara pemakaman usai, dan seluruh pengantar hendak pulang, Abdul Rauf membisikan sepotong kalimat di dekat telinga Adi Tau, “Nanti saya yang menutup pintu tempat pemakaman ini.” kata Abdul Rauf.
Rupanya pesan lewat kalimat ini punya arti yang amat dalam. Tak lama setelah momen itu, Abdul Rauf menghembuskan nafasnya yang terakhir tepat tahun 1994. Ia pun diantar oleh iringan sanak Famili dan kawan kawannya di taman makam pahlawan, tak jauh dari sisi Andi Lantara.

Umur Abdul Rauf genap 71 tahun. Dan Suharti, sejak saat itu, telah kehilangan kekasih dan orang dekat selama empat puluh tujuh tahun. Suharti beruntung, sebab mempunyai seorang anak yang hampir lengkap mewarisi karakter ayahnya. Selain itu hanya dia yang mengikuti jejak ayahnya sebagai tentara: Kolonel Satria Putra Rauf puskopol AD Kodam VII Wirabuana, anaknya yang ketujuh. (Sumber: Disari dari buku "Dalam Sejarah Akan Dikenang" Sarman Sahuding. 2005).

SEDIKIT TENTANG ADMIN BLOG RUMPITA galerikopicoqboq.blogspot.com

Dari sebuah ruang yang pengap dan sempit, ketika malam makin jauh, seperti larinya kuda jantan di malam hari. Terlukis kecemasan, ketakutan dan kebahagiaan yang menyatu dalam diri seorang ibu yang sedang berjuang meregang nyawa, menikmati rasa sakitnya dalam dekapan seorang lelaki yang masih tampak gagah dari garis-garis wajahnya. Dengan sisa-sisa tenaga sang ibu yang berhasil memenangkan pertarungan itulah yang mengantarku merasakan udara dingin dirembang malam yang merupakan detik, menit dan hari pertama dunia mengenalku dan menyematkan identitas padaku sebagai penduduk bumi.

Alam sepi dan sunyi seketika rancu oleh suara tangis bayi yang sedang dalam penanganan seorang wanita tua yang akrab di panggil “Kanne Sando” alias “dukung beranak” yang dengan cekatan “Marrattas belarang” (memotong tali pusar) lalu kemudian mempersilahkan seorang lelaki muda dan gagah itu membisikkan bait-bait kalimat sakral (Adzan ditelinga kanan dan iqamat ditelinga kiri) yang ternyata kalimat itulah yang menjadikanku sebagai seorang hamba Allah yang hidup dalam naungan panji-panji keislaman.

Wanita yang sukses dalam pertarungannya itu adalah ibu (Amma’)nya yang bernama HARMI anak seorang kepala kampung yang bernama HASAN atau Ka’Pinda. Dan lelaki yang mengumandangkan kalimat suci itu adalah bapak (Pua’) nya yang bernama NURDIN atau ALIMUDDIN yang bapaknya bernama Razak. Mereka memberi pada putra keduanya dengan nama asli ”MUHAMMAD” yang kemudian pada saat megenal tulisan dia memperkenalkan nama pena “MUNIR” akronim dari MUHAMMAD BIN NURDIN IBNU RAZAK.

Seiring berjalannya waktu ia bertumbuh dan mengenali lingkungannya yang kumuh, kuno dan hanya bisa menikmati kasih sayang dari pasangan suami istri yang miskin (harta, ilmu dan pengalaman). Dengan kaki telanjang ia lalui hari-harinya dengan menggembala sapi (Ma’ambiq saping) sambil bersekolah. Masa kecil yang sulit ia nikmati dengan sebuah harapan yang penting bisa makan saja. Paceklik dan kemarau panjang dari tahun 1985 sampai 1987 yang cukup menyiksa sangat lengket dalam memori fikirannya betapa untuk makan dari beras sangat sulit, dan harus rela mengganti makanan pokok itu dengan pisang, sagu dan jagung.

Akhir tahun 1987 musim berganti, dari kemarau panjang ke musim hujan. Curah hujan diatas normal menjadikan air sungai meluap hingga akhirnya banjir besar melanda. Semua menjadi korban, mulai sapi, tanaman, sampai rumah dan perkampungan di dusun kelahirannya separuhnya terseret arus. Kesulitan makin meradang, kemiskinan semakin menyiksa. Hanya keajaiban dan pertolongan Tuhan jualah yang membuat dia dan masyarakat mampu bertahan hidup dan mempunyai peluang untuk menyelesaikan pendidikannya. Meski untuk itu, ia harus mengorbankan kenikmatannya dan berharap menikmati pengorbannya itu esok dan nanti. Lelaki ini ditakdirkan lahir berdarah Mandar di Botto, Campalagian, Kabupaten Polewali Mandar pada tanggal 15 Februari 1979.
Sosok pria berkulit hitam manis khas masyarakat pesisir ini, di usianya yang masih terbilang muda, ia cukup bahagia dalam karirnya yang aktif disalah satu parpol dan belakangan aktif dalam aktifitas yang berkaitan dengan budaya dan lingkungan hidup sebagai salah satu core person dalam Komunitas Appeq Jannangang. Kesuksesan publikasi aplikasi android Lontaraq Digital tidak lepas dari partisipasi aktifnya dalam berpromosi diberbagai media dan kesempatan.

Meskipun ia lahir di wilayah Mandar pesisir, namun pengetahuannya tentang seluk beluk Mandar pegunungan layak diacungi jempol. Selain ranah budaya dan lingkungan hidup, lelaki Mandar yang satu ini juga aktif dalam bidang literasi. Pendiri Komunitas RumahPustakaRumpita (Rumah Kopi dan Perpustakaan) ini getol menyumbangkan tulisan-tulisannya diharian Radar Sulbar dan media-media lain seperti Surat Kabar Plat Merah, Media online Seputar Sulawesi Barat, Kandora, Suryatop News, dengan berbagai tema.
Selain menulis, suami dari Hernawati Usman ini juga dikenal sebagai seorang penelusur. Nyaris seluruh wilayah Mandar ini ia telusuri, mulai dari Paku-Soremana, dari Polewali ke Mamasa, Mamasa ke Mambi-Aralle Tabulahan, Banehau. Bonehau ke Kalumpang dan dari Kalumpang kembali ke Bonehau, Keang, Kalukku Tasiu-Mamuju.
Demikian juga dari Tinambung, Alu, Pumbijagi, Poda, Padang Mawalle, Lullung, Ro'boang, Patulang, Ambo Padang, Batupanga, Luyo sampai ke Mapilli. Jalur Lampa-Kanusuang, Pulliwa Bulo ke Matangnga, Mehalaan, Keppe dan Mambi. Jalur dari Matangnga, ke Passembu, Kondo, Lenggo, Kalo, Ratte Kallang, Tubbi, Besoangin, Tibung tembus ke Pelattoang Majene sudah ia lalui.

Dengan kegemarannya ini kemudian membuatnya dilirik oleh Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Sulbar untuk menjadi Pengurus dan sering di undang sebagai pembicara di seminar sejarah dan kebudayaan serta acara diskusi di Majene, Balanipa dan Polewali. Selain buku Kamus Sejarah dan Kebudayaan Mandar ini, ia telahmenyelesaikan naskah bukunya Mengeja Mandar Lewat BalanipaDemokrasi Benu Base. Buku yang lain yaitu Novel Bamba Sangiq anna Cawa, Kolekserium Puisi Serigala Bertopeng Nabi. Maka sangat patutlah ia menjadi teman berdiskusi dan belajar tentang sejarah dan kebudayaan Mandar Lampau.

Lelaki yang akrab disapa MUNIR ini bisa dihubungi di: 0821 1300 8787 atau e-mailgalerikopicoqboq@gmail.com
Akun Fecebook: Muhammad Munir
Fanpage: RUMPITA (Rumah Kopi dan Perpustakaan), Website: jurnalbalanipa.comdan blog: galerikopicoqboq.blogspot.com

Profil Tokoh: ABDUL HAFID IMRAN, Ketua DPRD Majene 1987-1992


Dari Dosen menjadi legislator. Itulah sekelumit perjalanan panjang Drs. Hafid Imran, Ketua DPRD Kabupaten Majene masa bakti 1987-1992.
Hafid Imran dilahirkan di Majene pada tanggal 16 Juni 1928 dari pasangan Imran dan Hj Aminah. Dari pernikahannya dengan Hj. St. Zainab Fatani, tokoh Muhammadaiyah Majene ini dikarunia delapan orang anak, yaitu: Drs. Aminullah, Ir. Mahyuddin, Ir. Nasrullah, Drs. Darmawan, Dra. Marhama, Irfan ST, Zaenal Abidin SE, dan Erwin, Lc, M.Ag, M,Ed.
Hafid mengawali pendidikannya di Sekolah Rakyat (SR) Majene dan melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah (MTs) Majene. Pilihan MTs. mungkin sudah menggambarkan karakter hidupnya yang banyak bertawadhu kepada pencippta-Nya. Di zamannya, anak anak seusianya lebih gandrung melanjutkan sekoalah ke jenjang umum. Sekolah agama terkadang dianngap sebelah mata.
Dalam memilih jalur pendidikan, Hafid konsisten dengan jalur sekolah agama. Hal itu nampak pada pilihan ke Pendidikan Guru Agama (PGA) Majene. Tiga tahun di PGA, Hafid melanjutkan pendidikan ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Aluaddin Ujung Pandang. IAIN adalah salah satu kampus agama terbaik di Indodenesia Timur kala itu.
Setelah memperoleh gelar sarjana lengkap IAIN pada tahu 1974, Hafid terpilih menjadi dosen di kampusnya.
Menjadi dosen tentunya menjadi harapan semua mahasiswa tetapi menggapainya tidaklah mudah sebab dosen hanyalah mereka yang memiliki prestasi akademis di kampus kala menjadi mahasiswa.
Prestasi itulah yang mengantarkan Hafid lolos menjadi dosen di Fakultas Syariah IAIN Alauddin Ujung Pandang. Tak hanya dosen semata, peraih penghargaan pengabdian dasawarsa dosen IAIN Alauddin Ujungpandang ini juga pernah tercatat sebagai sekretaris fakultas syariah di kampus yang sama.
Menjelang pensiun, Hafid pindah ke Majene, kampung halamannya. Di Majene, Pimpinan Legiun Veteran Republik Indonesia Kabupaten Majene  ini kembali diserahi tugas untuk menjadi dekan fakultas syariah filial Majene yang merupakan cabang IAIN Alauddin Ujung Pandang.
Bukan hanya dekan Fakultas Tarbiyah Filial IAIN, Hafid juga diminta oleh kalangan akademisi Kampus Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiah (STIT) Majene sebagai ketua untuk turut membesarkan kampus agama ini.
Hafid Imran juga sempat tercatat sebagai Ketua DPRD Majene pada tahun 1987-1992. Hafid Imran memparipurnakan pengabdiannya dengan menghadap sang khalik dalam usia 76 tahun pada tahun 2004. Sebagai orang yang banyak berjasa pada daerah, bangsa dan negara.
Hafid Imran tetaplah sosok pejuang sejati yang rendah diri tak banyak menuntut jasa atas pengabdiannya. Peraih penghargaan ex komponen pejuang 45 ini diminta oleh pemerintah untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Majene, tapi berdasarkan wasiatnya, ia kemudian di makamkan di pemakaman tugu 45 Baruga. Sebuah contoh yang baik untuk kita teladani. (Sumber: Majene Menemukan Hari Lahirnya, Drs. Darmansyah 2015)

Profil Tokoh: ABD. WAHAB ANAS (Ketua DPRD Majene 1966-1971)



Jika dalam sejarah perjuangan kemerdekaan nasional, nama Fatmawati Soekarno tercatat sebagai penjahit Sang Saka Merah Putih, maka di Majene, Abd. Wahab Anas adalah salah satu dari tiga pemuda yang pertama kali mengibarkan Sang Saka Merah Putih di ibukota Afedeling Mandar, Majene. 
Peristiwa monumental ini terjadi tak lama setelah berita kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamirkan Soekarno-Hatta sampai ke Mandar. Pada sekitaran September 1945, lewat siaran sebuah radio Australia, segenap kalangan pejuang di Mandar gegap gempita menyambut berita dibacakannya proklamasi kemerdekaan RI.
Sambutan masyarakat Majene atas peristiwa bersejarah ini membahana memenuhi setiap sudut dan ruang-ruang yang ada. Pekik merdeka menjadi kata yang paling sering dikumandangkan. Puncaknya adalah Pengibaran perdana bendera Sang Saka Merah Putih di tengah-tengah Kota Majene. Tepat jam tiga dinihari, Abd. Wahab Anas, A. Halim A.E dan Muhsin Ali menjadi pelakonnya.
Atas peristiwa ini, pihak kepolisianpun memanggil dan menginterogasi Abd. Wahab Anas dan menanyakan alasan pengibaran bendera Merah Putih.
“Merah putih adalah bendera resmi RI yang berpusat di Tanah Jawa”, Itulah jawaban Wahab Anas atas pertanyaan tersebut.
Setelah kejadian tersebut, Wahab Anas kemudian menginisiasi pembentukan organisasi perjuangan di Majene. Berawal dari diskusi di rumah Wahab Anas di Saleppa, pada tanggal 16 September 1945, diadakanlah rapat umum merah putih di gedung sekolah rakyat putri Tanjung Batu Majene. Dari rapat ini, lahirlah organisasi perjuangan kemerdekaan yang bernama Pemuda Republik Indonesia (PRI) di bawah pimpinan Andi Tonra. Abd. Wahab Anas sendiri menjadi salah satu pengurusnya.
Bermula dari PRI inilah Wahab Anas aktif dalam pergerakan mengawal dan mempertahankan kemerdekaan di Majene. Di awal tahun 1946, Abd. Wahab Anas pernah tercatat sebagai Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI) Cabang Majene sektor barat. PNI sendiri adalah partai pergerakan nasional yang didirikan oleh Soekarno, dan menjadi salah satu sarana perjuangan dalam meraih kemerdekaan.
Aktifitasnya di PRI dan PNI, menjadi alasan Belanda untuk menangkap Wahab dan aktivis PRI setelah peristiwa pembantaian Westerling di Galung Lombok pada 11 Desember 1946. Wahab Anas dan aktivis PRI lainnnya ditahan di tangsi KNIL Belanda Majene. Dalam penjara, Wahab Anas banyak mengalami siksaan fisik. Ia digantung dengan kepala terjungkal kebawah, dipukul hingga pingsan kemudian di siram dengan air. Wahab Anas selanjutnya di tahan di penjara Makassar.
Selepas dari penjara, tahun 1948, ia bersama A. Halim AE kembali ke Majene dan mempelopori pendirian sebuah partai perjuangan baru. Pada tanggal 29 Februari 1948, bertempat di rumah H. Abd. Halim, salah seorang tokoh Muhammadiyah Majene, secara resmi berdiri Partai Kebaktian Rakyat.
Dalam rapat umum pembentukan partai ini, Wahab Anas tampil membawakan materi yang bertemakan perkembangan politik terakhir tanah air.
Kehadiran Partai Kebaktian Rakyat ini mengundang banyak diskusi dan terkait ketidak setujuan peserta sebab di dalam anggaran dasar partai hanya termuat kata-kata menuntut kemerdekaan Republik Indonesia 100 % dan tidak tegas menyatakan Negara berbentuk kesatuan. Perdebatan bermutu ini mengingatkan kita pada sejarah perjuangan Tan Malaka, salah seorang tokoh kemerdekaan nasional seangkatan Soekarno yang telah melanglang buana ke seluruh dunia menyuarakan anti imperilalisme dan kolonialisme. Merdeka 100 % adalah tuntutan Tan Malaka pada penjajah kolonialis Belanda. Partai Kebaktian Rakyat ini sendiri kemudian ketuai oleh Aco Arif.
Partai ini banyak melakukan kegiatan pendidikan politik rakyat. Dengan di pandu Abd. Wahab Anas dan A. Halim AE, diadakanlah kursus-kursus dan diskusi membahas berbagai problem kenegaraan. Diskusi politik ini sangat berarti dalam meningkatkan pengetahuan politik masyarakat. Bahkan kepala pemerintahan Majene saat itu yang berkebangsaan Belanda Totok. H.J. Ubbink beberapa kali mengunjungi forum diskusi ini, karena dianggap bagus dan bermutu.
Usia Partai Kebaktian Rakyat tidak berlangsung lama. Sebagai partai lokal, partai ini segera dilebur ke dalam partai-partai berbasis nasional yang kemudian masuk di Majene. Para aktivis partai kemudian bergabung dalam Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) dan PKR. Abd. Wahab Anas sendiri kemudian terpilih memimpin PKR Cabang Majene.
Untuk lebih mengefektifkan koordinasi PKR dan PSII Majene, pada tanggal 17 Agustus 1948, dibentuklah sebuah badan baru yang bernama BAPNA (Badan Permufakatan Nasional). Badan ini mengkoordinasi seluruh elemen-elemen perjuangan di Majene. Lewat BAPNA, Abd. Wahab Anas pernah diutus ke Yogyakarta untuk menghadiri konfrensi pendidikan antar Indonesia yang dilaksanakan pada bulan Agustus 1949.
Resolusi bersejarah yang pernah diusulkan BAPNA adalah mendorong pembentukan Dewan Mandar (semacam DPRD) secara demokratis serta menuntut pembatalan hukuman mati Wolter Monginsidi.
Setelah penyerahan kedaulatan RI oleh pemerintah Belanda, Abd. Wahab Anas tetap memegang peranan penting dalam percaturan politik di Afdeling Mandar. Dan saat Kabupaten Dati II Majene terbentuk pada tahun 1959, Abd. Wahab Anas terpilih menjadi Ketua DPRD Kabupaten Majene. (Sumber: Majene Menemukan Hari Lahirnya, Drs. Darmansyah. 2015)
Seusai menjadi legislator, Wahab Anas berkecimpung di dunia birokrasi. Ia mengabdi dan akhirnya pensiun di dinas Pekerjaan Umum Provinsi Sulawesi Selatan.

Abd. Wahab Anas menutup usianya pada tahun (1982) di Majene. Atas jasa-jasanya pemerintah daerah meminta kepada keluarga yang ditinggalkan untuk dapat di makamkan di Taman Makam Pahlawan Majene. Tapi atas wasiat yang ditinggalkan, Wahab Anas lebih memilih dimakamkan di pemakaman umum.  Abd Wahab Anas tenang dan damai menghadap Ilahi Rabb di peristirahatan terakhirnya di pekuburan Pettuanginan Saleppa.  

Senin, 13 Juni 2016

ANGGARAN DASAR DAN ANGGARAN RUMAH TANGGA PARTAI AMANAT NASIONAL


ANGGARAN DASAR/ANGGARAN RUMAH TANGGA
PARTAI AMANAT NASIONAL  

BAB I.  NAMA, KEDUDUKAN dan LOGO
Pasal 1.  Nama dan kedudukan  
Partai ini bernama PARTAI AMANAT NASIONAL disingkat dengan PAN yang dibentuk dan dideklarasikan pada hari Ahad tanggal 23 Agustus 1998 di Jakarta.
Dewan Pimpinan Pusat PAN berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia.
Pasal 2. Logo  
Nilai yang terkandung dalam logo PAN adalah dengan kehadiran partai ini diharapkan akan mampu membawa pencerahan   ke arah masa depan  Indonesia  yang lebih baik.
Penjelasan terhadap logo PAN tertera dalam Anggaran Rumah Tangga.
BAB II. ASAS, SIFAT dan IDENTITAS
Pasal 3.  Asas   Partai Amanat Nasional berasaskan Pancasila.
Pasal 4.  Sifat   PAN adalah partai politik di Indonesia yang bersifat terbuka, majemuk, dan mandiri.   Pasal 5. Identitas   Identitas partai ini adalah menjunjung tinggi moral agama dan  kemanusiaan.
BAB III. TUJUAN
Pasal 6.    PAN bertujuan  menjunjung  tinggi  dan menegakkan kedaulatan rakyat, keadilan,  kemajuan  material dan spiritual.
BAB  IV. USAHA
Pasal 7   Untuk mencapai tujuan pada Pasal 6, maka PAN menjalankan usaha antara lain sebagai berikut:  
Membangun masyarakat Indonesia baru, berdasarkan moral agama, prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
Membangun masyarakat madani yang bebas dari kesengsaraan, rasa takut, penindasan dan kekerasan.
Mewujudkan manusia Indonesia yang berdaulat, memiliki jati diri, cerdas, berakhlak mulia, beriman dan bertaqwa kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
Membangun manusia Indonesia yang mampu menguasai dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kesejahteraan bangsa dan umat manusia.
Meningkatkan peran serta politik dan kontrol sosial masyarakat pada penyelenggaraan pemerintahan dan negara.
Meningkatkan kesadaran atas pelaksanaan kewajiban warga negara sebagai manusia dan kewajiban negara dalam penegakan hak-hak asasi manusia yang semakin terjamin dan bertanggung jawab.
Mengupayakan pertanggungjawaban yang terbuka dalam pengurusan negara melalui penguatan masyarakat madani dalam mengawasi kekuasaan.
Memperjuangkan peningkatan kemampuan daerah dalam mengembangkan kemandirian dalam mengurus sumber daya, mencari pendanaan dan menikmati hasil-hasilnya sehingga dapat mencegah disintegrasi nasional dan ekploitasi pusat terhadap daerah.
Memperjuangkan kebebasan pers yang memperhatikan norma-norma hukum, susila, akhlak dan kepatutan sehingga masyarakat memperoleh informasi yang obyektif dan transparan.
Mengusahaan penegakan hukum tanpa diskriminasi sehingga semua masyarakat mendapat akses yang sama dalam lembaga peradilan yang independen, adil, murah dan cepat.
Memperjuangkan secara tegas pemisahan antara lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif untuk menjamin proses dapat saling kontrol di antara lembaga-lembaga tersebut.
Mengupayakan peranan ABRI yang sesuai dengan fungsinya di bidang HANKAM, tunduk pada hukum, konstitusi dan kontrol publik.
Mengupayakan agar setiap warga negara memiliki akses langsung pada penguasaan dan pemilikan tanah, pengakuan hak ulayat, dan mengembalikan fungsi sosial yang melekat pada tanah. 
Mengusahakan persamaan hak Perempuan secara proporsional sebagai insan yang harus dihormati dengan memberikan kesempatan yang sama di mata hukum, sosial, ekonomi dan politik.
Mewujudkan kesejahteraan sosial lewat pemerataan yang berlandaskan moralitas agama serta menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.
Memperjuangkan pemberian kesempatan yang sama bagi semua pelaku ekonomi untuk mewujudkan segala potensi yang dimiliki bagi penguatan daya saing nasional.
Meningkatkan alokasi anggaran untuk pendidikan nasional yang mampu meningkatkan sumber daya manusia yang merangsang kemandirian dan kreativitas.
Memperjuangkan perlindungan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup dari keserakahan manusia untuk menjamin keadilan antar generasi.
Memperjuangkan kebijakan ekonomi yang memihak kepada yang lemah dan mendukung terciptanya keadilan bagi masyarakat luas.
Memperjuangkan berjalannya pemerintahan yang bersih, efektif, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
Bab V. KEANGGOTAAN
Pasal 8.   Peraturan keanggotaan diatur lebih lanjut  dalam  Anggaran Rumah Tangga. 
Bab VI. SUSUNAN ORGANISASI
Pasal 9
  1.
Dewan Pimpinan Ranting ialah kesatuan anggota dan tingkat kepemimpinan di tingkat kelurahan / desa. 
Dewan Pimpinan Cabang ialah kesatuan anggota dan kepemimpinan di tingkat kecamatan. 
Dewan Pimpinan Daerah ialah kesatuan anggota dan kepemimpinan di daerah tingkat II. 
Dewan Pimpinan Wilayah ialah kesatuan anggota dan kepemimpinan di daerah tingkat I. 
Dewan Pimpinan Pusat ialah kesatuan anggota dan kepemimpinan yang berada di tingkat pusat.
Di setiap tingkat kepemimpinan di bentuk Majelis Pertimbangan Partai (MPP), yang berfungsi memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Dewan Pimpinan Partai. 
Di setiap tingkat kepemimpinan dapat dibentuk Badan Otonomi dan lembaga / Panitia khusus yang akan diatur lebih lanjut dalam Anggaran Rumah Tangga. 
Ketentuan tentang hubungan struktural antara DPW, DPD, DPC dan DPRt diatur dalam Anggaran Rumah Tangga. 
Pasal 10.   Pimpinan Organisasi  
Dewan Pimpinan Pusat  
Dewan Pimpinan Pusat adalah pimpinan tertinggi dalam memimpin partai . 
Pengurus Dewan Pimpinan Pusat dipilih dan ditetapkan dalam kongres. 
Anggota Dewan Pimpinan Pusat terdiri dari : 
- Majelis Pertimbangan Partai.   - Seluruh anggota pengurus Dewan Pimpinan Pusat. 
Dewan Pimpinan Wilayah 
Dewan Pimpinan Wilayah memimpin partai di wilayahnya dan melaksanakan kepemimpinan dari Pimpinan Pusat. 
Pengurus Dewan Pimpinan Wilayah dipilih dan ditetapkan dalam musyawarah wilayah untuk masa jabatan 5 tahun. 
Kepengurusan Dewan Pimpinan Wilayah berdasarkan hasil musyawarah wilayah disahkan oleh Dewan Pimpinan Pusat dengan Surat Keputusan. 
Anggota Dewan Pimpinan Wilayah terdiri dari : 
- Majelis Pertimbangan Partai wilayah.  - Seluruh anggota pengurus Dewan Pimpinan Wilayah. 
Dewan Pimpinan Daerah 
Dewan Pimpinan Daerah memimpin partai di daerahnya dan melaksanakan kepemimpinan dari Dewan Pimpinan Wilayah. 
Pengurus  Dewan Pimpinan Daerah dipilih dan ditetapkan dalam Musyawarah Daerah untuk masa jabatan 5 tahun. 
Kepengurusan Dewan Pimpinan Daerah hasil Musyawarah daerah disahkan oleh Dewan Pimpinan Pusat dengan surat keputusan yang tembusannya disampaikan kepada Dewan Pimpinan Wilayah dan Dewan Pimpinan Cabang. 
Anggota Dewan Pimpinan Daerah terdiri dari : 
- Majelis Pertimbangan Partai Daerah.- Seluruh anggota pengurus Dewan Pimpinan Daerah. 
Dewan Pimpinan Cabang  
Dewan Pimpinan Cabang memimpin partai dalam  cabangnya dan melaksanakan kepemimpinan dari Dewan Pimpinan Daerah. 
Pengurus Dewan Pimpinan Cabang dipilih dan ditetapkan oleh musyawarah cabang untuk masa jabatan 5 tahun. 
Kepengurusan Dewan Pimpinan Cabang hasil musyawarah cabang disahkan oleh Dewan Pimpinan Wilayah dengan surat keputusan yang tembusannya disampaikan kepada Dewan Pimpinan Pusat, Dewan Pimpinan Ranting. 
Anggota Dewan Pimpinan Cabang terdiri dari : 
- Majelis Pertimbangan Partai cabang.   - Seluruh anggota pengurus Dewan Pimpinan Cabang. 
Dewan Pimpinan Ranting 
Dewan  Pimpinan  Ranting  memimpin  partai  dalam  rantingnya   dan melaksanakan kepemimpinan dari  Dewan Pimpinan Cabang. 
Pengurus Dewan Pimpinan Ranting dipilih dan ditetapkan oleh musyawarah  ranting untuk masa jabatan 5 tahun. 
Kepengurusan  pimpinan  ranting hasil musyawarah  ranting  disahkan oleh  Dewan  Pimpinan Daerah dengan surat  keputusan  yang tembusannya disampaikan kepada Dewan Pimpinan Wilayah dan Dewan Pimpinan Daerah. 
Anggota Dewan Pimpinan Ranting  terdiri dari : 
- Majelis Pertimbangan Partai ranting. - Seluruh anggota pengurus Dewan Pim-pinan Ranting. 
BAB VII.  PERMUSYAWARATAN
Pasal 11  
Bentuk macam-macam permusyawaratan. 
1.1. Kongres   1.2. Rapat Kerja Nasional    1.3. Rapat Paripurna  1.4. Musyawarah Wilayah   1.5. Rapat Kerja Wilayah    1.6. Musyawarah Daerah   1.7. Rapat Kerja Daerah   1.8. Musyawarah Cabang   1.9. Rapat Kerja Cabang   1.10. Musyawarah Ranting  1.11. Rapat Kerja Ranting   1.12. Kongres Luar Biasa   1.13. Musyawarah   Wilayah Luar  Biasa   1.14. Musyawarah Daerah  Luar Biasa    1.15. Musyawarah Cabang Luar Biasa   1.16. Musyawarah Ranting Luar Biasa   1.17. Rapat Pleno   1.18. Rapat Harian   1.19. Rapat Anggota Ranting 
Hal-hal yang berkenaan dengan  aturan  permusyawaratan yang  belum  diatur dalam Anggaran Dasar  akan  diatur  lebih lanjut dalam Anggaran Rumah Tangga. 
Bab VIII.  ACARA PERMUSYAWARATAN
Pasal 12.   Acara permusyawaratan diatur dalam Anggran Rumah Tangga. 
Bab IX.  MASA JABATAN PENGURUS
Pasal 13   Masa Jabatan ketua Umum dalam Dewan Pimpinan Pusat serta jabatan ketua dalam tingkat DPW, DPD, DPC, dan DPRt paling lama hanya untuk 2 (dua) kali masa jabatan dan tidak dapat dipilih kembali. 
BAB X.  KORUM DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Pasal 14   Korum dan pengambilan keputusan diatur lebih lanjut dalam Anggaran Rumah Tangga. 
BAB XI.  HAK SUARA DAN HAK BICARA
Pasal 15   Hak  suara  dan  hak bicara dalam  permusyawaratan  diatur  dalam Anggaran  Rumah Tangga. 
BAB XII.  SUMBER KEUANGAN
Pasal 16   Sumber keuangan partai terdiri dari :  
Uang iuran anggota 
Usaha, sumbangan dan  infak 
Hibah dan wasiat 
Sumber sumber lain yang dianggap halal dan tidak mengikat. 
Bab XIII.  PENGESAHAN ANGGARAN DASAR
Pasal 17   Pengesahan Anggaran Dasar ini untuk  pertama  kalinya disahkan  dalam Rapat Formatur pada tanggal 22 Agustus 1998. 
BAB XIV. PERUBAHAN ANGGARAN DASAR
Pasal 18   Perubahan Anggaran Dasar hanya dapat diubah oleh kongres. 
Bab XV. PEMBUBARAN PARTAI
Pasal 19  
Partai hanya dapat dibubarkan oleh kongres dan atau kongres luar biasa yang khusus diadakan untuk itu.  
Kongres dan atau Kongres Luar Biasa tersebut diatas dinyatakan sah, apabila dihadiri oleh 2/3 (dua per tiga) dari Dewan Pimpinan Daerah dan disetujui oleh 2/3 suara yang hadir. 
Apabila terjadi pembubaran partai, maka seluruh harta benda milik partai diputuskan pula dalam kongres tersebut. 
Bab  XVI.  KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20  
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga adalah  merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. 
Hal-hal yang belum diatur dalam Anggaran Dasar ini akan diatur dalam Anggaran Rumah Tangga. 
Ketentuan-ketentuan lain yang belum tercakup dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga akan diatur lebih lanjut oleh DPP PAN sejauh tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.






ANGGARAN RUMAH TANGGA
PARTAI AMANAT NASIONAL 

BAB I.  KEANGGOTAAN
1.1. pemberian sanksi teguran tertulis dilakukan oleh DPP PAN berdasarkan hasil keputusan Rapat Harian DPP PAN. 1.2.Pemberian Sanksi pemberhentian sementara sebagai pengurus dan atau anggota dan pemberhentian selamanya sebagai pengurus dan atau anggota dilakukan oleh DPP PAN berdasarkan Rapat Pleno DPP PAN.
BAB II.  PENDIRIAN dan PIMPINAN  ORGANISASI
1.1. Pendirian Dewan Pimpinan Ranting dilaksanakan ditingkat kelurahan/desa berdasarkan hasil musyawarah anggota dalam satu kelurahan/desa yang telah memiliki anggota paling sedikit 25 (dua puluh lima) orang.  1.2. Susunan pengurus berdasarkan hasil musyawarah ranting dimintakan pengesahannya kepada Dewan Pimpinan Daerah disertai dengan rekomendasi dari Dewan Pimpinan Cabang setempat.  1.3. Apabila dalam satu kelurahan/desa tidak terdapat Dewan Pimpinan Ranting bila dianggap perlu untuk kepentingan partai maka Dewan Pimpinan Cabang dan/atau Dewan Pimpinan Daerah dapat memprakarsai pendirian ranting.  1.4. Untuk mengisi kekosongan jabatan ketua, Dewan Pimpinan Ranting dapat melaksanakan Musyawarah Ranting Luar Biasa dengan melakukan koordinasi dengan Dewan  Pimpinan Cabang setempat.   1.5. Dewan Pimpinan Ranting dapat menambah dan/atau  mengur-angi Anggota Dewan pengurusnya melalui rapat pleno dengan meminta pengesahan kepada Dewan Pimpinan Daerah yang tembusannya dikirim kepada Dewan Pimpinan Cabang.   1.6. Dewan Pimpinan  Ranting dapat  membuat  pedoman kerja tersendiri sesuai dengan kebutuhannya dengan ketentuan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah partai.  
2.1. Pendirian Dewan Pimpinan Cabang dilaksanakan di tingkat kecamatan yang telah memiliki sekurang-kurangnya tiga Dewan Pimpinan Ranting.   2.2. Susunan pengurus berdasarkan hasil musyawarah cabang dimintakan pengesahannya kepada Dewan Pimpinan Wilayah disertai dengan rekomendasi dari Dewan Pimpinan Daerah setempat.  2.3. Apabila dalam satu kecamatan belum terbentuk Dewan Pimpinan Cabang, namun dianggap perlu untuk kepentingan partai, maka Dewan Pimpinan Wilayah dapat memprakarsai pendirian cabang dengan melakukan koordinasi dengan Dewan Pimpinan Daerah.    2.4. Apabila terdapat kekosongan jabatan ketua, maka Dewan Pimpinan Cabang dapat melaksanakan Musyawarah Cabang Luar Biasa dengan melakukan koordinasi dengan Dewan  Pimpinan Daerah dan Dewan Pimpinan Wilayah setempat.   2.5. Dewan Pimpinan Cabang dapat menambah dan/atau  mengur-angi anggota dewan pengurusnya melalui  rapat pleno dengan meminta pengesahan kepada Dewan Pimpinan Wilayah yang tembusannya kepada Dewan Pimpinan Daerah.  
3.1. Pendirian Dewan Pimpinan Daerah dalam tingkat Kabupaten dan/atau Kotamadya dilaksanakan dalam Musyawarah Daerah yang telah memiliki sedikitnya tiga Dewan Pimpinan Cabang.   3.2. Pengesahan pendirian Dewan Pimpinan Daerah serta pengurus terpilih berdasarkan hasil Musyawarah Daerah dimintakan pengesahannya kepada Dewan Pimpinan Pusat disertai dengan rekomendasi dari Dewan Pimpinan Wilayah setempat.   3.3. Dewan Pimpinan Daerah berkedudukan di Ibukota Kabupaten  dan/atau Kotamadya setempat.   3.4. Dewan Pimpinan Daerah adalah pemimpin tertinggi yang memimpin partai didaerahnya.  3.5. Untuk mengisi kekosongan jabatan ketua, maka Dewan Pimpinan Daerah dapat melaksanakan Musyawarah Daerah Luar  Biasa dengan melakukan koordinasi dengan Dewan Pimpinan Wilayah untuk meminta pengesahan pada Dewan Pimpinan Pusat.  3.6. Dalam keadaan yang  tidak memungkinkan dilaksanakan Musyawarah Daerah Luar Biasa maka  Dewan Pimpinan Daerah dapat melaksanakan mekanisme rapat kerja daerah dan melaporkan hasilnya kepada Dewan Pimpinan Pusat dengan tembusannya kepada Dewan Pimpinan Wilayah.   3.7. Dewan Pimpinan Daerah dapat me-nambah dan atau mengurangi Anggota Dewan Pengurusnya melalui rapat pleno dan meminta pengesa-han kepada Dewan Pimpinan Pusat.  3.8. Dewan Pimpinan Daerah dapat membuat pedoman  kerja tersendiri sesuai dengan kebutuhan daerahnya asal tidak bertentangan dengan kaedah organisasi.   
4.1.   Pendirian Dewan Pimpinan Wilayah dalam tingkat Propinsi dilaksanakan dalam Musyawarah Wilayah yang telah memiliki sekurang-kurangnya tiga Dewan Pimpinan Daerah.   4.2. Pengesahan pendirian Dewan Pimpinan Wilayah serta pengurus terpilih berdasarkan hasil Musyawarah Wilayah dimintakan pengesahannya kepada Dewan Pimpinan Pusat.    4.3. Dewan Pimpinan Wilayah berkedudukan di Ibukota Propinsi.   4.4. Dewan Pimpinan Wilayah adalah pemimpin tertinggi yang memimpin Partai diwilayahnya.   4.5. Apabila terdapat kekosongan jabatan ketua, Dewan Pimpinan Wilayah dapat melaksanakan Musyawarah Wilayah   Luar  Biasa dengan melakukan koordinasi dengan Dewan Pimpinan Pusat.   4.6. Dalam keadaan yang  tidak memungkinkan dilaksanakan Musyawarah Wilayah Luar Biasa maka  Dewan Pimpinan Wilayah dapat melaksanakan rapat kerja wilayah  dengan meminta pengesahan  hasilnya kepada Dewan Pimpinan Pusat .   4.7.     Dewan Pimpinan Wilayah dapat menambah dan / atau mengurangi anggota dewan pengurusnya melalui  mekanisme Rapat Pleno dan dimintakan pengesahannya kepada Dewan Pimpinan Pusat.    4.8.   Dewan Pimpinan Wilayah dapat membuat pedoman  kerja tersendiri sesuai dengan kebutuhannya asal tidak bertentangan dengan kaedah organisasi. 
5.1.   Dewan Pimpinan Pusat adalah pemimpin tertinggi dalam kepemim-pinan partai yang melaksanakan dan meneruskan, mengawasi serta menginstrusikan keputusan-keputusan Kongres kepada seluruh Dewan Pimpinan Partai dalam semua tingkatan.  5.2.   Dewan Pimpinan Pusat dapat menambah dan/atau  mengurangi anggota pimpinannya yang kemudian dimin-takan pengesahannya dalam rapat harian.    5.3.    Dewan Pimpinan Pusat dapat menetapkan peraturan-peratu-ran khusus maupun pedoman kerja dan/atau pedoman organi-sasi lainnya  dalam rangka  menjaga ketertiban dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.  5.4.    Apabila terdapat kekosongan jabatan Ketua Umum, maka pimpinan  sementara akan dipimpin secara presidium  oleh para ketua-ketua, untuk selanjutnya dilaksanakan  Kongres Luar Biasa yang khusus diadakan untuk itu . 
BAB III. DEPARTEMEN-DEPARTEMEN
Pada tingkat DPP, DPW, DPD, DPC dan DPRt dibentuk departemen-departemen dimana lembaga dan pengurusnya ditempatkan berdasarkan profesionalitas. 
Jumlah dan komposisi   departemen di jenjang kepengurusan pada tingkat DPW ke bawah disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing akan tetapi tidak boleh melebihi jumlah departemen di tingkat Dewan Pimpinan Pusat. 
BAB IV.  BADAN OTONOM DAN LEMBAGA / PANITIA KHUSUS
Badan Otonom adalah institusi yang mempunyai kedudukan mandiri, berhak mengatur dan mengelola sendiri kerja lembaga berlandaskan AD / ART PAN. 
Badan Otonom dibentuk berdasarkan Surat Keputusan PAN. 
Badan Otonom bisa dibentuk di setiap eselon mengacu pada struktur organisasi yang ada di DPP. 
Hal-hal yang berkaitan dengan Badan Otonom akan diatur dalam peraturan lebih lanjut. 
Lembaga / Panitia Khusus adalah institusi yang dibentuk berdasarkan kebutuhan partai dalam rangka menjalankan program kerja dan agenda partai. 
Lembaga / Panitia Khusus dibentuk berdasarkan Surat Keputusan PAN. 
Lembaga / Panitia Khusus dapat dibentuk di setiap eselon kepengurusan. 
Hal-hal yang berkaitan dengan Lembaga / Panitia Khusus akan diatur di dalam peraturan lebih lanjut. 
BAB V.  PERGANTIAN PIMPINAN
Penggantian pimpinan partai dalam semua tingkatan dilaksana-kan lima tahun sekali. 
Penggantian  pimpinan pada tingkat DPP  dilaksanakan dalam Kongres, penggantian DPW, DPC, DPD dan DPRt dilaksanakan dengan musyawarah di jenjang masing-masing. 
Serah  terima  jabatan pimpinan harus dilaksanakan pada akhir acara Kongres /Musyawarah. 
BAB VI .  PEMILIHAN PIMPINAN
Kongres adalah permusyawaratan tertinggi dalam partai  yang diadakan atas undangan Dewan  Pimpinan  Pusat dilaksanakan sekali  lima  tahun yang dihadiri oleh peserta  Kongres  dan anggota Kongres. 
Peserta Kongres terdiri dari : 
2.1. Seluruh anggota pengurus Dewan Pimpinan Pusat.  2.2. Seluruh pengurus dan anggota MPP Dewan Pimpinan Pusat.  2.3. Ketua dan sekretaris Dewan Pimpinan Wilayah.   2.4. Ketua dan sekretaris Dewan Pimpinan Daerah. 
Anggota Kongres terdiri dari : 
3.1. Undangan Dewan Pimpinan Pusat yang diputuskan oleh rapat pleno DPP sebagai peninjau. 
Hak suara dan hak bicara 
4.1. Hak suara hanya dimilki oleh peserta Kongres.  4.2. Anggota Kongres hanya memiliki hak bicara akan tetapi tidak memiliki hak suara. 
Acara pokok kongres adalah sebagai berikut : 
5.1. Laporan pertanggungjawaban DPP tentang: pelaksanaan  dan kebijaksanaan, organisasi dan keuangan serta pengesahan laporan   DPP terhadap perjalanan organisasi  dalam satu periode. 5.2. Menetapkan dan/atau melakukan perubahan terhadap AD/ART serta peraturan organisasi lainnya.  5.3. Menetapkan program kerja untuk periode berikutnya.  5.4. Pemilihan dan penetapan Ketua Umum secara langsung. Ketua Umum terpilih secara ex officio adalah sebagai ketua formatur.  5.5. Memilih dan menetapkan formatur yang akan  menyusun kelengkapan personalia pengurus DPP.  5.6. Formateur berjumlah sebanyak 9 orang, termasuk ketua formatur.  5.7. Menyusun anggota Majelis Pertimbangan Partai DPP.  5.8. Dewan Pimpinan Pusat bertanggung jawab terhadap pelak-sanaan Kongres.  5.9. Isi dan susunan acara Kongres serta keputusan tentang pelaksanaan Kongres,  ditetapkan oleh Dewan Pimpinan Pusat dengan memperhatikan hasil-hasil Rapat Kerja Nasional.   5.10. Selambat lambatnya satu bulan setelah kongres dilaksanakan, pengurus DPP terpilih  sudah harus menyampaikan  hasil-hasil Kongres kepada seluruh DPW, selanjutnya paling  lambat dalam waktu 10 hari setelah diterimanya  oleh DPW  maka  DPW  telah harus menyampaikan pula kepada seluruh  DPD, demikian pula selanjutnya oleh DPD kepada DPC dan DPRt.   5.11. Keputusan Kongres diberlakukan untuk masa periode kepengurusan selanjutnya. 
Bab VII. KORUM dan PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Kongres  dinyatakan sah dan memenuhi korum  apabila  dihadiri oleh setengah lebih satu dari jumlah Dewan Pimpinan Daerah.  
Seluruh  rapat permusyawaratan selain Kongres dan Kongres  Luar Biasa, dinyatakan sah dan dapat berlangsung dengan  tidak memandang  jumlah yang hadir asal yang berkepentingan telah diundang  yang  dapat dibuktikan dengan bukti penerimaan dan atau pengiriman   baik  secara  langsung maupun  melalui   kantor  Pos negara. 

BAB VIII.  KONGRES LUAR BIASA   BAB IX. RAPAT- RAPAT 

1.1. Seluruh pengurus DPP.  1.2. Seluruh pengurus MPP DPP. 1.3. Ketua MPP Wilayah dan Daerah.   1.4. Ketua Dewan Pimpinan Wilayah.  1.5. Ketua Dewan Pimpinan Daerah. 
2.1. Laporan Dewan Pimpinan Pusat.  2.2. Masalah-masalah penting dan aktual yang menyangkut kepentingan partai.  2.3. Evaluasi perjalanan partai.   2.4. Masalah-masalah yang oleh Kongres diserahkan kepada rapat kerja nasional.  2.5. Acara-acara pokok dan persiapan serta masalah-masalah yang akan dibicarakan dalam Kongres.    2.6. Dewan Pimpinan Pusat bertanggung jawab terhadap pelaksa-naan rapat kerja nasional.  2.7. Isi dan susunan acara Rapat Kerja Nasional ditentukan oleh Dewan Pimpinan Pusat. 
2.1. Dewan Pimpinan Pusat (2 orang).  2.2. Seluruh anggota pengurus Dewan Pimpinan Wilayah.   2.3. Seluruh pengurus MPP Dewan Pimpinan Wilayah.   2.4. Ketua dan sekretaris Dewan Pimpinan Daerah.  2.5. Ketua, sekretaris dan ditambah 4 orang pengurus Dewan Pimpinan Cabang. 
4.1 Hak suara hanya dimiliki oleh Peserta Musyawarah  Wilayah.  4.2 Anggota Musyawarah Wilayah hanya memiliki hak bicara akan tetapi tidak memiliki hak suara. 
5.1. Laporan pertanggung jawaban DPW tentang pelaksanaan  dan kebijakan organisasi dan keuangan serta pengesahan laporan DPW terhadap perjalanan organisasi dalam  satu periode.  5.2. Menetapkan, melakukan perubahan terhadap peraturan organisasi di wilayahnya.  5.3. Menetapkan Program Kerja untuk periode berikutnya yang mengacu pada keputusan Kongres.  5.4. Pemilihan dan penetapan ketua DPW secara langsung, ketua terpilih secara ex officio adalah sebagai ketua formatur.  5.5. Memilih dan menetapkan formatur.  5.6. Formatur berjumlah tujuh orang termasuk ketua formatur.  5.7. Menyusun anggota Majelis Pertimbangan Partai wilayah.  5.8. Dewan Pimpinan Wilayah bertanggungjawab  terhadap pelaksanaan Musyawarah Wilayah.  5.9. Musyawarah Wilayah dilaksanakan  lima  tahun   sekali.  5.10. Isi dan susunan acara Musyawarah Wilayah serta kepu-tusan tentang pelaksanaan Musyawarah Wilayah, ditetapkan oleh Dewan  Pimpi-nan Wilayah dengan memperhatikan hasil-hasil Rapat Kerja Wilayah.  5.11. Selambat-lambatnya satu bulan setelah   Musyawarah  Wi-layah, pengurus DPW terpilih sudah harus  menyampaikan hasil-hasil Musyawarah Wilayah kepada seluruh DPD, selanjutnya paling lambat dalam waktu 10 hari setelah diterimanya oleh DPD maka DPD telah harus menyampaikan pula kepada DPC dan DPRt.  5.12. Keputusan Musyawarah Wilayah mulai diber-lakukan untuk masa kepengurusan selanjutnya.   5.13. Musyawarah  Wilayah dinyatakan sah dan  memenuhi korum apabila dihadiri oleh setengah lebih satu dari jumlah Dewan Pimpinan Daerah. 
2.1. Dewan Pimpinan Wilayah (2 orang).  2.2. Seluruh anggota pengurus Dewan Pimpinan Daerah.  2.3. Seluruh pengurus MPP Dewan Pimpinan Daerah.   2.4. Ketua dan sekretaris ditambah tiga orang pengurus harian Dewan Pimpinan Cabang.   2.5. Ketua dan sekretaris ditambah tiga orang pengurus DPRt yang dipilih oleh rapat kerja ranting yang khusus yang dilakukan untuk itu.  
3.1. Undangan Dewan Pimpinan Daerah yang ditetapkan oleh rapat pleno DPD.  
4.1. Hak suara hanya dimiliki oleh peserta Musyawarah Daerah.   4.2. Anggota Musyawarah Daerah hanya memiliki hak bicara akan tetapi tidak memiliki hak suara. 
5.1. Laporan pertanggungjawaban DPD  tentang  pelaksanaan dan kebijakan, organisasi dan keuangan serta penge-sahan laporan DPD terhadap perjalanan organisasi  dalam satu periode.   5.2. Menetapkan, melakukan perubahan terhadap peraturan organ-isasi di daerahnya.  5.3. Menetapkan program kerja untuk periode berikutnya yang mengacu kepada keputusan Kongres dan keputusan Musyawarah Wilayah.  5.4. Pemilihan dan penetapan ketua DPD secara langsung. Ketua DPD terpilih secara ex officio adalah sebagai ketua formatur.  5.5. Memilih dan menetapkan formatur.  5.6. Formatur berjumlah sebanyak 7 orang termasuk ketua formatur.  5.7. Menyusun anggota Majelis Pertimbangan Partai Daerah.  5.8. Dewan Pimpinan Daerah bertanggung jawab terhadap pelak-sanaan Musyawarah Daerah.    5.9. Musyawarah Daerah dilaksanakan lima tahun sekali.  5.10. Isi dan susunan acara Musyawarah Daerah serta keputu-san tentang pelaksanaan Musyawarah Daerah, ditetapkan oleh Dewan Pimpinan Daerah dengan memperhatikan hasil-hasil Rapat Kerja Daerah.  5.11. Selambat  lambatnya satu bulan setelah   Musyawarah  Daerah, Pengurus DPD terpilih sudah harus menyampaikan hasil-hasil Musyawarah Daerah kepada DPW  dan  seluruh DPC, dan DPRt.  5.12. Keputusan Musyawarah Daerah diberla-kukan untuk masa kepengurusan selanjutnya.  5.13. Musyawarah  Daerah dinyatakan sah dan  memenuhi  korum apabila dihadiri oleh setengah lebih satu dari Musyawarah Daerah. 
2.1. Dewan Pimpinan Wilayah ( 2 orang ).  2.2. Dewan Pimpinan Daerah ( 2 orang ).  2.3. Seluruh pengurus Dewan Pimpinan Cabang.  2.4. Seluruh pengurus MPP cabang.    2.5. Ketua dan sekretaris ditambah lima orang Dewan Pimpinan Ranting.  

BAB X.  STRUKTUR  KEPENGURUSAN

1. Ketua Umum   
2. Ketua - ketua   
3. Sekretaris Jenderal    
4. Wakil - wakil Sekretaris Jenderal    
5. Bendahara Umum   
6. Bendahara   
7. Dewan Ekonomi :   
- Ketua   
- Wakil Ketua  
- Sekretaris  
- Anggota   
8. Majelis Pertimbangan Partai :  
- Ketua  
- Wakil Ketua  
- Sekretaris  
- Anggota   
9. Departemen Kaderisasi, keanggotaan Organisasi.  
10. Departemen Kampanye dan pemenangan Pemilu.  
11. Departemen Humas / Media Massa.  
12. Departemen Hubungan Internasional.  
13. Departemen Buruh, Tani, Nelayan.  
14. Departemen Perhubungan/Telekomunikasi.  
15. Departemen Pendidikan. 
16. Departemen Sumber Daya Alam dan Energi.  
17. Departemen Agama.  
18. Departemen Perlindungan Konsumen.  
19. Departemen Hukum dan Keadilan.  
20. Departemen Kesehatan.  
21. Departemen Kebudayaan dan Kesenian.  
22. Departemen Pemberdayaan Perempuan.  
23. Departemen lingkungan Hidup.  
24. Departemen Agraria.  
25. Departemen Pemuda dan Olah Raga.   
26. Departemen Penelitian dan Pengembangan.  
27. Departemen Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.   
28. Departemen Wirausaha dan Koperasi.  
29. Departemen Sosial.   
30. Pengurus setiap departemen terdiri dari kepala departemen, wakil kepala, dan anggota.  
2.1. Ketua  2.2. Wakil-wakil ketua  2.3. Sekretaris  2.4. Wakil-wakil sekretaris  2.5. Bendahara  2.6. Wakil-wakil bendahara 2.7. Majelis Pertimbangan Partai - Ketua  - Wakil ketua  - Sekretaris  - Anggota 
2.8. Departemen-departemen sesuai dengan kebutuhan masing-masing. 
BAB. XI.  MAJELIS PERTIMBANGAN PARTAI  
BAB XII.  LOGO dan LAMBANG PARTAI  Pasal 30
1. Filosofi Logo :
Matahari putih yang bersinar cerah dilatarbelakangi segi empat warna biru dengan tulisan PAN dibawahnya, merupakan simbolisasi bahwa Partai Amanat Nasional membawa suatu pencerahan baru menuju masa depan Indonesia yang lebih baik.
2. Makna Logo :
Simbol Matahari yang bersinar terang :
Matahari merupakan sumber cahaya, sumber kehidupan. Warna putih adalah ekspresi dari kebenaran, keadilan dan semangat baru.