Diajang Teluk Mandar Art Festival Majene, tiba-tiba saja penulis menemukan sebuah buku Mandar dalam Arus Revolusi, yang ditulis oleh H. Abd. Rachman, MS. BBA, S.Pd. Dalam buku tersebut penulis menemukan sesuatu yang penting untuk dishare ke pengunjung Blog Rumpita (galerikopicoqboq.blogspot.com). Catatan tersebut adalah sebagai berikut:
Pada tahun 1670 Syekh Yusuf mengirim utusan ke Campalagian bernama Abdul Rahman Kamaluddin. Di Mandar Syekh Kamaluddin mengenalkan dan menyebarkan ajaran Islam, mendirikan Surau, sekaligus memberikan pengajian. Ia dikenal dengan nama Tuan di Binuang. Pendidikan agama disurau dikenal dengan nama mukim yang berpusat di Campalagian dan beberapa daerah disekitarnya.
Pendidikan yang diberikan ialah petuah-petuah keagamaan yang berdasarkan Al Qur'an dan Hadits Rasulullah.
Tahun 1913 Pengajian asuhan H. Maddappungan dibuka saat ia kembali dari Makkah. Ia banyak memiliki murid disekitaran Pinrang, Rappang, Soppeng, Wajo dll. Para murid tersebut berdatangan ke Campalagian dan merupakan pusat pembinaan kader muballigh Islam Sulawesi Selatan dan yang masuk belajar tak mengenal umur. Baca tulis Al Qur'an dilaksanakan di rumah-rumah penduduk.
Perkembangan selanjutnya, Surau menjadi Madrasah/Pesantren yang dipelopori para ulama seperti Nuhiyah Pambusuang, BPI Majene, DDI Campalgian dan Tinambung serta ada juga yang didirikan oleh organisasi Muhammadiah.
Tahun 1903 Belanda mendirikan sekolah Volk School disingkat VS atau Sekolah Rakyat. VS berdiri di Majene pada tahun 1907 dan pada tahun 1910 nama VS dirubah menjadi VVS (Ver Volg School atau sekalah Melayu yang dipelopri olehputra-putra terbaik Mandar.
Alhasil Majene menjadi kota pendidikan sejak zaman Belanda yakni Afdeling Mandar yang ibukotanya di Majene. Paeduduk di Mandar mayoritas beragama Islam, maka pergerakan kebangsaan di tanah Mandar bernaung dibawah partai-partai panji Islam seperti PSII, Masyumi, Nahdhatul Ulama (NU) dan Ormas Muhammadiyah.
Pendidikan lanjutan pada Zaman Belanda dan dipusatkan di Makassar yaitu MULO, HIS, OSVIA dengan persyaratan keturunan bangsawan/adat serta kaya/hidup berkecukupan.
Sumber: Mandar dalam Arus Revolusi, H. Abd. Rachman, MS. BBA, S.Pd.:Dinas Pariwisata, Informasi dan Komunikasi Kab. Majene 2008
Jumat, 20 Mei 2016
Panggung Teluk Mandar Art Festival digoyang seniman handal
Tak terasa waktu terus berderai. Di malam ketiga, panggung Teluk Mandar Art Festival digoyang oleh para seniman dan komunitas seni ternama dari Polewali Mandar, Majene dan Mamuj. Sure' Bolong pimpinan Muhammad Ishaq mengusung tema Ole-Ole atau Lupa. Sebuah refleksi ke-Indonesia-an dan ke-Mandar-an kita. Kita adalah bangsa yang suka menggendong lupa. Mungkin itu yang hendak disampaikan oleh Ishaq Janggo. Bakri Latief, salah satu seniman, penulis dan budayawan Balanipa yang tinggal di Makassar juga tampil mengocok perut penonton dengan puisinya Puaji, Tongguru. Bakri Latief memang salah satu aset Mandar yang jarang menyamai talentanya. !0 Bahkan 50 tahun kedepan tak ada jaminan akan lahir manusia yang mampu menandinginya.
Tak ketinggalan pula, Lingkar Musik Uwake juga tak mau kalah. Ia bahkan mengusung persembahan musik tradisi dengan mengangkat isu kliterasi yang menjadikan berita sebagai musik. Uwake' memang punya keunggulan dalam pemilihan tema yang diusung. Komunitas dari Mamuj-pun tak ketinggalan memukau para pengunjung yang memadati Taman Kota Majene. Hal yang juga spektakuler adalah penampilan Sanggar Tari Labada dengan mengusung Cinna, Gassing anna Nawang. Selain itu, ia mendapuk Samurai sebagai simbol kelembutan. ternyata, kekuatan yang sejati adalah kelembutan itu sendiri. Demikian sedikit gambaran tentang tema yang disampaikan oleh Sanggar Tari Labada ini.
Adi Arwan Alimin, penulis, sastrawan, mantan jurnalis yang kini menjadi Komisioner KPU Sulbar ini juga menyempatkan diri untuk memberikan apresiasi atas pelaksanaan ajang Teluk Mandar Art Festival ini. Untuk menikmati pertunjukan tidak boleh bercerita kiri kanan, tapi masuk dalam bagian terdepan dalam pertunjukan. Demikian opening beliau sebelum membaca puisi yang berjudul "Apa Kabar Perempuan Mandar". Usai membacakan puisinya ia sedikit memberikan gambaran bagaimana kondisi literasi di Sulawesi dan Kalimantan. Dikatakannya, sebuah penelitian yang diakui oleh Unesco, bahwa masyarakat Sulawesi dan Kalimantan mempunyai tingkat kecepatan membaca 45-75 kata per menit. Ditambahkannya, dari 1.000 orang di Indonesia, hanya 1 orang yang serius membaca buku. Dan orang Indonesia rata-rata hanya mampu membaca 1 buku setiap tahun. Ini tentu sangat memprihatinkan jika dibandingkan dengan masyarakat Amerika yang mampu menyelesaikan 20-30 buku pertahun.
Komunitas lain yang sekaligus menutup pegelaran pada malam ketiga ini adalah Sanggar Layonga binaan Sahabuddin Mahaganna. Tinggal satu malam lagi, arena panggung laut akan berlalu, yang tersisa hanyalah tulisan dan hasil jepretan yang diabadikan oleh para penonton di media sosial. (Muhammad Munir)
Tak ketinggalan pula, Lingkar Musik Uwake juga tak mau kalah. Ia bahkan mengusung persembahan musik tradisi dengan mengangkat isu kliterasi yang menjadikan berita sebagai musik. Uwake' memang punya keunggulan dalam pemilihan tema yang diusung. Komunitas dari Mamuj-pun tak ketinggalan memukau para pengunjung yang memadati Taman Kota Majene. Hal yang juga spektakuler adalah penampilan Sanggar Tari Labada dengan mengusung Cinna, Gassing anna Nawang. Selain itu, ia mendapuk Samurai sebagai simbol kelembutan. ternyata, kekuatan yang sejati adalah kelembutan itu sendiri. Demikian sedikit gambaran tentang tema yang disampaikan oleh Sanggar Tari Labada ini.
Adi Arwan Alimin, penulis, sastrawan, mantan jurnalis yang kini menjadi Komisioner KPU Sulbar ini juga menyempatkan diri untuk memberikan apresiasi atas pelaksanaan ajang Teluk Mandar Art Festival ini. Untuk menikmati pertunjukan tidak boleh bercerita kiri kanan, tapi masuk dalam bagian terdepan dalam pertunjukan. Demikian opening beliau sebelum membaca puisi yang berjudul "Apa Kabar Perempuan Mandar". Usai membacakan puisinya ia sedikit memberikan gambaran bagaimana kondisi literasi di Sulawesi dan Kalimantan. Dikatakannya, sebuah penelitian yang diakui oleh Unesco, bahwa masyarakat Sulawesi dan Kalimantan mempunyai tingkat kecepatan membaca 45-75 kata per menit. Ditambahkannya, dari 1.000 orang di Indonesia, hanya 1 orang yang serius membaca buku. Dan orang Indonesia rata-rata hanya mampu membaca 1 buku setiap tahun. Ini tentu sangat memprihatinkan jika dibandingkan dengan masyarakat Amerika yang mampu menyelesaikan 20-30 buku pertahun.
Komunitas lain yang sekaligus menutup pegelaran pada malam ketiga ini adalah Sanggar Layonga binaan Sahabuddin Mahaganna. Tinggal satu malam lagi, arena panggung laut akan berlalu, yang tersisa hanyalah tulisan dan hasil jepretan yang diabadikan oleh para penonton di media sosial. (Muhammad Munir)
Rabu, 18 Mei 2016
Pakkottau Meriahkan Pembukaan Teluk Mandar Art Festival 2016
Acara Pembukaan Teluk Mandar Art Festival yang berlangsung sore tadi (18 Mei 2016) dimeriahkan dengan atraksi seni bela diri Pakkottau. Olahraga seni beladiri ini memukau penonton untuk tidak beranjak dari tempat duduknya. Termasuk Wakil Bupati Majene, Fahmi Massiara dan Ketua DPRD Majene, Darmansyah ikut larut dalam hentakan kaki dan gerakan tangan sang Pakkottau.
Pakkottau
atau Kottau adalah seni bela diri yang berasal dari daerah Mandar
Sulawesi Barat. Diduga berkembang
dan berhubungan dengan “kung tao” atau “kun tao” salah satu aliran bela diri
yang berasal dari daratan Cina. Kuntao adalah salah satu dari jenis seni gaya
bela diri yang ditemukan di Indonesia, Malaysia, pesisir Thailand dan bagian
barat Filipina.
Kuntao ini dibedakan dengan jenis
Kungfu serta Wushu (istilah yang biasa digunakan pada jenis bela diri di Cina).
Kuntao yang
berkembang di Indonesia khususnya telah mengalami perkembangan dan lebih
mengedepankan seni dalam penyajiannya, ia kemudian menyimpang dengan perbedaan
yang kontras dari asalnya di Cina. Istilah Kuntao sendiri merupakan konsep yang
masih diperdebatkan, namun seni bela diri ini digambarkan sebagai suatu
seni pertahanan diri yang ditemukan di sebagian besar Asia tenggara dan berasal
dari Cina. Istilah ini berasal dari Cina Fujian (Hokkian) dengan asal kata
“Kun” yang berarti “Tinju” dan “Tao” yang berarti “Cara” atau “Metode”.
Pendapat yang cukup berbeda juga disampaikan oleh Liem
Yoe Kiong (1960:215), dalam bukunya “Ilmu Silat” Kuntao bukanlah merupakan
suatu bentuk bela diri. Hal ini mungkin akan terdengar aneh, namun Kuntao
memiliki beberapa arti jika diambil secara harfiah. Kuntao jika diterjemahkan
dalam bahasa resmi Cina atau Kou Yu menjadi Djuen Tho yang berarti “pukulan”. Namun
karena masyarakat Tionghoa banyak menggunakan dialek Hokkian dan dominan
berasal dari Cina selatan maka istilah Kuntao di identikkan dengan bela diri
dan mulai disinonimkan dengan silat.Selasa, 17 Mei 2016
Hari Buku Nasional: Rumpita Tinambung launching Bilik Baca Rumpita Unsulbar di Lembang-Majene
Selamat Hari Buku Nasional!
17 Mei diperingati sebagai Hari Buku Nasional. Meski bukan menjadi peringatan yang masif, momen Hari Buku Nasional selalu menarik dibahas, terutama jika dikaitkan dengan perkembangan buku dan minat baca. Moment Hari Buku Nasional inilah yang menjadi saksi lahirnya sebuah komunitas dari Mahasiswa Hukum Unsulbar. Launching Bilik Baca Rumpita Unsulbar hari ini, semoga menjadi awal yang baik untuk sebuah tugas mulia. Bilik Baca Rumpita diharapkan menjadi ruang baca, diskusi dan semangat literasi. Bilik Baca Rumpita Majene akan mengambil peran mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara.
Pada era digital saat ini, perpustakaan toko buku perlahan semakin ditinggalkan. Buku semakin tercampakkan. Semua sudah serba online, begitu juga dalam hal membaca. Kebanyakan masyarakat lebih memilih mencari informasi melalui gadget dibanding dari buku konvensional. Meskipun bagi pecinta buku, keberadaan buku konvensional tidak akan tergantikan. Budaya membaca buku mutlak diperlukan. Gerakan literasi mesti menjadi tugas kolektif dalam menata bangsa ini. Hal inilah yang memotivasi Bilik Baca Rumpita ini hadir di Kota Pendidikan Majene.
Membaca, baik melalui buku digital maupun buku konvensional sejatinya sama saja. Kedua cara tersebut masing-masing memiliki keunggulan dan kekurangan sendiri. Misalnya, membaca buku digital lebih praktis dan ekonomis, namun membuat pembaca cepat jenuh lantaran terlalu lama menatap layar. Sedangkan membaca buku konvensional lebih leluasa, tetapi cukup banyak merogoh kocek atau harus menyempatkan diri pergi ke perpustakaan untuk meminjam buku. Bilik Baca Rumpita menyediakan buku untuk dibaca secara gratis.
Rumah Kopi dan Perpustakaan (Rumpita) Tinambung melebarkan sayap dngan bermitra dengan komunitas mahsiswa hukum Unsulbar hari ini. Sekitar dua bulan lalu Rumpita ikut mensupport dengan menyuplai buku-buku ke Komunitas Mahasiswa Kehutanan Unsulbar. Ini tentu diharapkan menjadi pionir dan pelopor dalam penguatan literasi dan menebar virus ke masyarakat. Kegiatan Reading Day's Mahasiswa Kehutanan membuka lapak "perpustakaan jalanan" di kampus Unsulbar sebagai bentuk tangung jawab moral dan sosial dalam membangun insan akademis.
Senin, 16 Mei 2016
SEJARAH DAN PEMERINTAHAN KERAJAAN SENDANA 1
Oleh: Drs. Darmansyah
(Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Caban Sulawesi-Barat)
A. Pendahuluan
“ Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya “, Demikian ungkapan Bung Karno. Kalimat ini menurut penulis terinspirasi dari kitab suci dan naskah-naskah kuno yang pernah dikaji oleh pendiri bangsa ini. Dalam Al-Qur’an misalnya ditegaskan Lakad kana fi qasasihim ‘ibratul li ‘ulil albab makana hadisan yuftara walakin tasdiqallazi baina yadaihi watafsila kulli saiy-in, wa hudan wa rahmatan liqaumin yu’minun (Sungguh pada saejarah itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal, Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat melainkan membenarkan yang sebelumnya (sejarah) dan menjelaskan segala sesuatunya dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang beriman (QS : Yusuf : 111). Diayat lain Allah Swt. jelaskan Faqsusil qasasa la ‘allahum yata fakkarun : Maka ceritakanlah kisah-kisah (sejarah) itu agar mereka berfikir (QS : Al-A’raf : 176).Dalam sejarah telah dikisahkan jatuh - bangunya peradaban ummat manusia. Kejayaan Mesir kuno, Sriwijaya, Majapahit dan lain sebagainya hendaknya dijadikan pembelajaran dalam membangun daerah dan bangsa.
Jatuh bangunnya kerajaan-kerajaan besar didunia,
termasuk di Nusantara dapat kita ketahui
dari naskah-naskah kuno. Banyak peradaban ummat manusia yang perna tampil
dimuka bumi ini tapi sudah tidak dikenali lagi karena tidak ada catatan yang
dibuat oleh pelakunya. Tapi oleh Tuhan ingin menjadikan sebagian masa silam
yang perna ada itu sebagai pembalajaran bagi manusia berikutnya – maka Allah
memberitakan melalui kitab sucinya. Peristiwa jatuh-bangunnya peradaban Kaum
Ad, Kota Iram, kaum Tsamud, kaum Luth, kaum Saba, kisah Nabi dan Rasul,
Fir-aun, Haman, Ashabul Kahfi, kisah Dzulkarnain (Alexander The Great), dan beberapa
peradaban ummat manusia dibelahan bumi ini, semuanya hanya ditemukan dalam
pemberitaan kitab suci baik itu Al-Qur’an maupun dalam kitab Taurat. Dari
informasi kitab suci itulah para sejarawan dan arkeolog diabad modren melakukan
penelitian dan telah menemukan beberapa artefak, bukti fisik bahwa peradaban
masa silam itu, benar adanya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Kejadian masa lalu ibarat perak (masalakai) bila hanya dituturkan secara lisan kepada generasinya, tapi ia akan menjadi emas (mabulawangi) jika ia ditulis(dikitabkan). Saya berpendapat bahwa “ Proses peradaban ummat manusia yang dituturkan secara lisan – akan menguap lalu lenyap, Tapi bila ia ditulis – akan membumi, berakar dan menjalar “.
Proses peradaban ummat manusia yang mendiami jazirah Mandar yang mala’bi ini,sangat jarang kita jumpai dalam bentuk tulisan sehingga oleh pemerhati sejarah (sejarawan) kurang referensi dalam mengangkat peristiwa itu. Yang ada adalah tuturan dari mulut – kemulut yang keapsahannya diragukan - mungkin ada yang luput diceritakan atau justru banyak ditamba-tambai. Begitu juga dimasyarakat Mandar masih ada yang menyimpan naskah-naskah kuno berupa lontar belum dipublikasikan dan diterjemahkan kedalam tulisan dan bahasa yang mudah dipahami.Semua itu - generasi Mandar segera sadar, bangun dari tidur, matahari belum terbenam – ambil penah lalu goreskan.
Inilah yang mendorong penulis membuat tulisan sederhana ini sebagai salahsatu upaya menjawab tantangan bahwa jika sejarah keberadaan kerajaan-kerajaan di Mandar ingin dikenal dan dijadikan mata pelajaran di dunia pendidikan sebagaimana kerajaan – kerajaan lain seperti Majapahit, Sriwijaya, Kutai, Singosari dan lain sebagainya maka pilihannya harus ditulis dan seterusnya - dan seterusnya.
Berikut penulis kisahkan sejarah dan pemerintahan kerajaan Sendana sebagai salahsatu kerajaan yang ada di Mandar. WilayahSa’adzawang (Sendana) semula ditemukan oleh Daeng Tumana’, Tomakaka’ Tabulahan dari Pitu Ulunna Salu. Konon suatu ketika Tomakaka’ Tabulahan bersama beberapa pengikutnya turun kedaerah pantai untuk mencari kebutuhan hidup – terutama garam, ikan dan lain sebagainya. Kawasan Sa’adzawang yang panorama alamnya sangat indah, sehingga Sang Tomakaka’ tergiur untuk menjadikan tempat peristirahatan bagi orang-orang Tabulahan bila turun kepantai dan lambat laun lokasi ini dijadikan tempat bermukim secara tetap.
Wilayah Sa’adzawang berada dipuncak gunung Putta’da’ yang mengarah ke pantai bagian barat. Karena pemandangannya yang memukau, sehingga orang-orang Tabulahan menjaganya dengan harapan tidak ada pihak lain yang mendiaminya. Kepemimpinan awal yang bermukim di Sa’adzawang bergelar “Bawa Tau” yang dipimpin langsung Daeng Tumana, Tomakaka’ Tabulahan.
Beberapa dekade kemudian, Datanglah Daeng Palullung bersama istirinya, yang istirinya bergelar Tomesaraung Bulawang, Dan kepemimpinan bawa tau yang diperankan oleh Tomakaka’ dilanjutkan oleh Daeng Palullung dengan model kepemimpinan Tomemmara-mara’dia.Berdasarkan sumber lontar Pattappingang- menyebutkan bahwa Daeng Palullung adalah putra dari Datu ri Luwuk (Palopo). Dalam lontar dikisahkan sebagai berikut : Inilah asal-usul Puang di Luwuk, Idaeng Sirua, namanya. Ia meninggalkan Luwuk menuju Timpuru – Donggala. Dari Timpuru/Donggala ia menuju ke Labuang Rano. Setibanya di labuang Rano – ia memerintahkan pengikutnya naik kedaratan untuk mengambil kayu api, setibanya didarat ia dikejar sepotong bara api - karena ia takut maka segeralah kembali keperahu dan menyampaikan kepada tuannya kejadian yang dialaminya. Kata Daeng Sirua kembalilah kedarat dan ambil bara itu. Sang budak pun segera kedarat tanpa rasa takut menangkap bara dan membawa kehadapan tuannya. Daeng Sirua mengambil bara dan seketika itu ia menjelma menjadi pusaka/keris dan diberi nama Ijarra’.
ARTI PENTING SEJARAH DAN PERADABAN
Oleh: Drs. Darmansyah
Pernahkah
kita berpikir, betapa banyak kejayaan dan peradaban suatu bangsa telah terkubur
tanpa ada catatan mengenainya. Akibatnya, timbul banyak sepekulasi yang
dikaitkan dengan mitos budaya setempat. Persoalan bangsa yang hilang bukan
sekedar mitos yang dikembangkan dari sejarah yang nyata. Ada banyak bangsa yang
modern yang akhirnya mengalami hal yang naas akibat berbagai alasan. Beberapa
bangsa yang hilang diakibatkan beberapa alasan, diantaranya faktor pertikaian (perang),
bencana alam, atau faktor ekonomi, dan lain sebagainya. Demikian halnya
beberapa kerajaan besar di tanah Mandar, misalnya Kerajaan Passokkorang dan Kerajaan
Baras di Mamuju Utara yang sejarahnya hampir hilang dari kalangan masyarakat
Mandar itu sendiri, dan tidak menutup kemungkinan beberapa peradaban di kerajaan
baik di Pitu Ba’bana Binanga maupun di Pitu Ulu Salu akan mengalami nasib yang
sama.
Dalam
kisah yang diberitakan oleh kitab suci maupun penelitian para arkeolog telah
menemukan beberapa fakta adanya kota/bangsa yang pernah mengalami kejayaan
dimasanya yang sekarang tinggal kepingan dan posil. Selama berabad-abad,
peradaban manusia selalu berganti. Ada yang masih bertahan dan yang lain
terkubur tanpa ada catatan yang pasti. Begitu
halnya di tanah Mandar yang kita diami saat ini, kita tak pernah mau tahu apa
yang pernah terjadi. Jangan-jangan itu adalah bagian dari sebuah kisah besar
yang terkubur seiring dengan perjalanan waktu. Sungguh banyak maanfaat yang bisa
kita gali dari peradaban masa lalu itu sekalipun ia berupa mitos.
Sejarah dan
kebudayaan jangan hanya diartikan sebagai peristiwa yang terjadi pada masa
lalu, atau nilai yang sudah kadaluarsa tapi harus dipahami sebagai investasi
untuk dijadikan modal dalam menafsir masa kini, dan bahan baku untuk merancang
masa depan.
Orang yang kehilangan
ingatan masa lalu, serta tidak memiliki nilai budaya berarti ia orang pikun,
tak menyadari apa yang terjadi disekelilingnya, tak mampu memikirkan diri dan
bangsanya. Dan bangsa yang kehilanngan sejarah dan tidak ingat kearifan
pendahulunya (leluhurnya), saat itulah akan tersesat dan menerima siapapun yang
menuntunnya.
Sejarah dan
kebudayaan bukanlah pengetahuan masa lalu, melainkan ilmu masa kini dan masa
depan. Bangsa yang menghargai sejarah dan kebudayaannya akan senantisa tegak di
muka bumi, mereka sadar akan budaya dan masa lalunya, menafsirkan masa kini,
dan menenun masa depan. Benar kata Bung Karno “JASMERAH” jangan sekali-kali melupakan
sejarah, karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya.
Langganan:
Postingan (Atom)