TOKAPE
Tokape
adalah maraqdia (raja) Balanipa (salah satu kerajaan besar di wilayah Mandar
atau Sulawesi Barat) pada akhir tahun 1800-san. Ada versi yang menuliskan dia
raja ke 46, ada juga ke-48. Ada perbedaan sebab ada perbedaan kesepakatan bahwa
apakah maraqdia kesekian diakui atau tidak.
***
Pada
tahun 1819 salah satu pusat perdagangan dunia mulai mapan, yakni Singapura
(sebelumnya disebut Tumasik, sehingga orang Mandar yang berlayar ke sana untuk
berdagang disebut “Pattumasek”). Pada masa itu dan setelahnya, salah satu
komoditas perdagangan dunia yang juga banyak terdapat di Mandar marak
diperdagangkan, yakni kopra (boka’ dalam bahasa Mandar). Dengan kata lain,
Mandar terlibat dalam perdagangan internasional. Sebab pada tahun 1850,
perdagangan antara orang pribumi dengan orang Eropa mulai marak.
Menurut
catatan Belanda, pada tahun 1860, jumlah pohon kelapa di Sulawesi Selatan
sekitar 407.279 pohon (Mandar 16.502 pohon). Dan berkembang pesat pada 1875, di
saat pohon kelapa mencapai 755.500 pohon.
Perdagangan
dunia semakin marak semenjak dibukanya Terusan Suez di Mesir pada tahun 1869.
Kemudian booming perdagangan kopi pada tahun 1870. Pada tahun yang sama, para
mara’dia di Mandar mengadakan perjanjian politik dengan Hindia-Belanda yang
secara signifikan mempengaruhi kekuatan kepemimpinan di Mandar (menjadi
melemahkan). Waktu itu, pihak Belanda membeli kopra dari pekebun Mandar dengan
harga yang sangat rendah dan hanya orang Belanda-lah (VOC) yang boleh membeli
kopra. Di pihak lain, para pedagang (umumnya dari kalangan bangsawan sendiri)
mengetahui harga kopra sangat tinggi di Tumasik (Singapura).
Jadi,
pedagang pribumi mengharapkan harga yang layak. Permintaan ini tak digubris
Belanda. Maka terjadilah perlawanan. Paling terkenal oleh perlawanan Maraqdia
Tokape.
***
Sebelum
I Boroa (gelaran lain bagi Tokape, yang artinya Si Nakal, sebab dia tidak
tunduk pada Belanda), sepupu sekalinya yang bernama Mandawari alias Tomilloli
memangku maraqdia. Di masa itu, Belanda bebas keluar masuk Mandar dengan
berkedok sebagai pedagang. I Mandawari gembira bila Belanda datang, sebab
selalu mendapat paket candu.
Karena
kegemarannya itu, urusan masyarakat terabaikan. Hadat Appe’ Banua Kayyang pun
seapakat untuk meninjau kedudukannya sebagai maraqdia. Akhirnya disepakati untuk
mengangkat Tokape menggantikannya.
Masa
kepemimpinan Tokape, situasi politik terhadap Belanda di Balanipa berubah
total. Tokape pun menjadikan dirinya sebagai pemimpin yang merakyat dan sering
melakukan perjalanan ke daerah-daerah. Bila bertemu orang yang duduk-duduk
saja, tak segan dia menegurnya dan meminta mereka untuk bekerja.
Tokape
mengeluarkan kebijakan untuk tidak menjual kopra hasil rakyat Mandar ke
Belanda, melainkan menjualnya langsung ke Makassar, Surabaya, dan Singapura.
Tentu kebijakan demikian mengandung resiko sebab menentang Belanda. Maka dia
bekerja sama dengan Ammana I Wewang, Maraqdia Alu yang sekaligus sebagai
Maraqdia Malolo atau panglima di Kerajaan Balanipa memperkuat pertahanan.
Lama
kelamaan, gudang kopra Belanda kekurangan stok kopra. Belanda melakukan operasi
pasar langsung ke masayarakat untuk membeli kopra. Tapi hal itu ditentang
Tokape. Rakyat harus dibebaskan untuk memilih pembeli kopranya, jangan dipaksa.
Demikian kehendak Tokape.
Berbagai
cara dilakukan Belanda agar Tokape berubah pendirian. Namun tak berhasil.
Belanda kemudian melakukan trik adu domba. Dia membujuk Mandawari untuk bisa
bekerjasama. Ada rumor, jika Mandawari berhasil, dia akan dijadikan kembali
sebagai maraqdia. Mandawari tergoda. Dia pun mengiyakan untuk melemahkan dan
menghancurkan kedudukan Tokape.
Salah
satu bentuk dukungan Mandawari terhadap Belanda, yang juga menjadi strategi
perlawanan terhadap Tokape adalah pendirian loji (benteng) di dekat rumah
Mandawari. Di loji tersebutlah Belanda memperkuat pertahanan.
Setelah
dirasa kuat pertahanannya, Belanda mengajukan perundingan dengan Tokape.
Permintaan Belanda disetujui oleh Tokape dengan syarat: kedua belah pihak
dilarang bersenjata memasuki daerah perundingan, pengawal kedua belah pihak
harus berada di pos masing-masing, tempat pertemuan disetujui kedua belah
pihak. Utusan perundingan Tokape yang hadir adalah Ammana I Wewang, Ammana I
Pattolawali, Ajuara, Sumakuyu, dan Parrimuku.
Dalam
pertemuan itu, Belanda seolah-olah mau memaksakan keinginannya. Tokape dipaksa
untuk menandatangani naskah perjanjian yang telah disiapkan oleh Belanda.
Akibatnya, Tokape merobek-robek naskah tersebut di hadapan Belanda.
Ammawa
I Wewang menyadari situasi perundingan yang memanas. Tiba-tiba dia berdiri
menyentakkan kakinya di tanah seraya berkata “Tuan-tuan Belanda ini seperti
tidak tahu aturan. Rupanya tuan-tuan ini kurang ajar di negeri kami. Tuan-tuan
orang kulit putih, tidak berhak mengatur kami. Negeri ini adalah negeri orang
Mandar. Tuan-tuan adalah tamu kami untuk datang berdagang. Kalau mau berkuasa
di mandar ini kami tidak terima. Lebih baik tuan-tuan cepat meninggalkan
ruangan sebelum saya marah. Ayo pulang cepat dan kalau tidak saya bunuh
tuan-tuan di tempat ini.”
Marah
Ammana I Wewang menciutkan nyali Belanda. Mereka pun cepat-cepat meninggalkan
tempat perundingan.
Ammana
I Wewang atau I Caloq Ammana I Wewang adalah pejuang melawan Belanda di awal
abad ke-20. Dalam perlawanannya tertangkap dan diasingkan ke pulau Belitung,
lebih tiga puluh tahun lamanya. Lahir di Kampung Lutang (sekarang di dalam
wilayah Kel. Tande, Kec. Banggae, Kab. Majene), 1854. Buah perkawinan I Gaqang-
I Kena.
I
Gaqang, Marqdia ‘Raja’ Alu, I Kena adalah putri Maraqdia Banggae. Neneknya dari
pihak bapaknya bernama Maqdusila alias Lippo Ulang, Maraqdia Pamboang, dan
neneknya dari pihak ibu ialah To Cabang Maraqdia Pamboang. Sebelum memperoleh
keturunan dari permaisuri, dipopulerkan dengan panggilan Ammana I Wewang. (I
Wewang, nama seorang kemanakan permaisurinya. Pengenakan gelar/panggilan seperti
itu, sudah menjadi tradisi bagi keturunan bangsawan Mandar. Tidak sopan atau
tidak hormat jika masih menyebut nama pribadi (nama kecil) kepada seseorang
bangsawan setelah berkeluarga).
Dia
mempunyai tiga saudara yaitu, Kacoq Puang Ammana I Pattolawali, Cacaqna
Pattolawali, dan Cacaqna I Sumakuyu. Pada usia ke-30 dinobatkan menjadi
Maraqdia Malolo Kerajaan Balanipa menggantikan I Tamanganro. (Yang memangku
jabatan Maraqdia Balanipa waktu itu ialah Tokape). 1886 ia dilantik menjadi
Maraqdia Alu, dan tetap sebagai Maraqdia Malolo Balanipa.
***
Pemberontakan
Tokape terjadi pada 1872-1873, hanya 1 tahun. Sangat singkat bila dibandingkan
Perang Diponegoro atau Perang Makassar.
Tokape
diangkat menjadi maraqdia pada tahun 1872. Dia diangkat oleh “Appeq Banua Kayyang”
(Napo, Samasundu, Mosso dan Todang-todang) menjadi Arayang Balanipa
menggantikan I Mandawari. Sebagai pemimpin baru, oleh Belanda ingin
memperbaharui kontrak dengannya. Tapi isinya memberatkan rakyat Mandar.
Bersama
maraqdia lain dari anggota Ba’bana Binanga, disepakati untuk menyepakati
kontrak yang diajukan oleh Belanda. Tapi bentuk penolakan berbeda, menentang
dengan senjata oleh Balanipa, Banggae, Pamboang dan Binuang; dengan diplomasi
oleh Sendana, Tappalang, dan Mamuju.
Perlawanan
oleh Kerajaan Balanipa dipimpin oleh Tokape dan Calo Ammana I Wewang.
Perlawanan mereka tidak mampu dibendung oleh Belanda. Maka mereka meminta bala
bantuan dari Makassar. Malangnya, bantuan dari Makassar diserang oleh sekutu
Balanipa dari Kerajaan Labakkang yang dipimpin oleh Andi Marudani Karaeng
Bonto-bonto.
Karaeng
Bonto-bonto berjibaku dengan Tokape melawan Belanda. Bersama pasukannya mereka
bergerilya di hutan Balanipa dan Tomadio. Lama kelamaan, pasukan gabungan ini
melemah.
Belakangan,
Tokape terkepung di istananya di Lekopa’dis (Tinambung) untuk kemudian
ditangkap Belanda. Ada versi mengatakan menyerahkan diri untuk melindungi
pasukan dan sekutunya. Kemudian dia dilayarkan ke Makassar pada 4 November
1893. Hampir dua bulan ditahan di Makassar untuk selanjutnya dibawa ke Batavia
untuk diadili. Keputusannya, dia diasingkan ke Jawa Timur, di Pacitan.
Kedudukan
Tokape digantikan (kembali) oleh Mandawari (menjadi maraqdia pada periode I:
1870-1872). Setelah menjabat selama 7 tahun (1874-1880), Mandawari digantikan
oleh sepupu satu kalinya, I Sanggaria. Belakangan, karena bertentangan dengan
hadat, I Sanggaria meletakkan jabatan sebagai maraqdia pada 1885. Untuk ketiga
kalinya, I Mandawari kembali menjadi Maraqdia Balanipa (ke-49, 1885-1907).
Pelantikan
I Mandawari diperdebatkan, sebab dia tidak dilantik oleh kaum hadat secara
lengkap, tapi hanya beberapa. Itu pun terjadi di Makassar, oleh Belanda. Dia
tidak dilantik di Mandar sebab banyak yang tidak setuju. Tapi karena I
Mandawari pendukung Belanda, maka dia mempunyai posisi kuat.
Tertangkapnya
Tokape membuat perlawanan Ammana Wewang menggunakan sistem gerilya. Sebab susah
ditangkap, Belanda minta dukungan Mandawari dan I Laju Kanna Doro (juga kerabat
dekat Tokape; belakangan akan menggantikan Mandawari menjadi maraqdia) untuk
memberikan informasi keberadaan Ammawa Wewang.
I
Laju Kanna Doro mencari tahu siapa orang dekat Ammana Wewang. Akhirnya dia
mendapat informasi bahwa tokoh masyarakat Tandassura bernama Ka’tabbas
mengetahui siapa tukang pijat Ammana Wewang. Namanya Ka’sawa dan Ka’mana.
Kepada
Ka’tabbas dijanjikan kedudukan dan terhadapa tukang pijat akan diberia hadiah
1000 ringgit. Akhirnya si tukang pijit memberitahukan tempat persembunyian
Ammana Wewang.
Saat
Ammana Wewang istirahat (tidur), si tukang pijit menghubungi prajurit Belanda.
Rombongan serdadu membawa serta beberapa bambu dan seutas tali ijuk. Sebab
Ammana Wewang dikenal kebal, digunakan cara tersendiri untuk menangkapnya:
tubuh dihimpit dengan bambu lalu diikat. Dengan tubuh yang terikat, Ammana
Wewang dibawa ke Majene. Kejadian ini terjadi pada 23 Juli 1907.
Sebulan
ditahan lalu diadili di Campalagian. Dia divonis 20 tahun penjara. Tanggal 24
Agustus 1907, Ammana I Wewang kembali disidangkan untuk selanjutnya ditahan di
Benteng Rotterdam, Makassar. Setengah bulan ditahan lalu dikirim ke Batavia.
Lalu pada akhir 1907, Ammana I Wewang bersama 9 pengikutnya diasingkan di Pulau
Belitung, Sumatera Selatan.
Ammana
I Wewang hampir 40 tahun berada di Pulau Belitung. Pada 1 April 1945, dengan
menggunakan perahu lete dari Mandar, Ammana I Wewang meninggalkan Pulau
Belitung. Dia tiba di Ba’babulo, Pamboang pada 22 Mei 1945. Ammana I Wewang
wafat di Limboro, pada 11 April 1967.
***
Pada
tahun 1907, sebab merasa sudah tua dan intrik di kalangan bangsawan, I
Mandawari meletakkan jabatan untuk kemudian digantikan oleh I Laju Kanna Doro
Tomatindo di Jeddah (sebab mangkat di Jeddah, Arab Saudi). Kedudukan I Laju
Kanna Doro digantikan Andi Baso, cucu Tokape. Kemudian Andi Baso digantikan
istrinya yang juga putri I Laju Kanna Doro, yaitu Andi Depu, penerima Bintang
Mahaputera dari Presiden Soekarno dan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.
Sumber: Muhammad Ridwan Alimuddin