Sabtu, 24 Mei 2014

I MANYAMBUNGI TODZILALING


I Manyambungi diperkirakan lahir pada abad XV Masehi di Lemo,Desa Pendulangan yang sekarang tergabung dalam kecamatan Limboro, Polman. Ia adalah putra dari Tomakaka di Napo,Puang Digandang dengan Weapas, Putri dari I Taurra-urra. I Taurra-Urra sendiri adalah anak dari Tobittoeng, anak dari Topalliq,Tomakakaq di Lemo. Awal kedatangan I Mayambungi di Gowa yaitu pada masa pemerintahan Karaeng Batara Gowa sebagai Raja VII,dilatar belakangi oleh hubungan perdagangan antara kerajaan Gowa dengan Tomakakaq Napo yang terjalin dengan baik. I Manyambungi menginjakkan kakinya di Gowa pada usia yang masih kanak-kanak. Alasan kedatangan I Manyambungi di Butta Gowa,diperkirakan sebagai upaya pengaasingan dirinya atas hukuman yang dijatuhkan Tomakakaq Appeq Banua Kayyang (Napo, Samasundu, Mosso, Todang-Todang) setelah membunuh saudara sepupunya sendiri.

Di Gowa, I Manyambungi sebagai panglima perang Kerajaan Gowa, tersohor sampai ke Mandar setelah berhasil memimpin pasukan Kerajaan Gowa menaklukkan Kaerajaan Lahe, dan bahkan kerajaan Pariaman (Sumatera) yang termasuk kerajaan terkuat pada masa itu. Gong dari Lahe (Ta’bilohe) dan keris Pattarapang dari Pariaman menjadi medali kemenangan yang diberikan oleh Daeng Matenre pada I Mayambungi.

Pada masa yang sama di Mandar terjadi perseturuan antara Apppe Banua Kaiyyang dengan Passokkorang (Biring Lembang,Renggeang,Manu’Manukan,Salarri). Para Tomakaka dari Appe Banua kaiyyang sepakat mengutus Pappuangan di Mosso menjemput I Manayambungi di Gowa. Nama besar I Manyambungi diharapkan dapat membantu Appeq Banua Kaiyyang menaklukkan Passokorang. Akhirnya I Manyambungi bersama keluarganya meninggalkan Gowa menuju Napo. Setelah peperangan dengan Passokkorang yang dimenangi oleh Appeq banua Kayyang dibawah komando I Manynyambungi, maka disatukanlah appeq banua kayyang tersebut menjadi sebuah kerajaan dengan dengan nama Balanipa dan I Manynyambungi kemudian diangkat menjadi maraqdia pertama. Pada masa –masa kemudian, ketika terjadi perang saudara antara Gowa melawan Bone dalam Perang Makassar dimana Bone bersekutu dengan VOC sedangkan Gowa bersekutu dengan beberapa kerajaan Bugis, Ternate dan Buton, maka kerajaan Balanipa pun mengambil posisi dipihak kerajaan Gowa. Dari kisah ini kemudian kadang melahirkan letupan kecil dibeberapa indvidu untuk antipati terhadap suku yang lain yang terlibat dalam perang ini lebih-lebih ketika pemerintah mengangkat salah satunya sebagai pahlawan sedangkan yang lain dicap sebagai pengkhianat. Padahal kalau merunut sejarah, maka terjadinya perang dahsyat yang hampir menggagalkan pendudukan VOC dijazirah sulawesi ini bukan semata-mata pertimbangan politik namun juga mengandung nilai siri’ dari seorng yang dianggap “pengkhianat” tersebut. Apalagi Raja Bone saat itu (La Tenri Tatta To Erung Petta Malampe’e Gemme’na) adalah saudara sepupu dari Raja Gowa saat itu (I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape).

TOKAPE



TOKAPE

Tokape adalah maraqdia (raja) Balanipa (salah satu kerajaan besar di wilayah Mandar atau Sulawesi Barat) pada akhir tahun 1800-san. Ada versi yang menuliskan dia raja ke 46, ada juga ke-48. Ada perbedaan sebab ada perbedaan kesepakatan bahwa apakah maraqdia kesekian diakui atau tidak.
***
Pada tahun 1819 salah satu pusat perdagangan dunia mulai mapan, yakni Singapura (sebelumnya disebut Tumasik, sehingga orang Mandar yang berlayar ke sana untuk berdagang disebut “Pattumasek”). Pada masa itu dan setelahnya, salah satu komoditas perdagangan dunia yang juga banyak terdapat di Mandar marak diperdagangkan, yakni kopra (boka’ dalam bahasa Mandar). Dengan kata lain, Mandar terlibat dalam perdagangan internasional. Sebab pada tahun 1850, perdagangan antara orang pribumi dengan orang Eropa mulai marak.
Menurut catatan Belanda, pada tahun 1860, jumlah pohon kelapa di Sulawesi Selatan sekitar 407.279 pohon (Mandar 16.502 pohon). Dan berkembang pesat pada 1875, di saat pohon kelapa mencapai 755.500 pohon.
Perdagangan dunia semakin marak semenjak dibukanya Terusan Suez di Mesir pada tahun 1869. Kemudian booming perdagangan kopi pada tahun 1870. Pada tahun yang sama, para mara’dia di Mandar mengadakan perjanjian politik dengan Hindia-Belanda yang secara signifikan mempengaruhi kekuatan kepemimpinan di Mandar (menjadi melemahkan). Waktu itu, pihak Belanda membeli kopra dari pekebun Mandar dengan harga yang sangat rendah dan hanya orang Belanda-lah (VOC) yang boleh membeli kopra. Di pihak lain, para pedagang (umumnya dari kalangan bangsawan sendiri) mengetahui harga kopra sangat tinggi di Tumasik (Singapura).
Jadi, pedagang pribumi mengharapkan harga yang layak. Permintaan ini tak digubris Belanda. Maka terjadilah perlawanan. Paling terkenal oleh perlawanan Maraqdia Tokape.
***
Sebelum I Boroa (gelaran lain bagi Tokape, yang artinya Si Nakal, sebab dia tidak tunduk pada Belanda), sepupu sekalinya yang bernama Mandawari alias Tomilloli memangku maraqdia. Di masa itu, Belanda bebas keluar masuk Mandar dengan berkedok sebagai pedagang. I Mandawari gembira bila Belanda datang, sebab selalu mendapat paket candu.
Karena kegemarannya itu, urusan masyarakat terabaikan. Hadat Appe’ Banua Kayyang pun seapakat untuk meninjau kedudukannya sebagai maraqdia. Akhirnya disepakati untuk mengangkat Tokape menggantikannya.
Masa kepemimpinan Tokape, situasi politik terhadap Belanda di Balanipa berubah total. Tokape pun menjadikan dirinya sebagai pemimpin yang merakyat dan sering melakukan perjalanan ke daerah-daerah. Bila bertemu orang yang duduk-duduk saja, tak segan dia menegurnya dan meminta mereka untuk bekerja.
Tokape mengeluarkan kebijakan untuk tidak menjual kopra hasil rakyat Mandar ke Belanda, melainkan menjualnya langsung ke Makassar, Surabaya, dan Singapura. Tentu kebijakan demikian mengandung resiko sebab menentang Belanda. Maka dia bekerja sama dengan Ammana I Wewang, Maraqdia Alu yang sekaligus sebagai Maraqdia Malolo atau panglima di Kerajaan Balanipa memperkuat pertahanan.
Lama kelamaan, gudang kopra Belanda kekurangan stok kopra. Belanda melakukan operasi pasar langsung ke masayarakat untuk membeli kopra. Tapi hal itu ditentang Tokape. Rakyat harus dibebaskan untuk memilih pembeli kopranya, jangan dipaksa. Demikian kehendak Tokape.
Berbagai cara dilakukan Belanda agar Tokape berubah pendirian. Namun tak berhasil. Belanda kemudian melakukan trik adu domba. Dia membujuk Mandawari untuk bisa bekerjasama. Ada rumor, jika Mandawari berhasil, dia akan dijadikan kembali sebagai maraqdia. Mandawari tergoda. Dia pun mengiyakan untuk melemahkan dan menghancurkan kedudukan Tokape.
Salah satu bentuk dukungan Mandawari terhadap Belanda, yang juga menjadi strategi perlawanan terhadap Tokape adalah pendirian loji (benteng) di dekat rumah Mandawari. Di loji tersebutlah Belanda memperkuat pertahanan.
Setelah dirasa kuat pertahanannya, Belanda mengajukan perundingan dengan Tokape. Permintaan Belanda disetujui oleh Tokape dengan syarat: kedua belah pihak dilarang bersenjata memasuki daerah perundingan, pengawal kedua belah pihak harus berada di pos masing-masing, tempat pertemuan disetujui kedua belah pihak. Utusan perundingan Tokape yang hadir adalah Ammana I Wewang, Ammana I Pattolawali, Ajuara, Sumakuyu, dan Parrimuku.
Dalam pertemuan itu, Belanda seolah-olah mau memaksakan keinginannya. Tokape dipaksa untuk menandatangani naskah perjanjian yang telah disiapkan oleh Belanda. Akibatnya, Tokape merobek-robek naskah tersebut di hadapan Belanda.
Ammawa I Wewang menyadari situasi perundingan yang memanas. Tiba-tiba dia berdiri menyentakkan kakinya di tanah seraya berkata “Tuan-tuan Belanda ini seperti tidak tahu aturan. Rupanya tuan-tuan ini kurang ajar di negeri kami. Tuan-tuan orang kulit putih, tidak berhak mengatur kami. Negeri ini adalah negeri orang Mandar. Tuan-tuan adalah tamu kami untuk datang berdagang. Kalau mau berkuasa di mandar ini kami tidak terima. Lebih baik tuan-tuan cepat meninggalkan ruangan sebelum saya marah. Ayo pulang cepat dan kalau tidak saya bunuh tuan-tuan di tempat ini.”
Marah Ammana I Wewang menciutkan nyali Belanda. Mereka pun cepat-cepat meninggalkan tempat perundingan.
Ammana I Wewang atau I Caloq Ammana I Wewang adalah pejuang melawan Belanda di awal abad ke-20. Dalam perlawanannya tertangkap dan diasingkan ke pulau Belitung, lebih tiga puluh tahun lamanya. Lahir di Kampung Lutang (sekarang di dalam wilayah Kel. Tande, Kec. Banggae, Kab. Majene), 1854. Buah perkawinan I Gaqang- I Kena.
I Gaqang, Marqdia ‘Raja’ Alu, I Kena adalah putri Maraqdia Banggae. Neneknya dari pihak bapaknya bernama Maqdusila alias Lippo Ulang, Maraqdia Pamboang, dan neneknya dari pihak ibu ialah To Cabang Maraqdia Pamboang. Sebelum memperoleh keturunan dari permaisuri, dipopulerkan dengan panggilan Ammana I Wewang. (I Wewang, nama seorang kemanakan permaisurinya. Pengenakan gelar/panggilan seperti itu, sudah menjadi tradisi bagi keturunan bangsawan Mandar. Tidak sopan atau tidak hormat jika masih menyebut nama pribadi (nama kecil) kepada seseorang bangsawan setelah berkeluarga).
Dia mempunyai tiga saudara yaitu, Kacoq Puang Ammana I Pattolawali, Cacaqna Pattolawali, dan Cacaqna I Sumakuyu. Pada usia ke-30 dinobatkan menjadi Maraqdia Malolo Kerajaan Balanipa menggantikan I Tamanganro. (Yang memangku jabatan Maraqdia Balanipa waktu itu ialah Tokape). 1886 ia dilantik menjadi Maraqdia Alu, dan tetap sebagai Maraqdia Malolo Balanipa.
***
Pemberontakan Tokape terjadi pada 1872-1873, hanya 1 tahun. Sangat singkat bila dibandingkan Perang Diponegoro atau Perang Makassar.
Tokape diangkat menjadi maraqdia pada tahun 1872. Dia diangkat oleh “Appeq Banua Kayyang” (Napo, Samasundu, Mosso dan Todang-todang) menjadi Arayang Balanipa menggantikan I Mandawari. Sebagai pemimpin baru, oleh Belanda ingin memperbaharui kontrak dengannya. Tapi isinya memberatkan rakyat Mandar.
Bersama maraqdia lain dari anggota Ba’bana Binanga, disepakati untuk menyepakati kontrak yang diajukan oleh Belanda. Tapi bentuk penolakan berbeda, menentang dengan senjata oleh Balanipa, Banggae, Pamboang dan Binuang; dengan diplomasi oleh Sendana, Tappalang, dan Mamuju.
Perlawanan oleh Kerajaan Balanipa dipimpin oleh Tokape dan Calo Ammana I Wewang. Perlawanan mereka tidak mampu dibendung oleh Belanda. Maka mereka meminta bala bantuan dari Makassar. Malangnya, bantuan dari Makassar diserang oleh sekutu Balanipa dari Kerajaan Labakkang yang dipimpin oleh Andi Marudani Karaeng Bonto-bonto.
Karaeng Bonto-bonto berjibaku dengan Tokape melawan Belanda. Bersama pasukannya mereka bergerilya di hutan Balanipa dan Tomadio. Lama kelamaan, pasukan gabungan ini melemah.
Belakangan, Tokape terkepung di istananya di Lekopa’dis (Tinambung) untuk kemudian ditangkap Belanda. Ada versi mengatakan menyerahkan diri untuk melindungi pasukan dan sekutunya. Kemudian dia dilayarkan ke Makassar pada 4 November 1893. Hampir dua bulan ditahan di Makassar untuk selanjutnya dibawa ke Batavia untuk diadili. Keputusannya, dia diasingkan ke Jawa Timur, di Pacitan.
Kedudukan Tokape digantikan (kembali) oleh Mandawari (menjadi maraqdia pada periode I: 1870-1872). Setelah menjabat selama 7 tahun (1874-1880), Mandawari digantikan oleh sepupu satu kalinya, I Sanggaria. Belakangan, karena bertentangan dengan hadat, I Sanggaria meletakkan jabatan sebagai maraqdia pada 1885. Untuk ketiga kalinya, I Mandawari kembali menjadi Maraqdia Balanipa (ke-49, 1885-1907).
Pelantikan I Mandawari diperdebatkan, sebab dia tidak dilantik oleh kaum hadat secara lengkap, tapi hanya beberapa. Itu pun terjadi di Makassar, oleh Belanda. Dia tidak dilantik di Mandar sebab banyak yang tidak setuju. Tapi karena I Mandawari pendukung Belanda, maka dia mempunyai posisi kuat.
Tertangkapnya Tokape membuat perlawanan Ammana Wewang menggunakan sistem gerilya. Sebab susah ditangkap, Belanda minta dukungan Mandawari dan I Laju Kanna Doro (juga kerabat dekat Tokape; belakangan akan menggantikan Mandawari menjadi maraqdia) untuk memberikan informasi keberadaan Ammawa Wewang.
I Laju Kanna Doro mencari tahu siapa orang dekat Ammana Wewang. Akhirnya dia mendapat informasi bahwa tokoh masyarakat Tandassura bernama Ka’tabbas mengetahui siapa tukang pijat Ammana Wewang. Namanya Ka’sawa dan Ka’mana.
Kepada Ka’tabbas dijanjikan kedudukan dan terhadapa tukang pijat akan diberia hadiah 1000 ringgit. Akhirnya si tukang pijit memberitahukan tempat persembunyian Ammana Wewang.
Saat Ammana Wewang istirahat (tidur), si tukang pijit menghubungi prajurit Belanda. Rombongan serdadu membawa serta beberapa bambu dan seutas tali ijuk. Sebab Ammana Wewang dikenal kebal, digunakan cara tersendiri untuk menangkapnya: tubuh dihimpit dengan bambu lalu diikat. Dengan tubuh yang terikat, Ammana Wewang dibawa ke Majene. Kejadian ini terjadi pada 23 Juli 1907.
Sebulan ditahan lalu diadili di Campalagian. Dia divonis 20 tahun penjara. Tanggal 24 Agustus 1907, Ammana I Wewang kembali disidangkan untuk selanjutnya ditahan di Benteng Rotterdam, Makassar. Setengah bulan ditahan lalu dikirim ke Batavia. Lalu pada akhir 1907, Ammana I Wewang bersama 9 pengikutnya diasingkan di Pulau Belitung, Sumatera Selatan.
Ammana I Wewang hampir 40 tahun berada di Pulau Belitung. Pada 1 April 1945, dengan menggunakan perahu lete dari Mandar, Ammana I Wewang meninggalkan Pulau Belitung. Dia tiba di Ba’babulo, Pamboang pada 22 Mei 1945. Ammana I Wewang wafat di Limboro, pada 11 April 1967.
***
Pada tahun 1907, sebab merasa sudah tua dan intrik di kalangan bangsawan, I Mandawari meletakkan jabatan untuk kemudian digantikan oleh I Laju Kanna Doro Tomatindo di Jeddah (sebab mangkat di Jeddah, Arab Saudi). Kedudukan I Laju Kanna Doro digantikan Andi Baso, cucu Tokape. Kemudian Andi Baso digantikan istrinya yang juga putri I Laju Kanna Doro, yaitu Andi Depu, penerima Bintang Mahaputera dari Presiden Soekarno dan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono.

Sumber: Muhammad Ridwan Alimuddin

SENI SASTRA MANDAR



SENI SASTRA MANDAR

Bentuk sastra Mandar ada 2 (dua) yaitu :

1. Karya sastra bentuk prosa yaitu karangan bentuk bebas

    Karangan bentuk prosa disebut juga cerita, meliputi :
          Pomolitang atau pau-pau losong (dongeng)
Di dalam pembicaraan sehari-sehari dalam bahasa inggris dongeng itu disebut folklore (Prof. Dr. Stjipto W, 1964:95) Dongeng merupakan suatu cerita fantasi yang kejadian-kejadiannya tidak benar terjadi.
Sebagai folklore, dongeng cerita yang hidup dikalangan rakyat yang disajikan dengan cara bertutur lisan oleh tukang cerita, seperti pelipur lara dan pawang, termasuk jenis prosa fiksi yang tertua.Munculnya hampir bersamaan dengan adanya kepercayaan dan kebudayaan suatu bangsa . Pada mulanya dongeng berkaitan dengan kepercayaan masyarakat yang kebudayaan primitif terhadap hal-hal yang supranatural dan manifestasinya dalam alam kehidupan manusia seperti animisme, dan lain-lain.
Bagi manusia, dongeng berfungsi sebagai hiburan, keprcayaan yang bersifat yang bersifat didaktik (pengajaran moral dan nasehat bagi kehidupan), dan sumber pengetahuan. Yang terakhir ini dikemukakan oleh Jacob Grimn bahwa dongeng-dongeng menggambarkan peri kehidupan dan kebudayaan nenek moyang bangsa Jerman, serta sumber mempelajari bahasa dan menemukan hukum-hukum bahasa Jerman. Berdasarkan isinya dongeng digolongkan atas beberapa jenis, yaitu mite, legenda, sage, fabel, parabel, dongeng alam, dongeng tentang peri dan hantu (ghots), dan dongeng jenaka. Dongeng-dongeng yang ada pada berbagai kebudayaan bangsa-bangsa di dunia boleh dikatakan bersifat universal yaitu memiliki banyak persamaan dalam cerita-cerita dongeng itu.Ternyata budaya mendongeng juga lengket dengan kehidupan masyarakat Mandar.Saya masih terlalu ingat ketika kakek saya,sampai bapak saya pada saat umur saya masih usia 7-10 tahun,setiap mau tidur selalu diantar dengan cara mendongeng.Materinya bermacam-macam,tapi yang sangat sering dijadikan materi adalah dengan menggambarkan tingkah laku binatang yang baik dan buruk yang dapat dicontohi oleh manusia, misalnya dongeng I Puccecang annaq I Pulladoq (Kera dengan Pelanduk), di mana kera melaksanakan sifat yang baik dan pelanduk melaksanakan sifat yang kurang baik,atau tentang Asu mennaungguru lao di Posa(anjing berguru kekucing,tentang nenek pakkade ate,dll.
         Toloq (kisah) menggambarkan liku-liku kehidupan dari seseorang tokoh dalam masyarakat misalnya kisah Tonisesseq di Tingalor (seorang bidadari jatuh dari kayangan dan ditelan oleh seekor ikan Tingalor).
         Sila-sila (silsilah) menggambarkan suatu kerajaan dan nama-nama rajanya secara turun-temurun, misalnya silsilah raja-raja di Pamboang, Sendana, Banggae dsb.
         Pau-pau pasang atau Pappasang (pesan-pesan luhur) menggambarkan ajaran norma, nasihat dan petuah bagi kehidupan seseorang, keluarga dan bagi kehidupan masyarakat yang lebih luas, misalnya pesan orang tua terhadap anak-anaknya, pesan seorang kakek terhadap pasangan suami isteri, pesan seorang sesepuh kepada warga masyarakat, pesan-pesan raja pada rakyatnya.

2.Karya Sastra bentuk Puisi atau Kalindaqdaq


kalindaqdaq merupakan salah satu jenis karya sastra yang ada di tanah Mandar. kaindaqdaq termasuk dalam kategorisasi puisi lama. Berbeda halnya dengan puisi baru, menurut Sutan Takdir alisyahbana bahwa perbedaan diantara keduanya sangatlah besar jika dikaitkan dengan kebudayaan yang melatarbelakanginya.
            Secara etimologi “kalindaqdaq” memiliki banyak versi, namun yang paling populer menurut idham (2008:2) adalah kalindaqdaq dibentuk oleh dua suku kata “kali” (gali) “daqdaq” (dada). Jadi pengertian secara etimologi kalindaqdaq adalah “isi dada” atau cetusan perasaan dan pikiran yang diungkapkan melalui kalimat-kalimat yang indah. Seperti halnya pantun kalindaqdaq awalnya tumbuh sebagai sastra lisan (sastra tutur)  yang tidak memiliki data otentik mengenai asal muasalnya, siapa pertama kali menggunakannya, dan dimana kalindaqdaq tersebut berkembang.
Menurut nyoman (2011:107) ciri khas kelisanan adalah penyebarannya yang dilakukan dari mulu ke mulut. Oleh karna itu dapat dipastikan bahwa sastra lisan tumbuh subur di wilayah-wilayah yang tradisinya tulisnya belum maju. Penyebarannya itu dilakukan pada kegiatan-kegiatan kebudayaan, maupun dalam lingkup keluarga.
Ciri lain yang diungkapkan oleh Hutomo (1991;3-4) bahwa pada umumnya a) sastra lisan hidup dalam masyarakat tradisional, b) dianggap sebagai milik bersama, c) oleh karna itu seolah-olah tidak ada pengarangnya, sehingga setiap orang bebas menyalin dan meresepsinya, d) oleh karna itu pula pada umumnya terdiri dari beberapa versi, e) tidak ada batasan antara fakta dan fiksi, f) sebagai karya sastra ciri lain yang juga dianggap penting adalah, estestis, dan diucapkan berulang-ulang.
Seperti halnya Kalindaqdaq sebagai sastra lisan, ia berkembang di masyarakatnya tanpa ada yang mengklaim bahwa dialah yang menggunakan pertama kali, namun kalindaqdaq pada umumnya disampaikan pada kegiatan Mappatamma “khatam Alquran”, Mettumae “Melamar”, dan kegiatan-kegiatan upacara kebudayaan lainnya.
Kalindaqdaq memilki kedudukan penting dalam kebudayaan dan proses interaksi sosial masyarakat Mandar. Kalindaqdaq  digunakan sebagai media untuk menyampaikan isi hati dan pikiran, kalindaqdaq juga memiliki fungsi edukatif dan rekreatif serta membentuk kepribadian. Menurut Sarbin Sam (1997 : 58) Kalindaqdaq dikategorikan dalam beberapa tema diantaranya yaitu,
       Humor (Kalindaqdaq Pangino).
       Satire (Kalindaqdaq Mattedze)
       Kritik sosial (Kalindaqdaq Pappakaingaq).
       Pendidikan/nasihat (kalindaqdaq Pipatudzu).
       Keagamaan (kalindaqdaq Masaalah).
       Kejantanan/ patriotisme (Kalindaqdaq Pettummoaneang).
       Percintaan/romantik (kalindaqdaq Tosipomongeq).
            Kalindaqdaq sebagai salah satu warisan kebudayaan yang ada di Mandar, tentu memiliki fungsi dan peranan penting dalam struktur sosialnya. Didalam tulisan ini akan membahasa;
          Seperti apa fungsi sosial dan posisi kalindaqdaq dalam pranata kebudayaan Mandar.
          Bagaimana Upaya mewariskan kalindaqdaq kepada generasi muda sebagai kearifan lokal di daerahnya.
E. LAGU KLASIK MANDAR


1.TENGGA-TENGGANG LOPI
Lagu daerah Mandar yang berjudul "Tengga-Tenggang Lopi" adalah salah satu lagu klasik dari daerah Mandar yang sangat terkenal. Kalau daerah Makassar dikenal dengan lagu daerahnya berjudul "Anging Mammiri', daerah Bugis dengan lagu "Indo Logo" nya , maka lagu Mandar dikenal dengan lagu ini.
Berikut ini adalah lirik lagu "Tengga-Tenggang Lopi":
Tengga-tenggang lopi
Lopinna anak koda
Anak koda di panjaja
Di panjaja uluanna

Uluanna lepa-lepa
Lepa-lepa lambang liwang
Lambang liwang dilalute
Mappadottong tinjaqna

Poleaq-poleaq liwang
Natoanaq tedong lotong
Tedong lotong takke tanduq
Apaq mokara maande

Poleaq-poleaq liwang
Natoanaq tedong lotong
Tedong lotong takke tanduq
Apaq mokaraq maande
Pencipta lagu tengga-tenggang lopi tidak diketahui, sama dengan lagu klasik yang sebagian besar tidak diketahui penciptanya. Namun, lagu ini sudah sangat familiar dengan masyarakat Mandar dan biasa dibawakan untuk suasana yang agak ceria dengan beat yang lebih cepat. Kalaupun anda menemukan ada beberapa kata dalm lirik lagu ini yang berbeda dengan versi yang anda dengar, ini bukanlah masalah berarti, dalam versi terbaru lagu ini ditemukan ada kata yang berbeda.
2. BURAQ SENDANA

Lagu klasik Tradisional Mandar.
Pencipta syair dan lagunya tidak dikenal. Syairnya sebagai berikut :

Buraq Sendana
Tilili naung di Kaeli
Poleo naung koqbi-koqbiangaq kakaq-u
Dami nadiong masae mattoroq labuang
Jappoqmi dini
Pasangang passinding dadaq-u
Jappoq paqdisang
Tuo tulanna kawu-kawu
Na jappo-jappoq
Uai lolong di mataq-u

Konon lagu ini adalah lagu rindu sansai permaisuri seorang raja dari Mandar yang suaminya “tersangkut “di Kaeli, Sulawesi Tengah. Versi lain mengatakan nyanyian sedih ini dilagukan oleh Indara putri Puang Dikacci. (Puang Dikacci, adik kandung raja Sendana) lantaran rindu kepada pemuda Lamba Tokaeli yang sang Putri sama sekali tidak tahu bahwa Ilamba Tokaeli yang dicintainya adalah adiknya sendiri lain ibu (putri raja Kaeli).

Kisah yang mengharukan ini bermula ketika Puang Dikacci pergi jauh ke Kaeli meninggalkan isterinya yang membencinya karena isteri tercinta ternyata mangidang tau (ngidam orang) isteri membenci melihat suaminya, dan selalu ingin menggigitnya. Pergilah Puang Dikacci meninggalkan Sendana ke utara, dan tiba di negeri Kaeli, Sulawesi Tengah. Beberapa lama kemudian Puang Dikacci kawin dengan putri Raja Kaeli. Dari perkawinan ini lahirlah seorang Putra yang bernama Ilamba. Sebelum Puang Dikacci berangkat ke negeri Pasir, Kerajaan Kutai di Kalimantan berperang melawan musuh membantu pamannya yang menjadi Raja di Kutai waktu itu, ia berpesan kepada isterinya supaya suatu waktu anaknya , Ilamba pergi ke daerah Mandar mencari kerabat bapaknya di Kerajaan Sendana.

Duah puluh tahun kemudian, Ilamba pergi ke daerah Mandar meninggalkan negeri Kaeli tanah kelahirannya untuk mencari kerabat bapaknya. Tiba di Sendana dan menumpang sekalian dijadikan murid yang disayangi oleh Kadi Sendana. Ilamba adalah pemuda yang tampan dan baik budi pula. Semua orang menyayanginya. Dicintai dan mencintai Indara, kemanakan Raja Sendana.
Tragedipun terjadi ketika Ilamba mengetahui bahwa Indara ternyata adalah kakaknya sendiri. Indara, putri Puang Dikacci yang masih dalam kandungan ketika Puang Dikacci pergi ke Kaeli. Hati pilu tanpa diketahui oleh siapa pun, Ilamba kembali ke negeri ibunya kenegeri Kaeli. Sepeninggalnya, Indara jatuh sakit. Sakit lantaran lantaran cinta dan rindu kepada Ilamba Tokaeli. Dia tak tahu Ilamba adalah adiknya sendiri. Setelah dia mengetahui, hatinya amatlah sedih. Berjanji hanya mau kawin dengan orang yang direstui oleh Ilamba Tokaeli adiknya.

Sumber : 3222%F%3p493991
http://luyokita.blogspot.com/HYPERLINK "%22http://luyokita.blogspot.com/2013/12/mengungkap-arti-bura-sendana.html"2013HYPERLINK "%22http://luyokita.blogspot.com/2013/12/mengungkap-arti-bura-sendana.html"/HYPERLINK "%22http://luyokita.blogspot.com/2013/12/mengungkap-arti-bura-sendana.html"12HYPERLINK "%22http://luyokita.blogspot.com/2013/12/mengungkap-arti-bura-sendana.html"/mengungkap-arti-bura-sendana.html


3.KELLEQMAQ

Lagu daerah suku Mandar "kelleqmaq" ini adalah salah satu dari beberapa jenis lagu dengan irama riang gembira. Merupakan lagu dengan syair yang diulang-ulang beberapa kali, dinyanyikan dengan irama yang cukup cepat, dan bertemakan jenaka.
Berikut ini adalah lirik lagu kelleqmaq :

Kelleqmaq kelleqmaq daiqpa di juppandang maqala sambaine, sambaine malolo
Kelleqmaq kelleqmaq daiqpa di juppandang maqala sambaine, sambaine malolo
Polemaq leqmai mattoqdoq boya-boyang mendaiqmi kellequ kelleq sanggaq di lawe
Polemaq leqmai mattoqdoq boya-boyang mendaiqmi kellequ kelleq sanggaq di lawe

Kelleqmaq kelleqmaq daiqpa di juppandang maqala sambaine, sambaine malolo
Kelleqmaq kelleqmaq daiqpa di juppandang maqala sambaine, sambaine malolo

Kelleqmaq kelleqmaq daiqpa di juppandang maqala sambaine, sambaine malolo
Kelleqmaq kelleqmaq daiqpa di juppandang maqala sambaine, sambaine malolo
Polemaq leqmai mattoqdoq boya-boyang mendaiqmi kellequ kelleq sanggaq di lawe
Polemaq leqmai mattoqdoq boya-boyang mendaiqmi kellequ kelleq sanggaq di lawe

Untuk soal pencipta lagu, tampaknya lagu kelleqmaq tidak diciptakan oleh seorang yang bisa dijejaki dengan jelas. Kurang lebih samam halnya dengan lagu-lagu daerah bertemakan jenaka yang lahir begitu saja dari komunitas masyarakat Mandar.